Implementasi Otoda dan peranan Perbankan untuk mendukung perkembangan ekonomi di daerah.

Sejak diundangkannya otonomi daerah, bagaimana perkembangan pembangunan ekonomi di daerah? Apakah implementasi otoda telah dilaksanakan dengan baik? Apa peranan Perbankan agar pembangunan sektor ekonomi dapat lebih cepat? Saya akan mencoba mengulas masalah tersebut dari sisi pandangan saya.

Dari berbagai kunjungan tugas ke daerah, saya mencoba berkeliling untuk melihat bagaimana perkembangan sektor riil di daerah. Pengamatan ini memang belum bisa dilihat atau dibuktikan dari data statistik, namun dari pengamatan dilapangan telah menunjukkan adanya perubahan, serta gairah para pelaku ekonomi di pasar.

1. Implementasi Undang-undang Otonomi daerah

Undang-undang no.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah salah satu landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah (selanjutnya disingkat otoda) di Indonesia. Undang-undang no.32 tahun 2004 pasal 1 butir 5 menyatakan “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Suatu perwujudan asas desentralisasi dan pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota.”

2. Implikasi otoda terhadap sektor perbankan di daerah

Pelaksanaan otoda akan mempengaruhi sektor perbankan di daerah. Peran dan fungsi perbankan sangat penting, dan diharapkan dapat menghidupkan dan memacu perekonomian daerah.

Sejalan dengan pelaksanaan otoda, perbankan di daerah mau tak mau akan mendapatkan efeknya, antara lain semakin banyaknya dana yang berada atau ditanamkan pada sektor perbankan di daerah. Dana ini harus dimanfaatkan, karena suku bunga pinjaman yang harus dibayar perbankan akan cukup besar, dan hanya mungkin bisa menutup biaya overhead apabila perbankan dapat menyalurkan dana tersebut masuk ke sektor riil. Melihat kondisi ini, perbankan harus benar-benar mampu dan mengetahui kondisi makro ekonomi di daerah, sebagai dasar membuat kebijakan pemberian pinjaman, penetapan suku bunga, serta pemasaran produk dan jasa perbankan.

3. Bagaimana peran perbankan dalam menunjang perkembangan ekonomi di daerah?

Kompas tanggal 24 Agustus 2007 hal 1 memberitakan, bahwa pada awal triwulan II tahun 2007, posisi total simpanan seluruh Pemerintah Daerah (Pemda) di Indonesia yang ditempatkan di Perbankan sekitar Rp.96 triliun. Sebagian besar simpanan Pemda biasanya ditempatkan di Bank Pembangunan Daerah masing-masing. Penempatan dana Pemda dalam bentuk SBI (Sertifikat Bank Indonesia), tertinggi oleh Pemda Riau sebesar Rp. 6.575 miliar, diikuti oleh Pemda Jawa Timur sebesar Rp. 5.660 miliar dan Pemda Kalimantan Timur sebesar Rp. 5.480 miliar.

Melihat besarnya dana yang masih disimpan dalam bentuk SBI, menunjukkan bahwa anggaran Pemda belum digunakan secara lancar, dan di satu sisi Pemerintah mendapat tambahan beban dengan memberikan bunga atas SBI. Apabila dana tersebut dapat segera disalurkan untuk pembangunan, maka diharapkan pembangunan didaerah akan segera terwujud, dan mendorong pertumbuhan sektor riil di daerah tersebut.

Mengabaikan polemik yang terjadi, mengapa masih banyak dana Pemda tersimpan di SBI, maka dari data di atas terlihat bahwa peran serta Perbankan di daerah sangat penting. Agar Perbankan dapat ikut berperan serta dalam penyaluran dana ke sektor-sektor pembangunan yang langsung berdampak pada pembangunan sektor riil, maka Perbankan di daerah juga harus menyiapkan personalnya serta membangun “Credit Culture” agar dana yang disalurkan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat luas.

Apakah yang dimaksud dengan Credit Culture?

Credit culture meliputi 4 P, yaitu:

  • Phylosophy. Yang harus diperhatikan dalam filosofi pemasaran produk dan jasa bank, adalah: Vision, Mision, High Return High Risk, Aggresive Growth dan Credit Quality.
  • Policy. Unsur-unsur yang harus diperhatikan adalah : a) Risk Averse, yang terdiri dari ; CRM (Credit Risk Management), CaR (Capital at Risk), serta level risiko. b) Risk taker, adalah sampai seberapa jauh Bank dapat mengambil risiko, yang telah dimitigasi sebelumnya.
  • Prosedure. Bagaimana organisasi Bank ( berdasar segmen bisnisnya, regional/branch), sophisticated atau simple.
  • People. Bagaimana: quality, experience, dan decision maker nya.

Dari kunjungan beberapa kali ke daerah, menurut pengamatan saya, hal utama yang harus ditingkatkan adalah dari unsur people. Mengapa? Karena unsur keberhasilan sebuah Bank terutama ditentukan oleh manusianya. Sebagus apapun sistem dan prosedur yang ada, tanpa diimbangi oleh manusia yang berkualitas, semua tak ada gunanya.

