Pada saat ini, semakin banyak kaum perempuan yang berkiprah di dunia kerja, hidup sejajar bersama kaum pria. Namun, puaskah kaum perempuan? Kalau zaman dulu, masalah perempuan sebagian besar adalah masalah gender, namun sekarang telah menjadi semakin kompleks, sejalan dengan semakin banyaknya kaum perempuan yang memperoleh pendidikan, bahkan sampai ke bangku Perguruan Tinggi. Permasalahan bagi kaum perempuan, terutama kaum perempuan di Indonesia, saat ini berkembang menjadi masalah yang multi dimensi.
Kurangnya pendidikan, menyebabkan semakin banyak kaum perempuan yang ingin memperbaiki nasib hidupnya dengan menjadi TKI, namun jalan keluar ini ternyata semakin menyudutkan perempuan, karena banyak yang akhirnya menjadi korban pelecehan, perkosaan, bahkan akhirnya bunuh diri. Kesempatan kaum perempuan untuk mengaktualisasi diri, kadang berperang melawan kesewenangan terhadap pasangan hidup, terutama bagi kaum perempuan yang tidak mandiri, dan akhirnya terperangkap pada stigma hanya sekedar ”konco wingking”. Bagi kaum perempuan yang telah berpendidikan, konflik yang terjadi adalah memilih apakah ingin menjadi perempuan yang berkarir di luar rumah atau memilih menjadi ibu rumah tangga? Masyarakat sendiri masih tidak adil, dan cenderung menyalahkan kaum perempuan, jika terjadi kegagalan dalam mendidik anak dalam rumah tangga, padahal keputusan untuk menentukan mempunyai anak adalah keputusan kedua belah pihak.
Perempuan adalah penentu dalam keputusan ekonomi keluarga
Disadari atau tidak, walaupun perempuan tidak bekerja, keputusan pengeluaran ekonomi rumahtangga berada di tangan perempuan. Hari ini mau belaja apa, barang-barang apa yang akan digunakan sebagai interior rumah tangga (kadang didiskusikan bersama suami, namun barang-barang kecil seperti seprei, sarung bantal dll umumnya diputus oleh perempuan itu sendiri). Dalam rubrik Kontan, dalam kolom konsultasi usaha, seorang penanya pernah menanyakan usaha apa yang sebaiknya dilakukan? Jawabannya antara lain, adalah usaha yang berkaitan dengan perempuan. Karena diakui bahwa pada saat ini segmen terbesar dari bisnis pakaian adalah kaum perempuan. Coba kita lihat gambar seorang perempuan. Dari rambut perempuan, akan ada peluang bisnis pembuatan dan penjualan obat perawatan rambut, seperti: shampo, vitamin rambut dsb nya. Untuk aksesori, bisa dijual bando, pita dan lainnya. Dari bagian wajah, bisa dijual: obat perawatan wajah, jasa perawatan wajah semacam totok aura, dan totok wajah. Leher membutuhkan lotion untuk membersihkan dan memutihkan, dan perhiasan seperti kalung agar leher terlihat menarik. Anda bisa melihat lagi bagian dari badan, kaki, tangan dan sebagainya. Ini hanya sekedar contoh, bagaimana kaum perempuan bisa membuat peluang begitu banyak produk dan jasa, yang bisa menggerakkan ekonomi keluarga.
Perempuan sebagai pendamping pria
Siapapun akan menyenangi bila mendapat kesempatan bekerja dalam satu tim dengan perempuan yang cantik, menarik, berbau wangi, cerdas serta sikapnya menyenangkan. Bagi seorang suami, akan membanggakan jika mempunyai isteri yang ”dapat dipamerkan”, artinya isteri yang baik, ramah, menarik, dan berwawasan luas. Dalam kehidupan rumah tangga, setinggi-tinggi nya kaum perempuan berkarir, masyarakat dan suami, mengharapkan perempuan tetap dapat bersikap dan berbuat sebagai isteri dan ibu yang yang baik bagi anak-anaknya. Dengan demikian posisi perempuan sangat berat, terutama bagi perempuan yang ingin berkarir di luar rumah, karena perempuan harus bisa membagi waktunya untuk karir dan rumah tangga, serta tidak ada satupun yang dirugikan.
