Nonton bareng anak

Banyak pengalaman menarik sebagai orangtua, yang kita peroleh saat menonton film di gedung bioskop bersama anak.

1. Sosialisasi

Anak merupakan makhluk yang mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Betapa kita dapat melihat anak kita dengan cepat berkenalan dan berkomunikasi dengan anak-anak lainnya yang ditemui, bahkan kadang-kadang mereka bisa bermain/berdiskusi dengan bahasa yang berbeda.

Misalkan, saat menonton film “Yurasic Park”, anak-anak di dalam gedung bioskop merasa menjadi satu kesatuan, ikut bertepuk tangan dan bersorak menyemangati aktor/artis pemain yang sedang dikejar-kejar oleh dinosaurus.

2. “Melihat” dengan sudut pandang yang berbeda

Untuk film yang sama, bukan tidak mungkin pandangan anak dan orang tua berbeda. Sangat menarik untuk mengamati, bagaimana kedua anak saya sangat berbeda dalam melihat suatu film. Anak sulung senang menganalisis, dari segi skenario, pencahayaan, sampai kepada akting para pemain. Awalnya, setiap selesai menonton, saya “agak bingung” jika si sulung menanyakan apa pendapat saya tentang film, dari sisi pencahayaan ataupun skenarionya…misalkan, apa antiklimaknya cukup bagus? Dan pertanyaan ini menjadi awal diskusi yang panjang, yang kadang melelahkan. Bagi saya, menonton film awalnya hanyalah salah satu cara untuk meredakan ketegangan, relaksasi setelah seminggu bekerja keras, serta menikmati kebersamaan dengan anak. Dari pertanyaan-pertanyaan si sulung, akhirnya saya belajar melihat film dari sudut pandang yang berbeda, melihat secara utuh…dan ternyata sangat menarik mempelajari dan mencoba memahami bagaimana suatu film dibuat, dan tidak sekedar “hanya” menikmati tontonan yang sudah jadi.

3. Memahami perbedaan

Kedua anak saya mempunyai sifat yang sangat berbeda, tetapi keduanya saling menyayangi, karena justru perbedaan sifat tersebut yang membuat mereka bisa saling mengisi kekurangan masing-masing.

Menonton film bersama si bungsu ibarat mengikuti aliran air, karena saya dan si bungsu mempunyai kesamaan dalam minat dan menilai sesuatu, juga saya lebih mudah memahami karena anak bungsu saya perempuan. Si sulung sering mentertawakan hal ini, bagi si sulung penilaian kami berdua sangat “cetek” karena hanya menyukai film yang “happy ending“, film yang tata pencahayaan dan warnanya indah, dan bukan film yang warnanya redup bahkan gelap. Kami berdua juga tidak tertarik menonton film yang ceritanya menegangkan, yang membuat jantung deg-degan.

Si sulung menyenangi berbagai jenis film, dari yang lucu, film kartun sampai film yang berat. Pernah suatu ketika saya dan si sulung berjalan-jalan di Pondok Indah Mall, setelah melihat judul film yang akan main, semuanya film yang menurut saya masuk kategori berat atau tegang. Akhirnya si sulung setuju menemani ibu menonton film dengan judul ” A walk to remember” yang dibintangi Mandy Moore. Ceritanya memang tidak happy ending, tapi kalimat-kalimat yang diucapkan dalam film sangat puitis, dan khas wanita, seperti…..cinta adalah seperti angin, kita bisa merasakan tetapi tidak dapat meraba…...Namun tanggapan si sulung cuma senyum manis, saat ibu ngajak diskusi film tadi…dan esoknya dia diketawain teman-teman kuliahnya, karena menonton film “manis” bersama ibu.

Hal yang bisa dipetik adalah, keakraban yang tercipta selama menonton bersama anak itulah yang penting, dan bukan jenis filmnya. Hal ini tentunya berbeda jika menontonnya di rumah. Dengan menonton di gedung bioskop, kita bisa mampir makan sambil mengobrol santai, menanyakan perkembangan anak, dan pulang mampir ke toko buku. Saya juga menjadi lebih memahami anak-anak saya, walaupun sifatnya berbeda, dan keadaan ini saling mempengaruhi. Akhirnya saya bisa menjadi teman si sulung untuk berdiskusi, karena bisa menilai film secara keseluruhan. Terakhir kami terlibat diskusi yang seru setelah menonton Spiderman 3…..dan ternyata sudut pandang kami sama dalam menilai film tersebut.

