Apakah kita harus selalu bisa menjawab pertanyaan seorang anak? Dari artikel manapun, dianjurkan agar orangtua berusaha menjawab setiap pertanyaan anak sesuai dengan umurnya dan perkembangan pendidikannya. Berarti sebagai orangtua, kita harus serba bisa. Benarkah demikian? Bagaimana jika kita sendiri tak tahu jawabannya?
Pada awalnya, saya selalu berusaha menjawab pertanyaan anakku. Sampai dengan masuk SD dan kalau tak salah kelas 4 SD, saya masih bisa membantu menjawab pertanyaan anak-anak. Setiap kali ulangan triwulan (biasanya soal dari Pemda DKI), maka saya ikut sibuk. Agar nilai baik, anak tak hanya belajar dari buku pegangan yang dianjurkan oleh sekolah, tapi juga membaca buku-buku lain. Waktu itu saya terbantu dengan majalah “Tom-Tom” yang banyak memberikan artikel tentang pengetahuan umum, yang dikemas dengan gaya menarik. Sayangnya umur majalah ini tak panjang, saat anakku menjelang lulus SD, rasanya majalah tersebut tidak ada lagi.
Semakin besar anak, dan sekolahnya makin tinggi, kesibukan orangtua juga makin meningkat, banyak waktu yang hilang dan tak sempat lagi membaca buku-buku dan akibatnya kadang saya tak tahu apa jawaban atas pertanyaan anakku. Syukurlah kami tinggal di kompleks perumahan dinas, yang rata-rata penghuninya lulusan PT, serta hobi membaca. Akhirnya saya mencoba mengajar anak cara membaca buku secara cepat, bagaimana mencari artikel yang diinginkan dari indeks buku. Dan tentu, terimakasih saya ucapkan pada Kepala Sekolah SDN tempat anakku sekolah, beliau lah yang mendorongku untuk mendidik anak mandiri, dan tak selalu ikut membantu anak dalam belajar. “Biarlah anak kadang melakukan kesalahan bu, nanti dari kesalahan itu mereka akan belajar. Biarkan mereka tak mengerjakan Pekerjaan Rumah dan mendapat hukuman, itu nanti yang akan mendewasakan mereka,” kata beliau. “Ibu kan tak selalu di rumah, kadang harus tugas keluar kota, dan ini kesempatan mendidik anak untuk berlatih mandiri, ” kata beliau selanjutnya.
Ternyata memang anakku beberapa kali mendapat hukuman karena tak mengerjakan PR…dan ternyata dia juga mulai mencari akal jika tak mendapat jawaban atas pertanyaan yang muncul dipikirannya. Anakku mulai rajin menyambangi tetangga, yang dianggap memenuhi kualitas bisa diajak diskusi dan bisa menjawab pertanyaannya. Syukurlah teman-teman dan tetanggaku sangat mendukung, mau membantu menjawab pertanyaan anak-anakku.
Jadi, kalau akhirnya anakku berhasil lulus dari Perguruan Tinggi, ini bukan karena hasil didikan orangtua saja, tetapi juga dibentuk oleh lingkungan yang mendukung. Para tetangga, yang mau diganggu oleh anak kecil, guru-guru, sahabat anakku dan teman lainnya….dan tentu saja ini karena Allah swt.
Akhirnya saya percaya, bahwa kita harus selalu menanam kebajikan, jangan kawatir jika kita tidak pandai, dan tak selalu bisa menjawab pertanyaan anak-anak. Tak perlu bohong, katakan bahwa ibu tak selalu bisa menjawab pertanyaan, mereka akan mengerti dan memahami keterbatasan kita sebagai orangtua.
“Bagaimana jika kita sendiri tak tahu jawabannya?”
>> ask google.
