Anakku, sahabat kecilku

Pada saat awal berkeluarga, sempat dibayangi kekawatiran, dapatkah saya menjadi isteri, ibu dan wanita karir sekaligus? Syukurlah suami mendorong agar saya tetap bekerja, dan mengingatkan bahwa saya telah mendapatkan kesempatan kuliah di Perguruan Tinggi Negeri, dan inilah saatnya saya membaktikan ilmu agar bermanfaat bagi masyarakat.

Mempunyai anak merupakan karunia yang tidak terhingga, di satu sisi tanggung jawab yang ada di depan kita juga makin besar, agar anak kita menjadi anak yang berguna bagi masyarakat, serta mempunyai andil untuk kehidupan yang lebih baik. Se sibuk apapun, saya menyempatkan mendongeng pada anak sebelum mereka tidur. Banyak pelajaran tak terduga, yang saya peroleh dari anak saya, yang muncul dari saat mengobrol, saling bercerita dan dari kehidupan sehari-hari.

Saat anak sulung pertama kali masuk sekolah Taman Kanak-kanak, bertepatan dengan saya harus mengikuti Kursus Pimpinan II, yang merupakan syarat untuk menjadi seorang manajer. Pelatihan yang dilakukan oleh kantor saya sangat disiplin, jika tidak masuk harus ada ijin tertulis yang disetujui oleh Manajer Diklat, atau surat keterangan sakit dari dokter. Saat itu saya ijin pada Manajer, tapi beliau mengatakan, bahwa jangan terlalu lama, karena hari pertama pendidikan diisi oleh ceramah oleh pimpinan setingkat General Manager.

Saya bersama “Mbak” (panggilan kepada pembantu) mengantar anak sulung, sampai si sulung telah masuk kelas dan mendapat tempat duduk. Tak lama kemudian si sulung mendekati saya, yang masih melihat dari jendela….”Bu, sebaiknya ibu berangkat ke sekolah, nanti dimarahi bu guru,” kata si sulung. ” Tapi nak, bagaimana dengan kamu, apa berani ditinggal sendiri?”, jawab ibu. “Berani bu, kan ada mbak,” jawabnya. Betapa terharu hati saya, setelah saya cium pipinya, dan pesan kepada mbak,maka berangkatlah saya ketempat pelatihan, dan ternyata saya hanya ketinggalan dua sesi.

Hari ketiga….

“Bu, hari ini mbak tak perlu mengantar, aku ikut jemputan saja,” kata sulungku. “Kenapa nak, apa kamu udah berani,” tanya ibu. “Tentu aja aku berani bu, kan banyak temannya”, jawabnya. Sejak awal masuk sekolah, anakku udah diikutkan antar jemput ke sekolah, walaupun di kendaraan antar jemput tadi, mbak2 pengantar anak juga ikut menemani momongannya masing-masing.

Anak bungsuku wanita, waktu kecilnya menjadi pengikut setia kakaknya, kemana-mana si kakak pergi selalu diikuti. Pada waktu pertama kali ikut lomba piano yang diadakan oleh Women International Club di Bandung untuk kategori usia 4-12 tahun, si bungsu baru berumur 5 tahun. Awalnya dia menggebu-gebu ikut lomba, jadi kami mengikutkan dia les privat untuk meningkatkan kemampuannya (sejak umur 4 tahun ikut kursus piano seminggu sekali). Anak sulung dan anak bungsuku, lolos seleksi dan masuk final. Pada hari “H” nya, kok nggak ada suara, padahal biasanya pagi hari udah rame dengan celotehan anak-anakku. Ternyata si bungsu termenung, duduk di pinggir ditempat tidur. Saya pelan-pelan mendekat…”Nak, ada apa?'” Dia cuma menggeleng dan tersenyum, saya peluk dia dan saya ajak keluar kamar.

Perlombaan piano diadakan di hotel, para pemain dipisahkan dengan pendamping. Syukurlah anak sulungku selalu mendampingi adiknya selama menunggu. Pada saat nomor si bungsu dipanggil…..betapa kagetnya kami, si kakak menggandeng tangan adiknya naik ke atas panggung, dan menunggu si adik duduk, baru kakak turun dari panggung. Walau awalnya terlihat tegang, si bungsu bermain dengan jernih, dan mendapatkan hadiah hiburan….hal yang udah maksimal, karena ini adalah pertama kalinya si bungsu tampil.

“Ibu, hadiah ini untuk ibu,” kata si bungsu (hadiahnya berupa piala). ” Terimakasih nak, kita pajang di atas lemari ya,” jawab ibu. Si bungsu hanya tersenyum dan mengangguk.

