Not Every Dream is Golden

Not every dream is golden (atau tidak semua cita-cita itu bisa kesampaian), merupakan surat elektronik yang dikirim dari seorang om kepada keponakannya yang baru saja lulus S1. Pada saat itu sang keponakan sedang berada dipersimpangan jalan, bimbang, apakah yang akan dilakukan selanjutnya, apakah melamar pekerjaan ataukah langsung melanjutkan S2? Kebetulan sang ponakan telah lulus dalam test penerimaan beasiswa untuk melanjutkan S2 di sebuah PTN di Bandung. Kita sebut saja nama ponakan adalah Nina dan om Yanto

Di bawah ini saya kutipkan ringkasan surat elektronik dari om Yanto kepada Nina, yang menurut saya sangat indah, mengharukan dan memberikan pencerahan.

Nina,

Saya ucapkan selamat atas wisudanya sebagai Sarjana Teknik bulan Juli yang lalu. Wisuda bagi seorang mahasiswa mungkin akhir dari perjalanannya di dunia pendidikan (kalau S1 terus mentok), tapi sebagai manusia dan seorang ilmuwan atau profesional, wisuda sarjana menandakan bahwa “kehidupan baru saja dimulai!”

Mengapa kok baru dimulai? Mungkin waktu jaman kakek buyut Nina dulu di tahun 1940-an atau 1950-an, pendidikan Sekolah Rakyat Ongko Loro (baca:kelas 2 SD) mungkin sudah hebat banget, apalagi bila bisa terus sampai Kweek School (Sekolah Guru), apalagi AMS (setara SMA sekarang), dan apalagi sampai Technische Hoogeschool macam Bung Karno dulu, mungkin hanya 1 kesempatan dalam 100.000 kemungkinan (itupun mesti ditunjang ybs harus ber”darah biru” atau anaknya pejabat Belanda seperti Wedana, Onderan-wakil Bupati dsb nya)

Tetapi sekarang jamannya sudah lain. Selama enam tahun saya ikut mengajar para pegawai Astra Int’l yang bergelar D3, agar mereka dapat memperoleh gelar S1 bidang Teknik Industri. Sebagai mahasiswa yang sudah mature atau adult mereka lebih sering diskusi dan curhat tentang apa saja, dibanding dengan waktu yang digunakan untuk membahas soal-soal. Kebanyakan mereka bilang, “Pak, di Astra mah yang penting orang itu punya gelar S2 baru bisa maju.”

Singkat kata, kalau kita hanya bergelar S1 dan memasuki dunia kerja, maka dalam 5-6 tahun pertama ilmu kita akan obsolete dan kemampuan kita akan segera dilupakan orang.

Benar apa tidak? Ya dan tidak, tergantung “karir” apa yang kita jalani nanti. Kalau karir kita sebagai profesional yang bekerja di “Big Five Accounting Firm“, maka bukan gelar S2 atau S3 yang diperlukan, tetapi gelar-gelar (lebih tepat disebut sertifikat) seperti CISA (Certified Information System Auditor), CISM (Certified Information Security Manager), CIA (Certified Internal Auditor), CFA (Certified Financial Advisor). Sedangkan kalau bekerja di Big Four tetapi dibidang IT, selain CISA dan CISM, kita mungkin masih perlu gelar CCNA (Certified Computer Network Analyst?) atau MSNE (Microsoft Network Engineer).

Tetapi kalau karir kita adalah sebagai “dosen” atau “peneliti” baik di Universitas swasta atau negeri atau di Lembaga Penelitian pemerintah semacam LIPI, BPPT, LAPAN, BATAN, maka sebaiknya S2 dan S3. Begitu pula di perusahaan swasta lainnya, kalau pekerjaan utama kita adalah memberikan training atau sosialisasi terhadap pegawai-pegawai lainnya atau klien, maka gelar S2 dan S3 pasti perlu. (catatan: sudah ada surat edaran dari Dirjen Dikti, bahwa untuk diterima sebagai dosen baru, sekarang minimal bergelar S2).

Par dan Odd

Istilah Par diambil dari olahraga golf dan istilah kedua sebenarnya istilah Statistics. Par adalah banyaknya pukulan yang harus diambil oleh seorang pemain golf untuk sebuah hole tertentu. Masih ingat permainan golf? Kalau yang singkat mainnya mungkin 9 hole tetapi kalau yang panjang dan sehari penuh bisa 18 hole. Misalnya istilah hole no.1 yang panjangnya 125 yard disebut Par 5, itu artinya, seorang pemain amatir yang bagus adalah bila ia bisa memukul sebanyak 5 pukulan hingga bolanya masuk di lubang hole no.1. Di bawah 5 pukulan, berarti ia termasuk pemain profesional (misalnya 4 pukulan disebut “1 under”, 3 pukulan disebut “2 under” dsb nya). sebaliknya kalau ia memerlukan jumlah pukulan lebih daripada 5 pukulan hingga bolanya masuk lubang, maka pemain tsb pastilah pemain amatir pemula.