Bagaimana Perbankan didaerah dapat meningkatkan kualitas orang-orangnya? Peningkatan kualitas ini bisa dilakukan, antara lain dengan: pendidikan, perbaikan sistem reward dan punishment, sehingga para staf yang berada di ujung tombak dapat memberikan pelayanan prima, dapat melihat usaha mana yang layak dibiayai, serta bagaimana mitigasi risikonya.

Pada dasarnya kualitas seseorang sangat ditentukan oleh experience atau jam terbang. Bank dapat membuat tahapan-tahapan risiko yang dapat diterima, didasarkan pada experience dan kompetensi staf, misalkan dengan memberikan limit exposure, serta pemberian delegasi wewenang melakukan putusan berdasar kompetensinya.

Dapat dipahami bahwa Perbankan di daerah, seperti halnya Bank Pembangunan Daerah (BPD), karena lokasinya, jarang terlibat dengan pemberian kredit dalam skala besar. Untuk mengatasi hal ini, BPD dapat dilibatkan dalam pemberian kredit skala menengah ke atas (mis. kredit untuk pembangunan infrastruktur dll), dengan sistem kredit sindikasi. Artinya BPD bersama dengan Bank-bank lain yang telah mempunyai pengalaman, dapat duduk bersama membiayai suatu proyek, dari sini BPD dapat belajar dari sesama anggota sindikasi bagaimana cara menilai suatu proyek, sampai dengan membuat term and condition suatu pinjaman, agar pinjaman dapat berjalan lancar, dan proyek dapat selesai sesuai target yang ditetapkan.

Bagaimana dengan pemberian pinjaman skala kecil, yang menurut pengamatan saya potensi nya sangat besar di daerah. BPD dapat membuat berbagai segmen bisnis, serta sistem dan prosedurnya dibuat didasarkan segmentasi tersebut. Untuk nasabah kecil (mikro dan ritel), yang risikonya kecil, sistem prosedur untuk mengakses ke dalam perbankan dapat dipermudah, namun di sisi lain para Analis Kredit (Account Officer atau AO) harus bisa melakukan penilaian secara personal approach, yang didasarkan atas kelayakan usaha. Disadari bahwa para pengusaha kecil ini pada umumnya belum bisa membuat laporan keuangan, serta belum dapat membuat proposal untuk mengajukan pinjaman ke Bank. Disinilah tugas para Account Officer untuk membantu para nasabah, karena putusan pinjaman tetap harus melalui prosedur baku dan didokumentasikan. AO dapat berperan sebagai konsultan, dan mengingat peranan AO seperti ini, Bank harus membuat Sistem Prosedur yang mengandung built in control, serta pemilihan AO yang berkualitas, agar sasarannya dapat dicapai.

Dengan mendorong perbankan di daerah ikut berperan serta secara aktif, diharapkan pembangunan ekonomi daerah dapat terwujud, karena merekalah yang tahu kondisi dan situasi lingkungan di daerah.

Sumber bacaan:

  1. Kompas, 24 Agustus 2007 hal.1. Paculah Ekonomi daerah: Tak bisa dipahami tingkat kemiskinan tinggi, tetapi dana ditaruh di Bank.
  2. Herawati. Strategi mempertahankan dana Pemda sehubungan dengan implementasi undang-undang otonomi daerah (studi kasus di bank X). Makalah yang disampaikan pada Sespibank, LPPI
  3. Dari berbagai sumber (bahan ceramah, mengajar dan berbagai sumber bacaan)
Iklan

8 pemikiran pada “Implementasi Otoda dan peranan Perbankan untuk mendukung perkembangan ekonomi di daerah.

  1. Bank Perkreditan Rakyat memang bisa memberikan andil untuk membantu sektor riil, namun memang tak selincah Bank Pembangunan Daerah, karena keterbatasan modal, juga aturan lainnya (tak bisa melakukan lalu lintas giral).

    Adanya Otoda, membuat banyak BPD likuiditasnya melimpah, dan ini yang perlu disalurkan pada sektor yang membutuhkan dan layak. Saya gembira melihat perkembangan BPD akhir-akhir ini, mereka sibuk menggenjot pendidikan untuk meningkatkan kualitas SDM nya, dan saya kira hal ini akan terlihat dalam 1-2 tahun kedepan. Semoga perkiraan saya benar.

  2. Bu,
    Apabila terjadi suatu kasus : kredit (pinjaman) dilakukan seseorang pada bank di daerah (hanya pinjam nama & agunan saja) tapi penggunanya bukan domisili daerah tersebut, walaupun untuk keperluan usaha/wiraswasta.
    apakah peranan Perbankan untuk mendukung perkembangan ekonomi di daerah, sudah di bilang tepat? ato bahkan berlawanan?

