Nh Dini atau Nurhayati Sri Hardini, adalah pengarang yang telah saya kenal melalui tulisan-tulisannya sejak saya masih SD. Pertama kali mengenal NH Dini, melalui kumpulan cerita pendeknya “Dua Dunia” yang diterbitkan tahun 1956 saat beliau masih SMA. Tak banyak pengarang Indonesia, yang menulis karyanya sejak usia muda sampai beranjak tua. Yah, Nh Dini telah menginjak usia 72 tahun pada tanggal 29 Februari 2008 yang lalu. Novel yang baru terbit adalah “Argenteuil” menceritakan tentang keinginannya hidup memisahkan diri.
Apa yang membuat saya tertarik membaca buku karangan NH Dini? Selain saya semakin memahami dunia perempuan melalui tokoh yang disajikan dalam karangannya, saya juga terasa ikut diajak keliling dunia, karena melalui buku karangannya, Nh Dini tak sekadar menceritakan kisah tokoh beserta konflik yang dihadapi nya, namun juga negara dimana tokoh tersebut berada, kebudayaannya, permasalahan kawin campur dan hal-hal lain. Nh Dini menerbitkan serial kenangan, yang menggambarkan masa kecil dan remajanya, sejak saat perang sampai menjadi pramugari Darat. Nh Dini menggambarkan kota Semarang dengan indah, lingkungan masa kecilnya, sehingga saya merasa mengenal Semarang lebih dekat, beserta lorong-lorong nya. Serial kenangan tak sekedar menceritakan tentang dirinya, tapi juga tentang kejadian dan manusia-manusia dilingkungannya. Yang membuat saya tertarik juga ajaran ibunya, yang sering diungkapkan dengan bahasa sederhana, yang mengingatkanku pada almarhum ibu.
Semenjak menikah dengan seorang Diplomat Perancis, NH Dini mengalami tinggal di berbagai negara, dan inipun diceritakan dalam bentuk cerita tokohnya, bagaimana semasa tinggal di Kobe (Jepang) dan merasakan gempa, kemudian di Perancis, Kamboja, Filipina, Detroit dan lain-lain. Pada novel terakhirnya yang berjudul “Argenteuil “, Nh Dini menceritakan keretakan rumah tangganya dan keinginan hidup memisahkan diri. Argenteuil adalah sebuah kota kecil, yang letaknya kurang lebih 10 km barat laut Perancis. Disini Nh Dini bekerja sebagai wanita pendamping (dame de compagnie) seorang laki-laki tua, Tuan Willm, di sebuah rumah besar yang sebelumnya pernah ditinggali Karl Marx.
Membaca kisah Nh Dini, yang menceritakan juga pertemuannya dengan orang-orang Indonesia yang pernah bekerja di luar negeri, serta teman-teman dan saudaranya, membuat saya seolah mengenal dekat dengan tokoh yang diceritakannya. Pada saat kesempatan ketemu ibu Prof. DR. Edi Sedyawati, walau baru pertama kalinya bertemu, saya telah merasa mengenal beliau dari dekat. Dan saat saya sampaikan, bahwa saya mengenal beliau, sebagai salah seorang sepupu nya Nh Dini, beliau tersenyum….”Wah, namaku jadi ikut dikenal ya…”
Dari serial kenangan Nh Dini, saya berpikir bahwa cerita sehari-haripun ternyata bisa dibuat menarik, karena bisa menceritakan kejadian masa itu, situasi politik, budaya dan lain-lain. Terima kasih ibu Dini, selamat berulang tahun, saya selalu menunggu buku karangan ibu. Cerita karangan ibu, juga memberikan inspirasi pada anak bungsuku, bagaimana situasi perkembangan perempuan, pengaruh dan pendapat lingkungan yang saling mempengaruhi, dan apa peran serta kita untuk membuat lingkungan dan budaya tetap bisa baik.