Odd itu istilah umum dari Statistics, yang artinya kira-kira sama dengan probability. Kalau orang ingin melawan Odd yang ia dapat sejak lahir, misalnya S1 saja seharusnya sudah cukup puas, tetapi jika ia bisa melawan Odd maka ia bisa sampai S3, atau sama dengan menjungkirbalikkan perkiraan orang, atau istilah Inggrisnya “Against All Odds” (ada filmnya, sayang copy nya mungkin sudah jarang di Indonesia).

Maksudnya, misalkan S1 itu ibarat golf nya hole no.1 sebanyak Par 5, Hole no.2 ibarat S2 dengan Par 5 (setelah S1), dan hole no. 3 sebanyak Par 5 (setelah S2). Maka seorang pemain pemula akan menghabiskan 20 pukulan misalnya (Over 5), seorang pemain amatir terlatih akan memukul sebanyak 15 pukulan (Par), dan seorang profesional atau pemain yang sangat baik akan memukul sebanyak 12 pukulan ( Under 3). Kepandaian seorang pemain dalam bermain golf akan sangat tergantung dengan faktor alami/instrinsik (nature) dan faktor lingkungannya (Nurture). Nahh, menurut penilaian saya, Odd Nina itu bisa sampai S3.

Sekolah S2/S3 di Dalam Negeri atau di Luar Negeri?

Pertanyaannya kembali sama dengan sebelumnya, kalau kita bisa sekolah S2/S3 di Luar Negeri, mengapa harus sekolah di Dalam Negeri?

Sebenarnya ada perbedaan mendasar antara sekolah S2/S3 di dalam negeri dengan di luar negeri. Sekolah di dalam negeri tentu tidak perlu persiapan khusus di bidang bahasa asing. Sekolah di dalam negeri juga tidak memerlukan penyesuaian tentang culture, language, manner, attitude, lifestyle, termasuk juga weather dan clothing. Sementara sekolah di luar negeri sebaliknya, kita harus siap mulai jauh-jauh hari, minimal 6 bulan sebelumnya mengenai hal-hal semua itu. Kecuali bagi orang yang sangat cepat menyesuaikan , mungkin ia hanya perlu 3 bulan (terutama bagi orang yang pernah pergi ke laur negeri sebelumnya). Tetapi bagi kebanyakan teman saya, persiapan mereka untuk belajar ke luar negeri biasanya satu tahun.

Nina bisa diskusi dan sharing dengan teman-teman, dan bisa langsung ngobrol dengan om kapanpun Nina memerlukan.

Begitulah antara lain surat dari om Yanto kepada Nina (masih ada lagi lanjutannya) , agar Nina lebih tahu kemana arah yang akan dituju untuk melangkah.

Catatan: Terimakasih om, atas pencerahannya.

Iklan

14 pemikiran pada “Not Every Dream is Golden

  1. 1) saya ga bisa main golf bu,tapi pingin bisa one day.

    2) surat saran dari Om Yanto yang bagus, bagus juga kalau om-nya ditanya tentang karir tuh bu.

    3) saya ‘curiga’ keponakan ini adalah n****n bu ya? hehe

    btw,barusan diskusi ttg reksadana saham bu. seems interesting bu, lumayan jelas. apa ibu sepakat kalo itu disebut ternak uang??

  2. Trian,
    1) Suatu ketika Trian harus bisa main golf, menurut teman-teman tak sulit, yang sulit biayanya mahal. Kalau kebetulan Trian ditempatkan di luar Jawa, itulah kesempatan main golf karena murah. Selain untuk olah raga, golf merupakan ajang pergaulan, dan banyak bisnis yang dihasilkan dari omong-omong dilapangan golf.

    Tapi saya sendiri tak main golf, sebagai karyawati dan ibu rumah tangga, bagi saya main golf memerlukan waktu lama (bandingkan dengan aerobik, senam atau joging yang hanya sekitar 2 jam), dan saya ingin mempunyai waktu lebih banyak untuk menemani anak-anak di luar waktu ke kantor, yang kadang hari Sabtu Minggupun terpaksa lembur. Apaboleh buat, ini merupakan risiko bagi wanita karir, yang meninggalkan rumah dari pagi s/d malam, tetapi saya salut bagi wanita-wanita lain yang tetap bisa bekerja dengan baik, bisa main golf dan rumah tangga serta anaknya baik-baik saja.

