Istilah ABG populer beberapa tahun belakangan ini, tapi disini saya akan cerita ABG di tahun 65 an. Ketika saya ABG (umur 12-15 tahun) bersamaan dengan kondisi bangsa Indonesia yang makin sulit. Penduduk sulit memenuhi kebutuhan pokok, kalaupun punya uang barang-barang kebutuhan pokok sangat langka. Saat itu saya mulai memasuki SMP, setiap penghuni rumah mendapat jatah kartu untuk mendapatkan bahan kebutuhan pokok: minyak tanah, minyak goreng, beras (yang dicampur jagung), gula dsb nya.
Kami harus berhemat untuk memakainya dan harus pandai mengatur menu makanan agar tercukupi menu sehat keluarga. Setiap antri untuk mencairkan kupon makanan, saya diajak oleh kakak sepupu (saya hanya tiga bersaudara, tetapi ayah ibu selalu menerima keponakan yang sekolah di kota kecil kami, dan menumpang di keluarga kami), pulangnya membawa barang2 kebutuhan pokok, kadang2 minyak tanah yang saya bawa menetes…dan tetesan minyak ini akan berwarna pelangi jika terkena bekas air hujan yang belum kering di jalan tanah yang becek, membuat kami senang bermain-main…dan baru berhenti jika dimarahi kakak sepupu.
Guru di sekolah menganjurkan murid2 untuk mulai menanam pekarangan rumah dengan jagung, dan setiap hari kami diminta melaporkan perkembangannya: berapa tinggi, lebar batang, banyak daun dsb nya. Saat itu Presiden RI getol berpidato agar kita harus bisa berdiri di kaki kita sendiri, dan bisa mencukupi kebutuhan pokok kita, terutama beras.
Masing2 keluarga berusaha memenuhi kebutuhan hidup dari pekarangan rumahnya. Pagar yang memisahkan tanah kami dengan tetangga ditanami Lamtoro (kemlandingan) yang enak di buat botok, pohon turi yang bunganya bisa dibuat sayuran untuk pecel. Kami juga punya tanaman: pisang, bayam, kelapa, dan bahan2 untuk bumbu. Rata2 keluarga di kota kami hanya makan telor jika ayamnya bertelor, maklum harga telor mahal, dan tidak banyak karena saat itu belum dikenal ayam petelor. Kalau ingin makan telor, telor dicampur dengan kelapa muda dan diberi bumbu irisan bawang merah, cabe dan garam, agar bisa memenuhi keluarga. Seringkali kami makan telor bebek, karena lebih mengembang jika dibuat dadar. Makan ayam? Hanya ada dua alasan: ayamnya sakit atau anaknya sakit, sehingga supaya sehat perlu disembelihkan ayam, yang kedua untuk syukuran. Namun karena ayam yang dimiliki berupa ayam piaraan, kami tak tega jika harus menyembelihnya, dan setiap ayam punya nama yang akan datang jika dipanggil.
Kesulitan makin bertambah setelah RI keluar dari PBB dan konfrontasi dengan Malaysia, minyak goreng hilang dari pasaran, padahal bulan puasa baru saja mulai. Ibu meminta saya untuk mencari minyak goreng, dan berkeliling lah saya naik sepeda mengitari toko satu persatu. Setelah patah semangat, akhirnya saya beli 2 (dua) buah blue band dan bilang ke ibu…”Nggak apa2 kok bu, kita puasa tanpa minyak goreng, kita makan masakan yang dikukus saja, dan buat kue lebaran kita bikin tape ketan hitam dan juadah.”
Pada masa itu tidak ada toko yang menjual pakaian jadi, toko2 hanya menjual kain, sedangkan kita harus menjahit sendiri. Temanku saat SMP ada yang pandai menjahit, saya ingin belajar (maklum untuk kursus menjahit, ibu tak punya uang), jadi selama musim libur setiap hari saya belajar menjahit dirumahnya. Ibu yang melihat semangat saya, berusaha mengumpulkan uang untuk membeli mesin jahit secara cicilan. Jadilah saya penjahit keluarga, jika mau lebaran saya menjahit baju saya sendiri, baju adik dan kebaya ibu. Rasanya seneng sekali, maklum ongkos menjahit sangat mahal, kan lumayan bisa untuk beli bahan lagi.
