Setelah menulis “Kecanduan cerita fiksi berlatar belakang Sejarah” yang mendapat
beberapa komentar dari teman-teman sesama blogger, terutama komentar yang menggelitik dari Ikram dan Iwan Rystiono, saya mulai berpikir untuk mencari nara sumber tentang kebenaran istilah fiksi sejarah atau novel sejarah. Pada saat menulis tulisan sebelumnya, saya mencoba mereka-reka nama apa yang tepat, karena novel yang ditulis oleh Langit Kresna Hariadi (LKH) ada kaitannya dengan sejarah.
Ternyata Kompas tanggal 22 desember 2007 menurunkan artikel “ Sastra Sejarah: Imajinasi yang terus bertanya ” tulisan DR. Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI. Asvi, W.A. menjelaskan bahwa sejarah dan sastra sama-sama imajinatif. Sekarang sebagian orang tidak lagi menganggap sastra sebagai wilayah estetika yang otonom. Pendekatan New Historicism (NH) yang dicanangkan oleh Stephen Greenblaat tahun 1982, dapat menjadi pikiran dalam menganalisis karya sastra, sastra sejarah dan sejarah secara utuh.
Asvi, W.A juga menggambarkan bahwa Louis Montrose menggunakan istilah “kesejarahan sastra dan kesastraan sejarah atau dengan kata lain, membaca sastra=membaca sejarah, dan membaca sejarah=membaca sastra (aspek sejarah sebagai konstruksi sosial).” Lebih jauh, Asvi W.A. juga menjelaskan bahwa “sejarah” atau dunia yang diacu oleh karya sastra bukan sekedar latar belakang (yang konheren dan menyatu). Sejarah sendiri terdiri atas berbagai teks yang masing-masing menyusun versi tentang kenyataan. Keterkaitan antara karya sastra dan “sejarah” adalah kaitan intertekstual di antara berbagai teks (fiksi maupun faktual) yang diproduksi pada zaman yang sama atau berbeda.
Sedangkan menurut Kuntowijoyo (Pengantar Ilmu Sejarah, 1995), sejarah itu berbeda dengan sastra dalam hal: 1) Cara kerja, 2) Kebenaran,3) Hasil keseluruhan, dan 4) Kesimpulannya. Sastra adalah pekerjaan imajinasi, kebenaran ditangan pengarang, dengan perkataan lain bersifat subyektif. Sastra bisa berakhir dengan pertanyaan, sedang sejarah harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya. Asvi W.A lebih lanjut mengatakan, dengan pendekatan dekonstruktif yang dilakukan kelompok posmodermis, sastra itu semakin dekat dengan sejarah. Keduanya berkaitan dengan narasi.
Sejarah, seperti halnya sastra, disampaikan oleh sejarawan melalui narasi. Narasi sejarah itu sendiri memakai plot, misal: awal, pertengahan, dan akhir, yang juga merupakan plot sastra juga. Kalau dikatakan keakuratan, sejarah juga bisa tidak akurat. Yang jelas keduanya membutuhkan imajinasi dari penulisnya, demikian penjelasan Asvi W.A.
Bagaimana pendapat Asvi Warman Adam tentang novel sejarah?
Asvi, W. A mengatakan, dengan pendekatan new historicism ini, saya menyambut baik terbitnya buku-buku novel sejarah belakangan ini, seperti “Gajah Mada” sebanyak 5 jilid oleh Langit Kresna Hariadi, dan novel “Pangeran Diponegoro” oleh Remy Silado yang direncanakan 4 jilid (baru keluar jilid 1 yang berjudul “Menggagas Ratu Adil“). Ada lagi novel “September” oleh Noorca M. Masardi dan “Rahasia Meede” oleh E.S.Ito.
Selanjutnya Asvi W. A menjelaskan masing-masing novel tersebut:
- Novel “Gajah Mada“: jilid 4 tentang Perang Bubat. Rekonsiliasi antara etnis Sunda dan Jawa, diupayakan dengan menambahkan unsur baru dalam Perang Bubat.
- Novel Remy Silado, “Diponegoro” yang nama kecilnya Ontowiryo (panggilannya Wir), ditampilkan sebagai calon Ratu Adil.
- Novel “September“, tulisan Noorca M. Masardi, secara cerdas mengajak pembaca menebak sipa Mayor Jendral Theo Rosa yang menjadi dalang kudeta 1965.
