Cerita ini terjadi tiga tahun lalu, pernah saya tulis di facebook.
Pagi ini dengan santai saya naik MRT dari stasiun Cipete Raya, karena petugas bilang perjalanan MRT normal sampai bundaran Hotel Indonesia (HI). Mendekati stasiun bundaran HI, Enny H., teman yang bekerja di BPPT posting di WAG menjawab pertanyaanku…”Thamrin jik ditutup”.
Turun di stasiun bundaran HI, saya langsung menghampiri petugas, yang menyarankan jalan kaki ke Sarinah, karena biasanya banyak taksi lewat belakang Sarinah. Sampai sepuluh taksi lewat selalu ada penumpang, begitu pula dengan bajaj. Saya mulai jalan lagi, siapa tahu di jl. Sabang dekat Foto “Djakarta” ada bajaj lewat.
Mas Ngadiyo, sebagai moderator, mengawali menjelaskan siapa Era Chori Christina. Era menulis sejak kecil, awalnya menulis di diary. Kemudian mulai menekuni menulis dengan serius saat mulai ikut berkompetisi menulis di platform menulis online di Hipwee. Ada beberapa artikel Era Chori yang terbit di platform Hipwee. Di platform ini juga ada kelas menulis tentang buku inspiratif.
Era Chori Christina, dengan bukunya “Seni berkompromi dalam Keterbatasan”.
Era Chori tetap menulis walau peralatannya sangat tidak memadai. Era menulis di sela-sela pekerjaannya sebagai penjaga toko. Oleh atasannya, Era diperbolehkan meminjam komputer jika telah selesai jam kerjanya, untuk menulis. Naskah pertama dan telah diterbitkan oleh Diomedia adalah buku tunggal dengan judul ” Seni Berkompromi dengan Keterbatasan”
Pembahasan buku tentang “Titik Terendah dalam Hidupku” ini dipandu oleh mas Agus Yulian. Setelah memperkenalkan diri, mas Agus menceritakan kisahnya sendiri, bagaimana saat benar-benar berada di titik terendah dalam kehidupannya. Mas Agus saat itu bersama teman-temannya naik kendaraan menuju Pacitan. Acara selama di Pacitan berlangsung lancar, namun dalam perjalanan pulang mendapat kecelakaan, mobil yang ditumpangi 8 (delapan) orang terguling, beberapa kali berputar dan berhenti dengan kondisi terbalik. Saat itu sopir mencoba menghindari masuk jurang dengan membanting setir.
Mas Agus yang masih sadar, entah kenapa bisa membuka pintu mobil yang terbalik itu dan membangunkan teman-temannya agar segera keluar, khawatir mobil akan meledak. Saat itu, kepala mas Agus dalam kondisi berlumuran darah, sedang teman-teman lainnya tidak mendapatkan luka yang berarti, hanya sopir yang kakinya keseleo. Melihat luka yang parah tersebut, mas Agus segera dibawa ke rumah sakit, namun sayang rumah sakit terdekat tidak bisa menanggulangi luka yang berat tersebut, sehingga mas Agus kemudian dibawa dengan ambulance ke RS di Wonogori. Perjalanan yang sangat berat, mas Agus terus berzikir dan tidak berani memejamkan mata, berusaha untuk tetap sadar. Dokter yang menemani di ambulance, berkata… “Sudah pak, tolong dihemat tenaganya agar tetap sadar saat sampai di RS Wonogiri.”
Kali ini, diskusi yang diadakan pada hari Selasa malam, dengan moderator mbak Rias Nurdiana, yang telah menulis beberapa buku antologi. Menulis memoar merupakan “self healing“. Saya ikut bergabung agak terlambat, jadi akan saya tulis apa yang saya ikuti sejak bergabung.
Menjadi Pribadi Transformatif dan Inspiratif
Pada obrolan malam ini, mbak Rias Nurdiana memberikan kesempatan pada penulis untuk menceritakan proses menulisnya, bagaimana perasaannya setelah tulisan tersebut selesai, apakah ada rasa lega, rasa nyaman seperti telah mengeluarkan uneg-uneg. Tulisan tentu saja tidak semata-mata mengeluarkan uneg-uneg, namun dipilih bagian-bagian yang bisa memberikan inspirasi pada para pembaca, serta melonggarkan perasaan. Istilah anak bungsu saya, agar kepala kita tidak berat dan menjadi lebih enteng.
Sebetulnya rencana reuni yang ke 50 tahun Ostilus sudah digadang-gadang sejak lama. Apa boleh buat covid-19 nya nggak pergi-pergi. Akibatnya teman-teman panitia mengagendakan reuni dilaksanakan melalui zoom. Mungkin ada yang bertanya-tanya, mengapa sih ada angka A678 ditambah +++ dan apa siapa Ostilus itu?