🙂 🙂 🙂
Tukang ketik,
Pertanyaannya diteruskan…bagaimana jika mbah google tak bisa menjawab…???
yang penting lagi bagaimana menjelaskan tentang sesuatu dengan bahasa yang mudah dimengerti dengan anak seusia dia
ketika masih ngajar, murid2 saya banyak yg mengajukan pertanyaan2 ajaib, untuk ukuran usia tk mereka sangat kritis, dna biasanya klo saya ngga bisa saya jawab, akan saya diskusikan dgn guru lain atao orang tuwa mereka, yg saya pegang sebisa mungkin memberi jawaban jujur
tetangga yang berkualitas 😀 hihihihihihi
kayak beras aja bu
Mo ngelanjutin yang di atas
>kalau mbah google ngga bisa njawab
Kata Ebiet : “Tanya pada rumput yang bergoyang”
yang justru kasihan, kalau anak anak malah banyak nanya ke pembantu, pengasuh..karena orantuanya selalu sibuk. Bangga jika kita masih punya sedikit waktu untuk mengajar anak kita
ah kayaknya saya dulu ngga nanya macam2 .. kalopun pengen tau saya jawab sendiri :)) … ngga mungkin banget ya….
Wah, bagus nih pendapatnya bu! Kalau untuk anak seumur SD barangkali masih bisa dikendalikan.. tapi kalau sudah anak SMA, kadangkala, PR tak dikerjakan, guru menghukum, tapi tak menjadikan mereka memperbaiki diri.. bisa-bisa jadi kebiasaan.. malah ada yang sengaja tak mengerjakan agar minta dihukum sama gurunya.. la kalo yang seperti ini gimana dong penanganannya.. soalnya ini pengalaman juga, dan pernah terjadi, kadang capek juga kalo mereka sengaja minta perhatian saya dengan cara tak mengerjakan PR.. hehehehe..
Mohon sarannya aja bu! 😉
pertanyaan dari anak2 mungkin terkesan lugu, namun bisa puyeng cari jawabannya
bila memang tidak tahu jawabannya, katakan saja tidak tahu…
jawaban bisa dicari bareng2, semisal ke perpustakaan, toko buku, ato tanya ke pihak yg lebih ahli
cmiiw,
(^_^)
Saya jadi terharu, bu, baca kalimat tersebut. ungkapan seorang ibu yang santun dan rendah hati. tak pernah mengklaim diri sukses mendidik anak-anak semata-mata hasil didikannya sendiri. ini makin membuktikan kebenaran opini bahwa sukses tidaknya pendidikan anak sangat ditentukan oleh sinergi antara faktor internal (keluarga) dan eksternal (sekolah dan masyarakat).
benar sekali bu, anak2 sekarang pertanyaannya kadang sudah seperti pertanyaan orang dewasa musti sabar dan selalu cermat dalam menjawabnya. nah kalau kita tak sanggup menjawabnya maka pilihan anak pastinya ya kepada teman belajarnya atau kalau sudah mandiri ya pasti mencari alternatif bahan bacaan yg lain
Hahaha, setuju dengan Mbak.
Kalau saya kadang lebih banyak bertanya pada anak saya malah 😳 misalnya dalam hal komputer atau pengetahuan lainnya. Anak saya masih kecil sih baru kelas 2 SD.
Saya paling setuju dengan bagian terkahir bahwa kalau kita sering menanam kebaikan jangan kwatir anak tak pandai.
google gives us hints and pointers to usefull resources, your question should be: what if this guy didn’t look forward of further information that google gives (then the answer is obviously clear why he gets nothing).
tapi overall saya setuju dengan ibu
oh i appreciate this open communication
sekarang belum punya anak, lha nikah aja belum, kuliah baru 1 semester, hehehe…
tapi siap2..
Aprikot,
Wahh salut…jika setiap guru seperti aprikot. Saya mulai berhubungan dengan psikolog sejak sulungku kelas 4 SD….gara-gara gurunya udah pusing menjawab pertanyaan anakku yang aneh-aneh….ternyata setelah ketemu psikolog, saya banyak belajar (dan biasa kan, tak ada anak yang salah…yang salah ortunya)…. memang situasi saat ini, yang akses membaca, menonton mudah, kadang anak mendapat pengetahuan dari mana-mana.