Tak terasa anak-anak ku makin besar. Hari-hari sepulang kerja, mereka bercerita tentang teman sekolahnya, dan kejadian-kejadian lucu di sekolah. Setiap bulan sekali saya memerlukan datang kesekolah anak-anak, untuk diskusi dengan wali kelas, dan melihat perkembangan anak-anakku. Bertemu dengan wali kelas, sangat penting, juga menghadiri pertemuan yang diadakan oleh sekolah. Disini orang tua bisa saling sharing, bagaimana menjaga anak kita agar tak terpengaruh oleh narkoba dan kenakalan lainnya, serta tetap menjadi sahabat mereka.

Iklan

28 pemikiran pada “Anakku, sahabat kecilku

  1. Wahh wahhh wahh… cerita yang kayak gini bahaya nih Bu. Semakin mengundang orang-orang seperti saya untuk segera menikah 😛 hehhehe…

  2. Honeslty… saya orang yang masih pengin meritnya nanti nanti saja… merit itu keputusan besar buat saya… I think i’m not ready yet for now… from all aspect.

  3. duh bu, bagus ceritanya. entah sekarang atau nanti merit-nya, setidaknya bagus buat jadi pelajaran. saya termasuk orang yang mendukung perempuan berpendidikan tinggi untuk bisa ‘beraktivitas’ untuk masyarakat (tidak selalu diartikan kerja di kantoran lho.. 🙂 ). sayang kan, kompetensi yang tidak disalurkan. tapi tetap anyhow, keluarga is most important.

    *btw, kl masuk spam lagi, klik aja disitu bu not spam, jd smg berikutnya bakal diidentifikasi as not a spam.

  4. Wiku,

    Hehehe..bikin kepengin ya…emang itulah hiburannya, anak-anak yang lucu dengan berbagai komentarnya.

    Adi,
    Wah itu namanya pemaksaan…tapi udah saya komentari, entah pas enggak ya, maklum saya kan termasuk gatek (gagap teknologi)

    Orangemood,
    Merit tak bisa dipaksa, nanti kalau udah waktunya pengin sendiri. saya juga termasuk terlambat, tapi setelah ketemu teman2 sesama alumni, ternyata umurannya hampir sama saat menikah. Dulu kan kuliahku 6 tahun (resminya), belum pake penelitian lapangan minimal 1 tahun…makanya disebut sarjana peneliti. Sayang kerjanya malah dibidang lain…..:P

    Trian,
    Masuk spam nya bukan di blog, tapi di email saya….atau karena kodenya pake angka dan huruf ya.

    Dilla,
    Sebenarnya sih saya harus lebih banyak menulis serius, agar otak nggak pikun. Anehnya temen2 cewek (termasuk Dilla) kok lebih suka dengan cerita kehidupan ya. Tapi Dilla mengenal anak sulungku kan…banyak hal yang tak terduga dibaliknya.

  5. wah, bagus dan menyentuh ceritanya bu. 🙂
    mungkin kami akan lebih banyak belajar dari pengalaman pribadi seperti ini. Makasih bu.

  6. Ihedge,
    Thanks komentarnya. Saya sebenarnya malu kalau cerita pengalaman, kesannya kok kayak menggurui….tapi ibu-ibu, temen cewek saya banyak berkirim sms minta saya cerita hubungan orang tua dengan anak. Juga senior anakku yang udah menikah dan saat ini sedang meneruskan untuk dapat gelar PhD di luar negeri.

    Sebetulnya intinya cuma pada komunikasi, dan orang tua wajib mendengar…karena kita banyak belajar dari anak. Sayapun banyak melakukan kesalahan, yang kalau waktu bisa diputar lagi, tak akan saya ulangi. Mudah2an anakku masih bangga, saya menjadi ibunya.

    Semoga bermanfaat

  7. Rabbani

    Kebetulan Bu, saya juga punya istri pegawai Bank yang lumayan sibuk sehingga gak punya banyak waktu untuk mengurus anak saya yang masih 1 tahun. Kami masih sama-sama masih muda, sehingga pengalaman berumah tangga juga belum seberapa.

    Tapi syukurlah, meskipun sibuk, istri saya termasuk yang konsen terhadap keluarga (ini jika saya bandingkan dengan temen-temennya yang sepertinya lebih mementingkan kepuasan dirinya sendiri. Istri saya sering diledekin temen2nya karena kalau udah jam 6 sore dia menjadi panik bila msih di kantor). Dia juga sering merasa bersalah karena merasa tidak maksimal sebagai seorang istri dan ibu, apalagi kalau anak lagi sakit dia langsung down, dan bertekad untuk jadi ibu RT saja. Jika sudah demikian, saya yang harus menguat-nguatkan untuk tetap bekerja. Kalaupun dia pengin keluar dari Bank, ya setidaknya cari tempat kerja yang lebih santai dan fleksibel, yang penting beraktualisasi. Buat apa orangtuanya capek2 nyari uang buat sekolah tinggi2 kalau cuma di rumah? Ya nggak?

