Saya dibesarkan dalam keluarga kecil, tiga bersaudara, termasuk ukuran keluarga kecil saat itu, tapi belum termasuk Keluarga Berencana, yang dianjurkan hanya cukup dua anak saja. Dibesarkan dalam keluarga kecil, membuat kami tumbuh dengan lingkungan yang cukup kasih sayang, meski ayah ibu keduanya bekerja. Kondisi ini mempengaruhi pola pikirku, sehingga saya juga menginginkan jika nantinya berumah tangga, maka cukup keluarga kecil saja.
Dan ternyata, mau tak mau keputusan untuk tetap menjadi keluarga kecil ini memang harus ditaati. Mengapa? Pada waktu saya melahirkan, yang menunggu hanya suami, karena ibu saya tak dapat meninggalkan pekerjaannya. Sedangkan ibu dari suami, juga telah lebih dulu berpulang karena sakit. Ibu sempat mengunjungi kami kerumah kontrakan di daerah Rawamangun, namun harus segera pulang, karena tugas yang tak dapat ditinggalkan. Sebelum pulang dari rumah sakit, saya belajar memandikan bayi agar nantinya setelah di rumah bisa memandikan sendiri.
Kondisi suami tak jauh berbeda, setelah melahirkan dia mendapatkan sekantong plastik berisi ari-ari. Lama sekali suami termenung, tak tahu apa yang harus dilakukan. Kemudian dia bergegas ke rumah tempat kost nya dulu, dengan harapan ketemu tante kost yang bisa diminta sarannya. Ternyata rumah dalam keadaan tertutup, kembali bergegaslah suami ke rumah sakit, dan bertanya pada perawat, sebaiknya ari-ari ini diapakan? Perawat menyarankan dua hal, bisa dilarung (diceburkan ke sungai atau laut) dengan harapan anaknya nanti akan keliling dunia, atau ditanam….tentunya setelah dibersihkan.
Jadi, pulang dari rumah sakit hanya kami berdua sambil menggendong bayi. Demikian juga saat kelahiran anak kedua, jika suami menengok ke rumah sakit, anak pertama diajak atau terpaksa dititipkan ke tetangga bersama si mbak, agar ada yang mengawasi. Persoalan kembali muncul, saat saya harus kembali bekerja setelah cuti 3 (tiga) bulan, karena anak kami hanya dengan si mbak tanpa ada orangtua sama sekali. Saya mencoba memberikan tanggung jawab pada si mbak, hanya khusus untuk momong anak, sedangkan untuk memasak dan bersih-bersih rumah pada si mbak satunya. Syukurlah saya hanya satu tahun sejak kelahiran bayi tinggal di rumah kontrakan, dan kemudian mendapatkan fasilitas rumah dinas di Jakarta Selatan. Tinggal di Jakarta Selatan yang lebih tenang dan sejuk, serta banyak teman seumur di kompleks kami, membuat anak-anak tumbuh sehat, serta bermain seperti halnya kami saat kecil. Sebagai keluarga muda, tetangga kami yang rata-rata saat itu isteri tidak berkarir diluar rumah, serta putranya lebih besar-besar, dengan senang hati dititipi anak kami. Kami minta tolong, agar sering menengok rumah kami selama kami berdua bekerja, untuk melihat si kecil…. saya sangat bersyukur mempunyai tetangga yang baik, dan bersedia untuk sesekali menengok anak kami.
Karena suami tinggal di Bandung, kami punya rumah tinggal di Bandung, yang tetangganya juga baik, sering dititipi kunci rumah jika sekeluarga pergi ke Jakarta. Jika liburan tiba, anak-anak ditanya rencananya, apakah ingin menemani bapak sambil kursus selama liburan atau melakukan kegiatan yang lain? Begitulah kedua anakku tumbuh, dan keluarga kami selalu mondar mandir antara Jakarta-Bandung.
