Mengapa ya kalau bapak A yang mengajar enak sekali, jadi kita nggak pernah mengantuk, dan tahu-tahu jam pelajaran sudah selesai. Kenapa ya, kalau bapak B mengajarnya nggak fokus, dan kita tak mengerti apa-apa. Pernahkan anda mendengar keluhan seperti itu? Masing-masing pengajar telah mendapatkan bahan mengajar (modul) yang sama, tetapi kenapa hasilnya bisa berbeda? Dan pernahkan anda mempunyai guru kesayangan, dan menikmati jam pelajaran yang diajar oleh beliau, dan selalu menunggu saat-saat beliau akan mengajar kembali?
Saat mendapat kesempatan mengelola Pelatihan, muncul pertanyaan yang menggelitik di hati, mengapa dengan pelatihan dan bahan pelatihan yang telah dibuat standar, hasil evaluasi instruktur antara satu dan lainnya, kisaran range nya cukup jauh? Setiap kali modul selesai dibuat, diadakan uji coba, dan diadakan evaluasi oleh peserta, yang dilanjutkan dengan diskusi antara manajemen pendidikan dengan para instruktur, untuk membahas permasalahan yang dihadapi dilapangan. Hasil pembahasan tadi digunakan untuk menyempurnakan modul dan cara pelatihan.
Disadari, membuat pelatihan untuk orang dewasa sangat berbeda, dibanding dengan pendidikan untuk siswa sekolah. Apalagi jika pendidikan dan pelatihan tadi ada efek sampingnya, yang merupakan salah satu persyaratan untuk naik pangkat/jabatan. Seorang instruktur, ibaratnya sebagai seorang entertainer, bagaimana agar yang disampaikan menyenangkan, bukan sekadar memahami materi pelatihan, tetapi suasana dalam pelatihan, hubungan antara instruktur dan partisipan, haruslah menjadi hubungan yang sangat menyenangkan.
Amanda, dalam artikelnya di Kompas, tanggal 24 Nopember 2007, menjelaskan bahwa Guru menjadi perantara pengetahuan. Guru menterjemahkan ilmu pengetahuan menjadi sebuah paket informasi yang menyenangkan sehingga siswa mudah menyerapnya. Guru menciptakan pelajaran yang kreatif, dengan pengetahuan menjadi sesuatu yang menarik. Mengajar bukanlah sebuah kegiatan yang ada hubungan pasti antara subyek dan obyek. Mengajar adalah sebuah seni dengan guru sebagai senimannya. Melalui mengajar, ia mengekspresikan kepribadiannya. Dan para siswa adalah “hasil karya seni manusia” yang sifatnya tidak statis.
Selanjutnya Amanda menjelaskan, ketika di depan kelas, guru menempatkan dirinya sebagai pusat perhatian sekaligus obyek penyidikan. Para murid melihat guru dari atas sampai bawah. Karena itu mengajar merupakan sesuatu yang pribadi yang tak dapat digantikan begitu saja.
Seperti dikatakan Amanda, mengajar itu seni. Bahan yang sama, gaya berbeda dan penampilan instruktur yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda. Sebagaimana seorang penyanyi, yang penting adalah “the singer” dan bukannya “the song“, Lagu yang sama akan berbeda jika dibawakan oleh penyanyi yang berbeda.
Selain itu mengajar memerlukan hati, semangat dan rasa cinta terhadap bahan yang diajarkan serta murid yang dididiknya. Jika mengajar bisa menggunakan dengan hati, maka mengajar tak akan kenal lelah, selalu ingin berbagi dengan muridnya, ingin agar muridnya memahami, dan menjadi lebih baik dibanding gurunya sendiri. Pendidikan yang berhasil adalah apabila para murid mendapat pengetahuan dan bisa mengembangkan pengetahuan tersebut melebihi gurunya.
Dalam pendidikan untuk orang dewasa, seorang instruktur tak hanya sekedar pandai, tetapi harus bisa menjadi entertainer sejati, yang membawakan materi pelajaran layaknya seorang seniman menjual karya seninya. Seorang entertainer juga harus memperhatikan penampilan, karena saat di depan kelas, semua mata akan memandang pada gerak gerik instruktur. Bukankan kita selalu mudah menyerap materi pelajaran jika gurunya cantik, atau ganteng, atau penampilannya menarik, serta dapat membawakan materi tersebut dengan menyenangkan, sehingga para partisipan berani bertanya apabila ada hal-hal yang tak dipahami. Hubungan instruktur dan partisipan yang baik, akan memudahkan proses belajar mengajar.