Bahan bacaan:
- Berbagai buku karangan Nh Dini, sejak Dua Dunia sampai dengan Argenteuil
- Anung Wendyartaka. “Peringatan: Tidak Merasa Tua Menuju Usia 80”. Kompas, Senin 17 Maret 2008 halaman 37.
saya cinta NH Dini. Tapi semenjak ketemu Seno Gumira Adjidarma, jadi males lagi baca novel NH Dini
Sisi positif membaca nh dini adalah kita jadi lebih mengerti wanita.
Tukang ketik,
Yup setuju…juga menarik melihat perkembangan pribadi pengarang itu sendiri. Setelah berkelana di dunia Barat, Nh Dini lebih bebas mengekspresikan tulisannya, yang awalnya membuat saya terkaget-kaget, tapi saya bisa memahami karena memang beliau ingin menggambakan pergaulan di dunia sana yang memang lebih terbuka …namun tak semuanya patut di tiru.
sejujurnya diantara penulis indonesia, NH Dini, bukan favori sy. bahkan rasanya sy tidak pernah membaca karyanya satu pun. maaf 😀 sy lebih menyukai tegak-lurus-dgn-langitnya iwan simatupang, sukabnya seno gumira, atau para priyayi…sementara NH Dini maupun penulis sesudahnya…susah sekali sy nikmati…sy rasa alasannya bukan gender… (semoga emang bukan gender)
Uwiuw,
Buku karangan Nh Dini kategorinya sastra, saat masih kecil, pemahaman saya agak lama….tapi saya tertarik dengan gaya bahasanya.
Kemungkinan besar pengagum Nh Dini adalah pembaca perempuan, namun ayah saya alm termasuk pengagumnya, dan anak bungsuku juga.
Saya belum pernah baca tulisan karya Nh.Dini tapi spertinya tulisan-tulisanny menrik. Dimana saya bisa dapetin buku-bukunya ya?
Jablay8990,
Buku-buku Nh Dini banyak dipajang di toko buku, baik Gramedia, Toko Gunung Agung, di rak bagian sastra.
penulis sejati senantiasa menggali ide hingga saat digalikannya liang lahat baginya…
panjang umur untuk sang penulis!
Ndoro Seten,
Yup…setuju…
Saya sendiri belum pernah membaca novel dari NH Dini, tapi menurut kata teman-teman, novelnya bagus-bagus.
Edipsw,
Memang tergantung selera sih…tapi buku karangan Nh Dini memang termasuk buku sastra, dulu semasa saya SMA termasuk yang wajib dibaca.
Saya memang mengenal nama pengarang NH Dini, namun saya tidak pernah membacanya sampai habis, maklumlah saya orang yg kurang telaten dalam membaca buku novel, novel apapun karya siapapun. Mungkin saya dilahirkan untuk tidak membaca novel ya….
Tapi nama kota di Perancisnya ‘Argenteuil’ sepertinya menarik dan dulunya kayaknya (dari namanya) kemungkinan bekas kota tambang perak…. peut-être……..
Kang Yari NK,
Saya tak tahu juga…tapi di dalam bukunya diceritakan bahwa kota kecil Argenteuil terletak di kecamatan Val d’Oise, lembah sungai Oise, sungai tsb muncul di negara Belgia, kemudian menyatu dengan sungai Seine di lembah Oise. Di kota tsb terdapat rumah sakit dan museum yg dibangun pada abad ke-17, dan biara perempuan yang didirikan pada abad ke-7. Kota tsb pernah menjadi tempat tinggal pelukis, seperti : Manet, Monet, Degas dan Braque. Karl Marx juga pernah tinggal di sana pada tahun 1848, bahkan rumah yang ditinggali tuan Willm (rumah dimana Dini bertugas sebagai dame de compagnie, adalah rumah dimana Karl Marx pernah tinggal.