O, iya saat mau Lebaran, keluarga kami mendapat jatah kain pampasan perang, yang bisa dipakai untuk membuat baju sekeluarga. Jadi kalau pergi berjalan-jalan, kami berpapasan dengan orang2 yang memakai kain motif sama hanya berbeda model dan ukuran saja. Saat itu jenis kain yang dijual ditoko sangat sederhana, dan setiap kali keluar model baru, seperti kain Benhur (gara2 ada film Benhur), maka banyak orang dikota kami memakai baju dengan kain Benhur, yang warnanya hanya ada dua, biru dan merah muda.
Saat saya SMP, setiap Sabtu dan Minggu digunakan untuk latihan menari. Saat itu kelompok menari kami, yang menggunakan pendopo kabupaten untuk latihan, sedang berencana mengisi acara di Candra Wilwatikta di Pandaan, Tretes. Latihan yang biasanya hanya seminggu sekali diubah menjadi seminggu empat kali. Pada saatnya, kami berombongan (5 bis) pergi ke Tretes. Saat itu Candra Wilwatikta masih baru, kamar mandi yang tersedia tak bisa memenuhi rombongan kami, jadi lah kami beramai-ramai mandi di sungai yang saat itu mengalir jernih. Selesai pentas, kami menuju Surabaya dan tidur di gedung seberang Kebon Binatang Wonokromo (kalau tak salah sekarang digunakan sebagai museum Mpu Tantular). Esok paginya, Kepala Dinas Kebudayaan datang dan memberi kami karangan bunga, dan sesudah itu kami boleh menikmati acara bebas jalan-jalan di Kebon Binatang Wonokromo. Itu adalah pertama kalinya saya pergi keluar kota tanpa orang tua, rasanya senang sekali, di Bonbin saya mencoba buah Siwalan, yang nantinya menjadi salah satu buah kesukaan saya.
Sebulan sejak acara di Wilwatikta ini, terjadi peritiwa 30 September 1965. Jalanan dikotaku sangat mencekam, kaum pria tidak tidur di rumah, tapi berkelompok di kantor, termasuk ayah saya. Kami hanya bersama ibu, dan sebelum tidur, ibu mengajak kami berdoa memohon keselamatan pada Allah swt. Suatu malam, terjadi suara gedor2an, dan banyak orang berteriak, kami menggigil ketakutan dan dipeluk ibu. Ternyata besoknya kami tahu, bahwa tetangga belakang rumah kami ditangkap dan sejak itu hilang tak ada kabarnya lagi.
Pada suatu pagi saya datang disekolah, teman2 disekolah sudah ribut katanya banyak mayat di sungai. Sekolah saya SMP III Madiun terletak di sebelah kanan kantor Residen Madiun dan kira2 100 meter didepan kantor Residen dan dibatasi Taman Makam Pahlawan, mengalir Bengawan (sungai) Madiun. Walaupun dilarang guru (tetapi mereka juga sama2 ingin tahu), kami beramai-ramai pergi ke sungai Madiun. Ya Allah….ternyata sungai sudah penuh dengan mayat bergelimpangan, yang diikat menjadi satu seperti rakit. Hal seperti ini terjadi berhari-hari, bahkan rasanya lebih dari satu bulan…sungai menjadi bau, dan kami tidak berani lagi makan ikan sungai. Semoga kejadian seperti ini tak terulang lagi.
wah ternyata asam garamnya banyak juga ya bu,tapi semua hasil yang didapat dari perjuangan itu memang jadi terasa lebih manis y :). Sering sy merasa sebal melihat sebagaian ABG jaman sekarang yang gayanya minta ampun itu,mobil gonta-ganti,HP model terbaru,nongkrong haha hihi di cafe,clubbing.. duh.. mentang2 jatah dr ortu masih banyak. Sementara di lampu merah dan stasiun2 banyak anak2 kecil tanpa alas kaki megang gelas minuman kemasan meminta-minta.. bener2 ironis negeri kita ini y.
