Pada saat baru lulus dari Perguruan Tinggi, pernahkah anda merasa “gamang” apa yang harus dilakukan? Saya akan berkarir di bidang apa? Apa sebetulnya kompetensi saya? Dan jika saya diterima bekerja, apa saja yang harus saya persiapkan? Pertanyaan ini sangat wajar, dan hal ini bisa menimpa siapa saja, bahkan saat saya baru lulus kuliah pada akhir tahun 70 an.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut banyak ditanyakan pada saat ini, dimana persaingan dalam mencari pekerjaan semakin ketat, namun di sisi lain peluang untuk berkarir juga semakin luas, baik bagi kaum wanita atau laki-laki. Saya juga sering mendengar omongan orang-orang yang bergerak di bidang HRD, dan juga Direktur salah satu perusahaan, yang menyatakan….”anak sekarang jauh lebih pintar, tapi bila di wawancara, sulit sekali mencari yang match dengan kebutuhan perusahaan..” Nahh, dimana letak permasalahannya?
1. Pandai saat kuliah saja “tidak cukup”
Pada umumnya bangku kuliah memberikan pendidikan formal, apalagi dengan sistem 144 sks saat ini yang membuat waktu mahasiswa sangat sempit untuk melakukan kegiatan di luar kuliah. Sangat dianjurkan, pada saat kuliah, para mahasiswa mempunyai kegiatan di luar kegiatan kuliah, syukur jika bisa sambil bekerja paruh waktu, karena tanpa disadari pengalaman ini sangat membantu pada saat mencari pekerjaan.
Apabila sudah diterima bekerja, muncul kembali pertanyaan, kenapa ya kok saya kurang merasa cocok dengan pekerjaan ini, dan ingin pindah pekerjaan. Jika anda pindah pekerjaan setelah 6 (enam) bulan atau satu tahun, hal tersebut wajar. Namun bagaimana jika baru bekerja 2 (dua) atau 3 (tiga) bulan sudah merasa nggak cocok? Banyak keponakan, senior anak saya yang curhat, tentang pekerjaan yang setiap kali dirasakan tak sesuai dengan keinginannya. Dari hasil diskusi, ternyata dia sendiri sebetulnya tak mengetahui apa yang diinginkan. Atau jika karena gajinya sudah cocok, yang nggak cocok adalah situasi lingkungannya. Peralihan dari kehidupan mahasiswa ke dunia kerja, memang merubah kebiasaan, dan disadari ada orang yang mudah beradaptasi, dan ada pula yang harus memerlukan waktu cukup lama. Dari hasil percakapan, akhirnya diperoleh data bahwa sebetulnya yang bersangkutan merasa “gamang”, tak tahu apa yang dikerjakan, dan mau bertanya pada sekelilingnya, rata-rata karyawan senior sibuk. Pada saat ditanyakan, apakah dia membuat list apa-apa yang harus dikerjakan sesuai job description, jawabannya adalah karena karyawan baru, jadi dia hanya disuruh belajar. List yang dibuat, kalau sewaktu-waktu ada kesempatan bertanya, tak dapat dilaksanakan karena semua orang sibuk. Gajinya lumayan bu, tapi saya merasa tak bisa berbuat apa-apa, keluhan fresh graduate tersebut.
Sebuah hasil penelitian terhadap fresh graduate pada beberapa perusahaan multinasional mengatakan, bahwa 20% dari para fresh graduate yang “dicemplungkan” tanpa bimbingan dapat bekerja dan berkinerja sesuai harapan perusahaan. Sejumlah 30% lainnya butuh waktu lebih lama untuk beradaptasi, sedang 50% sisanya akan jadi karyawan yang tidak berkinerja optimal, setidaknya satu tahun, atau bahkan selamanya (Eileen R. dan Sylvina S, 2007). Anda bisa membayangkan kerugian yang diperoleh karyawan maupun perusahaan, karena dari karyawan baru, hanya 50% yang beradaptasi dan 30% masih memerlukan waktu. Apabila 50% kinerja karyawan baru, berkinerja baik setelah melewati satu tahun, atau berkinerja buruk selamanya, apakah tidak lebih baik jika perusahaan lebih mempersiapkan sistem penerimaan para fresh graduate ini?
