Banyak pelatihan tentang service excellence yang diberikan kepada para karyawan perusahaan, namun mengapa budaya melayani belum juga memuaskan? Dimana letak kesalahannya? Kita menyadari perlunya budaya melayani ini, karena jika karyawan bisa melakukan pelayanan melebihi ekspektasi pelanggan, kemungkinan pindahnya pelanggan ke perusahaan lain bisa ditekan. Anda bisa melihat, bagaimana pelanggan tetap memilih penerbangan menggunakan Singapore Airlines (SA), walaupun tiketnya lebih mahal serta tak ada diskon, antara lain adalah karena SA sangat dikenal dengan profesionalisme nya serta pelayanannya.
Persaingan bisnis membuat pemimpin perusahaan harus membuat rencana atau bahkan me review rencana bisnis nya, agar sesuai dengan tuntutan eksternal, yang akan membawa perusahaan dapat bertahan, dan tumbuh serta berkembang. Agar bisa menggerakkan karyawan, diperlukan kepemimpinan yang kuat, yang mampu memberi contoh perilaku, agar karyawan mempunyai panutan untuk bertindak.
Lantu, D.C (2007) pada tulisannya di Bisnis Indonesia, menjelaskan bahwa Peter Drucker dan Jack Welch meyakini , faktor utama daya saing perusahaan agar dapat bertahan hidup dan unggul adalah pada pengembangan modal insani (human capital). Perusahaan membutuhkan karyawan yang mampu melipatgandakan kompetensinya melalui sinergi dengan dukungan teknologi, sistem dan organisasi, sesuai dengan perkembangan lingkungan bisnis global maupun lokal.
Apa yang dimaksud dengan kepemimpinan yang melayani?
Lantu selanjutnya menjelaskan bahwa kepemimpinan yang melayani fokus pada pengembangan para pengikutnya. Pemimpin menjadikan hal itu sebagai prioritas utama dihidupnya dalam mencapai makna dan panggilan hidupnya. Dengan begitu pemimpin secara tidak langsung akan membantu perusahaan menjadi sukses dan berkelanjutan. Mengapa? Dengan mengembangkan karyawan, akan membantu mereka menjadi individu yang dewasa dan profesional, sehingga mampu menjalankan pekerjaannya secara lebih baik.
Akibatnya perusahaan dapat memperoleh hati karyawan, yang selanjutnya akan memberikan upaya terbaik dan melayani konsumen dengan sepenuh hati, seolah-olah mereka adalah pemilik perusahaan. Karyawan berusaha memajukan perusahaan karena telah tercipta ikatan yang kuat antara karyawan dan pimpinan perusahaan sehingga terbentuk budaya kerja yang mengutamakan pada pelayanan. Nilai tambah tercipta melalui hadirnya produk-produk yang inovatif, efisiensi kerja, produktivitas, dan keramahan dalam memberikan solusi pemecahan masalah pelanggan.
Selanjutnya Lantu menjelaskan, kaderisasi puncak akan terus tercipta melalui promosi yang dilakukan secara vertikal, dari sumber internal. Hal ini selanjutnya sesuai dengan yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantoro, bahwa seorang pemimpin harus mendorong, mendukung, dan memberikan kesempatan kepada para pengikutnya, agar dapat menjadi individu yang lebih baik (Tut Wuri Handayani).
Apakah kepemimpinan yang melayani dapat diterapkan di Indonesia?
Bagi bangsa Indonesia, yang terdiri dari berbagai suku bangsa, dan umumnya bersifat patriarchal, maka contoh perilaku yang diberikan oleh Pemimpin akan langsung diikuti oleh bawahannya. Kondisi ini memudahkan dorongan untuk menggalakkan budaya melayani, namun dalam praktek sehari-hari perlu contoh pelaksanaan terutama dimulai oleh para pemimpin, dan di monitor.
Agar budaya melayani bisa berlangsung terus menerus, pada awalnya diperlukan untuk membentuk change agent, yang terdiri dari para wakil karyawan di unit kerjanya masing-masing. Penggalakan budaya melayani dilakukan secara terus menerus, disepakati garis besarnya secara tertulis, dilakukan dalam bentuk contoh nyata dalam sikap dan perilaku, dan dimonitor pelaksanaannya setiap hari. Change agent mencatat apa yang masih kurang, apa kendalanya, serta mencoba mencari akar permasalahannya dari karyawan di unit kerja tersebut. Pemimpin berusaha memahami perilaku karyawan, mengenal baik karakter masing-masing individu yang merupakan tanggung jawabnya langsung, mendorong mereka menjadi orang yang mengutamakan pelayanan kepada pelanggan, yang akan memberikan kesan positif bagi perusahaan maupun bagi karyawan itu sendiri sebagai individu.