Dengan berkembangnya usia anak, maka orangtua secara sadar atau tak sadar, dipaksa untuk ikut belajar dan memahami perkembangan yang ada disekitarnya. Hal ini tak hanya berlaku dalam hal melihat film, namun juga mempengaruhi pilihan jenis bacaan yang akan dibeli. Saya yang dulu hanya menyenangi buku-buku sesuai dengan latar belakang pendidikan saya, atau yang berbau pendidikan, kewanitaan, saat ini menjadi tertarik juga pada buku-buku psikologi, filsafat atau bahkan chicklit.…..yang semuanya dipengaruhi oleh minat anak-anak saya.

Iklan

22 pemikiran pada “Nonton bareng anak

  1. 1. Sosialisasi, betul setuju anak itu paling mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan teman-temannya. Dan jaman-jaman seumuran segitu sepertinya bisa berhubungan dengan orang lain dengan tulus, entah kapan ya mulai sifat pendengki itu muncul, mungkin mulai SMP/SMA?

    2. hmm, point nomor 2 ini agak rancu, siapa tahu si sulung memang berbakat dan jenius untuk urusan film berfilm.

  2. Anjar,

    Yang nomor 2 dimaksudkan bagi ortu nya…melihat dari sudut pandang yang berbeda dengan anak. Sampai saya mahasiswa dan lulus, kalau nonton film entah bersama teman atau pacar, melihatnya dari sudut pandang sama……. Mungkin saya bisa berteman karena kesamaan pandangan. Justru karena saya punya anak yang “unik” jadi saya bisa melihat sudut pandang beda….yang selama ini tak pernah terlihat.

    Hmm mungkin kalimatku membingungkan ya…memang agak sulit dipahami, tapi saya memang banyak belajar justru dari anak-anakku sendiri, juga dari teman-teman anakku. Aneh…tapi memang nyata.

  3. angeli_pop

    hihihi…ibu “gaul” yang suka nonton n chicklit ;p
    aku kenal chicklit dr ibu yg satu ini nih…koleksi chicklitnya lengkap abis, TOP d :))
    trus tdk berhenti d situ saja lho…
    beliau jg merambah k dunia Teenlit hahahaha….

  4. kapan2 nonton bareng bu 😀 he3
    kayanya selera ibu sama nih ama saya..btw kl definisi ringan dan berat maksudnya gmn yak? kl saya suka ringan dan berat dalam artian kl ringan berarti ga perlu mikir nonton film itu, kl berat ya musti mikir untuk ngikutin jalan ceritanya, cm kl saya sebatas film drama n action aja kl udah horor n thriller NO way ;p

  5. contoh film berat:

    1. V for Vendetta (sebenarnya masih lebih berat komiknya.) tapi Ibu senang tuh..

    2. Jin Ping Mei (ternyata film kelas III isinya bisa berat.. hehehe)

    3. A Beautiful Mind (sialan.. aku sempat tertipu ama jalan ceritanya)

    4. The Curse of Golden Flower

    5. Hamlet (ada tiga versi yang pernah kutonton… kusarankan yang diperankan oleh Ethan Hawke dan Julia Stiles)

    6. Hitchhiker’s Guide to the Galaxy (kau butuh humor yang tinggi untuk bisa tertawa)

    7. Spider-plant Man (juga butuh humor ala Inggris yang tinggi untuk bisa tertawa)

    8. The Matrix (pertama kali filmnya muncul, 2 dari 5 peresensi dari media massa tidak bisa mengerti jalan ceritanya. huahahahahaha)

  6. Poppy,
    Akhirnya ikut ketularan juga seneng baca kan? Udah bisa ngalahi records…baca 5 jam di Gramed…tapi cuma beli satu buku?
    Btw…chiclict bisa bikin dunia makin ceria, ingat masa remaja dulu…dan bahasanya membuat makin dekat dengan anak.

