Melintas perbatasan dari Papua ke Papua New Guinea

Tak pernah terbayangkan bahwa saya dan teman-teman mendapat kesempatan melihat perbatasan di ujung timur Indonesia. Pada hari Sabtu, pak sopir mencari info apakah situasi aman untuk melintas perbatasan, dan setelah tahu kondisi aman, kami bertiga mengunjungi perbatasan. Untuk pergi ke perbatasan yang berjarak sekitar 80 km dari kota Jayapura, ditempuh dalam waktu 1,5 jam, melalui jalan yang berkelok-kelok menembus Tanah Hitam (nama suatu daerah) atau kampung Yosefa, tempat sebagian besar orang-orang yang berasal dari Ujungpandang. Kemudian perjalanan dilanjutkan melalui kampung Nafri, disini pak sopir harus mengendarai mobil dengan hati-hati, karena kalau sampai menabrak babi atau anjing urusannya bisa panjang, karena ganti rugi nya sangat mahal (kata pak sopir dihitung tujuh turunan).

Kampung Nafri yang terletak di Km 9, dulunya dikenal sebagai daerah merah, karena penduduknya banyak yang pro OPM. Disini ternak dilepas begitu saja melintasi dan berkeliaran di jalan beraspal mulus. Selanjutnya melalui perkampungan penduduk yang berasal dari Enrekang, yang mata pencahariannya bercocok tanam, antara lain: pinang, sirih, coklat, pisang dan jagung. Penduduk Papua banyak yang makan sirih, namun bukan daunnya seperti di pulau Jawa, yang dimakan adalah buah sirihnya. Banyak sekali ditemui penjual buah sirih dan pinang di pinggir jalan. Kampung Enrekang terlihat dari ciri khas nya rumah berbentuk panggung, kampungnya di sebut Koya Koso.

Selanjutnya ada perkampungan Wamena yang asal usulnya dari suku Wamena, ditandai dari bentuk rumahnya berbentuk Honai. Di dekat kampung ini sudah ada Puskesmas, dan kami melihat orang Wamena sedang berjalan dengan ciri khasnya memakai Noken (tas yang terbuat dari serat) dipunggungnya. Selanjutnya melalui kampung Abepantai, yang penduduknya banyak yang berasal dari daerah Buton, Sulawesi.

Perjalanan mulai memasuki Koya Barat, daerah transmigran dari pulau Jawa, dan sekarang dikenal sebagai penghasil beras. Lahan pertanian di kiri kanan jalan terlihat subur, dan pengolahan lahan telah maju dengan menggunakan traktor bermesin. Lahan pertanian antara lain ditanami padi dan palawija. Selama bertugas di Papua, kami sempat menikmati beras yang berasal dari Koya Barat. Terlihat rumah penduduk telah banyak memiliki motor, bahkan mobil dengan parabola bertengger di atas atap rumah. Mobil pada umumnya digunakan untuk mengangkut hasil panen yang dijual di pasar Abepura.

Dari Koya Barat perjalanan memasuki kampung Koya Timur, dipinggir jalan nampak banyak mobil diparkir. Tempat makan, sekaligus pemancingan di Koya TimurRupanya tempat pemancingan ikan yang cukup besar, lengkap dengan restorannya. Nantinya sekembali dari perbatasan, kami menikmati makan siang disini, dengan embusan angin sepoi-sepoi dan alunan lagu-lagu daerah Papua dan Ambon. Nampak Gereja dan masjid berdampingan.

Melewati pasar Sehito di Muara Tami, ramai pada saat hari Sabtu karena semua penduduk beramai-ramai turun dari gunung. Disini terlihat ada SMK IV dipinggir jalan, sayangnya asrama yang dulunya terlihat megah, telah tak dipergunakan karena rusak.

Perjalanan dilanjutkan melalui kampung Skouw Mabo, yang gedung pendidikannya telah lengkap dari SD s/d SMA. Muridnya banyak yang berasal dari PNG (Papua New Guinea), dengan bahasa pengantar bahasa Inggris. Selanjutnya perjalanan melalui hutan lebat berkelak kelok menanjak. Jalan ke arah perbatasn, mulus dan menanjakSetelah melewat jembatan sungai Tami yang terlihat tenang (namun katanya sering banjir), maka terdapat pos pertama di Muara Tami. Mobil harus dibuka kacanya, namun tak perlu berhenti. Mobil hanya berjalan pelan, dan penjaga (kali ini dari Kodam Diponegoro) melambaikan tangan dengan ramah, rupanya pak sopir sering mengantar orang ke perbatasan dan cukup dikenal.