Setelah anak-anak besar, kondisi menjadi lebih baik, karena anak-anak mandiri dan telah terbiasa tak harus bersama orangtua. Namun begitu si sulung ingin menikah, saya mulai memutar otak bagaimana pelaksanaannya. Karena anakku laki-laki, tanggung jawab melaksanakan acara dipihak perempuan, sehingga saat keluarga pengantin perempuan ingin acaranya menggunakan adat Jawa, saya menjelaskan kalau kami dari keluarga kecil, sehingga tak mungkin terlibat acara sampai detail, apalagi pengantin perempuan hanya punya waktu 3 minggu dan kemudian kembali lagi kuliah di luar negeri sambil bekerja.
Begitulah, akhirnya disepakati bahwa keluarga kami hanya datang sekali saat lamaran, sekaligus seserahan, dan dilanjutkan rapat membahas pelaksanaan acara….sampai jam 1 malam. Selanjutnya masing-masing pihak mengadakan acara siraman, dan ketemu lagi besoknya pada saat acara akad nikah dan resepsi perkawinan. Untuk memudahkan koordinasi, saya sekeluarga bersama temannya anak-anak (untuk menjadi pager bagus-pager ayu, pembawa nampan, pengapit pengantin dsb nya), termasuk sopir, menginap di wisma dan memesan 14 kamar. Yang penting cowok diberi pakaian adat Jawa (beskap lengkap), sedang ceweknya pakai pakaian seragam…sedang perannya terserah panitia….sehingga bisa dimaklumi kalau banyak sekali kekurangannya. Merekapun baru tahu perannya setelah berpakaian adat Jawa tersebut.
Acara siraman di rumah saya berjalan lancar, atas koordinasi yang dipimpin si mbak, yang telah ikut lebih dari 8 tahun dan momong anak-anak sejak si bungsu SD. Terus terang saya baru kali ini mengikuti acara siraman secara lengkap. Si mbak lah yang mengurus dan mengawasi pemasangan tenda, meminta tolong satpam untuk mengatur mobil tamu, bahkan ikut mengawasi katering dan saya titipi uang untuk pembayaran segala hal yang berkaitan dengan acara siraman. Sedangkan si mbak satunya (kedua mbak dirias dan berpakaian seragam sama seperti saudara kandung dan keponakan saya), mengatur antar jemput tamu VIP (menjemput dan mengantar ke bandara) dengan sopir, membawakan obat suami, dititipi handphone dan mencatat semua hal penting.
Bagaimana dengan adik-adik kandung saya? Adik kandung suami berperan ikut menerima tamu, adik bungsu saya yang datu-satunya laki-laki di keluarga saya, mendapat lima peran…dari wakil keluarga, yang menerima air siraman, menyerahkan calon pengantin pria ke keluarga pengantin perempuan, menjadi saksi, menjadi pembawa pisang sanggan….sampai menemani tamu VIP. Sedang teman-teman saya diterima oleh sahabat dekat saya, pasangan suami isteri yang telah seperti saudara dengan keluarga kami. Beliaulah yang membantu saya sejak persiapan, mengantar mencari barang-barang untuk seserahan, memesan undangan, sampai menjadi penerima tamu mewakili keluarga. Adik kandung saya, yang wanita, tak bisa berperan banyak, karena dia sedang penelitian untuk S3, jadi hanya bisa datang saat siraman, dan sebelum acara selesai harus kembali pulang.
Selama dua minggu kemarin saya mendapatkan pengalaman yang sangat banyak manfaatnya, bagaimana sulitnya mengkoordinir orang, menyatukan perbedaan pandangan, perbedaan kultur, dan syukurlah semua berjalan lancar sekalipun sesekali terjadi friksi yang tak terlalu penting. Dan saya berpikir, betapa saya beruntung mempunyai garis belakang (si mbak) yang baik dan kompak, teman-teman yang siap membantu serta keluarga kecil kami (adik-adik dan ponakan saya), teman-teman anak saya, yang tanpa mereka semua mustahil acara pernikahan sulung saya bisa berjalan lancar. Pengalaman kemarin juga membuat saya lebih bisa membuat rencana yang lebih tertata, jika si bungsu nantinya ingin mengikuti jejak kakaknya.
