Kompas hari Sabtu tanggal 22 September 2007 pada halaman 1 dan halaman 15, menulis bahwa “Balai Pustaka berulang tahun ke 90 pada tanggal 22 September 2007”. Apakah anda, pembaca blog ini mengenal Balai Pustaka? Seperti apakah buku-buku terbitan mereka? Jika anda jalan-jalan ke Gramedia, apalagi ke Gunung Agung, mulai jarang ditemui buku-buku terbitan Balai Pustaka. Jika anda adalah pencinta dan pengamat sastra, buku-buku terbitan Balai Pustaka kadang-kadang masih bisa dijumpai di rak “sastra” tercampur dengan terbitan sastra penerbit baru.
Karya-karya PT Balai Pustaka (Persero), selanjutnya ditulis BP, sejak dulunya dikenal sebagai karya sastra, dan buku terbitan BP yang mengalami cetak ulang lebih dari 20 kali antara lain adalah ” Layar Terkembang” karangan Sutan Takdir Alisyahbana, “Siti Nurbaya” karangan Marah Rusli, dan “Salah Asuhan” karangan Abdul Muis (Kompas, 22 September 2007). Untuk lebih memahami, apa dan bagaimana BP, saya mencoba menulis tentang BP, yang sumber bahannya dari Kompas tgl. 22 September 2007, ditambah pengalaman penulis yang sejak mengenal bacaan, bersyukur telah mendapat limpahan buku-buku terbitan BP.
1. Apa dan siapa PT Balai Pustaka (Persero)?
Pada tanggal 14 September 1908, Pemerintah Kolonial Belanda membentuk badan Commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur, yang tugasnya memberi pertimbangan kepada pemerintah Hindia Belanda dalam memilih buku bagi masyarakat. Badan itu lalu berubah menjadi Balai Poestaka, 22 September 1917. BP sempat berganti-ganti status, dan terakhir menjadi perseroan dan Badan Usaha Milik Negara.
Pada era awalnya, BP menerbitkan roman baru berbahasa Melayu dan daerah. Nama pengarang besar, seperti Merari Siregar, Marah Rusli, Abdul Muis, Idrus, Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi Pane dan Achdiat Kartamihardja, lahir lewat BP.
Dalam artikelnya untuk harian Kompas , dalam rangka memperingati 50 tahun BP, 23 September 1968, perintis pendirian BP, sastrawan Sutan Takdir Alisyahbana, menulis besarnya jasa-jasa BP sebagai pendorong dan penyebar Bahasa Indonesia. Pada masa awal, BP memberikan bacaan bermutu kepada orang Indonesia yang telah menamatkan sekolah desa. BP menjaga agar rakyat dijauhkan dari bacaan menyesatkan.
2. Pengalaman penulis dalam mengenal terbitan PT Balai Pustaka (Persero)
Ayah penulis adalah guru bahasa Indonesia, dan bahan yang diajarkan antara lain adalah kesusasteraan Indonesia. Ayah mempunyai banyak buku di rumah, yang hampir 90% nya terbitan BP. Semasa kecil, bacaan pertama saya (sudah lupa namanya, kalau tak salah “Rangkaian 13 cerita”) merupakan kumpulan cerita pendek yang lucu-lucu, tulisan pengarang BP. Ibu suka mendongeng sebelum kami tidur, sedang ayah lebih suka cerita keseharian, juga secara tak langsung mengajarkan kami, tiga bersaudara, anak-anak ayah untuk lebih mencintai karya-karya sastra penulis Indonesia. Oleh karena itu, walaupun saya tak memiliki bakat ayah, nilai bahasa Indonesia biasa-bisa saja, namun di bidang kesusasteraan nilai saya cukup menonjol.
Semakin besar, saya sering meminjam buku-buku dari perpustakaan sekolah, dan jika teman-teman wanita yang lain lebih suka membelanjakan uangnya untuk beli baju atau aksesoris lain, saya lebih suka membeli buku. Lucunya, hadiah ulang tahun di keluarga kami adalah “buku”, dipilih buku yang belum pernah dibaca dan tak ada diperpustakaan rumah kami, agar pemberi hadiah maupun yang diberi hadiah sama-sama bisa menikmati buku bacaan baru.