Dari pengamatan secara pribadi, orang-orang yang berhasil melewati tahap wawancara (biasanya merupakan tahap ke 6, sebelum test kesehatan), adalah para fresh graduate yang saat menjadi mahasiswa aktif di berbagai kegiatan, sempat bekerja paruh waktu, atau sempat bekerja lebih dulu di perusahaan lain. Mereka lebih fokus dalam menjawab pertanyaan, jawaban lebih tertata, sehingga memudahkan assessor dalam menilai apakah kompetensinya match dengan kompetensi yang dibuthkan perusahaan. Pada umumnya para pewawancara telah dibekali ilmu untuk bisa menggali kompetensi dari yang diwawancara. Apabila kompetensi yang diperlukan belum muncul, pewawancara akan mencoba mengajak mengobrol ringan, agar peserta tidak stres dan dapat menunjukkan kemampuannya.
2. Kemampuan apa saja yang perlu dipersiapkan, yang tak diajarkan pada bangku kuliah?
Eileen R. dan Sylvina S. menjelaskan, bagaimana pengalamannya pertama kali bekerja. Hal-hal yang harus dipelajari, antara lain: Sistem dan prosedur, proses bisnis, etik, “unggah-ungguh”, cara berkomunikasi, sampai praktek-praktek yang nampak sederhana seperti “filling” , penomoran surat, standar kinerja, yang ternyata merupakan hal-hal “kantoran” yang masih merupakan hal-hal baru bagi para fresh graduate. Rahasia budaya kerja seperti “jangan anda yang berjalan, biar dokumennya yang berjalan” (di bawa oleh office boy)” atau pengamalan “clean desk policy” sulit dibayangkan dari bangku kuliah.
Menurut pendapat saya (atas dasar pengalaman), pada saat pertama kali masuk ke dunia kerja adalah “kenali budayanya”. Budaya kerja orang-orangnya, seperti: cara berpakaian, gaya bicara jika menghadapi atasan ataupun rekan kerja, bagaimana cara makan siang (keluar ruang atau pesan makan dan makan ramai-ramai ditempat yang sudah ditentukan), apakah ada semacam iuran untuk keperluan mendesak seperti teman sekerja ada yang sakit atau kematian, dan hal-hal sepele lainnya. Dengan memperlajari budaya kerja dilingkungan kantor tersebut, anda akan mudah berkomunikasi dengan rekan kerja, mendapatkan simpati dari rekan kerja yang lebih senior, yang akan dengan rela memberitahu pada anda apa yang sebaiknya dilakukan.
Kemudian yang penting adalah pahami proses bisnis, dan posisi anda nantinya akan diproyeksikan kemana. Pelajari job description posisi anda, apa hak dan kewajiban anda, dan anda diharapkan seperti apa. Biasanya di perusahaan, ada karyawan senior yang secara tak langsung ditugaskan membimbing adik-adiknya, namun sering sekali mereka tak ada waktu untuk membimbing, karena jadual kesibukan yang padat. Pandai-pandailah mencari celah untuk bertanya, kapan waktu yang tepat, sementara anda harus jeli mengamati bagaimana cara senior melaksanakan tugas-tugasnya, bagaimana cara meng handle klien yang sulit. Untuk perusahaan besar, pada umumnya telah mempunyai manual standar operasional, dari manual-manual yang ada anda bisa mempelajari tugas berbagai macam posisi di perusahaan, juga pelajari bagaimana rangkaian proses suatu keputusan. Jika anda beruntung, senior sering menawarkan untuk melakukan diskusi sepulang jam kerja, atau kadang mengajak makan di luar saat jam makan siang, disinilah kesempatan anda untuk menanyakan hal-hal yang kurang dipahami.
3. Adakah perusahaan yang melakukan “induksi program” atau training?
Disadari, biaya training untuk para fresh graduate sangat mahal, untuk MDP (Management Training Development) diperkirakan menghabiskan biaya antara Rp.150 juta s/d Rp.200 juta per orang, dan memakan waktu sekitar satu tahun. Dari program MDP inipun tak semua yang lulus ujian berhasil berkinerja baik, maksudnya yang lulus program dengan nilai terbaikpun masih harus membuktikan bisa mengaplikasikan ilmu yang diperoleh saat training di lapangan.
Kenapa banyak perusahaan yang tidak menggunakan program training ini? Selain biaya dan energi (tak semua perusahaan mempunyai Divisi Pendidikan dan Pelatihan), ada juga perusahaan yang menganggap bahwa pelatihan bisa dilakukan sambil berjalan. Para fresh graduate dapat langsung bekerja setelah lulus seleksi, namun kewenangan yang dimiliki terbatas, seperti tak boleh melakukan tandatangan atau paraf pada approval dan sebagainya.