    Yang sekarang mengganggu pikiran saya, saya sebentar lagi akan melanjutkan studi ke Aussi dan rencananya, keluarga, saya tinggal di Indonesia. Saya bimbang, apakah kalau ditinggal, istri saya cukup kuat untuk mengurus RT sendirian meskipun ada assisten RT. Selama ini, anak memang lebih dekat dengan saya karena sebagai peneliti, pekerjaan saya lebih fleksibel dan bisa dikerjakan di rumah, meskipun kadang2 saya berminggu-minggu di lapangan, mengambil data.

    Kalau dia inginnya sih ngikut, tapi saya larang, karena saya pikir anak masih kecil dan dia mau ngerjain apa disana? Dan lagi kalau sudah pulang ke Indon, gak jelas masa depannya gmana? Masalahnya, saya tinggal di kota dimana kami gak punya saudara dekat, sehingga kalau terjadi masalah ya kami selesaikan sendiri. Ortu kami jauh-jauh dan masih bekerja pula, jadi rasanya sulit meminta mereka nemenin istri.

    Bagaimana ya Bu? Mungkin pengalaman Ibu bisa menjadi pencerahan buat saya.
    Terima Kasih.

  8. wah.. jadi terharu…. saya bisa ngga ya??? tulisan yang kayak gini berguna banget buat saya bu 🙂 Hmm.. si sulung kecilnya bijak banget yak, hehehe 😛

  9. Mas Rabbani,

    Ga usah kawatir, saya yakin nyonya pasti kuat. sebaiknya mas Rabbani berangkat dulu, nanti kalau bisa isteri menyusul. Teman saya banyak kok, suami dikirim keluar negeri, isteri menyusul, nanti di luar negeri dia bisa ikut kursus, jadi baby sister teman-temannya. Ada juga temen saya cewek, dikirim ke luar negeri, suami ikut, malah akhirnya bisa ikutan kuliah lagi. Pulang ke Indonesia, bahasa Inggris makin jago, dan siapa tahu Bank nya mau terima lagi, atau cari kerja lain akan lebih mudah (berdasar pengalaman teman-teman)

    Aussie nya dimana? Biasanya mereka punya semacam perkumpulan mahasiswa Indonesia, saya sampai sekarang masih ikut milisnya Uqisa (University of Queensland Indonesian Student Association) dan IISB (Indonesian Islamic Student of Brisbane), gara-gara anak saya pernah ikut kuliah sebentar di UQ dan saya cuma seminar seminggu di Brisbane yang diadakan oleh UQ.

    Nunung,
    Anak kecil memang lucu-lucu…dan si sulung sangat menyayangi adiknya. begitu juga sang adik. Kuncinya mau menyempatkan diri mendongeng waktu malam, week end berkumpul dengan anak, cerita2, ngobrol, dan dengarkan cerita mereka. Kadang deg2an juga mendengar ceritanya, kenakalannya…ntar saya cerita lagi ya…tapi kita harus tetap tersenyum.

  10. Rabbani

    Sulitnya ya meyakinkan itu Bu, sering kalau ada masalah apa2 dihubungkannya ke kepergian saya. Tapi ya nanti coba lagi deh.
    Kalau istri menyusul rasanya sulit, soalnya saya terlanjur mengisi di form beasiswanya no spouse, jadi gak boleh bawa keluarga.

    Insyaalloh di University of Melbourne (Unimelb).

    Btw, kata orang-orang, anak-anak yang kurang perhatian ibunya, terutama anak cowok (mungkin karena gak banyak waktu, jadi TKW atau ibu RT yang gak mau tau) agak-agak hiperaktif ya. Apa memang begitu ya Bu? Kalau betul, saya kok jadi khawatir dengan anak saya.