- Novel “Rahasia Meede” oleh E.S.Ito, mendorong khalayak untuk memikirkan Konferensi meja Bundar (KMB) yang merugikan kita dan kurang dibahas dalam sejarah Indonesia. Dengan imajinasinya, pengarang menawarkan alternatif jawaban, pemimpin kita mau menandatangani perjanjian karena percaya ada harta karun VOC di dasar laut.
Sastra sejarah juga berpotensi mengobati trauma masa lampau, seperti ditulis Melani Budianta, pada sampul belakang novel “Djamangilak” karya Martin Aleida (2004). “Dengan membaca buku ini terasa beratnya beban sejarah, luka-luka masa lalu yang tidak bisa dibicarakan secara terbuka, kecuali melalui sebuah cerita, ” kata Melani Budianto, sebagaimana di tulis dalam artikel Asvi W.A.
Bagaimana pendapat anda? Punyakah anda pengalaman membaca novel yang intinya menyentuh begitu dalam?
Saya teringat karangan Marga T. dalam “Sekuntum Nozomi“, kalau tak salah pada jilid 4, menceritakan tentang peristiwa kerusuhan pada tahun 1998, yang digambarkan melalui tokohnya. Bagi saya sebuah novel, baik berlatar belakang sejarah atau bukan, mengandung maksud yang terkandung dari penulisnya. Dengan membaca novel, kita kadang bisa menyelami situasi yang diceritakan dalam novel tersebut. Saya pernah diskusi dengan bapak Jacob Sumardjo, yang sering menulis tentang sastra di Kompas. Beliau mengatakan, perbedaan sastra dengan yang lain, bahwa kalau sastra maka setiap pembacanya bisa menjelajah dan memikirkan berbagai alternatif, serta kemungkinan-kemungkinan apa yang ada dibalik penceritaan tokoh-tokohnya. Membaca “Layar Terkembang” karangan Sutan Takdir Alisyahbana (STA), walaupun dikategorikan dalam sastra, kita diajak menjelajah situasi Jakarta saat itu, Pasar Ikan, dan gang Hueber di daerah Petojo, yang merupakan tempat tinggal tokohnya (Tuti dan Maria). Hal-hal seperti ini, yang membuat saat pertama kali datang ke Jakarta, dan melewati daerah Petojo, saya jadi teringat karangan STA tersebut. Membaca “Andang Teruna” karangan Sutomo Djauhar Arifin, kita diajak berkelana dari Semarang ke Madiun, demikian juga jika membaca buku-bukunya NH Dini. Nh Dini menulis serial nostalgia, masa remajanya di kota Semarang, masa perang kemerdekaan yang harus mengungsi diluar kota, dan kemudian pengembaraan NH Dini di negara-negara Jepang, Kamboja, Paris, dimana suaminya yang bekerja di kedutaan ditempatkan. Pada suatu kesempatan mendapat tugas ke Eropa dan dapat mampir ke Paris, saya membayangkan NH Dini duduk dibangku di taman P’lace d”Italie.
Jadi, dengan membaca karya sastra, pikiran kita bisa dibawa mengembara oleh pengarangnya, dan suatu ketika bila kita berada di tempat-tempat seperti yang diceritakan oleh pengarang tsb, kita seperti telah mengenal daerah itu, dan merasakan bagaimana sang pengarang menggambarkannya.
Saya membaca Layar Terkembang sampai beberapa kali, diawali secara sembunyi membaca pada kelas 4 SD (maklum ayah disiplin, saya hanya boleh membaca buku sesuai umur), yang awalnya terbayang hanya roman antara Maria dan Yusuf. Pada saat SMP dan SMA saya membaca lagi, namun belum mendapat intinya. Dan saat saya telah lulus kuliah (mungkin membaca kelima kalinya), saya baru memahami apa yang dimaksud oleh STA dan mengapa judulnya layar terkembang. Disitu yang dimatikan adalah tokoh Maria, yang lembut, baik dan kewanitaan, dan yang tetap hidup adalah tokoh Tuti (kakak Maria) dan Yusuf (mantan tunangan Maria), yang keduanya pada akhirnya menikah. Tuti digambarkan seorang wanita yang aktif, ikut pergerakan untuk kemajuan bangsanya, berani memutuskan pertunangannya karena merasa dia tak berkembang jika menikah dengan tunangannya. Jadi, awal menikah dengan Yusuf (seorang dokter dan aktif di pergerakan), kata-kata Tuti adalah…Yusuf..hidup ini adalah kerja…dan kerja….