Akhirnya saya harus benar-benar banyak membaca, dan kalau dia bertanya yang aneh, saya tanya referensinya darimana (maksudnya kok muncul pertanyaan dari apa? Bukukah atau obrolan atau curi dengar orang ngomong atau nonton TV)…setelah dia mengaku, saya mencoba mencari bukunya dan diskusi bersama…dan kalau nggak tahu juga jawabnya (lha tanya masalah hukum)…saya cuma bilang, kapan-kapan ketemu pak atau bu X ya, biar kita bisa diskusi masalah ini….hehehe…
Iway,
Tetanggaku banyak yang pandai, ada yang kerja di Dep. Pertanian (dari berbagai lt belakang…ada yang pertanian, peternakan, perikanan)…jadi kalau diskusi tentang ikan dia datang ke pak R…kalau tentang pertanian ke pak F dst nya. Juga ada yang di Perpajakan dan bergelar MBA dan master pajak…wahh beliau ini malah senang banget diskusi dengan anakku (padahal dia masih SD hahaha….) Juga masalah politik, ada suami teman yang pengurus suatu partai…terus ada juga yang latar belakangnya hukum……seru deh, setelah dia besar, malah saya yang banyak bertanya.
La mendol,
Hahaha…tapi sekarang setelah dia dewasa, pusingku malah lain…dia yang suka mengobrol, mengajak diskusi apa aja…yang kadang saya tak paham….. ternyata pengetahuan anak sekarang memang jauh melampaui ortunya. Jadi sekarang ganti saya yang diajari.
Iman Brotoseno,
Orang melihat saya dulunya super sibuk, pulang kerumah rata-rata di atas jam 7 malam saat anak-anak kecil. Tapi saya menyempatkan mengobrol, mengecek PR kalau ada kesulitan, mendongeng (walau dongengnya cuma Timun emas dan Cinderela yang di ulang-ulang)….Kalau Sabtu dan Minggu dimanfaatkan untuk mereka, biasanya saya tanya, mau kemana…ortu yang mengikuti. Karena lelah, kadang mereka ingin dirumah, apalagi jika buku bacaan yang belum dibaca masih banyak.
Saat saya harus kuliah lagi, saya mengajak suami dan kedua anak diskusi, apa risikonya jika ibu tak kuliah lagi, dan apa kendalanya jika ibu kuliah lagi (sulungku kelas 2 SMA an bungsu kelas 2 SMP)…setelah mereka mendukung, maka baru saya berani kuliah lagi. Tahun-tahun yang kalau saya ingat, adalah tahun yang sangat melelahkan, apalagi saya kuliah sambil bekerja, dan masa krisis ekonomi (th.1998-1999), dan harus sering rapat…orang lain kuliah, saya harus rapat sampai tengah malam dengan BoD…syukurlah akhirnya bisa selesai juga atas dukungan keluarga.
Sandy Eggie,
Apa anakku yang cerewet ya? Tapi keduanya sama sih, cuma dengan gaya yang beda. Tapi rasanya anak temanku sama…mereka bilang…”ketularan anakmu mbak, si Adit sekarang nanyanya juga aneh-aneh…”
Di satu sisi, gara-gara pertanyaan tersebut, saya terus belajar, kan biasa ortu selalu ingin monitor anaknya….jadi kami sama-sama belajar. Pas kursus piano, saya yang nggak ngerti huruf balok, ikut belajar juga, supaya pas nemeni dia belajar, bisa diskusi…padahal setelah dia bisa main piano, saya juga lupa huruf balok nya…hahaha
Gempur,
Saya lupa baca dimana, seingatku, didiklah anak sebaik mungkin sampai umur 10 tahun, setelah itu, kita hanya bisa memonitornya. Anak saya memang bandel, tapi mengaku juga sama ibunya.
Saat SMA memang saat yang berat, saya harus dekat sekali dengan mereka agar tak ada yang lolos dari pengamatan, saya suka memeluk dan mencium pipinya (untuk membaui rokok…walau dengan sayang), mengendus-endus tas nya…kawatir ada macam-macam. Dan aturan di keluarga saya, teman sekolah tak boleh dibawa ke kamar, kecuali untuk sholat, dan jika tidur kamar tak boleh dikunci…alasannya dia suka ngelindur…hehehe…padahal jika saya telat pulang, saya masih bisa menengok ke kamarnya, menciumnya, dan melihat mereka baik-baik saja.
Kebetulan anakku saat di SMA, oleh gurunya disuruh mengajar adik-adik kelasnya (padahal karena bu Kep Sek tahu dia terlalu hiperaktif, jadi harus dikasih kerjaan)….akibatnya pengetahuan dia di bidang tertentu makin terasah. Jadi, saya percaya, kerjasama antara guru dan ortu sangat perlu untuk mendidik anak. Tiap bulan saya ngapel ke sekolah, menanyakan, anakku berbuat masalah apa tidak…dan guru-guru punya no telepon rumah kami, telepon kantor untuk sewaktu-waktu bisa menghubungi jika ada masalah yang dibuat anakku. Bahkan hal ini saya teruskan sampai anakku udah di Perguruan Tinggi.
