Kenapa ya usaha saya tak bisa berkembang pesat? Usaha saya sudah dijalankan selama 3 (tiga) tahun, namun hasilnya hanya pas-pas an saja untuk menutup biaya operasional. Di sisi lain, karyawan inginnya setiap tahun naik gaji terus, padahal saya sendiri hampir-hampir tak menikmati hasil usaha tersebut. Bagaimana enaknya ya, apakah sebaiknya saya mencari pekerjaan saja, dan meninggalkan usaha ini? Tapi sayang, saya sudah bergelut selama 3 (tiga) tahun, dan terus terang saya senang menjalankannya.
Keluhan seperti di atas sering terjadi, dan bagaimana kita membantu bapak yang hampir patah semangat tadi? Dari hasil perbincangan, diperoleh data sebagai berikut:
Bapak A telah berusaha selama 3 (tiga) tahun di bidang usaha garmen. Usaha awalnya cukup berkembang, sehingga untuk memenuhi permintaan pelanggan, A menambah tenaga kerja. Namun A merasa, keuntungan yang diperoleh tak sesuai yang diharapkan, karena pendapatan setelah dikurangi biaya operasional, hanya mencukupi kebutuhan A sehari-hari. Padahal A mempunyai tiga anak, yang nantinya akan memerlukan biaya cukup besar untuk melanjutkan sekolah. Apa yang harus dilakukan A?
Untuk memahami permasalahan yang dihadapi A, maka kita harus menilai dan menguraikan satu persatu, sesuai proses bisnisnya.
Produksi
Bahan baku dan pembantu diperoleh dari pasar grosir, dan karena A telah mempunyai langganan, A mendapatkan harga cukup murah. Namun tetap saja harga tersebut terus meningkat, apalagi setelah ada kenaikan BBM sekitar 2 (dua) tahun yang lalu.
Operasional
A masih menyewa ruko, dan pemilik ruko telah memberitahu, bahwa pada saat perpanjangan sekitar 6 (enam) bulan lagi, harga sewa akan dinaikkan. Sedangkan tenaga kerja yang mendukung operasional usaha A cukup memadai, ada karyawan kontrak, dan ada yang harian lepas, sesuai dengan banyaknya permintaan dari pembeli. Kualitas tenaga kerja masih perlu ditingkatkan, sehingga A belum berani melepas semuanya tanpa diawasi. Setiap pagi hari A harus memberikan panduan, dan kemudian baru belanja bahan baku. A tak mungkin melepaskan para karyawannya bekerja tanpa diawasi, karena jika terjadi kesalahan, akan menimbulkan risiko yang berakibat kerugian finansial.
Pemasaran
Pemasaran berkembang baik, A telah mempunyai langganan untuk membuat pakaian seragam pada beberapa perusahaan. Untuk pemasaran, A masih menggunakan media yang sangat sederhana, yaitu dari mulut ke mulut, atau A sendiri yang memasarkan dari kantor ke kantor.
Biaya administrasi dan umum
Semakin tahun A merasakan bahwa biaya-biaya semakin membengkak, kenaikan listrik, BBM sangat mempengaruhi tambahan biaya yang harus dikeluarkan. Di satu sisi, A harus mencadangkan untuk kenaikan biaya karyawan, yang setiap tahun harus meningkat minimal sesuai standar UMR.
Apa kesimpulan dari uraian di atas? Walaupun usaha A berkembang, namun kenaikan biaya lebih tinggi daripada kenaikan pendapatan, sehingga mengurangi margin. A juga tidak mudah untuk menaikkan harga jual, mengingat usaha di bidang garmen, persaingannya cukup tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut, selain meningkatkan pemasaran, maka A harus melakukan efisiensi. A harus menjajagi kemungkinan menyewa lokasi yang lebih murah, apalagi karena pelanggan A adalah perusahaan-perusahaan yang memesan pakaian seragam bagi karyawannya, dan pemasarannya door to door dengan memberikan contoh-contoh gambar. Selain itu, hasil produksi A juga dijual di pasar-pasar, pada pelanggan dengan cara sharing keuntungan, sehingga A tak memerlukan lokasi yang harus di tempat yang mudah dicapai pelanggan, seperti di pasar atau kompleks pertokoan. Selain itu, A juga harus memperketat pemakaian listrik dan telepon., hanya sesuai kebutuhan
A juga harus menilai produktivitas tenaga kerja, sehingga setiap kali tidak harus menambah tenaga kerja. Jika produktivitas tenaga kerja naik, dengan menambahkan insentif, akan lebih murah dibanding dengan menambah tenaga kerja.