Sebuah karya sastra adalah karya yang membuat persepsi pembaca bisa berkembang, masing-masing pembaca bisa menginterpretasikan dan mengembangkan tokoh-tokoh dalam cerita sesuai alur pikiran masing-masing, yang sangat dipengaruhi oleh kemampuan olah pikir, pengetahuan, kedewasaan dan pendidikan si pembaca. Demikian penjelasan pak Jacob Sumardjo, yang kebetulan rekan sesama dosen tempat suami mengajar, saat diskusi dengan anak sulungku. Pernyataan pak Jacob benar, saya membaca Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisyahbana pertama kalinya saat SD, dan saat itu pemahaman saya buku tersebut menceritakan roman percintaan. Saat SMA saya membaca ulang kembali, dan saya lebih tertarik mengenai lokasi cerita, antara kota Jakarta tempo dulu (dimana ya letaknya Gang Hueber di Petojo….apakah masih ada?) dan Puncak….ini yang mengilhami saya ingin melanjutkan kuliah di kota lain. Dan saat membaca lagi setelah mahasiswa, saya baru menyadari bahwa Sutan Takdir mempunyai pesan terselubung, bahwa Indonesia dalam pergerakannya sebagai bangsa baru membutuhkan dukungan pemuda baik wanita maupun laki-laki. Anda bisa melihat, tokoh wanita yang masih “agak tradisional”, yang manja, senang berpakaian warna-warni, cantik, dan ingin mengabdikan diri hanya pada suami jika sudah menikah, dalam cerita tersebut “dimatikan”. Dan yang bisa melanjutkan kehidupan adalah tokoh “Tuti” yang aktif dalam pergerakan kaum wanita bangsanya, tak peduli komentar orang bahwa dia termasuk terlambat karena wanita seusianya telah menikah semua. Akhirnya Tuti menikah dengan Yusuf, seorang dokter, seseorang yang juga aktif dalam pergerakan bangsa, yang sebelumnya adalah pacar Maria (meninggal karena sakit paru-paru). Dan kata-kata Tuti saat menengok makam Maria, adiknya adalah…”Suf…hidup kita adalah kerja…dan kerja..”.
3. Perkembangan PT Balai Pustaka (Persero).
Direktur BP, Zaim Uchrowi, yang baru bertugas tiga bulan mengakui, awal tahun ini merupakan titik nadir bagi BP. “Secara bisnis, pada tahun 2004 BP masih mencetak hingga 12 juta eksemplar, tetapi terakhir pada tahun 2006, hanya satu juta eksemplar. Itu antara lain disebabkan ketidak siapan dalam mengatasi perubahan, baik terkait krisis moneter maupun persaingan bisnis, ujar Zaim yang juga penulis 7 (tujuh) buku, sebagaimana di tulis Kompas.
Kini BP menerbitkan sekitar 350 judul buku per tahun, antara lain kamus, referensi, buku ketrampilan, sastra, sosial, politik, agama, ekonomi dan penyuluhan. Penerbitan sastra sekitar 25 % dan sekitar 70 % penerbitan buku pendidikan dan referensi, Kompas tgl. 22 September 2007.
Saat ini Zaim bertekad mengembalikan BP kepada peran strategisnya semula, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejarah telah membuktikan kuatnya peran tersebut, terutama dalam membangun karakter kebangsaan, demikian tulisan pada Kompas.
Buku terbitan BP selain didistribusikan ke toko buku lain (mis dipajang di Gramedia, Gunung Agung), juga terdapat pada toko buku milik BP yang terletak di Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Terakhir kali mengunjungi toko BP tersebut pada tanggal 6 Juli 2007, saya adalah salah satu dari tiga pengunjung toko buku tersebut. Kebetulan saya berada di toko buku tersebut cukup lama, karena sekaligus menunggu suami yang sedang ada keperluan dengan temannya tak jauh dari lokasi tersebut. Dan buku-buku BP…sangaaat murah…saya membeli sekitar 20 an buku, dan hanya habis Rp. 327.000,- Karena sudah jarang pengunjung, saya ditawari teh, diajak mengobrol dengan bapak ibu penunggu toko, mereka memang ramah-ramah, tetapi ini saja menurut saya tidak cukup. Cara meletakkan buku, dan kebersihan toko kurang terjaga, padahal lokasinya sangat bagus, ruangan juga luas.