Pos Penjagaan Lintas Batas PPLB) Kampung SkouwTak lama kemudian sampai di pos penjaga perbatasan, yang didepannya terdapat 3 (tiga) helipad, dan disebelahnya terdapat pasar perbatasan (istilah disana “kios”)untuk wilayah RI yang ramai dengan orang PNG sedang membeli berbagai keperluan. Kios ini akan ramai terutama hari Jumat, Sabtu, Minggu dan hari Rabu. Kenapa hari Rabu, karena pada hari tersebut kapal merapat didesa Putung dari Vanimo, kota Vanimo merupakan kota terdekat di PNG.Pasar perbatasan di wilayah Indonesia

Kami turun untuk melapor , dan tentara yang masih muda-muda tersebut bersedia berfoto bersama kami. Dengan tentara Indnesia di perbatasan RI-PNGTernyata perbatasan merupakan wilayah yang terbuka, ada pembatas berupa pagar rendah (setinggi 1, 5 meter) yang membatasi wilayah Indonesia dan wilayah PNG, dan ditengahnya ada daerah terbuka (open space) dengan lebar 5 meter….yang konon katanya tempat pertukaran sandera jika terjadi perang. Peraturan melintas perbatasanDi ujung open space dibangun menara. Menara di perbatasanTernyata kami tak perlu melapor ke penjaga PNG untuk melintas ke perbatasan PNG, tetapi orang-orang PNG harus menulis di buku register jika ingin melintas dan berbelanja di pasar wilayah Indonesia. Orang PNG berbahasa Inggris logat Fiji, namun bisa berbahasa Indonesia sedikit-sedikit.Gerbang keluar wilayah Indonesia

Begitu memasuki wilayah PNG, hujan turun dengan deras, terpaksa kami berteduh dikantor imigrasi PNG. Kami mengobrol dengan Mr. Jeffrey Owen, yang merupakan Customs Border Operation, dan berasal dari kota Vanimo. Saya mencoba membujuknya agar dibolehkan turun ke desa Putung (desa terdekat di wilayah PNG), namun karena banyak orang, Mr. Jeffrey tak berani memberi ijin karena nantinya akan dipertanyakan. Di kantor Customs Border OperationSetelah saling bertukar alamat dan nomor telepon, dan hujan reda, kami menuju ke pasar PNG yang terdiri “hanya” 10 tenda. Yang dijual berupa: topi, payung, kaos, mug(cangkir), makanan kaleng, kain panjang sejenis sarung. Mereka agak sulit diajak transaksi walaupun ramah, dan semua harga bulat, seperti: Rp.25 ribu, Rp.50 ribu, Rp.100 ribu, Rp.150 ribu dst nya.

Karena tak membawa paspor, kami hanya melihat kampung Putung yang terletak dipinggir laut dari atas bukit. Orang PNG tak beda dengan orang Papua, hanya lebih tinggi dan lebih berani bertatap muka. Mata uangnya disebut Kina, dan 1 Kina=Rp.3000,-. Orang PNG lebih banyak yang melintasi perbatasan menuju wilayah Indonesia dibanding orang Indonesia yang ke wilayah PNG. Orang Indonesia yang melintas ke PNG adalah orang-orang seperti kami, karena ingin melihat seperti apa perbatasan tersebut. saya sudah membayangkan wilayah berhutan lebat, dengan tentara menjaga diperbatasan lengkap dengan senjata laras panjang…ternyata merupakan daerah terbuka, beraspal mulus, dengan orang2nya yang ramah. Ahh…betapa indahnya perdamaian.

Orang PNG pada umumnya membeli bahan kebutuhan pokok, seperti beras, gula, juga barang elektronik dan bahan sandang. Jujur saja, ternyata bahan kaos di PNG lebih tipis dibanding di pasar wilayah Indonesia, serta harganya lebih mahal. Mereka membawa barang-barang yang dibeli dengan menggunakan kereta dorong, mirip dengan kereta dorong untuk mengangkut bahan bangunan, terbuat dari besi dan umumnya di cat warna hijau. Dari obrolan dengan penjual di kios wilayah Indonesia, mereka rata-rata juga berdagang di pasar Hamadi Jayapura, dan berasal dari Makassar. Mereka menginap di kios Indonesia hanya saat hari ramai, dan pulang kembali untuk berdagang di Hamadi.