Bagaimana jika posisi anda sebagai manager pada unit yang diberi tugas untuk mendidik fresh graduate agar mudah menyesuaikan diri? Dari pengalaman, para fresh graduate dengan bimbingan mentor dapat bekerja mandiri setelah 6 (enam) bulan bekerja. Mereka dibebani pekerjaan yang jadualnya ketat, dan agar mereka bisa me manage waktu, mereka disuruh membuat miles stone tugas-tugas yang dihadapi, jangka waktu kapan harus selesai, person in charge yang terkait dengan bidang tugas tersebut. Setiap bulan hasilnya di monitor dan di evaluasi, disini diharapkan evaluasi dapat dilakukan secara terbuka, termasuk ketidak puasan manager, agar trainee segera memahami kesalahannya. Bagi para trainee, harus dipahami bahwa teguran atasan dimaksudkan untuk membantu dan mengingatkan trainee, karena pada akhirnya tujuan bekerja adalah membuat pelanggan puas. Manager bisa meminta trainee melakukan pekerjaan yang berat, di bawah tekanan, agar nantinya akan diketahui siapa diantara mereka yang paling cepat beradaptasi, dan bisa memanage stres, apalagi jika perusahaan ini bergerak dalam bidang usaha yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan.
Sebagaimana diutarakan oleh Eileen R., yang menyatakan bahwa seorang Direktur SDM sebuah perusahaan, selalu mengingatkan para “management trainee nya”…”Anda akan saya bebani pekerjaan yang paling berat dan kotor. Jika anda melewati masa ini, maka pekerjaan akan terasa mudah karena anda sudah menemukan “selera” bekerja untuk seterusnya”.
4. Apa peran Perguruan Tinggi dalam mempersiapkan mahasiswanya agar bisa langsung berkarya di masyarakat?
Pada beberapa Perguran Tinggi saya melihat ada yang sudah mempersiapkan mahasiswa dengan melatih bekerja paruh waktu pada proyek inkubator di fakultas masing-masing. Sayangnya proyek ini tak mampu menampung semua mahasiswa, disamping tak semua mahasiswa berminat, karena jadual kuliah yang padat.
Ada juga Perguruan Tinggi yang membuat pelatihan (berupa soft kompetensi), yang dilakukan pada saat libur, bekerjasama dengan lembaga pelatihan yang umumnya dimiliki oleh alumni Perguruan Tinggi tersebut, sehingga biayanya bisa ditekan. Pelatihan semacam ini sangat berguna, untuk mempersiapkan para mahasiswa tingkat akhir atau para fresh graduate, supaya bisa memasuki dunia kerja dengan mulus.
5. Keberhasilan ditentukan oleh kedua belah pihak.
Para fresh graduate harus menyadari, dalam iklim dunia kerja yang semakin kompetitif ini, mereka harus segera mampu beradaptasi jika memasuki dunia kerja. Jadikan teguran atasan untuk lebih memacu kemampuan dan semangat kerja. Para fresh graduate juga harus rajin belajar tanpa menunggu dibimbing senior, menyerap dasar-dasar manajemen kerja yang ada dilingkungannya, mempelajari cara-cara komunikasi formal maupun informal, kode etik dan budaya kerja perusahaan tempatnya bekerja.
Para fresh graduate juga harus bisa mengatur jadual kerjanya, mencatat, melakukan tugas yang telah didisposikan kepadanya tanpa harus ditagih (jika perlu lebih cepat dari waktu yang ditentukan), menyerap sebanyak-banyaknya ilmu sehingga bisa berpartisipasi dalam rapat-rapat dimana trainee sering diminta ikut hadir.
Eileen R. menjelaskan, bahwa masih ada ketrampilan dasar yang harus dipelajari seperti: mengembangkan rasa percaya diri, membina hubungan pertemanan, penajaman “common sense” serta sistematika berpikir. Proses integrasi antara individu dan perusahaan perlu dimotori oleh kedua belah pihak secara aktif, sebagaimana halnya kedua orang yang akan menjalin ikatan perkawinan.