Daftar Pustaka:
- Amanda Putri Witdarmono. “Seni Mengajar.” Mahasiswi Jurusan Elementary Education pada School of Education, Boston University, Amerika Serikat. Ditulis pada harian Kompas, tanggal 24 Nopember 2007 hal.7
- Pengalaman penulis mengelola unit Pendidikan dan Pelatihan.
Tapi jangan sampai demi meraih simpati peserta didik, ‘tebar pesona’ digencarkan melewati yang seharusnya. Obral nilai ke siswa didik bahkan membantu ‘kecurangan’ peserta didik agar sekolahnya lulus 100% sehingga tahun jaran berikutnya banyak yang mendaftarkan diri ke sekolah ini. Pendidik memang harus profesional [ilmu dan segenap pengajarannya yang baik dan berguna, berhasil di-budaya-kan ke peserta didik], namun perlu diingat bahwa yang paling penting dinilai adalah peserta didik dan bukan sebaliknya, para pendidik. Saya khawatir bila sedemikian takutnya seorang pendidik dalam menjaga citra dirinya [mungkin lebih tepat cum penilaian hasil umpan balik] hingga dia lakukan apa pun yang peserta didik inginkan termasuk pulang cepat dan nilai murah. Apa tidak ada mekanisme penilaian [untuk pendidik] yang lain dan lebih representatif dan tidak tendensius ?
Hal ini perlu mendapat perhatian serius, karena produk proses ini adalah manusia yang lebih terdidik dengan lebih baik, bukan hanya lebih pintar.
WaLLAHu’alam.
Tapi kalau guru-guru sekolah atau dosen-dosen itu kok kebanyakan kalau ngajar membosankan ya. Bikin ngantuk. Materinya yang tak menarik, ataukah kemampuan untuk menyampaikan materi yang kurang? Terpaksa memperhatikan karena agar bisa lulus ujian saja.
Handaru,
Saya malah tak tahu, betulkah di universitas atau di SMA sudah ada nilai evaluasi dari siswa yang menilai pengajar? Seingat saya di ITB dan UI (kedua anakku kuliah disitu) belum ada yang secara tertulis. Jika ada, akan baik sekali.
Yang saya ceritakan di atas, antara lain juga pendidikan untuk orang dewasa, dan hasil didikan biasanya terlihat pada saat dia kembali ke unit kerjanya, apa betul kualitas dia dalam bekerja lebih baik, lebih komprehensip dalam menyelesaikan berbagai persoalan…atau kalau pendidikan untuk teler, misalnya… bagaimana komentar konsumen, apakah teler-teler yang ada di counter menjadi lebih banyak senyum, kesalahan yang dibuat nyaris nol dsb nya.
Mengapa dikatakan entertainer? Karena zaman sekarang berbeda, pengajar juga harus mengajar dalam suasana yang nyaman, sehingga mahasiswa atau peserta pendidikan dapat menyerap ilmunya, serta bisa mengaplikasikan dilapangan. Apakah pengajar yang meluluskan 100 persen selalu jelek? Tergantung, bukankah ada tim penilai? Dan ada komite pendidikan di universitas…atau kalau ditempat saya, pengawasnya berjibun, sehingga menjadi instruktur sangat berat. Dan jika diminta membantu mengajar di perusahaan lain, ini juga akan menyangkut citra….kalau evaluasi jelek, maka perusahaan akan terkena, dan kita di grounded (tak dipakai lagi sebagai pengajar, sampai memperbaiki cara mengajar).
Jadi persepsi bahwa kalau lulus 100% karena ada sesuatu adalah keliru (saya bahkan tak membahas ini)…artikel di atas dimaksudkan bagaimana dengan bahan ajar yang sama, pengajar lebih bisa memberikan pemahaman kepada para siswa lebih baik. Tentu gaya pengajar berbeda-beda, yang jelas bahan sama….dan kalau kelasnya paralel (seperti saat kami mengajar di Papua, dan ada 3 pengajar dalam 3 kelas paralel)…akan terlihat sekali hasilnya, karena soal ujian yang buat bukan pengajar ybs, tetapi tim pengajar, sehingga kami mengajar harus sesuai dengan yang diminta.