Mengapa saya termasuk senang mengunjungi BP? Karena ada buku-buku terbitan lama yang ingin saya cari, seperti “Andang Teruna” karangan Sutomo Djauhar Arifin, juga buku-buku lainnya (seperti “Ngulondoro”) yang hanya sempat saya baca sekali semasa kecil. Di perpustakaan ayah, buku tersebut pernah dipinjam orang dan tak kembali. Pada kunjungan terakhir ke BP, saya mendapatkan buku ” Debu Cinta Bertebaran” karangan Achdiat K. Miharja yang baru diterbitkan di Indonesia tahun 2004. Terbit pertama kalinya tahun 1973 , dan terjemahan Inggrisnya, The Scattered of Dust (alih bahasa Pam Allen) terbit tahun 2002 di Australia, tempat Achdiat bermukim sejak tahun 60 an. Achdiat menyebut novel ini sebagai kaleidoskop, peristiwa dan konflik dalam novel tampil dalam keragaman berbagai warna, menceritakan Ekonomi Terpimpin dengan berbagai masalah dan dampaknya disekitar tahun 60 an. Membaca novel ini serasa dibawa ke masa lalu, dan lebih memahami situasi yang ada saat itu, karena pada masa itu usia penulis masih kecil.
4. Perlu restrukturisasi agar PT Balai Pustaka dapat eksis kembali
Pada saat ini BP telah mulai melakukan pembenahan, baik dalam jajaran manajemen, maupun perubahan Visi dan Misi. Visi BP sekarang “sebagai korporasi pengembang pengetahuan di Asia Tenggara dengan misi membangun karakter nasional dan sebagai pusat belajar.”
Sebagai langkah awal, telah direncanakan peluncuran kembali buku tentang polemik kebudayaan (yang ramai tahun 1935) pada 28 Oktober mendatang. “Masalah, seperti feodalisme, stagnasi, dan ketidakmampuan sebagai bangsa, masih terlihat hingga kini.”
BP membentuk pula Dewan Pertimbangan Perbukuan, yang antara lain melibatkan Bambang Harymurti (wartawan), Helvy Tiana Rosa (penyair), Jefry Giovani (pengusaha) dan penulis Dewi Lesari (masih dalam konfirmasi). “Ini untuk menyegarkan dan memberi perspektif baru dalam penulisan, ” ujar Zaim seperti dikutip dalam Kompas tanggal 22 september 2007.
5. Saran-saran
Sebagai orang yang pernah berkecimpung di bidang restrukturisasi, langkah BP sudah tepat. Namun restrukturisasi BP ini harus melibatkan seluruh jajaran, dan dilakukan secara komprehensip. Dengan Visi dan Misi yang sudah berubah, BP harus menentukan langkah-langkah, dibuat milestone pada setiap jajaran (Person in charge) yang terlibat, di monitor, serta setiap kali dilakukan review. Yang tak boleh dilupakan adalah bagaimana BP membangun budaya kerja baru, yang lebih sesuai dengan misi baru, seperti budaya yang peka terhadap perubahan, persaingan, budaya untuk menomor satukan pelanggan dan sebagainya. Karena restrukturisasi seperti apapun, tanpa dukungan sumber daya manusia yang kuat, yang mau berubah sejalan dengan perubahan strategi bisnis, hasilnya tidak akan maksimal.
Marilah kita tunggu kebangkitan BP, semoga BP kembali berjaya, sebagaimana BP yang saya kenal saat saya masih kecil, yang terbitan baru BP selalu ditunggu orang.
Sumber data;
- Anonymous. “Si Tua yang ingin lahir kembali”. PT Balai Pustaka berulang tahun ke 90. Kompas, 22 September 2007, halaman 1 dan halaman 15.
- Jacob Sumardjo. Diskusi sastra antara Narpati Wisjnu, Priadi, Enny dan Jacob, di lobby Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Bandung tahun 2006.
- Pengalaman penulis, bahan diskusi dengan ayah, teman sesama pencinta sastra dan lain-lain.
sayang BP yang sudah menjadi pilar utama lahirnya dunia buku indonesia sekarang ‘sekarat’.
benar bu, banyak buku-buku lama yang bagus disana. tapi sayang(lagi), toko buku BP hari sabtu tutup, jadi tidak bisa main kesana. masukan saya buat BP: sabtu buka! hehe
terakhir ke BP pas sehari sebelum masuk kantor yg baru 2 bulan lalu. dan dikasih tau oleh satpamnya kalo mas zaim direkturnya, padahal lebaran tahun lalu ketemu beliau ‘masih’ salah satu komisarisnya.
sekarang,belum sempat ketemu dengan mas zaim lagi.