Buku ini berisi tulisan 19 memoaris. Sebagai moderator kali ini adalah gus M. Badruz Zaman, yang telah menerbitkan buku “Potret Moderasi Pesantren”. Gus Badruz mengemukakan, dalam perkembangan ilmu pendidikan dan pengajaran, saat ini telah banyak beredar buku-buku tentang cara belajar, buku psikologi belajar, sehingga sosok guru agak berkurang peranannya. Sistim pendidikan berkembang makin besar dan kompleks. Namun hal ini, berbeda antara cara santri dalam menghadapi gurunya, dengan mahasiswa menghadapi pembimbingnya. Cara penghormatan santri, dikenal dengan istilah taqdim, yang berarti mendahulukan kepentingan guru masih lekat di pesantren. Kemungkinan, karena hal ini disebabkan di universitas umum lebih banyak diajarkan tentang ilmu, sedang di pesantren lebih banyak diajarkan tentang taqdim.
Selanjutnya ustadz Ali Azhar, founder @catatan_azhar, penulis yang telah menerbitkan buku motivasi tentang Islam, memberikan tausiah sekitar 10 menit, singkat tetapi padat dan sangat bermakna. Tausiah ustadz Ali Azhar sebagai berikut:
Hari kedua sesi 4: Festival Memoar dan Memoaris Indonesia, 10-19 Desember 2021
Pada sesi ini, saya ditunjuk oleh penerbit Diomedia untuk menjadi moderator. Saat itu saya bertanya, “Pembicaranya siapa mas?” Mas Diyo menjawab, pembicaranya penulis dan peserta webinar mbak, yang semuanya merupakan anggota Komunitas Menulis Memoar. Saya belum bisa membayangkan, seperti apa ya acaranya, jadi supaya saya tidak bingung mulai dari mana, saya mulai googling mencari apa sih yang dimaksud dengan parenting itu? Saya pikir, daripada saya bingung mengawalinya, saya mulai membuat slide 10 lembar, terus saya kirim melalui email pada mas Diyo untuk dikoreksi. Ternyata mas Diyo menerima dengan senang hati…..minimal saya punya gambaran sedikit tentang ilmu parenting, walau sebetulnya sejak punya anak usia 10 tahun, saya sering berhubungan dengan psikolog anak, karena ayah ibu sudah tidak ada, daripada salah melakukan pola asuh kepada anak, lebih baik bertanya pada ahlinya.
Moderator
Sehari sebelum acara, saya bertanya pada mas Diyo, siapa saja penulis buku “Bahagia Bersama Cucu Tercinta”, dan saat membaca Curriculum Vitae para penulis, saya langsung terhenyak. Matilah saya, penulisnya banyak yang pintar-pintar dan tentunya lebih berpengalaman dibanding saya. “Tidak masalah”, saya menyemangati diri sendiri, toh ini adalah ajang sharing pengalaman, saya bahkan akan banyak menimba pengalaman dari beliau-beliau ini.
Bogor nyaris tiap hari hujan. Sebetulnya kuliah di TP 1 (Tingkat Persiapan Pertama), hanya ada 6 (enam) mata kuliah. Tapi kalau mata kuliahnya tidak ada praktikum, selalu ada responsi. Praktis tiap hari masuk jam 7 sd 12.00 wib. Istirahat, kembali lagi jam 14.00 untuk praktikum.
Jarak dari kampus Baranangsiang ke daerah Sempur lumayan jauh, apalagi tidak dilewati bemo. Seringkali pulang praktikum, hujan, melalui jl. Otista (sekarang jl. Pajajaran) yang kiri kanannya pohon besar dan tajuknya rapat serta melengkung, berbatasan dengan Kebun Raya, membuat suasana tambah seram. Ditambah suara burung, terutama burung kelelawar yang jumlahnya ribuan dan rumahnya di pohon-pohon tua di Kebun Raya. Kondisi ini, ditambah bapak kost yang sering kawatir kalau saya pulang telat, membuat makin tidak nyaman. Setelah cari-cari info, ada tempat kost kosong di jl. Rumah Sakit II, persis di sebelah kampus IPB Baranangsiang. Bapak kost, om Hidir, mengajar di IPB sebagai dosen di Departemen Hama & Penyakit Tanaman.
Ini kedua kalinya saya ikut mengobrol lewat google meet bersama teman-teman para memoaris, belajar bersama dan saling mensupport agar kami bisa menulis dengan baik dan bermanfaat untuk orang lain. Kegiatan yang sungguh positif menurut saya, dan setelah berkenalan dengan para anggotanya, kali ini yang hadir 24 orang….woo latar belakang anggota benar-benar mengesankan.
Siang itu saya pulang kuliah naik sepeda, panas nya menyengat sampai ke ubun-ubun. Ya, setelah menunggu panggilan dari PTN belum ada juga, akhirnya ayah setuju saya kuliah di PTS ambil Teknik Kimia di kota buaya. Ini kuliah hari kelima, tapi dosen nya ajrut2an, sering kosong. Konon katanya, beliau ngajar dulu di PTN baru ke swasta. Jam kuliah juga ada yang malam…duhh nasib kuliah di PTS.
Saat sampai di tempat kost, saya kaget melihat ayah, apa sebegitu kangen nya kok sudah ditengok padahal baru ditinggal seminggu. Ternyata ayah membawa berita…”Nduk, kamu diterima di IPB. Segera bereskan kopermu, kita pulang ke rumah. Besok siang kita berangkat ke Bogor.” Segera kami mengejar kereta api yang menuju ke kota kelahiranku.