Dapatkah perempuan berperan serta, mengembangkan pendidikan dan ekonomi masyarakat?
Jawabannya adalah “dapat”. Saya pernah membaca (lupa sumbernya) bagaimana riwayat ibu Martha Tilaar, mengapa ibu Martha Tilaar memilih menjadi pengusaha dan bukannya sebagai dosen. Saat itu beliau berpikir, dengan menjadi pengusaha, beliau bisa menyerap tenaga kerja, mendorong kaum perempuan bisa mandiri, serta hasilnya beliau bisa mendukung riset suami, yang bekerja sebagai seorang dosen. Saat ini, pada bisnis Martha Tilaar Group,70 persen karyawannya adalah perempuan, dan bisnis ini telah berusaha berbagi motivasi, keterampilan, kemandirian kepada jutaan kaum perempuan.
Menyikapi isu hangat tentang global warning, saat ini melalui brand nya Sari Ayu, Martha Tilaar mendukung program ”go green”. Martha Tilaar mempunayi KDO (Kampoeng Djamoe Organik) seluas kurang lebih 10 ha di Cikarang, menyediakan dan membudayakan lebih dari 500 species tanaman yang bermanfaat untuk kecantikan dan kesehatan perempuan. Tanaman-tanaman tersebut tidak hanya untuk jantung hijau kota industri Cikarang, tetapi juga mensupply sebagian kebutuhan bahan baku Sariayu Martha Tilaar, yang memang 90 persen mengandung bahan alami asli Indonesia (Kompas, 21 April 2008 hal 33).
Jika kita melihat di Perguruan Tinggi, Perbankan, serta perusahaan lain, terlihat banyak para perempuan yang telah berkiprah dan menduduki jabatan tinggi. Namun di satu sisi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih banyak menimpa kaum perempuan, yang pada umumnya berasal dari golongan masyarakat kecil dan miskin. Bagi perempuan yang telah berpendidikan, kasus KDRT juga banyak terjadi, namun kaum perempuan pada posisi ini umumnya telah berani membawa kasus tersebut ke pengadilan.
Saat ini kita melihat bahwa kaum perempuan telah mempunyai kesempatan yang banyak untuk meraih cita-citanya, tinggal kaum perempuan sendiri, beranikah meraih peluang tersebut. Betapapun beratnya, tanpa bukti nyata, dan tanpa kerja keras, perempuan tak bisa menuntut bahwa tidak diberi kesempatan. Inilah kesempatan kaum perempuan untuk membuktikan kiprah nyata nya, dengan menjadi kaum perempuan yang menarik dan tegar serta berani bekerja keras. Semoga cita-cita Kartini dapat mendorong kaum perempuan untuk terus maju, bergabung bersama kaum pria, untuk memperbaiki nasib bangsa dan memajukan taraf hidup masyarakat miskin.
Bahan Bacaan:
- Wahyu Saidi. Pengusaha, Mentor Entrepreneurship. ”Konsultasi usaha: Usaha untuk Pensiunan.” Kontan, No.29-XII, 18-24 April 2008. halaman 17.
- “Kartini Masa Kini, Cerminan Perempuan yang Cantik dan Tegar”. Kompas, Senin, 21 April 2008 hal 33
Bu Enny, memang sudah saatnya kaum perempuan ikut berkiprah dan “menjemput bola” di ranah publik pada era global seperti saat ini. Meski demikian, agaknya perlu ada catatan bahwa sesukses apa pun kaum perempuan menggapai karier di ranah publik, mereka tidak bisa menafikan perannnya di ranah domestik. Mereka dituntut untuk tetap memiliki perhatian dan kasih sayang kepada suami dan anak2. ada yang mengatakan bahwa perempuan sekarang idealnya menjadi sosok androgini, bisa bersikap maskulin dg capaian prestasi yang setara dg kaum pria sekaligus bersikap feminim yang tampil lembut dan penuh perhatian kepada semua keluarga di rumah. semoga kaum perempuan indonesia bisa mewujudkannya. Kepareng rumiyin, Bu. Matur nuwun.