Di rumah tuan Willm banyak bacaan dari pengarang terkenal (Marcel Pagnol), yang pernah menulis autobiography menarik, yang mengilhami tulisan Dini pada serial “kenangan”. Penulisan cerita kenangan, juga melibatkan peristiwa dan orang disekitarnya, sehingga cerita tadi mengandung arti souvenirs atau kenangan.
Namanya sangat tidak asing di telinga saya , tapi saya belum pernah membaca bukunya, membaca postingan ini jadi tertarik.
Landy,
Menarik, karena kita juga bisa melihat pergulatan jiwa pengarangnya, apalagi kalau mengkikuti sejak awal. Dari 20 bukunya, Nh Dini mendapatkan royalty Rp.7 juta per bulan, yang masih dirasa tak mencukupi untuk biaya kesehatannya (sumber: Kompas, awal Maret 2008).
dulu saya pernah mbaca buku NH Dini satu aja (kisaran tahun 1990-2000-an), yang judulnya “Namaku Hiroko” …. bagus banget! Memang buku2 kayak gini ini mbikin betah + waktu lewat aja nggak terasa mbaca ginian (kayak Kho Ping Ho, STA, Marah Rusli, Hamka, dst)
# jadi inget dulu di sekolah saya disayang sama Guru Bahasa Indonesia gara2 baca2 buku sastra ginian =))
Arie,
Di setiap bukunya, kita selalu menjadi tahu budaya, kultur orang-orangnya, karena setting bukunya di beberapa negara. Bahkan serial kenangan, yang untuk Indonesia saja, diceritakan dengan sangat menarik….
bener banget bu , saya sudah liat kemarin bukunya dan kepengen beli
o iya kapan nich mau mampir ke medan lagi ?
Insya Allah nanti saya temenin jalan dech
Realylife,
Mudah2an jika ada tugas ke Medan…..
uuuh…NH Dini. saya mulai membaca buku2nya pas SMP dan baru punya koleksi lengkapnya pas kuliah :d saat SMP itu akhirnya saya berpikir untuk menjadi penulis. menulis hal2 sederhana seperti yang dilakukan NH Dini. meski dikatai ‘pengarang’, penghayal…pokoknya nulis. karena meskipun sedehana, kenangan2 masa kecil yang dituliskan kok ya rasanya indah sekali. ya ya…menulis memang benar, bekerja untuk keabadian. mengabadikan banyak potongan hidup 🙂
Yati,
Memang sebetulnya Nh Dini menceritakan serial kenangannya pada hal-hal yang biasa (kehidupan sehari-hari) tetapi menjadi indah. Hal ini juga yang membuat saya berani menulis cerita sehari-hari….memang bagi orang tertentu nggak ada artinya, tapi bagi orang lain (sayangnya cuma komentar di sms), dia malah mendapatkan inspirasi dari cerita sehari-hari ini.
Ayo mbak…menulis terus…
Bu, saya malahan mbaca tulisan Ibu justru mengingatkan saya pada Bu Edi lagi. Sebab sudah dua tulisan membahas beliau.
Beliau guru saya, Bu. baik dari sisi akademisi, hingga urusan menari dan musik yoga. Orangnya sabar, baik hati dan rupawan pula (*Jadi ingat nostalgia, saya di kejar anjing di taman depan rumah beliau di daerah surapati, hehe*)
Menurut saya pribadi, menulis itu bagus.Entah Ibu Nur (NH Dini) atau Mas Gun (GM) atau siapalah yang menulis. Sebab mengingatkan kembali pada hal yang pernah dilalui. Atau malah menambah perbendaharaan untuk menempuh masa depan.
Aduh komen saya malahan membahas soal tulisan nih, bukan NH Dini-nya. Hehe.
Tapi saya akui karya NH Dini itu bagus. Sampai-sampai ‘Namaku Hiroko’ dijadikan sebuah universitas sebagai acuan untuk mahasiswa asing apabila mereka ingin belajar bahasa Indonesia.