Monitoring budaya melayani bisa dilakukan melalui kuestioner, mistery calls, untuk melakukan pengecekan apakah budaya melayani pelanggan telah dilakukan secara benar dilapangan.
Bagaimana cara pemimpin melayani? Pemimpin yang melayani akan berusaha memahami kebutuhan karyawan dibawahnya, mendorongnya untuk bekerja agar target bisnis perusahaan tercapai, memberikan solusi jika terdapat permasalahan yang tak dapat diselesaikan oleh karyawan dibawahnya, memberi tambahan kemampuan/pengetahuan melalui pelatihan, mempromosikan bilamana telah sesuai dengan kompetensinya, dan pada saatnya nanti karyawan yang telah menjadi pemimpin, akan meneruskan budaya melayani, dan menjadi pemimpin yang melayani di organisasi dan perusahaan.
Bahan bacaan:
- Lantu, Donald Crestofel. “Kepemimpinan yang melayani”. Dosen, Peneliti, Penulis buku Kepemimpinan SBM-ITB. Bisnis Indonesia, Jakarta, 8 Oktober 2007 hal.7
- Dari berbagai sumber, dan pengalaman pribadi penulis.
kalo mau pelayanan yang sempurna … tengoklah Jepang 🙂
sayang nya pelayanan selalu dalam bahasa Jepang …
ga jadi sempurna …
IMHO, kunci utama service excellence adalah sense of belonging.
Sandy,
Apa yang diperoleh di Jepang, nantinya bisa Sandy terapkan jika telah menjadi seorang Pemimpin. Percayalah banyak hal yang bisa kita terapkan, kita mulai dari orang-orang disekitar kita, pembantu rumah tangga kita…jika kita memberi contoh, memberi perhatian pada mereka…pasti mereka akan berbuat baik. Demikian juga pada anak buah…suatu ketika Sandy akan bisa menerapkan hal-hal baik tsb.
Saat ini seraplah ilmu sebanyak-banyaknya, tak hanya ilmu pengetahuan, namun juga budaya kerja yang baik.
Utaminingtyaz,
Yup…setuju……tanya pada papamu deh, bagaimana dulunya perusahaan tempatmu bekerja, yang sejak KA memimpin mulai terjadi perubahan budaya kerja yang makin kondusif…dan mendorong produktivitas kerja.
Jadi kepemimpinan yang melayani dan memberi contoh nyata…benar-benar mengagumkan hasilnya….
Mudik???
saya ngga mudiiiikkk…. :((
eh saya ngga ditanya ya … 😀
Sandy,
Anggap aja mudik ke Jepang….lebih asyiiik kan???
Mungkin “terperangkap” dengan pengertian pemimpin itu seperti seorang raja yang lengkap dengan segala dayang2, hulubalang, abdi dalam, kawula dan kekuasaan tak terbatas. Sehingga .. seorang pemimpin itu harus dilayani. Mungkin seperti itu. Kalo salah .. mohon maaf. Minal aidin wal faizin.
MINAL AIDZIN WAL FAIDZIN….
SEGALA DOSA YG KITA PÉRBUAT DI SUCI KN Dì BULAN INI…
SEMOGA ANDA TRMASUK DLM GOLONGAN ORANG YG FITRI…
LAM KNL DR AKU ANK BARU BIN MSH BAYI…
SEGALA DOSA YG KITA PÉRBUAT DI SUCI KN Dì BULAN INI…
SEMOGA ANDA TRMASUK DLM GOLONGAN ORANG YG FITRI…
LAM KNL DR AKU ANK BARU BIN MSH BAYI…
..CKìKìKìKìKK.,
Erander,
Pengertian Pemimpin seperti seorang raja yang harus selalu dilayani telah menjadi salah kaprah…ingat bukunya HB IX tentang “Tahta untuk rakyat”…..bahwa seorang Pemimpin yang berwibawa, dihormati rakyat (bawahan) adalah Pemimpin yang melayani, memikirkan nasib dan kesejahteraan bawahan, sehingga nantinya para bawahan akan berkerja lebih giat, mengikuti contoh dari Pimpinannya.
Sama-sama, maaf lahir batin
ju5tin12,
Thanks telah mampir…semoga kita termasuk orang yang amal ibadanya selama bulan Ramadhan diterima oleh Allah swt. Amien.