Adi.nugroho,
Thanks, itulah yang saya lakukan. Diajak ke toko buku, dia hafal jam buka perpustakaan LIPI (ada 3 macam perpustakaan yang sering dia kunjungi), juga perpustakaan lain.
Kalau ada waktu diajak bertandang ke orang-orang yang punya keahlian, sehingga bisa mengobrol dengan orang yang bisa menjawab pertanyaannya.
Sawali T,
Benar pak, kesuksesan seorang anak, berasal dari faktor lingkungan, baik internal (rumah tangga, ortu, adik/kakak, pembantu, saudara), maupun eksternal (lingkungan tetangga, teman dekat, sekolah, tempat kursus dll). Dan karena ortu tak selalu bisa monitor, kan anak laki-laki nggak bisa dibuntuti terus jika udah besar…saya mengandalkan doa agar Allah swt senantiasa menjaga anak saya, agar tak berbuat hal yang tercela….
Totok Sugianto,
Yang penting lagi kita harus mengenal dengan baik, teman-teman dekat anak kita. Saya lebih menyukai teman-teman anakku yang main ke rumah, bahkan ikut tidur, makan di rumah, karena bisa dimonitor…daripada dia yang keluar rumah.
Ternyata hal ini penting sekali…anakku pernah kaget, teman sebangkunya terkena narkoba, padahal ortunya dokter …saya nggak terbayang bagaimana sedihnya ortu anak tsb. Syukurlah teman dekat anakku, adalah anak-anak yang ikut Rohis , KIR (Kelompok Ilmiah Remaja) dan PMR (Palang Merah Remaja)….kelompok anak yang jauh dari hura-hura.
Hanna Fransisca,
Iya, jangan sepelekan anak kecil, mereka kadang lebih pandai dari kita.
Dan menanam kebaikan sangat berguna, kita harus dekat dengan teman anak-anak, menganggap mereka anak kita sendiri….dan kalau ada anaknya orang yang tak punya, sebisa mungkin kita bisa membantu dengan memberikan buku pelajaran (biasanya ditipkan lewat guru, sehingga si anak tak malu).
Arie,
Hehehe….waduhh …memang pertanyaan suka tak terduga….dan kalau kita bohong malah dikejar terus… Dan kalau mengaku..”Maaf ya nak, ibu belum pernah dengar, nanti kita cari infonya ya…” Tak lama, dia malah bawa majalah/buku nya (entah darimana pinjamnya)…..dan kembali si ibu menjawab…”Ibu pelajari dulu ya..” Dan kalau tetap tak bisa jawab…”Nak, ibu juga tak selalu mengerti, karena ibu pendidikannya bukan disini, kapan-kapan kita tanya pada teman bapak ya”…barulah si anak berhenti tanya…(menunggu si bapak datang ke Jakarta)
Nurussadad,
Ga ada ruginya tahu kan? …..biar lebih tahu bagaimana sebaiknya mengahadapi anak…..
Ibu, saya suka kata2 kepala sekolahnya. Ternyata kadang2 dibiarkan melakukan kesalahan adalah proses untuk mandiri juga. Maklum, masih belajar untuk jadi orangtua, apalagi Dilla punya penyakit “perfeksionis” yg rada parah. Hehe.. takutnya anak jadi korban keinginan emaknya ini. Kagak mauuu… Makasih atas artikelnya yg mencerahkan
Dilla,
Seorang anak, terutama anak pertama (saya anak sulung), sering menjadi korban keinginan dan harapan orangtua. Jika orangtua berhasil, maka ingin keberhasilan anaknya melebihi ortunya. Sedang jika ada keinginan ortu yang tak tercapai, dia ingin anak mencapai target ortu itu.
Yang dilupakan adalah anak adalah titipan Allah swt, kita hanya diberi amanah untuk mendidik, menyiapkan agar menjadi anak yang sholeh dan berbuat kebaikan bagi sesama.