Sebetulnya usaha A prospeknya cukup baik, karena telah bertahan selama 3 (tiga) tahun. Yang diperlukan adalah bagaimana A menilai secara komprehensip, mengatur keuangannya, untuk mengetahui pos-pos mana yang masih bisa dilakukan efisiensi, selain mendorong penjualan dengan menggunakan media pemasaran yang lebih efektif.
Apakah anda mempunyai pendapat lain untuk menolong usaha A tersebut?
Mbak ilmu ekonomi dan analisanya boleh….
Maaf ya mbak lum bisa bantu, saya juga masih baru coba buka usaha sendiri, perlu belajar dari mbak kayaknya π
Nasib… sudah nasib.
tapi ntar dulu.. jika semua langkah-langkah yang sudah dipaparkan oleh Ibu itu tidak dijalankan dengna biak. atau barangkali perlu semacam revolusi pemasaran ala Tung Desem Waringin.. halah sok tau aku bu.. maaf. π
Perempuan,
Thanks telah mampir. Selamat udah mau buka usaha sendiri, jangan lupa monitor perkembangannya, terutama aliran kasnya. Ini untuk mengetahui titik-titik kritis yang kemungkinan bisa terjadi, juga produk/jasa apa yang disenangi pelanggan.
Mas Kurt,
Memiliki usaha memang harus bermental baja, kreatif, analitis…usaha tadi menurut saya cukup berkembang, karena telah berjalan 3 (tiga) tahun. Sayangnya data yang saya peroleh tak lengkap, jadi saya hanya mencoba analisis secara garis besar saja. Jika kualitas udah baik, tinggal menggenjot pemasaran, dan efisiensi. Faktor tenaga kerja juga susah-susah gampang lho…tapi betapa bahagianya jika usaha berkembang dan menyerap tenaga kerja. paling tidak mengurangi pengangguran.
Tahun pertama : rintisan dan masih gambling. Masa krisis stadium pertama.
Tahun kedua : jika tetap survive, akan terlihat peningkatan dan mulai melakukan ekspansi.
Tahun ketiga : evalusi terhadap ekspansi. Biasanya pada tahun ini ada sedikit pengereman ekspansi. Masa krisis stadium kedua.
Tahun keempat : pemantapan usaha mulai terjadi.
Tahun kelima : ekspansi yang mantap mulai terjadi.
Tahun keenam : berusaha bertahan dipuncak, sedikit lompatan dan hasil usaha baru bisa sedikit ternikmati.
Sampai tahun kesepuluh, pembuktian bahwa perusahaan ini bisa bertahan dalam jangka panjang agaknya mulai bisa diyakinkan.
Tak ada yang sama, yang di atas hanya sebuah pengamatan [saya] dan pegalaman [pihak lain, karena usaha saya baru pada tahun ketiga].
kalau belajar ilmu pemasarannya Hermawan Kartajaya, ada 4 unsur yakni Product, Promotion, Distribution dan Price
Cost reduction:
Bahan baku –> mungkinkah mendapatkan source lain yang lebih kompetitif, mungkinkah mendapatkan substitusi material lain yang memberikan hasil akhir tak jauh beda?
Biaya produksi –> mungkinkah menyusun skema kerja yang lebih efisien, mengurangi idle time karyawan, mengurangi bahan baku dan bahan tambahan yang terbuang, misal dengan cara pemotongan bahan yang “interlocking”, atau dengan reusing bahan-bahan yang terbuang
Biaya operasional –> sewa tempat usaha merupakan salah satu komponen biaya terbesar, mungkinkah dilakukan di tempat yang lebih murah, walaupun jauh dari keramaian, yang nantinya akan diimbangi dengan aktivitas pemasaran; mengefisiensikan pemakaian utilitas
Pemasaran –> sementara belum mampu menggunakan media, salah satu cara yang ampuh adalah word of mouth. sesekali perlu ikut dalam pameran, tapi harus diperhitungkan juga investasi dan impactnya.