  3. sayasaja

    Bu kalo saya gak salah baca, kayaknya bank bisa menyalurkan kredit mikronya lewat BPR?
    Hal itu berlaku untuk BPD juga ga ya?
    Dengan pola ini mungkin BPD akan banyak menyalurkan kredit mikronya drpd harus repot-repot. Mereka sepertinya belum secanggih BRI untuk ngurusin yang mikro-mikro ini.
    (maksud saya untuk sementara waktu ini saja, ga tahun 1-2 tahun kedepan).

  4. Wienur,
    Apakah kasus tersebut benar ada? Pada prinsipnya Bank sebaiknya hanya memberikan pinjaman untuk usaha yang berlokasi diwilayahnya. Mengapa? Karena Bank juga harus memonitor, baik secara on site atau off site. Apalagi jika pinjam nama dan agunan, karena jika terjadi apa-apa pemilik agunan yang akan menanggung risikonya, padahal dia tidak menggunakan dana tsb…dan hal ini akan ditanyakan oleh auditor.

    Tapi jika masih dalam satu bank, hal tsb diperkenankan….misal Bank Bb mempunyai cabang di kota Surabaya, sedang kantor pusatnya di Jakarta. Karena kreditnya cukup besar, maka kewenangan memutus kredit ada pada kantor pusat. Sedang agunan terdiri atas: dimiliki oleh pengusaha sendiri yang berlokasi di Surabaya, serta ada agunan yang berlokasi di Kediri. Maka cabang Bank Bb di Kediri yang harus menilai agunan tsb, walaupun usulan kredit dari cabang Surabaya, hal ini dimaksudkan agar harga penilaian lebih riil. Apabila ternyata uang tsb digunakan orang lain, maka risiko kredit tak terbayar sangat besar, dan jika hal ini terjadi maka staf pemrakarsa dan yang menilai pengajuan pinjaman akan kena sanksi.

    Perbankan dapat mendukung perkembangan sektor riil, jika perbankan dapat memberikan pinjaman kepada orang yang tepat, jumlah yang tepat dan pada saat yang tepat. Pinjaman tsb benar-benar digunakan untuk usaha yang bermanfaat bagi masyarakat setempat, dan dapat menyerap tenaga kerja..serta usaha semakin berkembang, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan pada masyarakat yang terlibat pada kegiatan tsb.

  5. Sayasaja,
    Mengapa ada Bank yang menyalurkan kredit mikro melalui BPR? Karena Bank tsb tak mempunyai channel di pasar mikro, jadi melakukan kerjasama dengan BPR, karena BPR sejak dulu telah memliki kemampuan untuk menyalurkan kredit mikro. Bagi Bank, untuk membangun jaringan yang tersebar sampai ke unit mikro biayanya sangat mahal, jadi menggunakan arm dari BPR.

    Apa hal tsb berlaku untuk BPD juga? Saya tak bisa menjawabnya, karena saya tak mempunyai data. Penyaluran melalui BPR, juga ada risikonya…siapa yang menilai kelayakannya? Apakah bank yang menyalurkan kredit lewat BPR menyerahkan segala sesuatunya pada BPR? Bagaimana jika terjadi risiko….bagaimana pertanggung jawabannya? Karena bagi Bank, segala sesuatunya harus melalui proses mitigasi risiko terlebih dahulu.

  6. hidayat amir

    Bu, apakah ada perbedaan fundamental antara BPD dengan bank-bank nasional (BNI, BCA, Mandiri dll)? Apakah peran BPD mengalami pergeseran dari konsep awal sbg “Bank Pembangunan” dengan praktek kini? Soalnya saya masih awam dalam hal ini, namun tertarik untuk belajar ttg “Bagaimana sih peran optimal BPD dalam pembangunan nasional: peran kini dan idealnya”. Mohon pencerahan. Jikalau lah ada beberapa referensi ttg BPD, saya akan berterima kasih sekali kiranya Ibu sudi berbagai dengan kami.

    Salam kenal,
    Hidayat Amir

  7. Hidayat Amir,
    Perbedaan nya dari kepemilikan saham, serta latar belakang, serta segmen bisnisnya. Masing-masing Bank mempunyai Visi dan Misi berbeda, walau sama-sama Bank BUMN tetap ada bedanya. Seperti BRI, 80% adalah untuk segmen mikro, kecil dan Menengah. Untuk kredit Korporasi maksimal hanya 20%. Sedangkan Bank Mandiri segmen nya ke korporasi.

    BPD karena memang milik Pemda, lebih banyak ke UKM, dan nasabahnya sebagian besar tersebar dilokasi wilayah dimana BPD berada. Ada juga kredit besar yang dibiayai secara sindikasi. Namun dalam perjalanannya, BPD juga bisa membiayai kredit korporasi, dan untuk meminimalkan risiko umumnya berupa kredit sindikasi (bergabung dengan Bank lainnya).

    Saya hanya bisa memberi gambaran umum, karena bukan dari BPD.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s