Bahan bacaan;
- “Langkah kanan” Memasuki Dunia Kerja. Eileen Rachman dan Sylvina Savitri. Kompas, 22 September 2007, hal. 45.
- Pengalaman penulis dalam pendidikan rekrutmen, Management Trainee , serta diskusi dengan beberapa Direktur SDM perusahaan BUMN.
bagus banget tulisannya bu.
thanks banget!
Adi,
Syukurlah jika bermanfaat….terlalu sering mendapat curhat dari adik-adik fresh graduate sih….semoga tulisanku bisa membantu mereka yang masih bingung.
Tapi kerja dimana, juga merupakan pilihan, dan tak bisa hanya dilihat dari besarnya gaji, masih banyak unsur-unsur lain yang lebih penting.
Satu hal pokok yang mungkin harus dipikirkan untuk diajarkan di bangku kuliah pada semua jurusan adalah Dasar Ilmu Komunikasi (terutama bagi mahasiswa jurusan2 sains/teknik), karena kemampuan melakukan komunikasi adalah dasar untuk masuk dalam lingkungan kerja. Sering sekali terjadi bahwa orang yang pintar namun gagal dalam berkomunikasi dengan rekan kerjanya, juga gagal dalam mengkomunikasikan ide, saran, pertanyaan, hingga keberatannya.
Wah keren bu tulisannya.
Gimana bagi fresh graduate yang kerja jadi PNS bu, apakah di setiap departemen juga ada metode “pembimbingan: bagi pekerja barunya???
Selain itu bu, saya punya masalah dalam bagaimana menyampaikan pendapat atau ide ketika bekerja.
Saya pernah punya pengalaman magang di PT Bakrie Brothers, Tbk. Pada waktu itu salah seorang karyawan senior menyampaikan pendapatnya mengenai sistem akuntansi yang diterapkan perusahaan, tetapi menurut saya apa yang disampaikannya itu kurang tepat, karena dia karyawan senior, saya tidak berani untuk menyanggahnya. tapi pekerjaan tetap saya lakukan menurut versi saya
heheheheh
bener ngak sih bu tindakan saya itu???
Mriyandi,
Di PNS juga ada metode pembimbingan, tentu sistemnya disesuaikan dengan bidangnya. Dosen, biasanya dilatih oleh seniornya, dan ikut semacam pendidikan (kalau dulu P4 dsb nya), dan dikenalkan sistem dan budaya kerja yang ada pada PT tsb.
Langkahmu kurang tepat, mengapa perusahaan menggunakan sistem akuntansi tsb pasti ada latar belakangnya. Dari pengalaman bekerja, saya tahu setiap sistem ada plus minusnya, dan organisasi setiap saat akan menyesuaikan. Kadang-kadang bagi orang luar atau pegawai baru, merasa sistem tsb nggak pas, kok terasa muter , maklum masih semangat2nya bekerja, padahal itu merupakan bagian built in control.
Jika tak sependapat, seharusnya Mriyandi bertanya mengapa perusahaan pakai sistem itu, sehingga nantinya tahu alasan atau latar belakang yang mendasari pemilihan itu. Jika mengerjakan sesuai keinginan hati masing-masing, ini tak bisa dibenarkan, dan nantinya jadi catatan auditor, yang berakibat pada karir yang bersangkutan. Jadi, jangan diulangi lagi, anda bisa mengacaukan karir seniormu, jika ternyata pekerjaan merugikan secara finansial (untungnya masih saat magang ya…biasanya catatan dari para karyawan magang akan diulang/diteliti lagi)….karena di tempat saya, untuk yunior hanya bisa membuat usulan, tapi tetap dikoreksi, dan belum boleh membubuhkan paraf atau tanda tangan. Mengapa? Karyawan yunior belum memahami risikonya, dikawatirkan jika yang dilakukan suatu saat timbul perkara, yang bisa menjadi urusan perdata atau pidana, karyawan tadi akan tersangkut juga.
Pesan moralnya: jika masih baru di suatu bidang, pelajari, amati, dan bersikap hati-hati. Belum tentu apa yang kita dapat diwaktu kuliah, dapat dilaksanakan. Walau sistem akuntansi sudah ada aturannya…tapi perusahaan mempunyai strategi dalam bidang keuangan, agar perusahaan tetap dapat tumbuh, dan tidak kaget jika ada kejutan.