    Bagus,

    Boleh…boleh..kapan2 nonton di Blitz Bandung ya…cuma di Bdg suka susah cari taksi ya.
    Jawaban film berat udah dijawab Ari…..ternyata sekarang saya juga menyenangi film berat seperti no.1, 3, 4, 8…yg lain belum lihat. Hmm..film seperti “Gone with the wind” juga bagus sekali, apalagi jika kita menghubungkan bahwa film dibuat pada tahun 30 an yang diadaptasi dari novel…padahal saat itu belum ada feminisme, serta kebebasan wanita tak seperti sekarang. Juga film “The Sounds of Music”….musiknya bagus sekali, dulu sering dimainkan anak2 saat kecil.

    Kunderemp,
    Thanks telah mengajarkan cara melihat film dari sisi pandang yang lain.
    Sekarang jadi lebih bisa menikmati film, dan diskusi tak habis-habisnya dieksplore hanya dari satu film. Juga menjadi menyenangi buku-buku, seperti : To Kill a Mockingbirds, Da Vinci Code, Angel & Demond, The Name of The Rose (yang sarat dengan filsafat).

  7. @kunderemp
    cm pernah ntn 1,3,4,8..eh sama ya ama bu enny 🙂
    yg jelas paling setuju kl The Matrix adalah film yg berat, ampe ntn 3 kali sekuel pertamanya tetep ga ngerti jln ceritanya, akhirnya ntn versi animasinya baru jelas deh jalan ceritanya karena dijelasin sejarah pertempuran antara manusia vs mesinnya 🙂

  8. Wah…Bagus pengamat film juga ya, jadi cocok sama Ari.
    Iya…The Matrix emang bagus…dan adegannya banyak ditiru oleh film berikutnya….adegan laganya, maksudnya.

  9. Anak di sini maksudnya anak yang udah gedean kan Bu? Uuuh, saya paling sebel tuh kalo ada orangtua bawa anak yg masih kecil nonton film yg buat target usianya…berisik dan mengganggu! *emosi*

  10. Catchade,

    Iya, karena kedua anak saya sudah mahasiswa, dan masih suka nonton dengan ibu. Tapi waktu kecil, saya rutin menemani anak-anak menonton, kecuali pas ada film anak yang bagus, tapi saya harus tugas keluar kota…baru yang menemani adalah “mbak”

    Ortu harus memahami sifat anaknya, sehingga saat menonton anak-anak tak menganggu orang disekitarnya. Kecuali jika memang untuk film 13 tahun ke atas (yang anak dibolehkan melihat dengan didampingi orang tua), penonton dewasa maupun ortu harus memahami agar anak2 tak menjadi berisik…tapi kalau seperti nonton film “Yurasic Park”….situasi memang berisik, heboh,….dan seru. Tidak adil, kalau hanya mengatakan anak berisik…bukankah orang dewasa nonton juga suka berisik…ada yang ketawa ngakak karena ada adegan lucu (Wild Hogs)…atau bahkan menangis terisak-isak jika ada adegan sedih.

    Justru hal-hal inilah yang menarik jika kita menonton di gedung bioskop….menonton film…menonton orang2/anak2 yang sedang menonton film dengan berbagai tingkah lakunya…atau kita sendiri yang jadi tontonan orang lain.

    Peace….:D

  11. Dz,

    Saya agak lupa…kayaknya mulai usia anak 2,5 atau 3 tahun…karena anak bungsu saya usia 2,5 tahun udah TK kecil, karena pengin ikut kakaknya…usia 3,5 udah ikut kursus piano (bahkan kakinya belum nyampe ke pedalnya)…dan usia 6 tahun udah ikut lomba di Woman Int’l Club. Dan yang membuat terharu, si kakak yang menggandeng tangan adik ke atas panggung…karena mendadak si adik ketakutan (maklum ortu duduk di kursi penonton)…dan malah adiknya yang dapat piala….