  11. Mas Rabbani,

    Kata siapa? Saya kerja dan tinggal di Jakarta, suami bekerja di Bandung (dosen), jadi sebetulnya kehidupan kami berjauhan terus, dan tidak setiap week end bisa ketemu. Bahkan setelah MPP sejak Nopember 2006, kami harus menyesuaikan diri, karena menjadi lebih sering ketemu…hahaha

    Saya hari ini (Minggu) membaca di Kompas, yang penting kualitas. Tetangga saya di kompleks perumahan dinas, dari 104 rumah dinas, lebih dari separo isterinya bekerja di luar rumah. Tapi yang saya lihat, anak-2nya berkembang baik, dan rata-rata diterima di universitas negeri (U, IPB, ITB, UGM), malah jarang yang di swasta. Mengapa? Karena kami buat kegiatan positif, anak-anak remaja ada kegiatan, kalau ada acara-acara di kompleks, justru anak remaja yang keliling meminta sumbangan, membuat acara dsb nya. Jadi menurut saya, tak perlu kawatir, karena yang penting adalah kualitas. namun proses komunikasi tetap penting, jadi ibu sekali-kali menelepon anak di rumah.

    Di kantor, adalah biasa kalau ada telepon, yang bicara anaknya, mau ngobrol dengan mama. Biasanya adalah jam istirahat, dan kalau mama nya sedang meeting, teman kantor lainnya akan menjawab dan menanggapi teleponnya anak tadi. Kebetulan di kantorku, kita iuran bulanan, yang tiap tahunnya ada piknik bersama keluarga, jadi keluarag saling kenal. Dan ini sangat berguna, anak buah semakin menghargai atasan, dan atasan juga memahami kesulitan anak buahnya.

    Terus, bila terjadi kepusingan, saya rajin konsultasi dengan psikolog, agar saya tak keliru jika menanggapi anak. Mengapa? Karena tidak ada istilah job training jadi orang tua, jadi kita belajar bersama.

    Popy,

    Iya nih, tapi nggak apa2, siapa tahu banyak manfaatnya. Saya ingat, dulu hanya bisa curhat ke teman dekat, atau kalau udah pusing ke psikolog….

  12. Mas Rabbani,

    Saya punya pengalaman…saya sedih sekali mendengar kabar suami temanku meninggal mendadak karena jantung, padahal anaknya masih kecil2 dan isteri tak bekerja (dulu bekerja di satu kantor, tapi terus berhenti karena karir suami meningkat menjadi GM). Anak laki-laki saya bertanya..”Ibu, kenapa sedih sekali? Ibu, temen2ku banyak yang bapaknya meninggal, tapi anaknya pintar2 dan baik. Jadi ibu harus percaya, bahwa seorang ibu lebih kuat menghadapi masalah dibanding bapak. saya bangga dengan ibu, dan teman2 ibu…percayalah, teman ibu akan baik2 aja dan bisa mencari uang.”

    Ternyata benar, akhirnya temenku bekerja lagi, honorer, tapi paling tidak menambah uang pensiun suami. Terus anaknya menjadi lebih rajin, tak perlu pake pembantu (dia anaknya 3 laki-laki semua), sekolah sambil bekerja…dan sekarang dua anak sudah lulus kuliah, satu sudah bekerja dan yang paling kecil kelas 3 SMU. Anakku benar, jadi mas Rabbani jangan kawatir, memang kehidupan berkeluarga yang menentukan adalah isteri (kata tante kostku)…baca di http://nungqee.wordpress.com/2007/06/21/kuncinya-ada-pada-wanita/
    Saya sependapat dengan Nunung.

    Selamat mencoba

  13. Rabbani

    Saya sih sependapat dengan Bu Edratna. Ibu saya juga bekerja, jadi guru, dan saya perhatikan memang ibu saya punya wawasan lebih dalam mendidik anak-anaknya jika dibanding ibu-ibu lain. Padahal dulu saya buandelnya luar biasa, tapi ibu bisa mengarahkan saya. Saya mengingatnya aja sampai ngeri, ha..ha..

    Menurut saya, semakin banyak yang bekerja, baik laki-laki atau perempuan berarti meningkatkan produktivitas suatu negara sehingga GDP-nya meningkat, negara menjadi makmur.

    Cuma ya, karena saya kami baru belajar berumah tangga, jadi banyak info atau pendapat orang lain yang kadang-kadang mempengaruhi kami.

    Tapi kalau kehidupan berkeluarga itu yang menentukan istri kok saya kurang setuju. Menurut saya yang menentukan ya seluruh anggota keluarga bahkan assisten RT sekalipun, prinsipnya saling menghargai, toleransi dan kompromistis. Betul gak?

  14. Mas Rabbani,
    Menentukan disini maksudnya adalah menentukan kebahagiaan dan kedamaian di dalam rumah tangga. Seorang isteri yang memahami suami dan anak-anaknya, yang selalu siap menolong, dan tidak meminta tambahan uang belanja sebelum tiba waktunya (artinya isteri harus bisa mengelola keuangan, agar tidak nombok).