Btw,dulu sempat makan yg namanya “gogik” tidak bu ? mungkin tidak sampai segitunya ya.. kalau ayah sy cerita,jaman dulu krn g kuat beli beras maka yang dibeli adalah beras “gogik”, nasi tiwul yang dikeringkan lagi. Sekolahnya pun harus byar-pet, 1 semester libur kerja di sawah bantu mbah,angon kebo cari biaya untuk bs masuk semester berikutnya.
Andi,
Cerita ayahmu saya juga mengalami kok. Makan nasi tiwul, gatot (gatot itu ketela phon/singkong yang pengeringannya tidak mulus jadi muncul warna hitam)…saya tak jelas yang kok maksud “gogik”. Saya juga makan nasi dari beras dicampur jagung, kadang hanya nasi jagung aja dimakan sama sayur lodeh dan tempe hangat plus sambal…… uennak sekali. Jika ada sisa nasi, dicuci dikeringkan lagi….kemudian dikukus, dimakan dengan kelapa muda yang diparut….kalau dikoran-koran sekarang disebut beras aking.
Listrik byar pet…itu udah jadi santapan sehari-hari, makanya urusan listrik saya tak pernah mengeluh. Saat saya IPB, Institut minta gilirannya padam malam aja agar pagi sampai sore lab bisa digunakan. Karena saya kost dirumah dosen, sepanjang 3 bulan tiap malam saya belajar pake lilin, itu terjadi tahun 1972.
Sekarang, setelah kerja, saya juga sering ke cafe…..bagaimana dapat informasi yang benar kalau tidak pada situasi santai? Saat dipabrik atau dikantor, situasi serius…pas obrolan santai di cafe, sambil minum kopi (terbukti kan manfaat kopi??)…maka informasipun mengalir dari sang Direktur. Jadi clubbing ataupun cafe, bukan hal tabu asal untuk kegiatan bermanfaat…..untuk interaksi bisnis…ceilahh…….
Memang susah kok, banyak ortu yang masa mudanya sulit, nggak ingin anak2nya mengalami kesulitan lagi. Padahal dengan kemewahan menghasilkan anak yang tak menghargai kehidupan. Memang dibutuhkan ketegasan, saat anak2ku naik bis ke sekolah, ke tempat kursus dll sayapun diomongin orang2 di kompleks tempat tinggal ku, katanya kok saya tega..pelitlah, karena anak2 orang di kompleks biasa diantar sopir kesana kemari. Tapi kan anak2 senang karena punya kebebasan, dan jika saatnya tiba dibelikan sepeda motor (Narp nggak mau, katanya berat), juga punya SIM untuk mobil….tapi mobilnya? Ntar biar beli sendiri jika telah kerja. Sementara, sekarang boleh pinjam ortu jika ada keperluan.
Andi, maaf saya lupa ngecek…..ternyata di atas kok jadi komentarnya Ari ya….
gogik adalah sisa-sisa makanan yang diawetkan lagi dengan cara dijemur sampai kering, lalu direbus/ditanak lagi jika ingin dimakan (jaman dulu sisa-sisa makanan=sisa nasi tiwul,sisa nasi jagung dsb. campursari pokoknya :D)
kalau sekarang gogik biasa dipakai untuk makanan ternak unggas (bebek).
hehe.. sy bisa setuju kalau ke cafe dan clubbing untuk hal yg bermanfaat, tp sepenglihatan saya kalau yang melakukan adalah ABG dengan dandanan dan gaya ky gitu, rasanya ngga deh kalau ngobrolin yg bermanfaat (definisi bermanfaat disini ga cuma bermanfaat utk diri sendiri), apalagi klo musiknya udah ajep ajep ajep.. hehehe..
[quote] Memang susah kok, banyak ortu yang masa mudanya sulit, nggak ingin anak2nya mengalami kesulitan lagi. Padahal dengan kemewahan menghasilkan anak yang tak menghargai kehidupan. [/quote]
hehe.. naluri ke-ortu-an saya (kan calon ortu juga nanti huehehehe.. :D) setuju sekali, jadi ya memang masalahnya ada di bagaimana mendidik anak mungkin, kekayaan harusnya justru bisa membuat seseorang semakin menghargai kehidupan (lebih luas pandangannya,krn bisa melihat ke atas,sejajar dan ke bawah dengan objektif ) dan mengerti arti berbagi.