Tips:

  • Sepanjang situasi aman, mengunjungi perbatasan sangat mudah. Bila tak ada kendaraan, bisa menyewa Rp.500.000,- sehari diluar bensin. Kendaraan ini banyak terlihat didepan hotel, disarankan pesan melalui hotel agar lebih terjamin keamanannya. Disarankan sekaligus mengunjungi obyek wisata lainnya, karena obyek wisata di Jayapura jaraknya berdekatan, dan dapat ditempuh dalam waktu satu hari.
  • Jangan lupa bawa paspor dan urus Visa agar bisa mengunjungi desa terdekat di wilayah PNG.
  • Untuk makan, bisa mampir di restoran pemancingan Koya Timur, yang berjarak 40 km dari Jayapura, terletak sebelah kiri jalan ke arah perbatasan. Masakan berupa ikan yang langsung ditangkap dari kolam pemancingan. Jika dalam perjalanan kearah Bukit Makatur, dipinggir danau Sentani ada restoran Yougwa yang makannya enak dan harga terjangkau.
Iklan

17 pemikiran pada “Melintas perbatasan dari Papua ke Papua New Guinea

  1. Barry,
    Dulu waktu kecil, ayah suka memboncengkan saya didepannya (tempat dudukan yang bisa ditempatkan dibelakang stang sepeda), dalam perjalanan kerumah nenek. Sepanjang perjalanan ayah bercerita, mengapa petani menanam padi, bagaimana tumbuhnya. Kata ayah, saya kecilnya cerewet, apa saja ditanyakan, dan sering berhenti hanya untuk mengamati sesuatu, serta ayah tak pernah bosan menjawab pertanyaanku. Thanks ayah, engkaulah yang membuatku menjadi seperti sekarang.

    Ihedge,
    Kayaknya orang2 Sulawesi yang mengajarkan pada lingkungan untuk berniaga, sedang orang Jawa bagian mengajarkan cara bertanam yang baik. Orang trans dari Jawa bertanam padi, palawija, dan daerah Koya Barat/Timur sekarang menjadi penghasil beras untuk wilayah Jayapura. Sedang orang Makassar menjadi pedagang, di pasar Hamadi, di PTC, bahkan sampai di pasar perbatasan, nun jauh dipuncak bukit dan gunung.

    Orang Papua, awal kenal tak banyak bertatap muka, tapi setelah didekati dan diajak mengobrol, mereka adalah orang yang lugu, ramah, dan perhatian pada sesama. Saya belum pernah mengalami emosi yang di aduk2 seperti saat di Papua, antara terharu, ingin menangis atas perhatian dan sikap mereka. Hati rasanya menjadi sangat dekat.

  2. Orangemood,

    Di Jayapura apa-apa memang mahal, hal ini dapat dimaklumi karena hampir semuanya didatangkan dari luar pulau. Kantorku pun ada tunjangan kelangkaan bagi staf yang ditempatkan di Papua.

  3. fauzy

    q dulu tinggal dArso.yg skrng jd kab.keroom.sekarang q tinggal dijawa tengah.rasanya kangeeeeeeeeeeeeeeeeeeeen bgtz ma papua.pa lagi arso.q pernah ke koya barat sekali.diajak ma guru skolahq.q dr lahir mpe lulus SD disana.love you deh papua.thanks y

  4. Halo bu ratna, sy dulu pernah diajar sama ibu di papua, waktu itu sy salah satu peserta pcsm bank Papua. Skarang sy ditempatkan sbg seorang account officer d cab nabire. Utk berbagi pengalaman, kapan2 ibu dan keluarga bisa main2 k nabire.