Bahkan sampai sekarangpun, saat mereka job training, dan harus membuat makalah, masih banyak yang menulis email, tanya jawab sejak dari out line makalah, bahan pustaka dsb nya (padahal tugas saya mengajar hanya 40 sesi atau 7 hari di bulan Agustus 2007).
Mudah2an kita punya pemahaman yang sama.
Salam manis
Dee,
Saya dulu juga suka mengantuk, tapi biasanya saya duduk paling depan, dan mencatat semua yang disampaikan dosen. Pemahaman lebih jelas jika materi pelajaran tadi ada praktikumnya, atau ada responsinya (jika tak ada praktikum), jadi kita menjadi tahu ….oooo…ternyata begitu yang dimaksud.
Juga jujur saja, seringnya kita nggak baca dulu bukunya/materi kuliah sehari sebelumnya…ini saya akui. Kenapa waktu saya ambil S2 rasanya lebih menarik, karena sebelumnya kita dipaksa membaca buku, diberi tugas, harus presentasi didepan kelas…jadi mengajarnya dibalik. Setelah itu baru dosennya berfungsi sebagai moderator.
Atau mungkin juga, ambil S2 secara sadar, bahwa saya memang harus mengambil konsentrasi “finance” agar saya bisa menyelesaikan tugas pekerjaan saya sehari-hari yang rasanya tak pernah selesai. Jadi unsur menikmati, sadar bahwa itu berguna, sangat menentukan hasilnya. Seringnya untuk S1, masih yang berpikir bahwa dosen harus membuat semuanya mengerti… padahal bahannya kan banyak banget, jadi tetap aja harus ada yang dibaca sendiri.
Tapi saya melihat anakku, cara mengajar dosen sekarang udah beda banget…sebelum kuliah dia udah sibuk baca, bikin ringkasan, ketemu/diskusi dengan gang belajarnya…karena nanti di kelas langsung diskusi.
Kalau mengajar adalah seni, belajar apakah termasuk seni juga? 🙂
kalo menurut saya, harus balance antara pengajar dengan muridnya. pengajar yang bagus harus dibarengi dengan murid yang sudah siap menerima materi. dengan begitu maksud materi dapat tercapai.
jangan sampai harus salah satu aktor saja yang “dominan”. 😀
-IT-
Ikram,
Menurut saya belajar juga merupakan seni. Sebetulnya yang lebih tepat, mengajar yang baik, adalah yang mengajar pake hati….gurun sangat ingin muridnya menerima pelajaran.
Saya paling berkesan saat mengajar di Papua, dengan kondisi keterbatasan fasilitas (listrik sering padam), tapi murid2nya semangat. Akibatnya instrukturnya ikut semangat, bahkan melebihi sesi yang diwajibkan.
Kalau saya pikir-pikir, cara belajarku saat S1, kurang efisien…..tapi kelemahan tsb baru saya sadari saat saya ambil S2…mungkin karena lebih fokus, padahal saat itu saya sambil bekerja, dan hanya boleh ijin saat kuliah saja…itupun sering membolos karena harus rapat di BI, BPPN yang tak dapat diwakilkan…:((
Irvan,
Betul, kedua belah pihak harus saling membantu. Saya melihat, untuk SMA unggulan, gurunya lebih mudah dalam mengajar, karena murid-murid yang masuk kesitu telah tahu tujuannya (maklum yang diterima yang nilainya tinggi). Jadi, saat anakku baru naik kelas III, katanya …begitu masuk kelas langsung stres karena temannya pegang buku semua…untuk belajar, padahal gurunya belum ada, karena belum bel masuk.
Yang dicari mahasiswa atau murid dari dosen atau guru tidak hanya “ilmu pengetahuan”, “hiburan”, atau “asal lulus”, tapi juga “faktor X”.
Ada seorang temen mahasiswi dari Spanyol yang insist ingin mengambil kelasnya Purdom yang terkenal “killer” daripada kelasnya Hagstrom yang terkenal “mudah lulusnya”..