Bu, wah saya tidak kebayang perjuangan orang jaman dulu untuk makan dan menyambung hidup.. benar2 harus memutar otak ya.. tapi hasilnya orang akan jadi lebih kreatif dalam artian positif.
Memang kesannya anak mua jaman sekarang lebih enak, apa2 bisa minta ortu (kalau yang bisa).. tapi kurasa itu tdk lepas dari cara mendidik ortunya juga..
Yah ortu mana sih yang pengen anaknya ngalamin susah .. menurut saya tiap generasi punya tantangannya sendiri. Dulu mungkin tdk ada/jarang ada narkoba.. kalau sekarang … wuih dimana-mana.. dan ini adalah tantangan berat buat ortu dan anak gimana bisa melindungi diri dari itu
Ketty,
Setiap orang ada jamannya, begitu juga menjadi pemimpin. Dulu yang paling berat adalah mencukupi kebutuhan sehari-hari, tapi godaan kecil, sehingga sebagian besar mempunyai anak yang santun dan berkelakuan baik.
Saat ini ada beberapa keluarga ekonominya bagus, tapi di sisi lain ada orang yang sangat miskin. Dan yang ekonomi bagus, sering tak tahan godaan, dari acara TV, bacaan, godaan merokok, narkoba dll. Menurut saya, menjadi orangtua zaman sekarang lebih sulit, apalagi orang semakin individualistis.
Dulu, jika adik saya berteman dengan anak-anak yang dinilai tetangga kurang baik, tetangga sudah memberi informasi pada ibu, agar adik saya dijauhkan dari teman-teman yang tak baik tadi. Jadi, dulu tetangga dan lingkungan berperanan membentuk kepribadian anak muda.
Jadi sekarang harus lebih banyak berdoa, agar anak-anak dijaga oleh Allah swt, dan dijauhkan dari godaan yang buruk.
Walaupun era ABG saya di tahun 90-an .. saya bisa jg masih bisa merasakan hidup prihatin .. kebetulan di era saya hanya bapak yg kerja .. jarang jarang ada keluarga yg suami istri kerja, dibandingkan ABG jaman skr tentu jauh krn setiap pagi saya harus bangun pagi utk mencuci mobil bapak .. dapat jatah ngepel atau cuci pakaian ..
semoga ABG skr dijauhkan dari hal hal yg kurang bermanfaat .. nonton di 21, ketawa ketiwi, kesana sini bawa HP, sms-an dan anti keprihatinan ..
Best Regards
Inu Arya A
http://www.butik-ceria.com
Butik Sprei Online
wah dulu Madiun serem juga ya Bu? nggak bisa membayangkan saya…
dulu ibu saya juga belajar menjahit sendiri. sampai sekarang beberapa baju saya masih dijahit oleh ibu saya.
Krismariana,
Saat itu di kota kecil memang lebih serem, cuma karena saya masih anak-anak, tak merasakan ketakutan…..
zaman memang sudah beruba dengan pesat, q jg sngt sdh jk melihat keadan zaman skrng yg mengikuti budaya barat.skrng ja bnyk di bwh umur sdh hisap rokok, gimana generasi yg akan datang!!…..apa kata dunia…..
beda anak jadul vs jaki..
anak jaman dulu kemana2 dilepas..rekreasi ya dilepas..sekarang..ditutno orang tua..
walaupun belum abege berat,aku pernah diceritai bapakku gimana susahnya jadi anak jadul..menuhin kebutuan pribadi aja kadang2 si anak harus jualan gono gini.angon kambing.petheik,bebek..wah dsbg.nya.itu yang anak desa lo.aku bangga punya bapak yang jadi anak jaman dulu.anak jaman skarang..lah…ga tau..anak jadul dikata keren kalo punya keahlian tradisional.miz..membuat layangan..anak jadul semuanya serba buat..
saya bersenang senang dengan teman saya
betapa juangnya hidup di taun 1965..,, saya sndiri sbagai anak paling kecil merasa bahwa anak sekarang pada kurang ajar sma ortu.. + Kita itu harus hidup juang jgn hidup serba minta Usaha dong.. !!
Wah menyentuh hati ceritanya bu,perjuangan zaman dulu bisa dijadikan tauladan untuk anak2 masa kini termasuk saya