Hmm ya…hidup adalah untuk bekerja…bekerja lebih baik dan lebih baik lagi.
Sumber bacaan:
- Asvi Warman Adam. “Sastra Sejarah: Imajinasi yang Terus Bertanya”. Sejarawan LIPI. Menetap di Jakarta. Kompas, Sabtu, 22 Desember 2007, halaman 14
- Hasil diskusi dengan pak Jacob Sumarjo dan Kunderemp, di Loby STSI Bandung, tahun 2005.
membaca buku sesuai umur ya Bu….
Jadi inget Bapak saya.
Nurussadad,
Betul…dan walaupun mencuri baca, tetap aja memang saya nggak bisa melihat intinya. Pada saat kita udah dewasa, telah pengalaman, bacaan terasa berbeda, karena kita bisa memahami apa yang dimaksud pengarang.
titip lanjutan komen sebelomnya,..
baru2 ini dalam sebuah milis Fans salah satu sastrawan terkenal Indo, lagi rame ngebahas tentang batasan sejarah-gambaran kehidupan sosial dengan cerita fiksi sang penulis. Perdebatan yang panjang memang. makanya saya jadi teringat bahasan di milis karena 2 bahasan yg sama dari Ibu di blog ini.
Selain sejarah, terkadang latar belakang sosial sebuah Fiksi juga menarik perhatian. Jika sebuah fiksi tentang cerita kaum metroseksual di Ibu Kota diangkat, tentunnya mengalir kisah yang membuat pembaca kadang penasaran benarkah demikian kehidupan ibu kota? Seperti juga ada yang bertanya benarkah demikian kejadian di TimTim dalam buku “saksi mata” Seno.
Bahasan yang menarik dari Ibu… makasih..
membuat saya berhemat ga usah
belibuka Kompassaya pernah terhanyut dengan sangat dalam kalau baca buku sastra seperti “siti nurbaya”, juga “salah asuhan” (jauh lebih rame/asik daripada nonton kalau difilmkan)
iya bu Eni Sastra dan Sejarah sebenarnya jika dinikmati seperti yang Ibu rasakan… memberikan imaginasi ke semua lini kehidupan… Bukankah Quran dan kitab-kitab yang suci itu pun terdiri dari bahasa yang sastranya tinggi, kemudian dari firman2 itu melahirkan berbagai macam tafsir akan makna kehiudpan yang memberi nuansa pada hidup itu sendiri..
Tapi juga kita tidak bisa abai bahwa turunnya wahyu-wahyu itu mengikuti alunan sejarah…
jadi benar yaa, sejarah dan sastra sangat kait erat, sayangnya saya masih belum begitu menikmati seperti es krim yang dirasakan ibu saat membaca di kompas itu heheh 🙂
kedua bentuk tulisan ini sama-sama imajinatif . kalau gak imajinatif , bagaimana bisa itu semua dibuat ?
gak kuat aku kalo baca buku yang berat-berat
Leksa,
Sama-sama…semoga lebih menikmati nantinya kalau membaca.
Metroseksual? Ini pernah diangkat dalam makalah yang dipresentasikan dalam suatu pendidikan, yang pada umumnya kaum eksekutf muda, uang banyak…dan merupakan target Bank untuk mengumpulkan dana.
Arie,
Yup…setuju, kadang kalau kita udah baca bukunya, filmnya jadi kurang asyik, karena kita udah punya persepsi sendiri. Saya pernah baca buku “Papilon”, tentang narapidana yang lari dari penjara Alcatraz…begitu nonton filmnya, rasanya kurang pas. Yang enak dibalik, nonton dulu, baru baca bukunya.
Mas Kurt,
Ahh mas Kurt suka merendah begitu, saya yakin mas Kurt bisa menikmati, sebagaimana menikmati membaca Al Quran dan kitab-kitab suci lainnya.
Bacteria,
semua tlisan memang imajinatif, kecuali jurnal keilmuan, yang didasarkan fakta dan hasil penelitian.
Farid,
Mungkin belum aja…nanti kalau udah merasakan, bisa kegiatan lainnya terhenti.
Saya lupa siapa yang pernah mengatakan bahwa satu hal yang pasti dari sejarah adalah kejadiannya memang ada, tapi sudut pandangnya bisa bermacam-macam.