Bener itu bu, sepertinya kedepan costumer lebih memilih pelayanan yang memuaskan walau harga lebih mahal. Saya pribadi sudah lebih memilih kepuasan itu di banding harga. Asal harganya masih masuk akal sih. 😀
Danalingga,
Yup setuju….marilah kita mulai berpikir untuk menang dalam competitive advantage…bukan hanya competitive comparative..
wah, saya ga mudik, Bu. ada pekerjaan yang ga bisa ditunda (cieh..kesannya gaya banget). sebenernya gara-gara regulasi MasterCard sih jadi malam takbiran seharian di kantor 🙂
tapi kemaren jalan-jalan ke Puncak. ceritanya saya posting lho, Bu.
btw Papa sih ga pernah cerita tentang pekerjaan di rumah. mungkin karena ga mau membebani keluarga kali, ya. Jadi saya ga terlalu tahu tentang perusahaan di masa lalu.
saya tahu tentang Pinjaman Hari Raya malah dari postingan Ibu yang lalu, hehehehehe…
sedikit banyak kebawa ke sikap saya juga sih, jadi jarang cerita kerjaan di kantor.
terkait Service of Excellence, sedikit banyak sudah mulai ditanamkan pada calon trainee. saya ingat, materinya ada di antara bahan training di Ciloto, bareng materi GCG, Code of Conduct, ESQ dkk. tapi karena waktu pelajaran udah ngantuk n capek, jadi nyantol-nyantol dikit.
Utaminingtyazz,
Gpp kok kerja sampai pagi…lama-lama biasa, saya dulu juga sering banget. Sepanjang bareng teman, dan kompak, situasi akan menyenangkan….justru disini akan terlihat keakraban kita.
Perusahaan tempat Utami kerja sekarang udah jauh lebih baik, tapi harus dibina, di kelola dengan baik, dan jika telah jadi manager ke atas, harus bersikap nmengayomi dan melayani bawahan, namun juga berani bertindak tegas jika ada bawahan yang salah.
Forum komunikasi diharapkan efektif, untuk mengontrol kebiasaan yang baik ini, juga ajang heart to heart nya…hehehe…ini adalah saatnya pemimpin deg2an…karena diadili oleh bawahan. Tapi mengasyikkan ya….saya jadi suka kangen acara-acara seperti ini, walau saya juga dapat kritik habis2an…dan anehnya nanti ada yang membela…kalau ga hati-hati bisa jadi ajang pertempuran…
It is very difficult to develop service cultures in Indonesia due to the historical aspects. Our country, especially in Javanesse, has been known as a feodal and aristocrat society. The older, the richer and the blue blood are the highest level community, so they think that they life should be satisfied by having a lot of servants.
In contrast, servants become the lowest level so everybody avoid everything that related to services and ‘servant’ terms.
Ada nggak, Bu, hambatan-hambatan untuk menjadi pemimpin yang melayani itu?
Marvel,
Saya juga dari Jawa, menurut saya saat ini sudah tak dibedakan antara darah biru dan rakyat kebanyakan. Yang dinilai adalah prestasi, dan hasil kerjanya di masyarakat. Dan bagi kaum pendidikan, pembantu bukan dianggap sebagai pelayan, tapi merupakan bagian keluarga, dan asisten, karena tanpa mereka kehidupan rumah tangga kurang berjalan lancar, terutama bagi suami isteri yang harus berkarir di luar rumah.
Saya sendiri memperlakukan para mbak-mbak ini seperti keluarga..bisa dilihat di https://edratna.wordpress.com/2007/01/08/
para-asisten-di-keluarga-ku/
Kang Kombor,
Hambatannya dari diri sendiri, karena banyak anak buah yang suka melayani atasan, sehingga atasan dibiasakan menikmati pelayanan ini. Padahal seharusnya justru atasan yang melayani, tak membuat anak emas, yang pada akhirnya masing-masing karyawan akan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk kepentingan kemajuan perusahaan. Untuk membuat agar ini berjalan, perlu ada monitoring dan dorongan budaya kerja melayani, dan harus digalakkan pada masing-masing perusahaan. Awalnya memang harus dimonitor, di dorong…yang nantinya budaya melayani ini akan menjadi suatu karakter yang melekat pada pribadi masing-masing.
Mas/Mbak?
Punten namanya Donald Lantu (bukan Latu)…:)
boleh segera dikoreksi kan?
Salam
Mas Donald,
Thanks koreksinya, sudah saya betulkan.
Artikelnya mas Donald menjadi tambahan ide buat tulisan saya, karena kalau mengajar, saya juga menjelaskan bahwa baik buruknya unit kerja atau perusahaan tergantung pada pemimpinnya, dan pemimpin yang baik adalah yang melayani.