    Dan isteri yang bisa memahami jika suami lagi susah, dan menyambut suami pulang kantor tanpa mengomel….dan ada istilah (kalau ini dari suami)…antara suami dan isteri tak boleh saling berteriak pada saat bersamaan, kecuali keadaan darurat, seperti ada kebakaran, banjir dll…

    Jadi isteri harus bisa sebagai teman curhat suami, bisa mendorong suami, pemberi semangat, serta siap berkorban…..

    Menentukan disini bukan sebagai penguasa, tapi menentukan di garis belakang…agar anak2 dan suami sehat sejahtera.

    Salam

  15. Koecing,

    Saya baru dua kali ke Mataram, Lombok. Yang pertama nggak sempat jalan-jalan, tidurnya di Senggigi dan pagi-pagi langsung ke Surabaya, terus Jember.

    Thanks telah mampir

  16. Mas Shodiq,

    Terimakasih tawarannya, tetapi mohon maaf saya menulis sekedar ingin berbagi pengalaman, juga agar lebih dekat dengan anak-anakku.

  17. Menyentuh sekali ceritanya Bu…..
    Banyak pelajaran dari cerita IBU. Bisakah saya melakukannya?? “aku harus Bisa”

    Anak saya br berusia 18bln, mendengar celotehnya saat pulang kerja – capek langsung ilang. Apalagi skg udah bisa panggil “bunda” (dengan gayanya yang suka loncat-loncat), sblmnya panggilnya “buah”(blm bisa bunda).

    Saya masih menunggu cerita-cerita dan pengalaman Ibu yang lain…..
    Suwun.

  18. Mbak Wienur,
    Makasih telah mampir. Mempunyai anak kecil, walaupun capek, tapi sangat menyenangkan, banyak sekali lucunya. Dan komentar mereka yang kadang “sok bijaksana” membuat hati terharu.

  19. tini

    Bu enny, saya baru sempat baca edisi ini (saya masih punya PR untuk membaca tulisan ibu yang lainnya), tapi walaupun telat tak mengapa ya bu.

    Bagus sekali pengalaman ibu dan setiap kali saya membaca tulisan ibu ingin rasanya saya mencontoh, tapi kadang sulit ya bu.

    Dulu waktu saya masih tinggal dirumah ibu, anak saya masih satu seringkali saya bacakan dongeng untuk anak saya, tapi sekarang bu jarang saya bacakan karena banyak hal misalnya pulang larut malam, macet, atau anak-anak sudah bobo.

    Dengan membaca tulisan ibu dapat meremind saya untuk mendongeng bagi anak kedua saya bu.

  20. Mbak Tini,
    Saya bisa memahami kesibukan ibu rumah tangga. Jika anak-anak sudah cukup besar, acara mendongeng bisa diganti menjadi mengobrol rame-rame, ortu menjadi pendengar setia. Bisa kapan saja waktunya, bisa sambil makan pagi atau makan malam.

    Jika nggak sempat setiap hari, bisa dilakukan saat akhir pekan…bisa mengobrol sambil menikmati makan setelah capek jalan2 di Mal, atau bisa sambil masak (jika punya hobi masak), sambil berkebun dan lain-lain.

    Atau, kalau anak udah punya hp, bisa mengirim sms…anak bungsuku rajin mengirim sms, dan isinya lucu2, saya sering tersenyum membacanya. Demikian juga jika mereka mau ujian, ibu mengirim sms, agar mereka tak lupa berdoa dulu.

    Tahu nggak mbak, anak bungsuku menganggap ibu sakti, gara2 tiap ada masalah, dia sms atau menelepon…ehh nggak lama kemudian ada jalan keluar. Padahal mungkin aja karena merasa ada yang mau mendengarkan, hati tenang, jadi bisa mikir jalan keluarnya. Anak sulungku bahkan pernah ngomong sama temannya…aku nggak tahu, kayaknya ibu tahu aja kalau saya berbuat kenakalan…jadi kalau mau ngapa2in selalu terbayang wajah ibu.

    Yang penting setiap sholat, jangan lupa berdoa, agar Allah swt selalu menjaga anak-anak kita, agar dilindungi dan selalu berada di jalan yang lurus. Amien.

  21. Salam kenal Bu.
    Saya kawannya Kunderemp, hehehe. Iseng2 mampir di blog ibunya. Wah, ibunya Kund keren banget. Gaul abis dan sangat menikmati hidup. Panteslah si Kund minatnya banyak sekali, heheh. Mulai filsafat hingga film abis diacak-acaknya, hehe. Sukses ya bu!

    NB:
    Bu, saya dukung Kund dgn Lis, heheheh.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s