Bangaiptop,
Bu Edi masih cantik, ramping karena memang masih aktif menari…wahh saya jadi ingin ikut latihan menari lagi (bagus untuk kelenturan badan, dan menjaga kesehatan). Sampai sebelum menikah, dulu saya suka ikut latihan di jl. Kimia, masih saat ibu Mashuri, karena kost saya di daerah Manggarai. Kemarin saya mengantar beliau sampai di rumahnya, di tepi danau Situ Lembang.
Buku Nh Dini, mengilhami saya dalam menulis, berani menulis hal-hal yang kelihatan remeh temeh, ternyata dari remeh temeh tadi, kita juga makin mengenal gaya tulisan kita, agar bisa berinteraksi dengan pembaca. Agak beda memang dengan menulis makalah yang harus dipresentasikan dan diuji….menulis bebas, juga membuat jiwa kita bebas, tapi tetap harus memperhatikan etika menulis. Saya suka gaya tulisan bangaiptop…lucu, menyenangkan dan menghibur hati.
Bertaon lampau ada sebuah buku di balik tumpukan pakaian orang tuaku di dalam lemari. Pasti buku porno pikirku. Kalo gak porno masak diumpetin tho .. buku nya tebal dengan judul “Pada Sebuah Kapal”.
Di baca ampe habis, gayanya mirip orang bercerita. (Pelajaran pertama tentang menulis).
Sampai tengah buku kok habis, berganti tokoh sentralnya. Masak sih 1 buku 2 judul? Eh, ternyata dari sudut pandang tokoh yang lain. (Pelajaran pertama tentang sudut pandang)
Ampe halaman terakhir gak ketemu pornonya 😀 (lain ama Nick Carter) cuma pahit manis rasa suka. (Pelajaran pertama tentang cinta)
Met kenal Bu.
Nindityo,
Setelah sama-sama membaca suatu buku, biasanya saya membahas tokoh-tokohnya, dan jalan ceritanya dengan anak-anak…diskusi seperti ini merekatkan hubungan ibu dan anak. Dengan buku-bukunya Nh Dini, anakku menyadari bahwa hidup dalam ikatan perkawinan tak mudah dan harus dikelola dengan baik, yang satu suku saja sudah perlu waktu untuk saling memahami, apalagi beda budaya, beda bangsa dan beda latar belakang pendidikan dan minat.
Saya suka novel buatan NH Dini, dia pintar. Aku ingin menulis cerita dg ‘bersahaja’ spt beliau. Semua digambarkan dg elok tapi ttp menarik.
salam kenal
Iin,
Yup…sepakat. Tulisan Dini banyak menginspirasi saya, bahwa hidup tidak mudah, tapi asal dijalankan dengan ikhlas selalu ada jalan keluar.
buku Nh Dini yang terakhir sy baca adalah La grande Borne.. sy terkejut juga dengan isinya…ttg ketidakharmonisan di keluarga… sy hanya berpikir, sptnya kurang objektif penilaian terhadap suaminya di situ. yang saya tangkap adlah, spt ada ketidakpuasan terhadap perannya sebagai ibu rumah tangga, n memerlukan semacam pengakuan…
Dewi,
Sebetulnya di buku sebelum-sebelumnya sudah terlihat. Saya melihatnya dari persepsi lain, seperti jawaban Nh Dini saat ditanya wartawan, bahwa dalam bukunya (dan buku yang disebut di atas merupakan souvenirs..seri kenangan), Nh Dini berusaha menunjukkan suka dukanya menikah campuran, perbedaan kultur dsb nya. Bagi saya, Nh Dini bukan ibu rumah tangga biasa, karena dia juga mendapatkan penghasilan dari menulis….tentang masalah rumah tangga, bukankan dalam keluarga biasapun bisa muncul masalah seperti itu? Mungkin karena pengarang sudah lama di luar negeri, maka dia berani mengemukakan pendapatnya dengan terus terang. Jadi tinggal pada kita, sebagai pembaca, mau bersikap seperti apa….