    2). Lain kali saya akan membujuk om Yanto untuk menulis surat lagi bagi Nina tentang masalah karir. Masalahnya si om ini pinter nulis, dan pernah mencoba nulis di blog, tapi nggak pernah di update karena kesibukannya.

    3). Yang jelas nama keponakannya N*********

    4). Tergantung Trian melihat Reksadana dari sudut mana. Jika tujuannya untuk investasi jangka panjang, jelas bukan ternak uang. Investasi jangka panjang, misalnya Trian pada tahun kesekian menginginkan uang untuk beli rumah, untuk menyekolahkan anak, untuk pensiun dsb nya. Seperti saya, selain membayar iuran pensiun, saya membayar untuk DPLK tiap bulan. Saat mulai masa pensiun, ada beberapa opsi dari DPLK, mengalihkan ke reksadana, yang akan mendapatkan pembayaran tetap tiap bulan, atau diambil langsung tunai. Jika dialihkan ke reksadana, maka saya akan mendapat uang per bulan, yang bisa menambah uang pensiun saya.

    Tapi jika tujuannya untuk mendapatkan gain, maka ya mirip-mirip judi ya, apalagi kalau dilakukan dengan emosional. Tapi ada tujuannya tak masalah (lihat tulisan saya tentang impian…), saya tak bisa beli rumah di Jakarta jika tak mempunyai saham yang tak terduga harganya melejit (menurut saya ini betul-betul rejeki dari Tuhan).

    Ngomong-ngomong soal ternak uang, menurut saya tinggal tujuan awalnya, bukankah kalau kita menabung di Bank Syariah juga mendapatkan uang, cuma namanya disebut bagi hasil? Dan hasilnya paling tinggi lho dibanding menabung di Bank Konvensional. Mengapa? Karena Bank Syariah tempat saya menabung belum punya ATM, sehingga biaya administrasinya rendah.

  3. wah senang nya punya om yang perhatian kayak gitu … mau dong saya dikirimin email juga hehe….

    kalo om2 dan tante2 saya boro2 masalah pendidikan… isinya cuman rebuta harta dan warisan … wakakaakaka .. tipikal manusia2 korban sinetron …kekekeke…

    memang beda ya antara keluarga miskin (ato maruk ya.. ?) dengan keluarga mapan .. 🙂

    mau lanjut s2 di dalam ato di luar si tergantung orang nya.. kalo temen2 saya ada dua cara buat sekolah s2. ada yang selama 2 taun cari kerja sambil cari2 beasiswa (seperti saya…) dan bener.. saya rasa kemampuan saya sudah obsolete.. ada juga yang sembari cari beasiswa buat sekolah di luar bisa ambil s2 di dalam negeri dulu. untung kalo bisa langsung dapat s3 di luar negeri. teman saya ada yang masih s2 di dalam tapi taun depan mau ke australia. mungkin ambil s2 lagi … 🙂

    yap! kehidupan baru saja dimulai!!!

    tetap semangat!!!

  4. Sandy,
    Om Yanto ini dulu menginspirasi Lis, sehingga muncul keinginan ke luar negeri. Om Yanto sering juga kok menerima curhat dari teman-teman anakku. Sebetulnya emailnya masih panjang lagi, tapi kapan-kapan aja ditayangkan lagi setelah diedit agar sesuai pembaca blog. Kalau mau berkirim email, silahkan aja…japri ya..langsung ke emailmu.

    Sandy, jangan merendah begitu. Ibuku guru SD dan ayahku guru SMA, tapi saya lahir dari ayah ibu guru SD…kemudian ayah melanjutkan sekolah dan kami sekeluarga makan hanya dari gaji ibu. Ayahku lulus S1, pada saat saya mahasiswa tk.2 IPB. Perjuangan beliaulah yang membuat saya dan adik-adikku melihat kehidupan tak dinilai dari uang, tapi dari kasih sayang, keinginan untuk memberi dan kasih sayang pada sesama. Juga saat kuliah, kami (saya dan adik-adik) berusaha mendapat tambahan uang karena kalau mengandalkan kiriman orang tua tidak cukup.

  5. Saya doakan Sandy, asalkan Sandy tetap semangat, bekerja keras meraih cita-cita, dan jangan lupa…berdoa agar Allah swt selalu melindungimu dan memperkenankan apa yang Sandy inginkan…

  6. Wah Seru banget tu om…

    Saya pengen berbagi pengalaman nich bu:

    Dulu pas saya kelas 3 SMP deket2 ebtanas, Saya diajak kakak saya jalan-jalan. Tempat pertama yang dikunjungi adalah sebuah warung pinggiran deket tempat sampah dimana yang makan adalah para tukang becak, preman, dll. Karena saking kotornya tempat itu saya tidak sanggup menghabiskan makanan.