Andrias Ekoyuono,
Menurut saya, tak ada perbedaan apakah seseorang dari latar belakang pendidikan sosial/ekonomi atau dari sains/teknik…ini berdasar pengalaman. Yang membedakan adalah kemampuan beradaptasi masing-masing orang, untuk mau belajar dan menyerap ilmu/ pengetahuan dari lingkungan kerja sebanyak-banyaknya.
Bahkan saat ini, lebih banyak sarjana teknik yang diterima (dikantorku sejak tahun 80 an, para GM, Pemimpin Divisi, Manager bahkan Direksi banyak dari insinyur)…..karena untuk perbankan, yang harus segera menyesuaikan dengan peraturan Basel II, sangat diperlukan orang yang analisisnya kuat, terutama dalam bidang statistik dan matematik. Namun yang dari sosial tak perlu kawatir, dengan belajar dan biasanya ada training yang berkelanjutan, baik dari sosial maupun teknik mempunyai peluang yang sama.
Yang saya tahu di ITB ada pelatihan bagi mahasiswa tingkat akhir, kerjasama dengan IOM ITB (terbuka juga untuk orang luar, karena keponakanku yang dari UNDIP pernah ikut, walau bayarnya lebih mahal karena tak mendapat subsidi), juga universitas-universitas lain. Ini akan menolong teman-teman untuk lebih mempersiapkan diri, jika dalam perusahaan yang dimasuki tidak ada induksi program atau pelatihan untuk rekrutmen.
Ibu, tulisannya bagus sekali. saya setuju point ‘kemampuan yang harus disiapkan, yang tidak diajarkan di bangku kuliah’. Soalnya pekerjaan saya gak nyambung dengan latar belakang pendidikan, dan alasan saya diterima cuma karena saya aktif di organisasi kampus 🙂
Bagaimana pendapat Ibu jika ada perusahaan baru, yang tidak memberikan job desc / prosedur jelas kepada karyawan, jadi karyawan melakukan pekerjaan berdasarkan ‘feeling’ aja. Syukur-syukur klo sudah punya pengalaman kerja, klo fresh graduate kan bingung juga Bu.. 🙂
nice posting 🙂
Dunia kerja adalah salah satu awal dari “real” life, we must prepare well to survive there, another gate is business world, more “crazy”…
Sedikit tambahan tips agar bisa survive untuk para fresh graduate… “Stand up for your self! because actually no one will fight for you…”
“Andy OrangeMood is Online Advertising Consultant & Motivational Blogger”
great mom….
saya stuju bgt dengan poin I
mungkin ibu bisa kasih saran lg tentang pindah jalur ketika kita bekerja. maksud saya perbedaan backgroud kuliah dengan kerjaan. karena saya liahat ibu juga begitu dari agriculture trus masuk bank… thats great thing… saat ini saya juga gt tp saya ingin sekali balik ke background saya lg…
gmana ya buuu
btw kok jd curhat yaaa…
heheheheh
maksih ya atas tulisan ibu diatas bikin saya lebih semangat lhoooo…
lam le kum
Hallo Bu Enny, masih ingat saya? maaf ya Bu, saya belum beli buku lagi selain buku ramadhan, jadi belum bisa share lagi dan rekomendasi.
Hm, tulisannya pas banget nih. saya baru lulus apoteker. ingin sekali bekerja, namun langsung s2 karena berencana fokus di dunia akademik.
Agak jealous juga dengan teman2 yang sudah melamar2 atau keterima kerja. saya belum nemuin tempat yang tepat untuk bekerja paruh waktu. Kebetulan jadwalnya juga padat karena kewajiban voucher s2 itb ya jadi asisten (3 hari dalam seminggu).
Ada saran Bu?
dan bener banget, kita harus tahu keinginan kita sendiri dan bekerja dengan gembira untuk mendapatkannya.
Makasih banyak, Bu Enny..
Tulisan di atas sangat bermanfaat dan terus terang mengandung banyak pertanyaan penting yang patut dipikirkan bagi manager maupun senior staff di perusahaan yang menginginkan tingkat produktifitas yang tinggi dari para karyawan baru mereka.
Bagaimana dengan profesional yang menyumbangkan waktu dan expertise untuk memberikan seminar di perguruan tinggi? Paling tidak memberikan gambaran atau culture introduction bagi mahasiswa atau adik kelas yang akan mencari kerja setelah lulus.
kalo pengalaman saya begini bu …
ada dua macam seleksi kerja yang saya pernah ikuti
1. prosedur normal : psikotes, wawancara HRD, wawancara user, kesehatan
seleksi normal seperti ini saya selalu gagal di psikotes ataupun HRD.