saya salah satu penggemar Nh.Dini, walau saya membaca bukunya hanya dari meminjam di perpus sekolah&perpus kota, tapi dari situ saya sangat mengagumi beliau. karyanya yg pernah saya baca antaralain sebuah lorong di kotaku, padang ilalang di belakang rumah, sekayu,tirai menurun, namaku hiroko, jepun negerinya hiroko, dari parangakik ke kampuchea, hati yang damai, dari fortenay ke magallianes, istri konsul. wah, saya sebenarnya ingin surat-menyurat dgn beliau&juga bertatap muka langsung,sayang belum bisa. salam kenal ya….
Elizabeth,
Salam kenal juga, makasih telah berkunjung.
Salam kenal..yang saya suka dari karya-karya Nh.Dini adalah seri cerita kenangan, mulai dari Sebuah Lorong di Kotaku hingga Kuncup Berseri, selain itu juga beberapa cerpen yang masuk dalam kumpulan cerpen Kompas….
Swamp,
Iya, saya paling suka cerita kenangan saat Dini masih kecil sampai dengan remaja di Semarang, mengingatkan kota kecil saya.
dulu waktu sma pernah ad tugas buat bikin sinopsis buku, secara ga sengaja (karena dah keabisan buku bacaan di perpustakaan sekolah) akhirnya ketemudeh ma bukunya dini yang judulnya “padang ilalang di belakang rumah” mulai dari situ sy tertarik ma bukunya dini, pa lagi buku terakhir yang sy baca, “tirai menurun”.. duh bagus banget ni cerita, pesan yang paling berasa di saya bahwa namanya kehidupan slalu berjalan, ga ad yang tau pasti & berujung pada satu titik, yaitu mati…
disuru bikin resensi tentang pada sebuah kapal!anjriiit!
nh dini, ternyata karyanya gk jadul2 amat pas gw baca, tapi lebih manteb si sitta karina lah!lukisan hujan!
Saya mulai mengenal karya2 NH.Dini di perpustakaan SMU-ku (SMK Negeri 1 Pogalan hehehe…)Buku-buku NH.Dini bagus2 bgt. Apalagi serial kenangannya. Penggambarannya akan setiap peristiwa detil bgt, shga kita pembaca sprti ikut berada dlm peristiwa yg diceritakannya. Sederhana tapi menarik.
Sejak SD,di tahun 80an,di pelajaran Bahasa Indonesia lah saya pertama kali mengenal nama N.H.Dini dan baru beberapa bulan yang lalu saya membeli salah satu novel beliau,yaitu Langit dan Bumi Sahabat Kami.Sebenarnya sudah lama saya ingin mengoleksi novel-novel terutama pengarang tahun 80an ke bawah.Tapi karena berbagai pertimbangan akhirnya selalu batal.Nah,sekarang saya sedang mencari lanjutan novel tersebut yaitu Sekayu.Di mana ya saya bisa mendapatkannya?Karena di TB Gramedia di kota saya buku tersebut tidak tersedia lagi
Minta tolong Gramedia aja bu…..
Saya kalau ada yang diperlukan tinggal minta tolong petugas, tentu dengan membayar, nanti akan dikirim bukunya
membayar petugasnya atau membayar harga buku……….?ha…ha.Tentu saja minta tolong petugas sudah saya lakukan.Setelah hari itu memang belum saya cari lagi,kirimi dong kalau ada bukunya…tentu saya bayar….maaf,Bu…saya gurau saja,bisa kualat saya kalau bicara begini pada orang yang seumur ibu saya.Sekali lagi maaf ya,Bu…Saya pengen curhatan deh sama Ibu,boleh nggak?
Membaca karya Dini membuat ku merasa menjadi diri sendiri, dan walau dia seusia nenek saya, tetap ingin memanggilnya Dini. Dini gak punya FB ya??