Soal perang salib saja tidak pernah ada yang sepakat dari pihak-pihak yang terlibat soal siapa yang menang siapa kalah, soal siapa yang lebih kejam, siapa jadi korban 🙂
Barangkali melalui sastra, penulis ingin menyampaikan sudut pandangnya?
Donny Reza,
Kalau melihat pemaparan Asvi Warman Adam di atas, sejarah pun perlu ada narasi, dan tentu narasi ini sangat tergantung pada penulisnya.
Wah bu Enny penikmat karya jenis ini juga 🙂
Fadli,
Saya suka baca apa aja, tapi kalau seperti filsafat masih perlu waktu lama untuk meresapinya. Anakku yang sulung melahap apa saja, saya jadi ketularan juga, karena ada teman diskusi.
Novel sejarah akhir-akhir ini mulai banyak bermunculan, dimulai dari “Da Vinci Code” karangan Dan Brown. Di Indonesia sebetulnya udah ada sejak lama, tapi nggak seramai sekarang. Setelah SH Mintardjo, ada beberapa novel karangan Romo Mangun seperti “Genduk Duku” (bersambung di Kompas), terus karangan Aswendo A., Remy Silado, dan memang yang mengagetkan karangan LKH, karena 2 tahun belakangan ini dia benar-benar menggebrak.
Dan saya beli buku, seringnya karena tertarik pada ulasan di Kompas ( mis. Edensor cs karangan Andrea Hirata), juga novel-novel lain. Dan….saya sekarang agak longgar, jadi sempat membaca….ini alasan utama nya.
saya baru belajar bahwa…fiksi tetep fiksi, ga boleh dicampur baur dengan non fiksi. Sejarah adalah sesuatu yang beda, yang celakanya, di negeri kita tinggal ini, sejarah bisa dibuat sesuai kehendak penguasa. kasus novel Diponegoro misalnya….saya bertanya2, akan dibawa kemana negeri ini oleh pemesan buku itu
Saya sendiri sebenarnya malah masih bingung bu, bagaimana karya yang mengandung nilai sastra mana yang tidak?? Apakah setiap cerpen itu mengandung nilai sastra?? Apakah tulisan yang mengandung nilai sastra tersebut apakah tulisan yang banyak mengandung gaya bahasa?? Atau apakah karya imajinatif atau juga karya fiksi ilmiah bisa juga dikategorikan sebagai karya sastra? Wah… bingung aku. 😀
Yati:
Berarti anda perlu membaca lagi pendapat Asvi Warman. Sejarah, bukan sekedar fakta. Sejarah memiliki interpretasi. Sebagai contoh, sejarah masuknya Hindu ke Nusantara (seingatku ada 4 versi, tetapi aku mencoba googling, belum ketemu jua), sejarah hancurnya Majapahit, bahkan sejarah agama-agama. Bahkan prasasti-prasasti pun sebenarnya merupakan interpretasi dari para pengukirnya apalagi bila dimaksudkan untuk menyanjung junjungan mereka.
Justru membaca fiksi sejarah, lebih aman daripada membaca “sejarah” karena pembaca menyadari bahwa yang mereka baca adalah fiksi. Sementara, membaca “sejarah”, bila pembaca awam tidak waspada, mereka bisa terjebak dalam kendali si pemapar “sejarah”. Butuh kearifan lebih tinggi untuk membaca “sejarah”.
Betul, sejarah bukan sekadar urusan kumpulan data dan fakta. Namun juga interpretasi. Siapa membaca apa dan bagaimana dia membaca sejarah. Dalam wilayah interpretasi inilah imajinasi bermain.
Karya sastra sendiri meliputi banyak jenis. Bukan hanya prosa. Sastra tidak semata imajinasi bulat2, pastinya juga bukan kumpulan fakta kering.
Menurut saya, yang dikategorikan sebagai novel sejarah ada 2 jenis:
1. Benar2 menceritakan cerita sejarah itu
sendiri. Bulat, dalam arti pengarang mencoba
membangun kisah masa lampau menurut
fakta yang diketahuinya
2. Novel hanya meminjam setting sejarah
Soal imajinasi.