Jadi, apa yang dia cari ? Nobody knows. Kelihatannya ada masalah antara “demand” dan “supply” di sini, selain masalah “taste” dari setiap anak didik terhadap gurunya..
Kalau kelasnya paralel, yaitu mata kuliah A diajar oleh dosen D1, D2, D3 dan mahasiswa boleh memilih dengan bebas seperti yang biasa terjadi di univ2 di US, tentu mahasiswa akan memilih dosen yang sesuai dengan seleranya…
O ya, kalau di Binus, kebiasaan sejak tahun 1996 yang lalu, di akhir semester mahasiswa berhak menilai dosennya (ada 8 pertanyaan, dengan jawaban a, b, c, d). Dosen yang sangat tidak disukai oleh mahasiswa akan dengan cepat tersisih dan mungkin tidak diberi kelas lagi semester depannya oleh Binus..
Makanya, semua dosen Binus tinggal yang bermutu saja…;-)
Triwahjono,
Menarik sekali kondisi di Binus.
Saya pernah diajak pak Joko S. (dosen TI ITB), untuk melihat assessment center ITB yang terletak di Sabuga sekitar pertengahan tahun 2005.
AC tersebut saat itu didirikan untuk assessment para pegawai dan dosen ITB, agar bisa memperbaiki cara pelayanan dan pengajaran. Entah setelah rektor pengganti KK apa sudah dilaksanakan, pas saya kesana yang diuji coba baru untuk para karyawan.
Mungkin ada dosen ITB atau mahasiswa ITB yang bisa menanggapi hal ini….jika bisa dilanjutkan seperti halnya di Binus akan menjadi menarik.
Bahkan di masa aku SMU yang kepseknya menyebalkan dan tebar pesona, guru-gurunya masih menjaga kualitas. Bahkan jujur aja, aku lebih suka guru-guru SMU-ku daripada guru-guru SMU sebelah (padahal adikku di SMU sebelah.. hihihihi… petunjuk: SMU kami di Blok M) yang terkenal pintar-pintar.
SMU sebelah cuma beruntung karena yang masuk di sana pintar-pintar dan mereka tidak perlu bekerja keras. Waktu aku ngobrol ama SMU sebelah, kemampuan mereka gak ada apa-apanya dibandingkan teman-temanku yang pintar. Memang kalau SMU-ku, orangnya bervariasi, dari yang pintar banget sampai bodoh banget, gak kayak SMU sebelah yang cuma berani menerima orang NEM di atas rata-rata.
Kembali ke SMU-ku.
Aku masih ingat waktu heboh ujian Ebtanas heboh. Guru-guru SMU-ku sampai melacak siapa saja yang dapat bocoran. Aku diinterogasi apakah aku melihat atau mendengar ada kawanku yang mendapat bocoran. Tentu saja aku bilang, “Pak, Bu.. Kawan-kawanku tahu orang seperti apa aku ini.. orang yang tidak suka melihat kecurangan. Kalau ada yang mendapat bocoran, pasti tidak akan cerita ke aku”.
Kawan-kawanku boleh jadi banyak yang lebih bodoh daripada mereka yang diterima di SMU sebelah (karena dari awal, SMU sebelah cuma menerima murid dengan nilai baik), tetapi bukan berarti guru-guru SMU-ku menggadaikan harga dirinya.
Adaaaaa…..
walaupun dibilangnya sukarela, tapi sambil dipaksa pula..
Bilangnya, kalau tidak mengisi, tidak akan mengetahui nilai sampai semester depan.. Ihik.. Ihik..
Seni adalah hasil karya manusia yang mengandung nilai estetika,prinsip dari estetika relatif tergantung masing2 individu,karena memiliki pengalaman estetik yang berbeda.Berarti intiny dalam makalah ini belajar wlaupun sesulit apapun,sebenci2ny terhadap salah satu mapel msh bisakah disebut seni(ditinjau dr segi estetikanya)?
Dengan meninggalkan masalah pribadi dan emosi.Semua pekerjaan akan terasa nikmat dan mempunyai nilai seni,kalau di kerjakan dengan sepenuh hati.
Ping-balik: Seni Mengajar | budiawanews