Pak Sawali,
Saya setuju pak, karena sayapun berprinsip demikian, untuk apa karir saya setinggi langit jika anak saya berantakan. Jadi setiap tahapan pencapaian karir, saya selalu merenung, apa yang telah saya capai, dan apakah pencapaian saya ini membahagiakan keluarga, suami dan anak-anak?
Terus terang saya appreciate dengan ibu-ibu seperti Martha Tilaar, juga ibu Retno IS Tranggono, beliau sukses, dan putra putinya juga sukses dalam pendidikan. Putri ibu Retno Tranggono, yang mengikuti jalur ibunya ( dokter spesialis kosmetik ) hanya satu, tapi yang lain sukses berkarir di jalur yang berbeda. Ada yang menjadi pelukis dan sering pameran di Amerika (padahal gelarnya MBA), ada yang ahli manajemen dsb nya.
Dengan contoh kaum perempuan seperti ini, menunjukkan bahwa kaum perempuan bisa berkiprah dimanapun….tapi tentunya, kiprah perempuan yang berhasil juga atas dukungan suaminya.
Setinggi apapun perempuan itu sekolah, setinggi apapun jabatannya… sepertinya masih sulit menandingi laki2… Apakah ini sudah menjadi konstruksi dari masyakarat kita yang menilai bahwa perempuan itu selalu dibawah laki2??? Kalau begitu jatuhnya gender yaa, Bu?
Selamat Hari Kartini… ingat perjuangan Kartini dulu, bagi perempuan-perempuan…
Iko,
Sebetulnya enggak juga. Presiden Direktur IBM INdonesia sudah dua kali berturut-turut perempuan, dari Betty Alisyahbana diganti oleh kakaknya Alya Rohali (saya lupa namanya, tapi alumni Fak Ilmu Komputer UI). Ibu Rini M Suwandi juga pernah memimpin PT Astra Int’l sebagai Presiden Direktur. Teman perempuan saya seangkatan banyak yang menjadi Direktur, bergelar Prof Dr…tapi juga ada yang hanya S1 tapi pengusaha berhasil.
Namun sebagai perempuan, kita diberi tugas untuk memberikan pendidikan pada keturunan kita, agar menjadi anak yang sholeh, baik, dan berguna bagi masyarakat sekitarnya. Jadi saya melihat, perempuan memang harus tegar, karena selain memikirkan perusahaan (jika bekerja diluar rumah) juga harus bisa mengelola rumahtangganya dengan baik, terutama untuk bisa menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya.
hehehe.. saya tunggu betul tulisan ini. masalahnya beberapa yang menyikapi tentang kartini malah laki-laki. saya ingin tahu perspektif perempuan tentang kekinian perempuan itu sendiri.
Ibu, saya ingin tahu perspektif ibu
1. apakah kekartinian yang dinyatakan sebagai simbol emansipasi wanita itu harus ditunjukkan dengan bahwa woman can do what man do?
2. saya tidak mengerti kenapa selalu simbolitas keberhasilan konsep kartini itu adalah wanita yang bekerja di area yang “katanya” pria. seperti acara who wants to be a millionaire semalam : intel, pilot, supir, pembalap etc?
3. apakah berarti, seorang wanita yang “tidak memasuki area pria” berarti “ngga kartini banget”?
sedikit tergelitik oleh comment mas Iko, saya malah sebenarnya heran. kenapa sih lelaki dan perempuan itu perlu dibandingkan?
i have a stupid statement : jika laki-laki dan perempuan sama, buat apa Tuhan bikin menjadi 2 makhluk berbeda?
laki-laki sulit menandingi wanita? ini sama dengan pertanyaan seorang teman muallaf pada saya :
“jika Tuhan memang maha kuasa, Mampukah Tuhan menciptakan benda yang Dia sendiri tidak mampu mengangkatnya?”
the point is? pertanyaan ini tidak perlu dijawab karena sudah salah dari pertanyaannya itu sendiri.