Pendampingan –> banyak BUMN yang menyediakan pendampingan sekaligus memberikan skim kredit lunak melalui PKBL. Bisa diakses melalui instansi terkait, atau lembaga-lembaga inkubator UKM. Melalui pintu ini, biasanya asistensi untuk pemasaran (misal keikutsertaan pameran), dan juga pengelolaan manajemen (misal membuat UKM menjadi bankable) akan bisa didapatkan. Contohnya: LPB Bhakti Mandiri (Yayasan di bawah Bank Mandiri), SMEDC UGM, KKB dan lain-lain. Bisa dipertimbangkan juga untuk bergabung dengan pengusaha sejenis dalam wadah asosiasi atau koperasi.
Soal ilmu manajemen saya masih nol gedhe. Saran saya, selain usaha jangan lupa untuk selalu berdoa. Siapa tahu, dengan dorongan doa yang istiqomah, akan ada hasil dan untungnya π
Handaru,
Itu impian…prakteknya tak selalu begitu. Life cycle? Inipun juga susah memprediksikannya. Yang penting tetap semangat, berjuang untuk mengembangkan usaha.
Mas Iman,
Teori tentang pemasaran, bahkan manajemen operasi sangat banyak, namun dalam praktek, selalu ada faktor X. HK pernah menjadi konsultan di perusahaan tempat saya bekerja….Hasilnya? tetap kita sendiri yang tahu, dan berjuang mengenal pelanggan kita, dan siapa pelanggan yang akan dibidik. Konsultan hanya membantu melihat, putusan tetap pada pemilik dan manajemen perusahaan dibantu dukungan karyawannya..
Btw, thanks telah mampir.
Dee,
Iya memang ada dana PKBL, dana tsb untuk mengembangkan usaha. Pendampingan memang diperlukan, namun tetap pemilik usaha harus aktif berpartisipasi. Sekedar info, masing-masing Bank BUMN memiliki dana PKBL, yang diambilkan secara prosentase dari bagian keuntungan Bank ybs, dan diawasi oleh Bank Indonesia penggunaannya.
Djunaedird,
Setuju…bekerja keras dan berdoa. Jika masih mendapatkan keuntungan, itu masih baik dan berusaha agar semakin tinggi keuntungannya.
“Apakah anda mempunyai pendapat lain untuk menolong usaha A tersebut?”
>> Kalau dari saya cuma satu. Si A suruh langganan internet dan rajin baca blog ini biar maju usahanya, hehehe…
tambah modal lagi, ekspansi pasar, diversifikasi produk… kalo modalnya pas-pasan, pasarnya tetap, produknya itu2 aja, ya hasilnya tetap aja segitu… π
Tukang ketik,
Udah mulai on line ya..cerita dong, bagaimana pantai Kuta…
Alief,
Andai semua semudah yang anda sarankan. Tambah modal, justru disinilah kelemahan para pengusaha kecil. Mau berpartner usaha…dengan siapa? Salah-salah, bukan untung, tetapi buntung. Yang harus dipikirkan adalah meningkatkan pemasaran dan efisiensi….kalau sudah bisa dilakukan, baru berpikir pinjam modal Bank, tapi yang jelas si pemilik usaha sudah tahu benar arah yang dituju.
Juga harus ada orang kepercayaan, yang membantunya untuk melakukan pemasaran, sehingga pemilik bisa memikirkan hal lainnya.
sangat dilematis ya bu, antara menaikkan profit margin atau dengan menekan general and administrative expenses, dengan menaikkan profit margin dapat dicoba walaupun dengan resiko dapat kehilangan beberapa pelanggan, namun dapat dicoba, bagaimanapun juga business is like rolling a die, bisnis seperti menggelindingkan dadu, terkadang naluri dapat lebih berperan daripada analisis.
Jikalau harus menekan expenses, kalau penurunan itu harus mengorbankan kualitas baik langsung atau tidak langsung, tentu itu bukan hal yang bijaksana pula, dan dalam jangka panjang akan merugikan walaupun dalam jangka pendek mungkin akan dapat sedikit mendongkrak keuntungan.