Sebuah data jurnalistik yang kering bisa menjadi novel yang ditulis imajinatif. Semisal karya Truman Capore, In Cold Blood. Teknik ini disebut Jurnalisme sastrawi
(baca pada: http://meiditami3.blogspot.com/2007/12/in-cold-blood.html
Salah satu novel favorit saya adalah Huckleberry Finn-nya Mark Twain. Saking sukanya saya punya 4 exp dgn penerbit dan bahasa berbeda, hehehe.
Soal yg menyentuh..hmm.. apa ya..menyentuh tuh kayak gimana ya? hehe. Mungkin Raumanen-nya Marianne Katoppo (menurut saya dia salah satu novelis Ina yang mumpuni)
Yati,
Jawaban saya mirip jawaban kunderemp (anak saya) dan Meiditami.
…..Sejarah, seperti halnya sastra, disampaikan oleh sejarawan melalui narasi. Narasi sejarah itu sendiri memakai plot, misal: awal, pertengahan, dan akhir, yang juga merupakan plot sastra juga. Kalau dikatakan keakuratan, sejarah juga bisa tidak akurat. Yang jelas keduanya membutuhkan imajinasi dari penulisnya, demikian penjelasan Asvi W.A….
Yari NK,
Kalau dari diskusi dengan pak Jacob, karya sastra memang berbeda, artinya setiap kali membaca, kita bisa mempunyai gambaran yang luas, dan setiap orang bisa menginterpretasikan. Jadi pengarang, tak sekedar menulis, tapi ada tujuannya, ada maksud dibalik tulisannya.
Dalam tulisan di blognya Meiditami (http://meiditami3.blogspot.com/2007/12/
in-cold-blood.html), bisa dilihat hasil jurnalis bisa menjadi novel yang ditulis imajinatif. Saya pernah terkesan dengan buku “To Kill a Mocking Bird”, penulisnya Harper Lee, seorang jurnalis…..mendapat hadiah Pulitzer, bahasanya sederhana (mungkin belum dianggap sastra?) tapi sejak membaca buku tadi, yang lain terasa kurang. Semakin membaca, rasanya pemahamanku terhadap karakter tokoh-nya makin dalam, selalu ada lagi lagi yang ditemukan. Mungkin ini yang dimaksud pak Jacob Sumardjo…hehehe..maaf , mungkin juga pendapatku salah,…. saya sendiri hanya penggemar bacaan, karena yang dosen sastra ayahku alm.
Terimakasih untuk penjelasannya, Mbak Enny.
Ikram,
Gara-gara komentarmu, saya jadi buka-buka buku, dan belajar lagi. Thanks ya…..
Dear Tante Enny,
Pada awalnya saya condong pada pendapat Kuntowijoyo. Karena bagi saya yang orang eksak intepretasi penulis sejarah lebih lugas dan fokus pada pemaparan fakta yang deskriptif analitis.
Tapi setelah berdiskusi lama dengan ayah saya yang telah menulis beberapa fiksi sejarah (antara lain : Perang Jagaraga, Panji Sakti Raja Buleleng dan Perjalanan Danghyang Nirartha) ternyata fiksi sejarah bisa dijadikan rujukan sejarah. Buktinya banyak akademisi di Bali yang menggunakan buku ayah sebagai acuan tahun, kejadian dan persepsi tentang sejarah.
Cuma menurut saya pembaca fiksi sejarah harus ekstra hati hati, saya agak ngeri membayangkan sebuah fiksi yang sangat populer karena penyajian sastraisnya (padahal mungkin faktualnya kurang akurat) akan mendominasi persepsi tentang sejarah oleh pembacanya. Mungkin hal yang sama harus juga diberlakukan pada karya sejarah tapi kalau orang baca sejarah tentu sudah mempersepsikan bahwa apa yang dia baca adalah sejarah tapi kalau baca fiksi mungkin tidak sewaspada membaca sejarah.
Fiksi bisa dijadikan celah untuk membelokkan sejarah bila dilakukan oleh penulis sastra yang berniat melakukan pembelokan yang kalau dilakuakan diranah sejarah murni maka akan lebih mudah dideteksi tapi kalau lewat fiksi mungkin agak susah dideteksi.
Karena itu mungkin sebuah fiksi sejarah harus ditelaah oleh para sejarawan terlebih dahulu sebelum dikonsumsi publik.
Wibisono Sastrodiwiryo,
Kayaknya memang kita harus membiasakan diskusi, diawali di keluarga kecil…saya menyenangi sastra dan membaca buku juga karena sering diajak diskusi oleh ayah.