    Kemudian kami melanjutkan perjalanan ketempat kedua, yaitu sebuah rumah makan mewah yang bernama KFC, kebetulan dikota saya waktu itu baru ada KFC dan bagi keluarga saya, makan di KFC sangat mewah.

    Pada waktu kami makan, kakak saya ngomong, bahwa mau makan ditempat seperti ini (KFC) atau makan di tempat sebelumnya adalah sebuah pilihan, dan saya harus memilih itu dari sekarang. jika pilihan pertama saya adalah makan di KFC, maka saya harus belajar, Jika pilihan saya adalah makan ditempat sebelumnya, maka saya akan dibeliin motor dan disuruh ngojek.

    Yang ingin saya sampaikan disini adalah Hidup itu pilihan kita, sukses atau ngak sukses kita yang menentukan, lanjut S2 atau S3 kita yang memilih, dan pilihan itu harus dibuat sejak dini.

    Terkadang kita akan memilih ketika pilihan itu datang pada kita, kenapa kita tidak menyiapkan pilihan kita sehingga pada saat memilih maka kita sudah siap dengan pilihan yang akan diambil.

    Semoga kita semua siap pada saat kita harus memilih….

  7. Mriyandi,

    Kakakmu hebat….benar, sebaiknya kita menyiapkan pilihan jauh-jauh hari, jangan sampai ada beberapa pilihan yang datang, kita belum siap.

    Ngomong-ngomong, Mriyandi kayaknya berbakat menulis, cobalah untuk memulai, dimulai dari cerita sehari-hari, yang kelihatannya sepele, ternyata bisa memberikan inspirasi bagi orang lain.

  8. Tukang ketik,
    Jangan ngejek ya…om Yanto juga ga bisa main golf…main golf nya pake microsoft…hehehe…dasar orang Statistika.

    Tapi stick golf ternyata berat ya…saya pernah nyoba pas acara outbound….terus kata temenku, jangan coba-coba main tennis, ntar tanganmu patah…hahaha…ya udah, senam aja, murah meriah….

  9. Iya nih bu, sejak punya blog saya jadi ketagihan nulis. Ibu kapan2 buka blog saya ya… Kasi komment atas tulisan saya, biar saya bisa tambah pinter, hi…
    hi…..

  10. Salam kenal & thanks udah mampir ke blog saya.
    Saya setuju bahwa tidak semua jenis pekerjaan membutuhkan pendidikan S2/S3. Namun sebagian perusahaan lebih berorientasi pada gelar S2/S3 tanpa melihat kualitas. Akibatnya ada pegawai S2/S3 yang prestasi kerjanya justru lebih jelek dibandingkan lulusan S1.
    Jika seseorang melanjutkan kuliah S2/S3 dengan serius, maka pasti akan ada peningkatan pesat dalam cara berpikir dan pengambilan keputusan.

  11. Harrie,

    Jika sudah bekerja, menurut saya adalah bagaimana hasil pekerjaan dia, yang diukur sesuai yang ditargetkan.Target ini adalah target perusahaan, dibreakdown ke masing-masing unit kerja, dan masing-masing pegawai…dan pada masing-masing pegawai harus tertuang dalam miles stones, sehingga dapat diukur secara kuantitatif.

    Tentunya jika perusahaan menyekolahkan S2, telah melakukan seleksi, dan hanya yang berprestasi (selain lulus TPA, GRE, TOEFL juga kinerjanya bagus) yang boleh meneruskan kuliah S2 dibiayai dinas. Bagi perbankan, maka yang diperlukan adalah MBA atau MM (dalam negeri), S3 diperlukan untuk bidang-bidang tertentu. Jika dalam negeri, hanya lulusan universitas tertentu yang diakui, dan sudah diadakan penilaian oleh perusahaan tadi. Jadi semua tergantung pada tujuannya.

    Kalau pegawai bank, maka harus melalui jenjang pendidikan Sespibank agar bisa ikut F & P test…disinipun sudah dijelaskan, walau nilainya termasuk 5 besar, tetap harus membuktikan bahwa ilmu yang diperoleh dapat diaplikasikan dilapangan, untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Jika ada S2/S3 kerjanya tidak berkualitas, apalagi dibanding S1, tentu jabatannya tak bisa tinggi…dan kalau ybs bisa punya jabatan tinggi, berarti ada yang salah di perusahaan tsb.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s