laki-laki akan tetap punya penis, dan wanita akan tetap punya vagina. mau disamakan? konyol menurut saya
in my stupid opinion, man and woman are different. just like left and right, up and down. laki-laki dan perempuan adalah pasangan. kesempurnaan ada ketika masing-masing menjalankan peran masing-masing dan saling mendukung. dirumah, bekerja, etc itu cuma aktifitasnya. esensinya bukan disana. Dimata saya, wanita dirumah bukan berarti lebih rendah dari yang bekerja. dan sebaliknya. dan bukan berarti pula, wanita bekerja lalu berarti tidak menjalankan fitrahnya. ngga ada hubungan buat saya.
loh.. kok saya malah berpendapat yah?
kekekke…
mohon nasehatnya bu 🙂
Edo,
Satu persatu ya…kok semangat banget nih, kan Edo udah kenal dan ketemu saya, pasti tahu dong seperti apa pandangan saya. Tapi saya akan menjawab secara tertulis:
1.Masalah emansipasi.
Saya bingung kenapa ini terus yang didengung-dengungkan….bukankah sekarang ini sudah tak ada perbedaan antara perempuan dan pria dalam menjalankan haknya. Hak lho, bukan mesti sama dalam segala hal, karena secara fisik sudah berbeda, perempuan bisa melahirkan, sedangkan pria tidak.. Seperti juga pria, perempuan juga harus bisa menunjukkan kinerjanya….dan tentu kembali pada perempuan itu sendiri. Kalau bisa menjadi penerbang, kenapa tidak? Tentunya setiap pilihan mengandung risiko, seperti saya yang memilih karir di perbankan sampai pensiun, berisiko jarang ketemu anak, super sibuk, tingkat stresnya tinggi. Andaikata saya bisa mengulangi lagi, apakah akan tetap memilih karir di perankan? Jawaban bisa “Ya” dan “tidak”
2. Iko adalah seorang gadis manis…bukannya mas. Iko sekedar bertanya, bukan berprinsip seperti itu, ini saya tahu dari membaca blognya Iko. Kalau saya hanya berpikir, menjadi sopir, pilot, intel dsb nya hanyalah merupakan pilihan, sama seperti Edo yang bekerja di bidang IT. Jadi boleh saja kan? Jadi menurut saya, kadang permasalahan tsb karena pria merasa kok bidangnya disaingi perempuan (padahal apa ya benar seperti ini)…dan kadang menimbulkan komentar-komentar miring, terus terang saja banyak saya alami, cuma jawaban saya cuma tersenyum saja (sambil geli dalam hati)…karena para pria yang saya kagumi, yang pandai dan terhormat, biasanya malah juga menghormati perempuan dan tak mengomentari hal-hal bernada melecehkan, bahkan merekalah yang selama ini mendukung peranan pekerja perempuan. Kesimpulan saya, para pria yang telah mandiri dan yakin atas kemampuan dirinya, umumnya menghormati kaum perempuan.
Itulah mengapa saya katakan, saya cuma tersenyum kalau mendengar kalimat bernada melecehkan, nggak yakin bahwa perempuan juga bisa pintar…dan saya yakin Iko mengalami hal ini karena dia masih muda dan cantik.
3. Ehh ini pendapat siapa? Sabaar Edo….jangan-jangan ada kesalahn persepsi disini. Menurut saya, yang penting perempuan mendapat hak sama, untuk mengekspresikan kemampuannya. Dan tentu saja tergantung perempuan tadi memilih yang mana…karena pilihan menjadi perempuan berkarir di luar rumah atau menjadi ibu rumah tangga sepenuh nya pun tak ada yang salah, cuma biarkan permpuan yang memilih sendiri.
Sebetulnya saya sedang menyiapkan tulisan…dalam seri pernikahan dan keluarga, sebetulnya kriteria seperti apa yang kita pilih untuk menjadi pasangan kita? Ini juga akan banyak variasinya…yang pada akhirnya adalah terserah pada individu masing-masing…ada pria yang menginginkan isteri bekerja (seperti suami saya), ada juga yang tak memperkenankan isteri bekerja….(pasti tak akan saya pilih jadi pasangan saya), dan lain-lain. Pria pun begitu pula…yahh manusia memang unik.
Mudah-mudahan jawaban ku bisa menjawab pertanyaan Edo.