Memang, segala sesuatu ada risikonya, tapi kalau judulnya fiksi (atau perlu ditulis ya di sampul bukunya), kita harus menyadari bahwa hal tsb bukan kenyataan, dan lebih banyak imajinasinya. Sastra sejarah sendiri saya kira juga melalui penelaahan, karena kalau tidak, juga berbahaya.
Thanks telah mampir….hari ini Kompas juga memuat tulisan, bahwa saat ini pengarang sangat banyak, tapi tak diimbangi dengan kritikus. Hal ini bisa berbahaya, karena penulis akan mengikuti selera pasar (pembaca). Padahal penulis mempunyai tujuan, bisa untuk mengajak, mendorong pembaca untuk melakukan perbaikan, bisa juga untuk bersikap kritis…banyak sekali yang bisa dilakukan oleh penulis untuk kemajuan bangsa ini.
Dear Tante Enny,
Saya barusan diskusi dengan ayah dan maaf ada sedikit kekeliruan ternyata yang ditulis oleh ayah itu bukan fiksi, tapi sejarah dengan gaya penulisan sastra mirip seperti Hannibal: One Man Againts Rome karya Harold Lamb. Penulisannya lengkap dengan referensi plus seminar segala.
Memang diskusi jadi tradisi di keluarga, saking senang berdiskusi dan berdebat seringkali orang luar mengira kami bertengkar dan bermusuhan padahal hanya berbeda pendapat dan kami jadi bisa mengelola perbedaan untuk menghindari konflik.
Tante terimakasih sudah mampir ke Blog saya 😉
Satu point yang bagus tentang novel sejarah adalah mengingatkan kita tentan berbagai hal yang terjadi dimasa lampau dan mencoba untuk tidak melakukan hal yang sama lagi saat ini…
Kayak Novel Bumi Manusia. Gemes banget abis baca, walaupun mungkin si Minke adalah tokoh buatan namun kondisi yang ada saat itu tentang bagaimana Indonesia dipermainkan karena rakyatnya dibatasi akses pendidikannya adalah sebuah pelajaran yang harusnya diperhatikan. Lihat bagaimana akhirnya kejadian di Bumi Manusia itu kembali terjadi di Indonesia pada saat ini karena kita tidak mau membangun manusia Indonesia melalui pendidikan…
few…
Anggunpribadi,
Memang…setidaknya kita bisa membayangkan pada masa sesuai yang digambarkan oleh penulisnya.
Mungkinkah fakta menjadi bias setelah dileburkan bersama fiksi? Maksudnya, pembaca menjadi sulit untuk memilah, yg mana fksi, yg mana fakta. Tapi genre ini, historis sastrawi, memang memikat.
Salam kenal!
Roy Thaniago,
Salam kenal juga….
(Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Jum’at, 26 Oktober 2007)
Strategi Paradigma Baru Kongres Cerpen Indonesia V
(Studi Kasus: Polemik Ukuran Nilai Sastra)
Oleh Qinimain Zain
FEELING IS BELIEVING. ILMU diukur dari kekuatannya merumuskan hukum-hukum yang berlaku umum dan hubungannya atas kenyataan, seni dinilai dari pergulatannya dengan hal-hal yang partikular dan penciptaannya atas sesuatu yang belum ada dalam kenyataan (Nirwan Ahmad Arsuka).
JUM’AT, Sabtu dan Minggu, 26-28 Oktober 2007 ini, berlangsung Kongres Cerpen Indonesia V di Taman Budaya, Banjarmasin, yang rencana dibuka orasi budaya oleh Wakil Gubernur Kalimantan Selatan, HM Rosehan Noor Bachri, yang dihadiri ratusan sastrawan, budayawan dan intelektual seluruh Indonesia. Dan, panitia sudah memastikan akan tampil pembicara hebat seperti Lan Fang, Korie Layun Rampan, Jamal T. Suryanata, Agus Noor, Saut Situmorang, Nirwan Ahmad Arsuka, Ahmadun Yosi Herfanda, Katrin Bandel, dan Triyanto Triwikromo. Dari forum ini diharapkan banyak masukan kemajuan. Sedang, tulisan ini hanyalah oleh-oleh kecil dari saya (Kalsel) akan masalah polemik panjang Taufiq Ismail-Hudan Hidayat yang masih jadi ganjalan.