Mencari partner dalam berusaha (untuk menambah modal) juga bisa merupakan jalan keluar namun kita harus berani berbagi kekuasaan dengan partner kita yang dalam jangka panjang mungkin bisa memperbesar kue profit secara keseluruhan. Bukankah 50% (dibagi dua) dari keuntungan Rp 1 juta,- lebih baik daripada 100% dari keuntungan Rp. 300.000,-?
Bagaimanapun juga, jalan apapun juga, bagi bisnis tetap ada resikonya walaupun sekecil apapun.
heheheh…
sebenarnya ini yang saya justru ingin diskusikan dengan ibu nih. cuma, saya lebih senang menggunakan kalimat positif : bagaimana agar usaha saya bisa tumbuh lebih cepat :p
berteori dan bicara memang selalu lebih gampang daripada menerapkannya. banyak sekali komponen yang berpengaruh.
yang dialami oleh pak A juga saya alami. dalam perspektif tertentu, menurut saya usaha saya dan teman2 tumbuh. tahun lalu kami hanya ber 4. sekarang alhamdulillah sudah bisa menambah rekan kerja 11 orang lagi. tahun lalu kerja di rumah kontrakan, sekarang bisa sewa kantor. dulu 1 PC saja tidak punya, sekarang alhamdulillah sudah punya. usaha ini modal dengkul doang sih dulunya :). dulu overhead cost hanya 13.5jt/bulan. sekarang mencapai 80 jt. namun seperti yang dialami pak A, saya juga masih mengalami kesulitan dalam membalancing cash flow. masih minus terus :p. tiap tanggal gajian, tanggal bayar gedung, saya selalu deg-degan π
tapi saya dan rekan-rekan telah mengambil keputusan untuk melakukan percepatan lebih cepat lagi. saya merasakan betul bahwa tanpa capital yang cukup sulit untuk membesarkan usaha dengan baik. capital yang pas pasan membuat saya tidak bisa melakukan research. karena research berarti waktu untuk mengerjakan project berkurang, artinya income juga berkurang. sementara menurut saya, bisnis berbasis proyek seperti ini akan sulit menciptakan keseimbangan dalam cash flow usaha.
saya dan teman2 sudah berusaha untuk memperbaiki banyak parameter usaha mulai dari back office, service, dan front office, agar mampu memberikan pelayanan terbaik bagi client. sebagai services based company, saya sadar betul posisi costumer saya.
makanya saya sebenarnya ingin bertanya ke bu enny, bagaimana menyusun sebuah standard keuangan agar lembaga keuangan seperti bank bisa melihat bahwa usaha saya reliable dan layak untuk mendapatkan pembiayaan. maklum bu enny, basic saya bukan di area ini π saya menganggap saya harus berusaha memenuhi ekspektasi standard lembaga keuangan.
disisi lain, saya sendiri sebenarnya agak ragu. alasannya sederhana. bisnis saya adalah bisnis human capital. aset saya adalah SDM. sementara lembaga financing cenderung selalu melihat aset yang terukur. ada pendapat soal ini bu enny?
komentar saya terhadap pak A yang senasib dengan saya, ya tetap semangat dan terus berinovasi :). inovasi perlu dilakukan untuk bersaing dengan usaha2 sejenis yang sudah mapan, dengan memberikan value yang berbeda di mata pelanggan. saya percaya ada orang-orang yang menghargai pelayanan, dan tidak hanya terpaku dengan harga murah. so, puaskan pelanggan. disisi lain, perlu dilakukan perbaikan-perbaikan yang mengacu pada standarisasi, agar penilaian client bisa bergeser. saya sangat merasakan pentingya suatu standard ketika saya (akhirnya) dipercaya oleh salah satu bank membuat website mereka. gila, form yang harus saya isi seabreg2 :).
lha, kok saya malah curhat yah?
ya sudah lah, sekalian saja saya nanya sama bu enny disini. dan siapa tau yang lain juga bisa berkomentar π
sederhananya pertanyaan saya : apa yang harus saya lakukan agar perusahaan saya bisa dinilai layak oleh lembaga finansial untuk menerima kredit?