(untuk catatan: perempuan berkarir harus bekerja dua kali lipat melebihi prestasi pria untuk mendapatkan jabatan yang sama…alasannya pria lebih flexible…mungkin ini maksud Iko, dan saya serta teman-teman perempuan mengalami hal ini)
Mas Edo, saya ini perempuan… Jangan terkecoh oleh nama saya yang seperti laki-laki; yaitu IKO hehehhee….
Iko,
Hahaha…Edo semangat banget tuh komennya….
hm…
konon katanya, suami kan memang kepala, tapi perempuan lehernya…
Ruth,
Kiasan yang betul. Dulu kata teman-teman, kalau kita mengeluh (lsaat itu lagi jadi wakil manager)….terus sambil ketawa-ketawa mereka cuma bilang…namanya juga wakil, jadi ya “awak sampai sikil”…hahaha
semoga perempuan lebih menyadari tugas dan kewajibannya
betapa perempuan adalah sangat terhormat derajatnya
Realylife,
Pilihan ada pada perempuan itu sendiri….
ngomongin ttg emansipasi, menurut saya, sangat erat kaitannya dengan “bagaimana perubahan pola pikir wanita dalam memandang dirinya, dan dalam meningkatkan “keberartian” hidupnya melalui berbagai pilihan bebas (free will) yang diambilnya”. Artinya, apapun pilihan peran (role) yang dipilih oleh seorang wanita, bekerja atau jadi ibu rumah tangga, bekerja pada area “maskulin” maupun lainnya, yang penting adalah bahwa wanita mampu bertanggungjawab dan berkontribusi positif pada lingkungannya (keluarga, kantor, masyarakat, negara, dsb).
wanita yg memilih bekerja, yang sekaligus memegang peran sebagai istri/ibu rumah tangga memang memiliki peran ganda, dan ini perlu manajemen waktu yang extra (masih harus banyak belajar nih saya… hehehe…). sementara, wanita yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga saja, bukan berarti dia gak ikutan “gelombang emansipasi”, karena pada lingkup keluarga, selama si wanita bisa menjadi counterpart (halah) pria dalam pengambilan keputusan atau berbagai bentuk sharing lainnya, itu emansipasi juga logh. Yang penting “kontribusi positifnya” kan?
Selamat Hari Kartini!!
Kris,
Semua pilihan tentu ada kesulitan dan kenyamanan masing-masing. Yang penting memahami apa pilihannya dan menyenanginya…agar anak-anak tak jadi korban.
<a href=”http://kangtutur.wordpress.com/2008/04/21/selamat-ulang-tahun-mama/”Kartini ku ada disini
KLIK DEH 😆
<a href=”http://kangtutur.wordpress.com/2008/04/21/selamat-ulang-tahun-mama/”Kartini ku
Coba lagi!
Kang Tutur,
Udah ditengok...it’s nice posting.
Saya mau mencoba mengomentari pernyataan yang ini saja bu.
Menurut saya memang ada beberapa hal dalam kerumahtanggaan yang image-nya tidak bisa terlepas dari hanya salah satu orang tua saja, walaupun sebenarnya tidak begitu. Seperti di atas bahwa mendidik anak adalah kewajiban kedua orang tua (memang ini saya setuju 200%) tapi kenyataannya kalau ada kegagalan mendidik anak yang dituding selalu si ibu atau kaum wanita. Sebenarnya sama halnya dengan (ini saya tidak bermaksud membela kaum pria ya bu) jikalau keuangan keluarga morat-marit tentu juga yang disalahkan adalah kaum prianya: “Ah, suami si anu kerjaannya nggak beres, gajinya kecil, dsb….” yang disalahkan adalah kaum pria. Padahal “menurut” zaman emansipasi sekarang tidak harus pria saja kan yang dituntut bekerja, wanita bisa saja bekerja dan pria menjadi “bapak rumah tangga”! Namun itu tentu masih sulit pada saat ini untuk masyarakat kita bu. Padahal kalau wanita kini punya pilihan untuk berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, seharusnya si bapak juga harus punya pilihan apakah akan bekerja mencari nafkah ataukah ingin di rumah saja menjadi “bapak rumah tangga”!!