2. prosedur wawancara : wawancara user & eksekutif, psikotes, wawancara hrd, kesehatan
saya lolos hingga wawancara hrd
3. recruitment by project : wawancara dan langsung bekerja
jadi kendala yang dihadapi adalah psikotes :). di mana harus nya seseorang normal pasti dapat lolos, ternyata saya dibawah rata-rata. males mikir, mudah menyerah, dan berlambat-lambat merupakan kendala yg saya hadapi.
tapi kalo wawancara dengan user dan eksekutif duluan, saya lebih pede dan bisa lolos.
prosedur by project yang dilihat langsung kemampuan. di sini rata2 semua teman saya pasti diterima.
nah di sini yang perlu diajarkan dan ditambahkan apa ya ?
apakah kemampuan menghitung dengan cepat ? untuk pauline dan kreplin tes ?
ato belajar aptitude tes ?
saya juga akhirnya selalu berpikir apakah saya terbiasa berpikir komplek sehingga persoalan mudah malah tidak bisa … 😀
o iya… pengalaman dengan yunior di tempat kerja…
saya selalu mengajak mereka untuk mengerjakan sesuatu baik yang paling mudah maupun yang paling susah. saya selalu mengajak mereka untuk menjadi partner.
tapi selalu ada kendala seperti ini :
1. yunior diberi tugas mudah : merasa tugas ece-ece dan males mengerjakan.
2. yunior diberi tugas susah : merasa terlalu susah dan akhirnya tugas tidak selesai. saya juga yang harus beresin.
nah bagaimana membimbing yunior dalam pekerjaan ? kayaknya bisa jadi posting baru buat bu ratna nih…
bicara soal persiapan masuk dunia kerja ada satu artikel kompas yang menceritakan betapa porsi EQ saat ini lebih diutamakan daripada porsi IQ. mungkin ini bagus juga sebagai bahan masukan/bahan bacaan/pedoman. artikelnya ada disini.
Winnie,
…..pekerjaan saya gak nyambung dengan latar belakang pendidikan, dan alasan saya diterima cuma karena saya aktif di organisasi kampus 🙂 …..Benarkah ini alasannya? Saya kira tidak. Jika anda pernah diwawancara saat masuk kerja, sebetulnya wawancara tadi, yang terlihat “hanya” seperti mengobrol, sudah merupakan test. Bagi pewawancara handal, apalagi memang menguasai bidang pekerjaannya, dengan mengobrol 5 menit, dia sudah bisa melihat kompetensi yang muncul dari yang diwawancarai. Apalagi jika Winnie suka cerita, dan disuruh cerita bagaimana saat berorganisasi (kompetensi yang kemungkinan muncul: integritas, team work, achievement to drive dll). Jika si pewawancara belum yakin, dia akan melakukan probing, dengan menanyakan hal yang kelihatan sepele…yang sulit adalah melihat kompetensi dari seseorang yang sangat pendiam, karena pengamatannya memerlukan waktu lebih lama.
…..jika ada perusahaan baru, yang tidak memberikan job desc / prosedur jelas kepada karyawan, jadi karyawan melakukan pekerjaan berdasarkan ‘feeling’ aja. Syukur-syukur klo sudah punya pengalaman kerja, klo fresh graduate kan bingung juga Bu.. :)….
Winnie,justru kalau perusahaan baru, orangnya masih sedikit, jadi kreativitas karyawannya akan dipaksa muncul. Dan kadang mungkin pemilik juga masih belajar sambil jalan….dan jangan menyepelekan fresh graduate, banyak kok yang kreatif , dan jujur saja , saya banyak belajar dari para fresh graduate ini . Karena masih baru, fresh, tak ada rasa apa-apa, ide atau komentar mereka mengagetkan…tapi layak didengar dan kadang merupakan ide yang tak terpikirkan oleh kita-kita yang udah lama di perusahaan. Saya punya bos, yang kerjaannya tiap hari ngajak diskusi, sharing, karyawan baru….dan setelah kenal lama, beliau mengaku bahwa sering mengambil ide-ide saya …(Ha! saya bengong, rasanya kalau diajak ngobrol, ya cuma ngomong doang).
