Bagi generasi seusiaku, yang kata teman-teman generasi Ashar menjelang Magrib, pada saat melamar pekerjaan dan telah lulus dari beberapa tahapan (ada 5 tahapan), serta telah dinyatakan lulus, maka masih harus melalui tahapan yang disebut proses screening. Pada test screening ini, yang ingin diketahui adalah latar belakang kehidupan dan keluarga calon karyawan, dan kecenderungan politiknya.
Karena saya tak tertarik dengan politik, menjawabnya mudah saja, karena hampir semuanya cuma di coret.
“Apakah anda ikut salah satu organisasi partai politik?” Jawab saya…”tidak”
“Mengapa anda tidak tertarik dengan partai politik?” (karena jawaban saya sebelumnya adalah tidak).
“Ya, tidak suka saja, tanpa ada alasan,” jawab saya.
Sampailah pada pertanyaan-pertanyaan yang membuatku pusing. Pertanyaan tersebut harus menuliskan nama keluarga ayah dan ibu, seperti ayah nama lengkapnya siapa, bekerja dimana, berapa jumlah saudaranya, nama dan pekerjaannya. Pertanyaan tersebut sampai ke jalur kakek nenek. Petugas screening berasal dari Departemen tertentu, diluar kantor saya. Kantor saya merupakan perusahaan yang sahamnya 100% dimiliki pemerintah. Bagi karyawan yang mau masuk perusahaan milik pemerintah (BUMN), atau pegawai negeri pelaksanaan screening pada saat itu sangat ketat.
Lha bagaimana nggak bingung, zaman dulu orang mempunyai anak 9 atau 10 bahkan lebih (teman saya anak ke 15) sangat biasa, tentu saja sangat sulit menghafalkan nama-namanya. Apalagi sampai nama kakek nenek. Dan kebiasaan saat itu, kita bukan memanggil nama seperti anak zaman sekarang, tetapi memanggil nama daerahnya, seperti bude Mangunharjo, bude Takeran, bude Slaung dsb nya.
Saya akhirnya berterus terang pada petugasnya, ternyata dia pusing juga, karena banyak pertanyaan yang sama, jadi dia bilang…”Udah mbak, jawab saja sebisanya. Biar nanti pimpinan yang memutuskan,” katanya.
Jadi, saya akhirnya menulis, keluarga ayah terdiri dari 9 bersaudara, yaitu:
….Pakde Dolopo…..nama daerah antara Madiun-Ponorogo…
….Bude Dagangan…nama daerah antara Pagotan ke arah gunung Wilis…
…Ayah saya sendiri, jelas hafal nama lengkap dan pekerjaannya…
…Tante Ponorogo….(waduhh tak tahu pula nama suaminya)…
..Om Ngebel…..daerah dekat danau Ngebel, di selatan Madiun…
..Om Pagotan…kota kecamatan diantara Madiun dan Ponorogo…
Lama-lama bukannya makin benar, makin kacau saja, apalagi urutan keluarga ibu ada yang beberapa tinggal di luar kota. Lha tahunya bude Solo, bude Tambakredjo, Pakde Winongo….hahaha. Apa boleh buat, saya siap untuk dipanggil untuk wawancara, risiko paling beratnya adalah tidak diterima menjadi pegawai negeri.
Syukurlah saya termasuk yang lulus, mungkin pimpinan screening bingung ya. Dan sebelum resmi diterima sebagai pegawai, mesti sumpah pegawai dulu….. Ya, itulah cerita melamar jadi pegawai negeri (pemerintah) tempo dulu. Peluang untuk mendapat kerja masih banyak, tetapi test nya ribet….dan kalau anak-anak sekarang di test seperti itu, pasti lulus dengan memuaskan, mereka hafal nama om dan tantenya, berikut pekerjaannya, maklum saya cuma tiga bersaudara…tapi suami masih sembilan bersaudara.
Ceritanya lucu! Saya juga punya Nenek Medan dan Nenek Ciputat.
Tapi saya sedikit bingung dengan kalimat terakhir; cuma tiga bersaudara…tapi suami masih sembilan bersaudara?
Kok pakai “masih”?
(^_^)
screening itu artinya bikin pohon keluarga, yak?!
salam,
adi.n
Ikram,
Maksudnya dari pihak saya, saya merupakan anak sulung dari tiga bersaudara, sedang suami adalah anak kedua dari sembilan bersaudara.
Jadi ayah ibuku saat itu sudah KB (Keluarga Berencana), agar saat saya lulus, minimal kedua adikku yang berurutan lahirnya sudah di perguruan tinggi tingkat akhir dan ayah waktunya pensiun.Keluarga suami juga KB (Keluarga Besar), jadi saudaranya masih banyak.
Adi n,
Entahlah, kalau melihat caranya nanya, mungkin juga. Mau dilihat latar belakang, silsilah keluarga sampai ke akar-akarnya. Bukankah saat sekarang juga mirip, jika ingin memilih calon pimpinan, juga akan dilihat keluarganya…tapi biasanya hanya keluarga inti dan ayah ibu saja (saya pernah curi dengar omongan bos).
Haha, jadi inget cerita Ayah saya waktu test masuk ke PTDI -sebelum bernama PTDI sekarang. Yang screening nya konon tentara. Cuma karena berpendapat bahwa demo itu boleh-boleh saja, beliau gagal masuk ke PTDI. Hihihi. Bahkan sampai debat segala dengan tentara-tentara itu. Konon, beliau juga di-screening paling lama, dan satu-satunya yang gagal masuk :))
Kel;uarga ayah ma ibu saya juga mencar2, tapi mayoritas transmigrasi ke Kalimantan.