Jadi kesimpulannya, menurut saya, semua hal2 yang terjadi dan ada di rumah tangga sebaiknya tanggung jawabnya dibagi rata antar kedua orang tua. Apapun itu!! Walaupun mungkin pada praktiknya agak tidak mungkin menerapkan hal seperti itu.
Saya sendiri sering mengkritik teman2 kantor saya yang pria, yang sangat canggung dan enggan mengerjakan pekerjaan2 RT. Saya sendiri adalah bapak yang tidak canggung untuk mengepel lantai, mencuci piring bahkan memasak (terutama kalau pembantu2 lagi pada pulang kampung) walaupun masakan saya tentu tidak seenak masakan chef2 profesional! Hehehe…. Jadi begitu bu, menurut saya, kalau mau berumahtangga janganlah perhitungan mengenai pembagian tanggung jawab…..
Kang Yari NK,
Setuju…yang sulit adalah bukan hubungan suami isteri (karena sejak awal menikah, saya sudah bekerja), tapi adalah komentar pihak luar yang cenderung menyalahkan. Justru karena itu, mendorong saya untuk menunjukkan, bahwa saya harus bisa mengelola rumah tangga dan menyeimbangkan dengan karir. Kebetulan suami saya malah bangga isterinya bekerja…mau bantu-bantu membereskan (tapi hasilnya malah kacau balau), jadi kalau si mbak pulang kampung, dan anak-anak masih kecil, suami kebagian yang ngajak main, saya yang beres-beres. Kan dulu belum ada Mal….setelah di dekat rumah ada Mal, baru lebih mudah….tinggal beli makanan matang, dan saat makan sekeluarga…ketemu teman-teman satu kompleks yang nggak pulang kampung dan ditinggal mudik mbak nya…hehehe.
Tapi benar juga, kalau anak berhasil, itu didikan ayahnya (ini komentar orang)…tapi biarlah dikatakan hasil didikan ayahnya…yang penting bagi saya, bisa mengantar kedua anak kami sampai lulus S1 di PTN.
Bapak rumah tangga? Anak saya saat kecil sempat “agak ngambeg” karena bapaknya banyak di rumah…lha iya, dosen kan tidak selalu berangkat pagi-pagi ke kantor. Kata anak saya, kok bapak nggak kasihan sama ibu?…Hehehe…setelah cukup umur dia baru memahami, setelah diajak ayahnya ke kampus, diajak ibunya melihat kantor ibunya bekerja….memang hidup itu dinamis, dan harus terus saling menyesuaikan. Makanya saya selalu bilang, bahwa keberhasilan didikan anak, keberhasilan karir suami maupun isteri, sebetulnya adalah hasil kerjasama antara suami dan isteri.
Qoute saya di atas, hanya untuk menjelaskan, kenyataan sehari-hari masih banyak yang berpendapat seperti itu. Berapa kali suami saya dinasehati ibu-ibu, atau bapak-bapak, karena membiarkan isterinya bekerja….karena saat itu suami mengajak si kecil…dan saya sedang dinas ke luar pulau Jawa. Belakangan ini saya melihat situasinya sudah banyak berubah, walau ada juga yang masih mempersalahkan kaum perempuan yang berkarja di luar rumah. Padahal, teman saya keluar dari Bank, mulai berwirausaha…dia bilang, kesibukan dia lebih gila dibanding saat masih menjadi manager Bank. Dia mesti keliling dunia untuk mempromosikan dagangannya, keluarganya sendiri (adik-adik dan ortunya) tak terlalu mendukung, belum keluarga mertua…dia pantang mundur karena suami mendukung, apalagi anak semata wayangnya sudah lulus S2 di Amrik, menikah dan bekerja disana.
Itulah kang Yari, untuk mengaktualisasi diri, bagi kaum perempuan masih banyak tantangannya….yang penting bagi saya, adalah keluarga kecil mendukung, suami/isteri dan anak-anak. Dan ternyata anak-anak bangga pada ibunya, karena ibu selalu ada kapanpun dia membutuhkan, walau ibu sibuknya setengah mati.
Thanks sharing pendapatnya.