Andy,
Benar sekali, kita harus tetap jadi diri kita sendiri, justru ini yang membuat kita mempunyai diferensiasi dengan yang lain, sehingga atasan, teman akan mengenal kita seperti apa adanya. Bahkan kita bisa melatih diri kita agar dipersepsikan sebagai apa….dan ini harus dimaintain, agar konsisten…
Sari,
Ada beberapa teman yang ingin saya menulis bagaimana caranya pindah jalur, atau bisa juga bagaimana jika kita pindah pekerjaan? Komentar mereka…”bu, ini kan hanya untuk fresh graduate, yang seperti saya bagaimana, kalau saya ingin pindah pekerjaan, dan yang hasilnya lebih baik”… (sekarang ini banyak teman-teman yang pindah kerja di tempat lain..dan disetujui oleh bos-bos, karena kalau mereka pindahnya baik-baik, merupakan promosi bahwa alumni perusahaan “XX” orang-orangnya bisa dihandalkan.
Tapi nggak janji ya, masalahnya sekarang hanya sempat nulis pas akhir pekan saja, hari2 rasanya dikejar pekerjaan.
Dika,
Hi, selamat udah lulus dan udah juga diterima S2. Saya termasuk menyarankan anak saya langsung S2, biar saat lulus umurnya masih muda dan ada kesempatan untuk mendapat pekerjaan. Kalau bisa, mau terus S3 juga nggak apa-apa, siapa tahu masuk ke jalur akademik (jadi dosen, peneliti etc). Karena saat ini, untuk jadi dosen, minimal harus udah S2 (ada surat edaran dari Dirjen Dikti).
Jadi asisten melatih kita untuk memahami bawahan (dhi adik-adik kita), melatih kepemimpinan, membuat mereka bekerja dalam tim (kadang mereka dapat tugas berkelompok kan, dan pasti terlihat ada yang punya bakat leadership), mendorong mereka mengerjakan tugas sendiri (tak tanya melulu)…ini hanya salah satu contoh bahwa Dika sebetulnya juga dalam proses mendorong pelatihan soft kompetensi (selain hard kompetensi, seperti mereka membuat tugas pelaporan)….dan pada saatnya nanti akan memudahkan mencari pekerjaan, atau bahkan membuat pekerjaan…bikin apotik, misalnya, gabung dengan teman-teman.
Coba sekarang Dika mulai latihan, setiap langkah sambil dipikirkan, sebetulnya langkah saya ada artinya nggak, ada unsur meningkatkan kemampuan nggak…ini akan menolong sekali. Supaya nggak bingung…mikirnya malam-malam saat mau tidur, sekaligus introspeksi diri, apa saja yang telah kita lakukan sendiri. Setuju? Nanti kalau ada hasilnya, kirim email ya? Thanks.
Barry,
…..Tulisan di atas sangat bermanfaat dan terus terang mengandung banyak pertanyaan penting yang patut dipikirkan bagi manager maupun senior staff di perusahaan yang menginginkan tingkat produktifitas yang tinggi dari para karyawan baru mereka….
Saya juga diminta teman-teman untuk menulis bagaimana cara kita mendidik para fresh graduate ini, jika kita menjadi seniornya atau manager nya? Hmm kebetulan saya termasuk Project Officer para AO sejak tahun 1985 an s/d 1990 an…nanti kalau ada waktu saya akan coba tulis.
....Bagaimana dengan profesional yang menyumbangkan waktu dan expertise untuk memberikan seminar di perguruan tinggi? Paling tidak memberikan gambaran atau culture introduction bagi mahasiswa atau adik kelas yang akan mencari kerja setelah lulus….
Sebetulnya ada beberapa yang sudah meminta saya memberi pelatihan, ceramah di PT…tapi kembali lagi, waktu saya masih padat, apalagi saat bulan Ramadhan ini, karena “terpaksa” jadi care taker memimpin anak perusahaan untuk sementara waktu (selama ini sbg komisaris waktunya “agak longgar”, paling tidak ada waktu untuk menulis).
Sandy,
Kedua pertanyaanmu saya jawab sekaligus ya…atau kapan-kapan saya buat posting tersendiri (wahh, kok saya jadi janji melulu…udah ada 3 janji nih karena artikel di atas).
Terus terang saya belum sempat tatap muka dengan Sandy, jadi kurang bisa menilai Sandy. Kapan berangkat ke Jepang? Ketemu Malik lebih dulu nggak? Kalau iya, sempatkan mampir kerumahku, ntar kita ngobrol…atau kirim email ya.