buat pak A, tetap semangat ya pak π (sambil menyemangati diri sendiri…)
finally, thank bu enny π
btw, oot, foto bu enny di FS kok banyak di malang dan bukittinggi yah? 2 kota yang sangat familier dengan saya. satunya tempat kuliah dan saya menghabiskan waktu 10 tahun, satunya kampung halaman π
Yari NK,
Memang dilema, tapi itulah kondisi bisnis yang sebenarnya. Yang penting jangan menurunkan kualitas. Dari banyak pengusaha kecil yang pernah ngobrol dengan saya, mereka sering sulit untuk berbagi kekuasaan dan kepemilikan, padahal kadang dengan partner usaha yang bisa mengcover kelemahan kita, maka usaha bisa berkembang pesat. Tentu saja cari partner usaha yang memberikan fresh money, sehingga dapat langsung digunakan…hal ini kadang sulit juga…
Edo,
Kalau menjawab disini agak sulit ya, karena akan terlalu panjang. Kenapa nggak minta jasa akuntan, bukan akuntannya, tetapi mahasiswa tingkat akhir dari Fak. Ekonomi yang bekerja sambilan di kantor akuntan, untuk membuatkan/merapihkan administrasi keuangan di perusahaanmu, sekaligus mengajarkan bagaimana cara melihat laporan keuangan (neraca, Laba/Rugi dan aliran kas atau cash flow). Bank yang dilihat adalah keseluruhan usaha, ada tulisan saya tentang account offiicer Bank, dan bagaimana Bank melihat laporan keuangan debitur. Yang penting, kemukakan apa adanya, nanti kan ada analis Bank yang akan mewawancara, serta menjelaskan apa-apa persyaratannya.
Saya beberapa kali ke Padang, tapi yang kedua kali, kebetulan ada hari libur, jadi sempat mengajak suami (yang kebetulan memberi ceramah di STSI Padangpanjang)…terus tahun berikutnya mengajak anak-anak. Tempatku bekerja punya Sentra Pendidikan, di jalan yang ke arah Universitas Andalas, jadi saya sering tidur disana kalau ke Padang, sekaligus melakukan pembinaan dan monitoring. Tapi sejak akhir 2006 saya udah MPP, dan bekerja di salah satu anak perusahaan, dan sesekali mengajar part time.
Kalau Malang, kebetulan sering terkait dengan tugas, yang terakhir mengajak si bungsu pas ada acara pelatihan kewirausahaan.
expensenya di tekan, dan sekaligus menaikan harga jual, tetapi mempertahankan pelanggan juga penting ..
Seharusnya jika pelanggan yang dimaksud adalah pelanggan yang lama, yang sudah tahu kualitas service dan layanan, serta produk Bapak A itu memuaskan, maka menaikkan harga sedikit saja tidak jadi soal, bisa dilego,.. karena pelanggan juga bisa mengerti dengan kondisi ekonomi spt sekarang..
Apalagi jika pelanggannya perusahaan, setahu saya budget perusahaan juga selalu menyesuaikan kondisi pasar..
Kalau persaingan mungkin patut dikhawatirkan untuk pelanggan-pelanggan baru atau calon pelanggan.
Mengejar pelanggan baru juga penting menurut saya. Tetapi resikonya jelas adalah cost produksi akan bertambah, karena permintaan bertambah. Penting disini memperhitungkan ulang semua cost/expense retelah direview semua efisiensi yang mbak tawarkan. ..
Wuih jadi panjang !
cuman saran abal2 dari yang masih nguli, belajar dari ide2 Bos saya π
Leksa,
Peningkatan harga jual adalah hal yang dihindari, atau putusan paling akhir yang diambil oleh pengusaha…karena bagaimanapun setia nya pelanggan, dia juga akan mencari ke tempat lain, apalagi untuk yang belinya dalam partai besar.
Kalau individual, seperti tukang jahit yang udah cocok, maka biasanya naik sedikit tak masalah, karena ke penjahit lain belum tentu cocok. Tapi kalau baju untuk seragam perusahaan, pembeli nya lebih rasional, dan yang menentukan pembelian bisa berpindah (mutasi).