Rasa-rasanya saya sudah menemukan salah satu kunci jawabannya bu, terhadap semua kekisruhan rumah tangga. Dan kunci jawaban itu datangnya dari ibu. Good job 🙂
Benar bu .. dari pengamatan saya, ‘komentar’ pihak ‘luar’ sangat mempengaruhi hubungan suami istri. Oleh karena itu, untuk menangkalnya perlu kekuatan mereka berdua, agar ‘pengaruh’ pihak luar itu bisa diredam.
Erander,
Memang, kuncinya pada keluarga masing-masing, apa yang dirasa nyaman untuk keluarga yang satu belum tentu nyaman untuk keluarga lainnya.
perempuan adalah guru bagi para calon pemimpin bangsa ini
Anggara,
Betul, justru itulah perempuan harus mendapat pendidikan yang cukup, agar bisa mendidik anak-anak dan keluarganya, syukur kalau bisa juga menularkan kebaikan pada masyarakat di sekitarnya.
asiikk asiiikk..
seru nih hjihihih…
gpp bu. biar menghangatkan suasana pagi 🙂
gpp bu. point of view saya kenapa cukup bersemangat kira-kira begini :
saya melihat “semangat mengangkat konsep kekartinian” yang mengemuka dalam konstelasi media (yang artinya memiliki kecenderungan untuk mempengaruhi publik). topik diskusi yang saya angkat lebih karena saya melihat begitulah secara umum masyarakat indonesia dan juga wanita indonesia secara mayoritas memaknai “celebrating” the kartini day.
terkait pemikiran saya, sama seperti ibu bilang, kan ibu juga udah ketemu sayah hihihi. saya mah ngga dengan wanita berkarir, wanita jadi pilot, supir or mo dimana ajah, etc. karena perspektifnya dalam konteks itu adalah berkarya, sesuai dengan potensi terbaik yang kita miliki.
buat saya juga konyol jika pemikiran wanita harus dirumah. lalu wanita tanggungjawabnya mengurus rumah tangga, mengurus anak etc. lha, orang anak bikinnya bareng2, kok bisa dibagi kaling begitu. kecuali untuk fungsi-fungsi yang memang sudah sunatullah. kan ngga mungkin laki-laki menyusui anaknya 🙂
kembali ke yang tadi bu, yang menyedihkan adalah ketika kita melakukan sesuatu (seperti perjuangan kesetaraan gender) tapi justru “out of context”. yang diperjuangkan lebih kepada simbolitas-simbolitas menang-kalah. laki-laki bisa, saya bisa. lha, kenapa harus kayak begitu ya? bukankah perbedaan itulah yang menyebabkan kita memiliki respect satu sama lain, dan menyadari bahwa kita tidak sempurna?
contoh paling “ndeso”nya kira-kira begini bu.
jika wanita misal memotong rambut jadi pendek karena misal
1. ketombean. so, potong dulu aja ah. biar bisa diobatin hihihi
2. biar seger. bosen rambut panjang :p
3. model dong. gaul. biar catchy.
4. pengen aja.
malah, alasan2 seperti buat saya ok ok aja.
nah yang lucu, kenapa dirimu memotong rambut pendek?
dan jawabannya adalah “lah, emang kenapa? emang cuma cowok yang boleh berambut pendek? kl kamu bisa, aku juga. ini buktinya. ini jaman emansipasi tau.. bla bla bla”
hehhe.. yang kayak gini nih bu yang aneh buat saya :p
ps : whaaa.. aku baru paham. maapkan aku iko. hihihi..
dimaapkan yah? ngga perlu sogokan kan? :p
Edo,
Yang normal masih lebih banyak kan dibanding yang aneh…..?
Intinya kesetaraan dan kemerdekaan dalam memilih. Entah perempuan entah lelaki, semestinya bisa memilih menjadi apa 🙂
Ikram,
Yup, bisa memilih dengan kesadaran penuh…serta mempertimbangkan risiko atas pilihan tersebut.
nah justru itu bu, komentar2 pihak luar yang terjadi itu karena dalam masyarakat kita banyak yang belum bisa menerima pembagian tanggung jawab yang rata antara pasangan mereka sendiri, jadi munculah pandangan seperti itu. Padahal keberhasilan dan kegagalan dalam mendidik anak misalnya semuanya adalah andil kedua belah fihak, baik si ibu ataupun si ayah.