Polemik adalah fenomena biasa. Namun, untuk memecahkan dan menjelaskannya polemik sastra (baca: seni) menonjolkan seks sekalipun, harus berdasar sistem ilmu pengetahuan. Jika tidak, hasilnya berbantahan dan sakit hati berkepanjangan. Artinya, bagaimana pun harus dengan kritik akademis, yang diharapkan mampu memberi jalan ke arah penyehatan kembali kehidupan kesusastraan.
Lalu, apa kesulitan sesungguhnya memecahkan hal seperti ini?
Kembali berulang-ulang memberitahukan (dan tidak akan bosan-bosan – sudah ratusan pemecahan), akar masalahnya adalah sebelum tahun 2000, (ilmu) pengetahuan sosial belum dapat disebut sebuah ilmu pengetahuan, karena tidak memenuhi Total Qinimain Zain (TQZ) Scientific System of Science yaitu memiliki kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum (kecuali Teori Hirarki Kebutuhan Abraham H Maslow, proposisi silogisme Aristoteles, dan skala Rensis A. Likert tanpa satuan, belum cukup monumental). Adalah tidak mungkin menjelaskan sebuah fenomena apa pun tanpa kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistemnya. (Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur. Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu).
YANG baik tidak dapat terletak dalam pertanyaan sendiri, melainkan harus dalam jawaban (Robert Spaemann).
Mengenai polemik. Inti pertentangan adalah beda pandangan akan nilai kebenaran sesuatu. Menurut Eric Johnson, setiap orang selalu mempunyai reference point atau titik referensi, yaitu apa yang sudah dialami, diketahui atau diyakininya. Artinya, bila titik referensi seseorang atau kelompok masyarakat dengan orang atau kelompok yang lain tentang sesuatu berbeda, apalagi dimuati kepentingan, polemik mungkin terjadi. Namun sesungguhnya, seorang pribadi dan sebuah kelompok masyarakat yang bahagia, bukan disebabkan tidak adanya pertentangan, tetapi karena tidak adanya keadilan kebenaran. Jadi yang penting dalam pertentangan, mengetahui keadilan pandangan kebenaran pribadi seseorang dihadapkan dengan pandangan orang lain yang berseberangan akan sesuatu hal itu. Artinya, untuk menengahi sebuah pertentangan dan menentukan nilai kebenarannya agar obyektif, harus berdasar kerangka referensi pengetahuan pengalaman yang teratur, yang tak lain sebuah sistem ilmu pengetahuan.
SETIAP kebijaksanaan harus bersedia dipertanyakan dan dikritik oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan lain. Keberlakuan universal harus dapat membuktikan diri dalam konfrontasi dengan mereka yang berpikir lain (Benezet Bujo).
Dalam paradigma TOTAL QINIMAIN ZAIN: The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority (2000), TQZ Philosophy of Reference Frame, terdapat jumlah lima fungsi, berurutan, berkaitan, dan satu kesatuan, kebenaran sesuatu dinilai berdasar titik referensi (1) How you see yourself (logics), (2) How you see others (dialectics), (3) How others see you (ethics), (4) How others see themselves (esthetics), sampai ke level (5) How to see of all (metaphysics), yang harus ditanyakan sebelum keputusan menjatuhkan nilai kebenaran sesuatu dalam pertentangan.
Di sini terdapat hubungan dan pergeseran referensi nilai kuantitatif dengan kualitatif. Dari level logics (benar) yang kuantitatif, ke dialectics (tepat), kemudian ethics (baik), lalu esthetics (bagus), sampai ke level metaphysics (abadi) yang semakin kualitatif. Atau, penekanan referensi sesuatu bergeser dari nilai kebenaran kelompok besar menjadi lebih secara satuan individu, dari hal bersifat konkrit (logika) menjadi abstrak (metafisik). Nampak jelas pula, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, bisa dianggap tidak benar oleh yang lain karena mempunyai titik referensi yang berbeda. Atau malah, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, tetapi tidak tepat bagi yang lain, tepat tetapi tidak baik, baik tetapi tidak bagus, dan mungkin saja bagus tetapi dianggap tidak abadi sebagai kebenaran suatu keyakinan tertentu. Dan, jika sampai pada keyakinan nilai kebenaran abadi, ini sudah sangat subyektif pribadi. (Sudut pandang level How you see yourself dan How you see others, How others see you dan How others see themselves, adalah subyektif karena dalam sudut pandang reference object dan reference direction, sedang How to see of all, adalah lebih obyektif, level adil).