  12. great. karena saya berniat mengajak anak saya yg baru 3th nonton di bioskop. saya pikir ia sudah “siap”, sebab ia sudah mulai suka anteng berlama-lama nonton film (vcd/dvd) kanak2, sering sampai filmnya selesai. artinya, saya tak begitu khawatir si kecil yang ngga betah diam ini bakal berpotensi mengganggu penonton lain. (toh, sampai beberapa tingkat tertentu, ia pun sudah mengerti kata “jangan”).

    cuma, yang belum saya “tes” adalah respon dia terhadap suara menggelegar (audio bioskop, kan, kencang). anak kawan saya pernah diajak nonton di keongmas, kabur keluar gara2 suara2 itu 🙂

    terima kasih sudah berbagi, bu.

  13. Dz,

    Di coba aja dulu untuk film yang lucu (film kartun)…biasanya lagunya bagus dan riang. Walau isinya kadang cukup berat juga ya…seperti “Lion King” kan sedih, senang menjadi satu.

    Hmm jadi ingat, anak sulung saya saat diajak ke Keong Mas klas 4 atau 5 SD…pas ada film yang menggambarkan lautan bergolak…tiba-tiba dia berdiri dan Azan kencang sekali…..Allahu Akbar…Ya Allah saya percaya sekarang kalau bumi ini bulat….memang disitu terlihat sekali bahwa bumi bulat. Saya sampai malu, geli dan terhenyak……si kecil yang baru masuk SD tenang-tenang aja….. Jadi memang kita harus siap, dan ortu yang udah pernah punya anak biasanya memahami…memang yang terganggu adalah yang belum punya anak (karena mungkin belum terbiasa).

  14. Berharap semoga suatu saat ada judul
    “Nonton bareng teman-teman anak” –> Ade salah satunya ^__^

    Wahh Bu, kalau saya nonton sama ortu bawaannya ribut mulu.. coz saya anaknya suka komentar dan ribut…
    Apalagi kalau nonton film berjenis Punjabi. :))

  15. Tukang ketik…
    Iya….kayak lagi OL ya….

    Ade,
    Kapan-kapan kita nonton bareng ya, dengan Bagus +pasangannya, Ade, Narpen, Ditta dll. Ehh Jumat kemarin sebenarnya pengin nonton ludruk di ITB, tapi jadi males…hujan terus menerus dan dingin…cuma katanya kalau nonton ludruk jangan sama Ade…berisik…hahaha (soalnya yang ngomong nggak ngerti bahasa Jawa, jadi ga tahu dimana lucunya)

  16. Idrianita Anis

    Salam kenal Mba Ratna….

    Anak punya respon yang berbeda pada saat diajak nonton ke bioskop.
    Anak pertama saya (cowok) pertama kali diajak nonton ke bioskop di usia 5 tahun. Nih anak tipikal ga bisa diam lama untuk berkonsentrasi nonton film. Baru 15 menit dia pengin nyobain duduk di bangku kosong bagian tengah, habis itu pendah ke depan, terus kebelakang, terus ngelilingin bioskop, pas sampai dinding belakang mukulin dinding bioskop sampai bunyi “ge duprak-ge duprak”. Orang-orang pada ngelihat ke belakang sambil ngomomg ” Anak siapa sih??”. Saya ga enak teriak untuk manggil. Ya…..diam saja sambil terus nonton….pura-pura ga tahu. He….he…..

    Kalo adiknya perempuan senang banget nonton. Diajak ke bioskop pertama kali di usia 3,5 tahun . Komentar pertama masuk bioskop “Wah TVnya gede amat ya” . Waktu itu kita nonton “Mr.Bean” sepanjang film berlangsung dia ketawa ngakak dan “berkicau” terus ngomentarin Mr. Bean yang konyol 🙂

  17. Idrianita,

    Salam kenal juga mbak Nita (eh panggilannya benar nggak)? Kebayang deh serunya, tapi kalau kita bisa melihat lucunya, jadi tersenyum sendiri. Anak cowok memang begitu ya, ekspresif banget. Masalahnya tak semua penonton suka dengan anak kecil…tapi menurutku, kalau filmnya untuk anak-anak…penonton lain ya harus siap risiko mendengar teriakan anak-anak.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s