Banyak kejadian, manager pindah, pengusaha harus melakukan pendekatan lagi pada manager baru, agar segala sesuatu yang telah berjalan dilanjutkan. Kecuali jika kontrak pembuatan pakaian jangka panjang, dan biasanya kontraknya hanya untuk saat itu, atau paling lambat satu tahun.
Memang meluaskan pasar yang harus digenjot, jika pelanggan perusahaan, paling tidak mereka memberikan uang muka sekitar 10 persen, sedang sisanya dibayar tunai saat barang telah dikirim.
Btw, makasih telah mampir.
hehehe.. thank bu enny. saya sebenarnya ada 1 orang staf keuangan di kantor, dan juga saya ada 1 teman yang berprofesi akuntan yang sering saya “manfaatkan” agar orang keuangan kita belajar π
menurut saya sih laporan keuangan kita sudah mengikuti standard akutansi yang ada, termasuk selalu taat pajak (kayak kata iklan, apa kata dunia? π ).
mungkin pertanyaan yang tepat sebenarnya lebih makro sih bu. apa sih parameter penilaian sebuah lembaga keuangan dalam menilai “kesehatan” sebuah usaha sehingga dia layak mendapat kredit? saya benar-benar buta soal perbankan soalnya :).
according penjelasan bu enny, apakah si account officer bank bisa berposisi sebagai partner? maksud saya, ya bisa ngasih tau kl ada yang cocok, ada yang tidak cocok, atau hanya sebatas “tukang jagal” yang akan meng-cut off propose seorang kreditor jika tidak memenuhi standard?
Edo,
AO mempunyai target, jumlah nasabah dan rupiahnya. Juga target bahwa pembiayaan yang dianalisis akan berjalan lancar dan nasabah dapat mengembalikan sesuai yang diperjanjikan, agar tak terjadi NPL (Non Performing Loan). Jika terjadi NPL, maka Bank harus membentuk cadangan sebesar nilai kredit tertunggak tsb…bayangkan betapa mahalnya. Dari sini terlihat bahwa tanggung jawab AO sangat berat.
Bank dan nasabah ibaratnya suami isteri, kalau nasabahnya sakit, Bank nya ikut sakit, selain kredit tak terbayar, Bank harus membentuk cadangan sebesar nilai kredit tertunggak tsb, padahal uang tsb mestinya dapat digunakan untuk keperluan lain yang menghasilkan, agar Bank dapat membayar bunga simpanan para penabung. Oleh karena itu, Bank akan menilai secara komprehensip, mulai dari proses bisnisnya, manajemennya, kemampuan SDM nya dsb nya, karena ibaratnya cari istri harus kenal luar dalam. Prosedur penilaian kredit ini tertuang dalam KUP dan Prosedur Pemberian Pinjaman sebagai dasar pemberian pinjaman yang sehat. Jika terjadi pelanggaran, risikonya pidana (sesuai uu perbankan)…dan ini adalah hal yang selalu diperiksa oleh para auditor (BI, BPK, BPKP, Auditor Intern, auditor independen).
Jadi, melalui AO, Bank menginginkan nasabah terbuka, agar dapat diketahui berapa persisnya kebutuhan yang diperlukan…tepat waktu, tepat jumlah, tepat sasaran.
Kenapa kok ada istilah tukang jagal? Mungkin karena perbedaan persepsi antara Bank dan nasabah…..calon nasabah menganggap usahanya sangat layak diberi kredit besar, sangat yakin akan perkembangannya…disatu sisi, penilaian Bank harus terdokumentasi, jadi apa yang dikatakan oleh nasabah harus ada bukti tertulisnya, serta dicek kebenarannya,…karena akan selalu diperiksa oleh auditor…jadi bayangkan betapa sulitnya menjadi AO Bank, dia harus menghadapi banyak pihak, menjamin kredit yang diberikan lancar, di satu sisi nasabah juga menuntut kenaikan pinjaman terus menerus.
Perbedaan persepsi ini yang mengakibatkan calon nasabah menganggap Bank tukang jagal, padahal karena nasabah mengambil risiko (tapi uangnya milik sendiri), sedang Bank ambil risiko uang orang lain (dari para penabung, penyimpan di bank tsb).