Jadi, apakah saya tetap menyenangi keluarga kecil? Jawabannya adalah “Ya”, karena dengan keluarga kecil,kita bisa tetap melakukan kegiatan bekerjasama dengan pihak lain.
Catatan:
Tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan acara dua minggu kemarin, tanpa anda semua, acara tidak mungkin berjalan lancar. Semoga Allah swt membalas budi baik bapak ibu, keponakan dan teman-teman anakku semuanya.
Sejak dulu banyak orang yang rela membantu dan menolong ibu (dititipi anak sampai acara pernikahan) menunjukkan bahwa keluarga kecil ibu berjiwa penolong juga. Ikhlas membantu sesama. Sehingga mereka juga tak segan-segan berbuat sama kepada keluarga ibu.
Indah ya kalau jadi orang baik… Pertolongan datang kapan saja dan dimana saja.
Ratna,
Karena saya dari keluarga kecil, maka biasanya semua dibuat perencanaan yang matang, karena kalau ada apa-apa tak mudah minta tolong orang lain, kalaupun ada rasanya nggak nyaman…bukankah lebih enak mandiri? Tapi saya mengembangan dukungan dari lingkungan, dengan hubungan timbal balik tentunya….kalau mereka memerlukan, saya ganti menolong.
wah, rasanya saya pingin banget ikutan mbantu2 bu enny *halah, sok baik hati* jadi terbayang, betapa repotnya ketika ibu mesti pontang-panting ke sana kemari utk mempersiapkan pernikahan putra-putrinya. tapi alhamdulillah, ikut senang bu, semuanya berjalan lancar. ttg keluarga kecil memang ada enaknya, bu. saya juga hanya tiga bersaudara, tapi laki2 semua. hiks. btw, dalam resepsi pernikahannya itu ada cucuk lampahnya juga ya bu. wah, jadi inget ketika di kampung kelahiran ada orang punya hajat. mesti rame menayksikan kiprah cucuk lampah yang lucu dan menggemaskan sebagai penunjuk jalan menuju ke tempat perhelatan. selamat sekali lagi ya bu!
Pak Sawali,
Cucuk lampah ada yang menggunakan ada yang tidak. Dalam buku “Perkawinan Adat Jawa” karangan M. Hariwijaya…cucuk lampah ini tidak ada. Memang biasanya cucuk lampah kiprahnya lucu…kalau kemarin tanpa cucuk lampah, tapi dipandu oleh ki dalang Jangrana…..
Saya dan Bagus berpendapat, gila bgt ngadain pesta pernikahan dlm adat jawa yg lumayan lengkap kaya kmaren hanya dalam waktu 2 minggu. Hebat euy!
Kalaupun ada kekurangan/meleset dr perkiraan ya saya kira wajar wong ndak ada sesuatu yg sempurna 😀 Malah bisa buat pelajaran semua pihak, apalagi buat si bungsunya bila mau mengikuti jejak kakaknya tuh hehehe…
2 minggu dg hasil yg udah OK spt kmaren…Hanya 1 kata…
SALUTE 😉
Poppy,
Kalau boleh memilih, saya lebih suka yang sederhana, terbatas, sakral…..dan tak mendadak.
Kemarin memang gila-gilaan, di saat tugas pekerjaan juga lagi peak, mesti bikin laporan tahunan, audit tindak lanjut…..tapi harus mikirin acara yang ribet bin sangat ribet.
Syukurlah semua udah selesai…mudah2an pesta si bungsu nantinya lebih tertata, dan lebih sederhana, karena akan lebih akrab.
Dan ternyata, memimpin acara di kantor, atau memimpin rapat masih lebih nyaman dan terkendali, biarpun sampai nggak tidur semalaman….:D
Jadi inget pelajaran SMP dulu, NKKBS
Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera
Nurussadad,
Keluarga kecil, koordinasi lebih mudah…beda pendidikan antar anak juga nyaris tak ada, karena kondisi ekonomi orangtua nyaris tak berubah.
Sulitnya, jika ada niatan mantu yang acaranya heboh seperti kemarin….karena pada dasarnya saya suka yang sederhana…..syukurlah banyak yang membantu.