(saya seorang ibu dari dua anak, yang keduanya sudah mahasiswa)
Kalau boleh tahu ngajarnya dimana Ibu Ratna?
Saya juga pengajar soalnya…:)
Saya dulunya bekerja di Bank BUMN, dan diantara tugas, setiap kali harus mengajar diberbagai lembaga pendidikan, terutama yang terkait dengan perbankan, seperti di BPEN untuk mengajar tentang kredit ekspor.
Dan juga saya pernah menjabat sebagai Project Officer di perusahaan saya, khusus untuk pendidikan Account Officer (Analis Kredit). Dua tahun terakhir sebelum pensiun, saya memimpin Divisi Diklat (disini jadi kenal KK, pak Joko S, pak Permadi, yang merupakan kolega pak Donald di Bandung juga dengan beberapa dosen UI, serta pengajar lain).
Setelah MPP (Masa Persiapan Pensiun), selain menjadi pengurus salah satu anak perusahaan, saya part time mengajar di Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, yang membuat saya berkeliling daerah, mengajar di beberapa Bank Pembangunan Daerah.
Salam kenal untuk Kakak Edratna. Saya senang kakak ngasih komentar di situs http://www.niasbaru.wordpress.com. Kakak, bagi saya pribadi, tulisan2 kakak sangat menarik, bagus, dan memberi inspirasi baru. Karena itu, saya minta ijin untuk memasukkan tulisan kakak yang berjudul: perlunya menjadi….di situs yang saya kelola. Terima Kasih kakak atas perhatiannya.
Tuhan Memberkati
Alamat friendster saya: mars_waruwu@yahoo.com
Niasbaru,
Silahkan, semoga bermanfaat
Wah hebat euy
Pengalaman Ibu sudah sangat luas
Semoga bisa terus berkarir dalam pengajaran
dan memberikan pencerahan serta inspirasi
kepada banyak orang sehingga bisa menjadi
individu yang lebih baik….
Pak Donald,
Makasih doanya, saya berusaha sharing pengalaman untuk adik-adik, semoga bermanfaat. Pak Donald punya blog? Saya lihat tulisannya bagus….
wah saya belum sempat buat nulis dan mengurus
blog bu… masih sibuk dengan hal-hal lain
tapi tulisan saya seringnya dimuat di media cetak.
hari ini tulisan saya dimuat di bagian opini harian
pikiran rakyat…tentang kepemimpinan kreatif
atau ibu mungkin tertarik untuk baca2 buku saya
yang berjudul servant leadership….hehe
sekalian promosi nih.. 🙂
Pak Donald,
Mau dong bukunya….kalau artikelnya, wahh saya mesti ke Bandung dulu, di Jakarta nggak langganan PR.
waduh Bu,
mohon maaf banget…
sekarang saya lagi di luar negeri
jadi ngak bisa ngirim nih…
atau ibu mau mencoba mencari di gramedia…
hehe…
Kalau tulisan di PR bisa liat di website Pikiran Rakyat, judulnya Made in Bandung
Salam
yah begitulah seharusnya pemimpin, harus bisa menempatkan diri, apakah sebagai palayan maupun sebagai koordinator suatu pekerjaan. yang pada intinya pemimpin harus memiliki multitalenta, karena pemimpin adalah mahluk yang dipilih dan diamanahi tugas, kemudian pemimpin juga harus mengerti sikon ( situasi dan kondisi) para karyawannya.
Ipank,
Yup…setuju
pigur pemimpin yang sangat idealis tentunya..
Ping-balik: Pengalaman selalu menyisakan pembelajaran «
Ping-balik: Planet IPB | Pengalaman selalu menyisakan pembelajaran
Saya pernah liat orang yang jadi pemimpin karena dia menakut-nakuti orang lain.. bukan karena dia memberi teladan yang dihormati.. memang dia kemudian punya banyak orang, tapi setelah kekuatannya berkurangn, orang2 di bawahnya mulai menggilasnya.. seram.. tapi ada juga sosok pemimpin yang dihormati bahkan oleh lawannya.. itu sosok pemimpin yang sangat keren menurut saya 🙂
Itu jenis Pemimpin yang sebetulnya kurang menguasai ilmunya, atau nggak pede….jadi, supaya anak buah tak banyak tanya, dia menakutkan…jadi ingat temanku yang jadi asisten, dia galak biar praktikannya tak berani tanya..hahaha.
Pimpinan yang baik mestinya ingin diosegani bukan ditakuti…