    Roy,
    Senang sekali mendengar kabarmu, semoga krasan di Nabire. Mudah2an perekonomian masyarakat Nabire makin maju, atas dukungan Bank Papua….sukses ya,

  5. tiwik

    salam papua………
    aku lahir dan dibesarkan di manokwari dan sekarang sy tinggal di malang jatim.
    sudah lama sekali sy tdk pulang ke manokwari…
    rasanya kangeeeeeeeeeennnnn banget….
    salam buat keluarga dan temen2 dimanokwari ada sahabatku helen lizal (sanggeng) i love u, dewi Lakui (wosi), ramayanti,afriani, febi, colis,hedi,rudi bagong,Noviska dan semua temen2 alumnus SMAN 1 manokwari. i miss u to all
    i love papua…..kau slalu dlm hatiku……

  6. benny

    senang sy membaca tulisan ibu.sejak 1978 sy tinggalkan jayapura untuk tugas belajar di luar papua dan bekerja di telkom selama 23 tahun, kemudian mengajukan pensiun dini sejak des 2003 dan menekuni kegiatan wiraswasta.sy tamat sma negri abepura.2 kali sy menjabat ketua osis th 1976 dan 1977 pd sma tsb.sy lagi cari teman2.tolong ibu bantu sy atau kalau ada teman yg membaca tulisan ini bisa call sy di 085299808080,085757337676,0411-2582828,0411-9156939 atau email sy kaisiepoben@yahoo.com.
    thanks.salam sukses untuk semua.

  7. Trims Ibu sudah mempromoted tempat-tempat wisata di wilyah Papua khususnya kota Jayapura and sekitarnya. tentang kunjungan ke perbatasan wilayah RI-PNG memang cukup menarik juga n hari-hari juga di kunjungi oleh warga setempat. mengenai desa yg berdekatan dgn perbatasan namanya kampung WUTUNG bukan Putung. tentang hal kampung Wutung, memang agak sulit di kunjungi tanpa menggunakan passport + Visa, dulunya sebelum banyak yg berkujung kesana kita selalu dapat izin untuk mengunjungi kampung tsb namun akhir-akhir ini krn banyak yg berkujung ke perbatasan, izin untuk mengunjungi kampung Wutung tsb sudah yidak bisa lagi krn kurangnya petugas dr pihak PNG, tp tidak lah masalah karena masih banyak tempat-tempat lain yg cukup menarik juga.

    Di sarankan bagi yg berkujung ke Jayapura, klu bisa spare time lah untuk bisa berkujung ke Wamena (Lembah Baliem) paling tidak 1 malam saja di wamena n klu punya waktu yg lebih 2 malam akan lebih bagus bisa mengunjungi daerah Jiwika melihat Mummy and hari berikutnya ke daerah Selatan Lembah Baliem. Baliem Valley Festival tiap tahun di laksanakan pada bulan Agustus tglnya sering berubah-ubah 2 hari antara tgl 9 – 14…..semoga bisa join festival tsb….Menegnai costnya memang cukup mahal, karena semuanya di angkut dgn flight dr Jayapura, bayangkan saja harga semen di Wamena Rp. 500.000-530.000 / zak, mineral water 600ml harganya Rp. 10.000 di toko, di hotel lebih mahal lagi….

    Untuk kunjungan ke perbatasan maupun ke Lembah Baliem-Wamena tidak usah kwatir tentang keamaannya di jamin 100% safety.

    Welcome to Papua. 0812 280 2972

  8. indri

    senang ada yang nulis tentang koya timur karena aku dulu juga tinggal di sana selama 3 tahun. Lihat perkembangannya pengen banget ke sana lagi

  9. Rokhim

    Cerita yang sangat mengesankan, apalagi berirama dengan kecintaan pada Muara Tami, Coba telusuri kembali Koya masa kini yang tentunya epesode yg berbeda……..He,he,he….

  10. fitroh laeli tsany

    wah jadi penasaran pngen lyat dnger crita’y…..
    suami ku lgi tugas di papua nugini daerah vanimo
    tyap 2 minggu ia kluar utk ke batas,juga sering cerita daerah papua & PNG ia jga sring crita hutan papua yg msih asri duh penasaran …
    kapan yach bisa ke papua….

  11. virgie

    Papua adalah negeri yang indah namun sayang transportasi ke Papua lebih mahal dari pada kita ke Bali, itulah kendala mengapa Papua masih sulit di jangkau, penduduknya ramah dan polos, Papua tanahku, terimakasih banyak Ibu sudah menjadi bagian dari kamu anak-anak Papua

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s