Ada paradoks di sini. Semakin menilai kebenaran sesuatu mengutamakan kepentingan umum (kuantitatif) akan meniadakan kepentingan pribadi (kualitatif). Sebaliknya, semakin mengutamakan kepentingan pribadi (kualitatif) akan meniadakan kepentingan umum (kuantitatif). Ini yang harus disadari dalam menghadapi dan dijelaskan menengahi suatu polemik atau pertentangan apa pun, di mana pun dan kapan pun. Dan, sastrawan (baca: seniman) sadar, harga sesuatu karya terletak kemampuannya menciptakan momentum nilai di antara tarik ulur paradoks ini. Antara konvensi dan revolusi, antara pengaruh nilai lama dan mempengaruhi nilai baru.
SENI kemajuan adalah mempertahankan ketertiban di tengah-tengah perubahan, dan perubahan di tengah-tengah ketertiban (Alfred North Whitehead).
Kembali ke polemik ukuran nilai sastra menonjolkan seks. Dalam ilmu pengetahuan sosial paradigma baru TQZ, saya tetapkan satuan besaran pokok Z(ain) atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas, dan D(ay) atau Hari kerja (sistem ZQD), padanan m(eter), k(ilo)g(ram), dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta, sistem mks). Artinya, kebenaran sesuatu bukan hanya dinilai skala kualitasnya (1-5Q dari sangat buruk, buruk, cukup, baik, dan sangat baik), tetapi juga sempurnanya (1-5Z, lima unsur fungsi TQZ, yang untuk TQZ Philosophy yaitu logics, dialectics, ethics, esthetics, dan metaphysics secara berurut). Artinya, kekurangan atau keburukan salah satu fungsi membuat suatu karya nilainya tidak sempurna.
Contoh, definisi paradigma lama, kesusastraan adalah tulisan yang indah. Paradigma baru, nilai keindahan tidak lengkap kalau tidak dikaitkan dengan unsur kebenaran, ketepatan, kebaikan, dan keabadian. Kini, definisi TQZ kesusastraan adalah seni tulisan yang benar, tepat, baik, bagus (indah), dan abadi secara sempurna. Artinya, bila ada pertentangan nilai akan karya sastra (juga yang lain), menunjukkan karya itu memiliki salah satu atau lebih unsur filsafatnya buruk, sebagai sebuah karya yang sempurna. (Memang, sah saja penulis mengejar keunikan atau kebaruan pribadi, mengeksploitasi unsur seks dalam karyanya. Mungkin saja berkualitas segi logika cerita, dialektika nilai, keindahan teknis penulisan dan karya monumental (abadi) suatu genre sehingga juara dalam satu perlombaan. Tetapi dalam paradigma TQZ, tidak sempurna karena abai unsur etika).
Sekarang jelas, yang dikejar penulis mana pun, bukan sekadar ukuran nilai kualitas beberapa unsur, tetapi karya dengan kualitas nilai kebenaran (lima unsur yang) sempurna. Inilah titik kerangka referensi bersama menilai karya sastra (dan juga apa pun) dalam sistem ilmu pengetahuan paradigma baru.
SEKOLAH dan kuliah, seminar dan training, buku dan makalah, ulasan dan kritikan, tanpa menyertakan alat metode (sistem ilmu pengetahuan) pelaksanaannya hanyalah dorongan mental yang membosankan, yang tidak efektif, efesien dan produktif (Qinimain Zain).
BAGAIMANA strategi Anda?
*) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru – Kalsel, e-mail: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com)
kita butuh novel-novel sejarah.
dengan adanya novel2 tsb, toh setidaknya kita bis menikmati sejarah dari sudut pandang yang lain
bagus, memang kadang sulit membedakan anatara karya sastra yang merupakan refresentasi dari kehidupan dengan tulisan sejarah, yang keduanya sama-sama menggunakan manusia dan kehidupannya sebagai objeknya. hanya saja dalam sastra menggunakan pendekatan keindahan dan rasa dalam mengaktualisasikannya. jadi harus memadukan kecocokan antara nilai keindahan dan rasa dalam sastra dengan fakta dan bukti untuk kebenaran sejarahnya. yang lebih utama juga bedakan antara sastra fiksi dan non fiksi.