Ibu ma Ayah di Kalteng sekarang Ngawi..
Paklek ma Bulek dari keluarga Ibu masih di Kaltim.
Pak De dari Ayah di Jakarta….
Iya.. Tapi dengan adanya kata “masih” itu seakan-akan menunjukkan orang2 yang anaknya banyak adalah mereka yang tertinggal. Nggak modern, gitu.. Atau perasaan saya saja ya? Hehe.
hahaha… pengalaman yang unik, Bu
Bukan salah saya kan Bu , ketika ditanya di koramil pada waktu minta SKKB, saya bilang saya tidak peduli politik dan parpol, karena mereka juga tidak peduli saya.. betul?
Donny Reza,
Mungkin ayah pandai berdebat, jadi mengkawatirkan para petugas….hahaha. Lha kalau saya mungkin lulus, karena berwajah polos…hahaha…atau arti lainnya ga tahu apa-apa….
Nurussadad,
Tenang…zaman sekarang sudah nggak seperti itu kok, kalaupun ada pertanyaan, saat wawancara akhir, biasanya cuma keluarga inti. Tapi saya juga nggak tahu, jangan-jangan masih ada yang seperti ini.
Ikram,
Kayaknya zaman sekarang rata-rata keluarga kecil deh, kalaupun ada yang lebih dari dua tak banyak lagi.
Saat saya hamil, ikut senam hamil…terus instrukturnya tanya…siapa yang hamilnya anak pertama? Yang angkat tangan banyak, demikian juga saat pertanyaan untuk hamil kedua. Begitu pertanyaan hamil ketiga, nggak ada yang angkat tangan, akhirnya instruktur bilang…”ibu-ibu, nggak usah malu kalau ini merupakan hamil yang ketiga…”
Jadi, kayaknya lingkungan juga mempengaruhi. Di kantor, jarang sekali yang anaknya lebih dari dua, bahkan banyak yang hanya satu, itupun sudah pakai menunggu 10 tahun, dan bayi tabung.
Sebetulnya yang jadi masalah, adalah ortu harus bertanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya sampai mandiri, dan tak boleh memberikan tanggung jawab pada anak pertama untuk ikut membantu pendidikan anaknya. Justru karena ortu saya berpegang seperti itu, sayapun beraninya cuma dua…dan memang hanya diberi karunia dua, itupun saya bersyukur, masih diberi kesempatan mendapat titipan dari Allah. Membesarkan anak, tanggung jawabnya sangat berat….jangan sampai membebankan pada keluarga lain.
Utaminingtyazzz,
Bagaimana pengalaman papamu, sama nggak?
Naning,
Semakin dewasa, seharusnya kita harus memahami politik, apalagi jika bekerja atau berwirausaha. Walaupun tak ikut partai politik, minimalnya harus memahami. Tapi ceritaku tadi, kan cerita zaman dulu, yang informasi nggak seperti sekarang, dan jawaban orang yang benar-benar nggak paham politik, bukan karena benci….
sekitar tahun ’90-an, screening itu kayaknya masih ada, Bu. Yang menyedihkan, screening sering dipakai kedok untuk cari2 kesalahan para pelamar CPNS. Saya aja 7 kali ikut tes nggak lulus2, hehehehe
padahal orang tua saya dan kakek saya sama sekali tak terlibat OT loh.
Pak Sawali,
Tapi kalau sekarang kayaknya udah enggak dipakai ya pak?
Selamat atas kelulusannya, Bu.
Zaman dulu mang banyak anak, he he. Teman saya ada yang sampai 30 orang anak dari empat istri. Duh, kalau diceritain kayanya membual ya. Tapi, itulah kenyataannya. Dia sendiri lupa nama anaknya dan dari istri yang mana satu.
Hanna,
Itu cerita zaman baheula…..anakku ketawa kalau dikasih tahu.
Hmm jadi ingat temanku, dia anak bungsu dari isteri keempat, ayahnya Bupati yang fotonya masih pake brengos njlaprang (kumis panjang melintang, dan melungker keatas) itu…tapi dia anak satu-satunya yang ayahnya hapal ulang tahunnya, karena bertepatan dengan hari Natal.
Mungkin untuk mengetahui apakah masih mempunyai hubungan dengan OT bu. mereka (menurut bocoran) selalu mencari-cari apakah masih berhubungan dengan PKI, entah itu kakek, nenek, paman, bibi, serta yang lainnya. meskipun tidak ada hubungan darah secara langsung, tp kalo masih ada yang bersentuhan dengan PKI pasti langsung dicoret dari daftar kandidat. Pemerintah masih takut sindrom PKI saat itu.
(yang saya tidak tahu, petugas memperoleh data nama2 orang yang dicurigai itu darimana?)
Adipati Kademangan,
Saya tak tahu, cerita di atas sebetulnya untuk melihat sisi, bahwa zaman dulu orang mengenal nama seseorang dari daerah tempat tinggalnya. Seperti mbok rondo Dadapan (legenda Timun Emas) dsb nya….nahh saat ada pertanyaan dalam tahapan wawancara, menjadi bingung jawabnya….karena memang nggak tahu.
Ping-balik: Trackback Sejagad Untuk Akhir Tahun | Blog Shares Everything
hhehee.. setelah membacanya saya jadi tersenyum2 lucu 😉
> sebuah pengalamman yg menarik . terimakasih ka 😉