Dan sulitnya tak ada job training untuk menjadi ortu…dan setiap anak beda.. walaupun dari orangtua yang sama. Bagaimana kita bisa membahagiakan anak, melindungi anak dari perbuatan tercela, serta menyiapkan mereka untuk mandiri, termasuk berani memutuskan sesuatu walau kadang keliru….ya, semua itu merupakan pembelajaran untuk menjadi dewasa.
Klo anaknya cowok, dia mestinya suka ttg cara bekerja sesuatu, maka howstuffworks.com bisa jadi referensi yg bagus. Dan memang skr ini pertanyaan anak2 kecil bisa macem2. Yg merepotkan adl ketika referensi pertelevisian si anak lebih kaya ktimbang orang tua. Orang tua jadi terkesan kuper hingga akhirnya cuman bisa ngasih tanggapan yg ndak nyambung
nice blog btw. saya ambil rss nya 🙂
Waduh, orang tua sekarang juga harus belajar ya agar bisa menjawab pertanyaan dari anak-anaknya.
Jangan sampai jawaban yang kita berikan ini salah dan justru menyesatkan anak-anak, karena biasanya anak-anak akan menurut apa yang dikatakan orang tuanya.
Guntar,
Akhirnya kita tak pernah berhenti belajar ya? Itulah risikonya menjadi ortu zaman sekarang, yang informasi sedemikian terbuka.
Silahkan mas.
Edi Psw,
Memang harus hati-hati menjawabnya pak, dan saya melatih untuk setiap kali menjawab ada referensinya. Akibatnya anakku terbiasa pakai referensi…dan ini memudahkan saat anak semakin besar.
Saat anak saya kecil, panutan adalah ibu, setelah sekolah, semua pake…”Kata bu Guru….” Semakin besar, saya mengajarkan membaca buku, mencari referensi, melalui index di halaman belakang buku..dan akhirnya anak terbiasa mencari, bahkan mendatangi perpustakaan kalau dirasa dia ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.
anak sekarnag umur 3 thn aja pertanyaannya dah susah dijawab 😀
Dobelden,
Memang anak sekarang lebih pandai, karena ortu nya juga makin pandai, dan tahu bagaimana memberi gizi yang cukup bagi putra putrinya. yang harus diseimbangkan adalah bagaimana selain pandai juga menjadi anak yang santun.
Jadi inget salah satu comic strip di The Jakarta Post beberapa tahun yang lalu (saya sekarang nggak langganan lagi TJP)..
Nama comic stripnya : Rose, tokoh cewek yang rambutnya kayak duren itu.
Situasi shooting : kitchen..
Datanglah anak kecil lelaki Rose yang umurnya kira-kira 3 tahun nanya, “Mommy, which one is better of these cars, the red one or the green one ?” tanyanya sambil megang 2 mobil-mobilan kecil berbeda warna..
Rose sibuk masak mashed potatoes dan turkey, jadi dia cuman melirik kedua mobil anaknya, sambil bermuka sebel karena sibuk masak, Rose menjawab, “I think the red one is better”…jawab Rose asal-asalan…
“Why is that so, mommy ?”, tanya si kecil lagi..
(Ya kan, sebel jadi ibu ditanya terus sama anaknya ?)..
Message of this story, orangtua ibarat busur dan anak ibarat anak panah (minjem istilah Khalil Gibran), jadi mengapa anak panah nanya terus sama busurnya apa yang harus dikerjakan ?
Nah lho !!
Tridjoko,
Dalam keadaan santai, saya sering mengobrol…dan terucap…”Maaf ya nak, saat kalian kecil, kadang ibu nggak punya waktu untuk mengobrol dan menjawab pertanyaan kalian yang tak ada habis-habis nya”. Jawab mereka,”Ibu saya bersyukur punya ibu seperti ibu, dan kami tahu ibu memang sibuk, tapi ibu selalu ada jika kami memerlukan bantuan,” jawab anakku.
Syukurlah mereka memahami, walau kadang ada perasaan menyesal dihati, kenapa pada saat ini, saya baru punya waktu banyak untuk mereka…saat mereka kecil, saya tak begitu mudah untuk mendapatkan cuti (ingat…dulu belum ada cuti bersama)……
wah begitu ya,….pelajaran baru neh,…tapi awas bu,..jangan sampai berselingkuh dengan pencuri waktu..
Avartara,
Apa maksudnya?