Masing-masing Bank punya kebijakan sendiri -sendiri, walau secara prinsip harus in line dengan kebijakan Bank Indonesia. Ada Bank yang kebijakannya longgar dan ada kebijakan yang ketat, dan semua ini ada trade off nya. Semoga jawaban saya membantu.
Mungkin bisa juga baca tulisan ini:
https://edratna.wordpress.com/2007/02/09
/perlukah-mengambil-kredit-dari-bank/
https://edratna.wordpress.com/2007/09/04/
kebijakan-perkreditan-merupakan-dasar-pemberian-pinjaman-yang
https://edratna.wordpress.com/2007/04/14/
apa-perbedaan-dan-kegunaan-pembiayaan-untuk-investasi-dan-modal-kerja/
Ibu Eni apa kabar, saya erna murid ibu di kelas PCSM III Bank Papua. Bu, saya minta masukan dong.. saya mau nulis makalah tentang promosi dan pembinaan kredit mikro. kalau ibu ada waktu dan tidak keberatan tolong email kan saya asumsi – asumsi ibu, pengalaman, atau apa aja deh tentang topik itu. Bu terima kasih sebelumnya. Salam untuk keluarga ibu ya….
Erna,
Nanti saya kirim japri aja ya, biar bisa diattachment lewat email.
Ini ada tulisan saya tentang micro finance (bedakan micro finance dan kredit mikro)
https://edratna.wordpress.com/2007/04/21/
bagaimana-microfinance-dapat-menggerakkan-ekonomi-masyarakat-berpenghasilan-rendah/
thank untuk penjelasannya bu enny π
ini juga saya dalam rangka mencoba untuk “mengenal” calon istri saya hihihi…
eksplorasi saya ini dalam rangka saya memahami prilaku perbankan, agar saya berdasarkan berbagai parameter2 yang ditetapkan, layak menjadi “suami” nya.
saya akan baca2 dulu referensi yang ibu berikan.
andai semua AO seperti bu enny, menjalankan fungsi “istri” dengan baik : bisa memberikan pengertian, penjelasan, tuntunan, betapa bahagianya saya sebagai “suami”nya. saya juga siap kok berubah sebagaimana persyaratan yang dibutuhkan oleh “calon istri saya” heheheh
Edo,
Justru itulah yang diperlukan, dari tidak bankable menjadi bankable.
Ping-balik: ThrowInside » Menghitung Nilai Aset Perusahaan Berbasis SDM
Sy lihat usaha bapak A sdh sangat bagus bisa bertahan 3 tahun & mempunyai pasar yg bagus. Hanya bapak A terlalu terfokus pada upaya mengejar profit usaha dg mengejar keuntungan per unit & mengurangi cost, padahal ada saatnya keuntungan mentok tidak akan meningkat lagi apabila A tidak mendaptkan pasar baru. Apabila dipaksakan malah pelanggan bisa lari semua.
Pengalaman saya & beberapa teman hal tersebut tidak akan bertahan lama. Salah satu alternatif adalah melakukan ekspansi untuk meningkatkan omzet. Masalahnya (spt pengalaman sy) adalah sering kita mentok dengan usulan kredit perbankan yg berbelit-belit, sehingga malah biaya habis hanya utk urusan bank. Sehingga yg paling mungkin adalah join dengan pemodal perorangan yg mempunyai ketertarikan pada bisnis yg sama. Sy punya hutang dengan berbagai macam sumber dr mulai kakak, teman, kartu kredit, KTA dll. Tetapi cash flow & pertumbuhan usaha menjadi lebih baik. Sy sangat beruntung krn sy mempunyai kredit track dari kartu kredit & KTA yang sangat bagus (sejak tahun 2001), sehingga plafon kredit sy terus meningkat, sampai sekarang mendekati 200jt. Sy pikir Hanya memang menggunakan kartu kredit & KTA hrs sangat hati2. Sy hanya menggunakannya utk investasi & tdk pernah menggunakannya utk konsumsi. Usul sy mungkin agak kontroversial krn banyak org yg anti kartu kredit, tp apabila kita menggunakan dg baik akan sangat bermanfaat.