Saya menduga (maaf kalau salah), jangan-jangan Sandy pendiam, sehingga saat test kompetensi nya kurang muncul (maklum yang memberi test kan bukan ahli di bidang fisik pekerjaannya, tapi dari lembaga psikologi yang testnya lebih general, sesuai permintaan pengguna). Hal ini agak berbeda jika yang memberikan test adalah orang yang langsung memahami bidang teknisnya, jadi pertanyaan lebih mengarah, dan karena Sandy pendiam (walau tulisan di blog mu lucu-lucu) maka Sandy bisa menjawab dengan lancar. Saya banyak mempunyai anak buah yang pendiam, dan kita harus kenal “cukup lama” untuk mengetahui bahwa sebenarnya dia hebat.
Analisa saya mungkin salah…coba sekarang analisa saja diri sendiri…karena Sandy telah lulus dan sebentar lagi ke Jepang (mendapat beasiswa) untuk melanjutkan kuliah S2, saya yakin sebetulnya Sandy mampu. Nggak semua orang bisa dapat beasiswa ke luar negeri lho.
Sering terjadi fresh graduate yang gagal di psikotest dan wawancara, tapi setelah mencoba beberapa kali, baru lulus…..tapi ini juga ada hikmahnya lho….karena ini Sandy jadi belajar terus. Coba kalau test/wawancara lulus, dan kerja…mungkin kuliah ke Jepang jadi tertunda.
Intinya…good luck….mudah2an kita sempat ngobrol ya Sandy…ajak Malik dan Anto, dia sering kerumah hanya untuk ngobrol-ngobrol ga jelas….
Osinaga,
Kok pertanyaanmu terpotong ya…jadi ini saya ulang lagi……“bicara soal persiapan masuk dunia kerja ada satu artikel kompas yang menceritakan betapa porsi EQ saat ini lebih diutamakan daripada porsi IQ.
mungkin ini bagus juga sebagai bahan masukan/bahan bacaan/pedoman.
artikelnya ada di sini
….”http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/19/utama/3855839.htm”
rel=”nofollow” ……
Osinaga,
Thanks infonya, saya juga sempat baca. Memang setelah bekerja EQ lebih penting, karena IQ tinggi tak menjadikan untuk sukses di dunia kerja. Kalau saya ditanya.. “Siapa yang paling berperan mendukung karir mu?”
Jawaban saya, lingkungan terdekat (suami, anak, pembantu…dan teman-teman dikantor, …peer, subordinates, atasan, teman atasan dan lain-lain). Bahkan pembantu juga mendukung peran kita, yang kadang memijat kita kalau capek, membantu pekerjaan rumah tangga yang tak ada habis2nya, sehingga kita bisa konsentrasi pada pendidikan anak dan pekerjaan…pramubakti di kantor, yang sering membuatkan kopi atau membelikan makanan, dan sering dititipi belanja karena saya tak sempat masak saat pembantu pulang kampung….
Dan berhubungan dengan mereka-mereka ini memerlukan kerendahan hati, mau menolong, menghargai walau mereka bawahan kita….jadi EQ memang penting sekali untuk membuat karir kita lancar.
“Jangan kuliah terus”
Di kampus da hal yg ga bs qt dptkan dari kuliah saja. Kebanyakan yang ibu sebut diatas didapat dari pengalaman, organisasi misalnya.
Sagung,
Organisasi dapat membentuk karakter kita jadi lebih kuat, bisa mengelola waktu (waktu terbatas, bisa digunakan untuk kuliah dan berorganisasi), juga bisa bekerja dalam tim. Ini yang penting, karena nantinya setelah bekerja kita banyak bekerja dalam tim, dan kadang ada anggota tim yang bekerja seenaknya. Disini tantangannya, bagaimana agar semua anggota tim menyumbangkan peranannya….ini bisa dipelajari jika dalam organisasi kita tak sekedar duduk sebagai anggota.
Dari wawancara, juga akan diketahui bagaimana seseorang mempunyai kemampuan mengelola tim, punya achievement to drive, komitmen terhadap organisasi dll….hanya melalui diskusi yang kelihatannya cuma obrolan ringan diselingi ketawa-ketawa.
thans bu,,, masukanya
Ipul Sihotang,
Sama-sama