*mas zaim itu magetan lho bu.. š
Trian,
Kalau kenal dekat dengan mas Zaim, beritahu beliau, bahwa banyak yang sangat berharap BP bisa bangkit lagi…bukunya bagus dan murah.
Proses restrukturisasi memang memakan waktu lama, menguras energi, dan harus menjadi motivator bagi seluruh anak buah…menurut saya justru masalah SDM yang paling berat, bagaimana mengubah budayanya menjadi budaya bisnis, dan siap melayani pelanggan.
komik2 seperti Joko Kendil, Kecoak..
trus novel2 wayang karya Sunardi DM.
Kunderemp,
Betul…BP telah berjasa besar, apalagi dulu semasa buku-buku cerita untuk anak-anak belum sebanyak sekarang.
kenangan masa lalu š sering juga baca bukunya BP (buku sekolah sih š ), sekarang ? gak pernah lagi
pengen juga nulis untuk BP, seperti menulis untuk Andi Publisher š kalo di Surabaya rasanya gak ada tuh toko buku BP
Erwins,
Toko yang khusus dimiliki BP hanya ada di Jakarta. Tetapi buku-buku terbitan BP tersebar diseluruh Indonesia, umumnya di toko buku Gramedia, dan yang dikenal oleh masyarakat umum adalah buku-buku sastra.
Buku Balai Pustaka yang saya ingat adalah buku-buku di perpustakaan sekolah.
Quote from edratna
“menurut saya justru masalah SDM yang paling berat, bagaimana mengubah budayanya menjadi budaya bisnis, dan siap melayani pelanggan.”
Restrukturisasi dalam banyak bidang memang membutuhkan penyegaran terutama dalam bidang SDM. Ga jauh beda dengan kantor saya. Orientasinya harus diperbaharui menjadi customer oriented.
Utaminingtyazz.
Masalah SDM melingkupi segala aspek dinegeri ini, dan bidang ini perlu dilakukan penyegaran, perbaikan terus menerus, agar Customer oriented…
dan bagaimana cara melayani, harus diberikan contoh/teladan oleh pimpinannya, dimulai bahwa tugas pimpinan adalah melayani… (bahan tulisan menyusul, draft udah ada, tinggal menulis di Wp)
Eum..
mohon izin Bu, untuk menampilkan tulisan ini pada blog saya.
Jika tidak berkenan, mohon sampaikan komplain pada blog saya.
salam kenal dari saya
Patriayogaasmara,
Salam kenal juga…silahkan….
salam kenal mbak ratna
senang membaca tulisan tentang BP di sini. Kebetulan saya karyawan BP rekrutan pak Zaim.
mohon doa, semoga BP bisa benar-benar bangkit..
Nanik,
Salam kenal juga….saya berharap BP makin baik, dan bisa berprestasi seperti dulu kala.
terima kasih atas apresiasi untuk bp. sebagai “orang dalem’ begitu ingin segera melihat upaya ini sampai pada yang namanya bangkit. mohon do’a dari seluruh pecinta buku, betapapun bahasa santun anak bangsa perlu terjaga dan mudah2an bp bisa perperan untuk itu
Artikel nya bagus Bu Ria.
Sebagai informasi, Pak Samsuridjal Djauzi pada tanggal 21 November 2008 di RSCM mendirikan Perhimpunan Pecinta Balai Pustaka.
Anda bisa melihatnya di situs: http://samsuridjal.multiply.com/
Dan hari ini Ahad/Minggu, 21 Desember 2008 jam 12.30-14.00 akan ada acara ceramah “Buya Hamka yang saya kenal” oleh Samsuridjal Djauzi di Jakarta City Center. lantai 3A. Jl. Kebon Kacang. Tanah Abang Jakarta. Di Belakang Hotel Indonesia(sekarang Grand Indonesia).
Disamping itu, ibu juga bisa melihat-lihat 100 toko buku bekas maupun baru (toko-toko gusuran dari kwitang, Jakarta)
Terimakasih artikelnya.
Salam kenal.
Mochamad Iqbal Hassarief Putra.