Agoez,
Jangan pernah menggunakan kartu kredit sebagai hutang, karena bunganya mahal. Dan kartu kredit hanya berfungsi sebagai pengganti alat bayar, yang harus dilunasi saat tagihan sebelum jatuh tempo.
Sedang pinjaman dari Bank disesuaikan kebutuhannya, bisa kredit modal kerja, kredit investasi, kredit impor/expor. Usulmu bukan hanya kontroversial, tapi sangat salah. Kartu kredit termasuk kategori consumers loan, jadi untuk keperluan konsumsi rumah tangga.
Sebetulnya urusan dengan Bank tidak sulit, yang menjadi sulit, seorang nasabah mengharapkan begitu datang ke Bank langsung uang turun. Harus diingat, Bank hanya sebagai financial intermediary, yang harus menjamin kredit yang disalurkannya berjalan lancar, karena uang yang digunakan untuk memberi kredit berasal dari dana simpanan nasabah, yang juga harus dibayar bunganya oleh Bank.
Dan disatu sisi, Bank harus mengikuti azas prudential banking, dan ada prosedurnya, bahkan bagaimana cara menghitung kredit pun ada prosedurnya. Para pegawai Bank tak bisa melanggar ketentuan ini, karena akan terkena sanksi langsung. Kelemahan nasabah adalah administrasi dan dokumen kurang lengkap, padahal ini merupakan salah satu syarat yang diminta Bank. Mengapa? Karena Bank diperiksa BI, BPKP, audit intern, audit independen, bahkan BPK. Jika ada kesalahan, pegawai Bank terkena sanksi pidana.
Jadi mas Agoez harus menanyakan, mengapa kok sulit, betulkah orangnya yang mempersulit, atau memang ada kriteria yang belum bisa terpenuhi. Jika bisa disiplin, banyak debitur yang dari usaha kecil, setelah belasan tahun, usahanya sudah beranak pinak….dan hanya diawali kredit Rp.5 juta saat pertengahan tahun 70 an.
Kalau memandang secara konvensional, memang fungsi-fungsi lembaga keuangan konvensional menjadi sangat penting. tetapi pada saat yang kritis, maka diperlukan suatu pemikiran mungkin sedikit berbeda. Berbeda memandang rekan kerja, berbeda memandang saudara, berbeda memandang kartu kredit atau bahkan berbeda memandang renternir. Bunga besar memang kalau dihitung 1 tahun penuh. Kenyataannya usaha akan sangat menguntungkan apabila cash flow dapat berjalan dengan baik & selalu ada untuk meraih peluang yang ada di depan mata. Pinjaman jangka pendek dengan bunga 3% per bulan lebih baik untuk membeli bahan baku yang dalam waktu 4 bulan dapat mendatangkan keuntungan 30% dalam 4 bulan. Saya malah sangat menghindari kartu kredit atau pinjaman apapun untuk consumer loan karena hal tersebut sangat menjebak. Kartu kredit adalah kesempatan untuk berinvestasi walaupun memang hanya boleh digunakan dengan disiplin yang super tinggi (bukan hanya sangat tinggi) karena godaannya sangat besar. Untuk info saja saya bahkan sangat sering memanfaatkan rentenir dengan bunga 5% per bulan. Tapi hal itu hanya untuk menjalankan bisnis jangka pendek yanga kemungkinan “deal”-nya diatas 80%.
Agoez,
Kartu Kredit bisa menolong kebutuhan jangka pendek jika kita disiplin. Tapi tidak disarankan, untuk dikemukakan secara umum, karena tak semua orang bisa melakukan disiplin diri, serta sebetulnya secara teori, menyalahi aturan sumber dan penggunaan dana. Bahwa dana yang dibutuhkan harus sesuai dengan sumbernya…..
(Maaf jika saya tak sependapat, karena tulisan saya juga dimaksudkan untuk pembelajaran, dibaca murid2 saya…sehingga saya berusaha agar sesuai dengan aturannya). Kartu Kredit termasuk dalam kategori Consumers loan.
orang yg gagal adalah orang yg gak pernah mencoba, bener gak?