Kalau masyarakat seperti kita2 ini di mana sudah menyadari adanya atau pentingnya kesetaraan tanggung jawab di setiap aspek rumah tangga mungkin tidak akan ada lagi pandangan2 masyarakat yang seperti itu……
Kang Yari NK,
Benar, permasalahannya disitu, padahal setiap keluarga telah memperhitungkan risiko masing-masing. Apalagi sekarang, banyak juga laki-laki yang berkarir di rumah, adik bungsu saya lebih banyak di rumah, melalui internet. Sedang isterinya yang tentara, lebih banyak dinas luar…dan anaknya aman-aman saja, yang sulung udah lulus dari UNDIP, dan adiknya (bungsu) tingkat akhir di ITB.
Saya sendiri di awal karir, juga lebih memikirkan anak-anak, bos membebaskan tak ikut dinas ke luar kota (padahal ini yang disenangi teman-teman karena uang sakunya lumayan), karir lebih stagnan…setelah anak-anak mandiri, barulah saya banyak tugas ke luar kota, ke luar negeri…..namun di saat seperti ini, suami siap untuk memback up anak-anak, sehingga saya meninggalkan rumah dengan perasaan tenang.
to edo.
perempuan bekerja di rumah, itu pilihan
perempuan bekerja kantoran, itu pilihan
perempuan bekerja di lapangan, itu pilihan
lelaki bekerja di rumah, itu pilihan
lelaki bekerja kantoran, itu pilihan
lelaki bekerja di lapangan, itu pilihan
suami istri harus sama sama mengurus rumah dan mengurus anak, ini bukan pilihan, tapi kompromi untuk berbagi hal hal mana yg di handle suami, mana yang di handle istri. suami dilarang malas dalam mengerjakan urusan domestik.
suami juga harus bertanggung jawab dalam pendidikan anaknya, mengurus anaknya. gak bener kalau dilimpahkan semua ke perempuan atau istri.
Papabonbon,
Saya sependapat….
mneurut saya, kartini justru potret dari seorang feminis gagal.
http://papabonbon.wordpress.com/2008/04/21/kartini-sebagai-gerakan-anti-feminisme/
Papabonbon,
Betulkah Kartini menganjurkan seorang perempuan menjadi Feminis? Atau bukan menganjurkan agar perempuan mendapatkan hak pendidikan yang setara (dan saat ini sudah berlaku), tanpa mengurangi kodrat kewanitaannya?
Kadang persepsi atas suatu tulisan atau suatu cerita bisa berbeda…saya sendiri tak mempelajari karakter Kartini dari tulisannya, karena memang belum membaca semua…..karena saya hanya melihat apa yang disodorkan di depan mata, apa yang bisa saya perbuat sebagai kaum perempuan, pertama kali untuk mendidik anak-anakku, membuat perasaan bahagia anggota rumah tangga…serta mencerahkan ke lingkungan sekitarnya. Dan terus terang, kayaknya saya bukan kelompok feminis deh…ini kata Kunderemp (saya sendiri tak tahu persisnya, karena cuma tahu, bekerja, memperhatikan keluarga…itu aja kok waktunya udah penuh banget).
Saya sangat setuju dengan pendapat Anda, Bu. TUHAN menciptakan Wanita dengan senyuman yang sangat indah.
Rhaja Elpo,
Waduhh saya tak tahu deh…saya hanya berusaha berbuat sebaik mungkin atas komitmen saya, janji antara saya dan pasangan sebelum memutuskan menikah, untuk saling menghargai, bekerja sama mendukung karir, dan bekerjasama menyiapkan pendidikan bagi anak yang akan dilahirkan. Dan mempunyai anak adalah karunia yang tak terhingga, yang membuat hati bimbang akan terus berkarir, atau tinggal di rumah…dan ini keputusan berat. Tapi keputusan untuk memberi pendidikan anak yang lebih baik dibanding yang saya peroleh dulu, membuat saya mengambil langkah meneruskan bekerja, tentu atas dukungan suami. Dan untuk ini saya bersyukur mendapat pasangan yang membebaskan saya memilih.
Membicarakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah topik yang tidak akan selesai sepanjang zaman. Masing-masing ahli melihat dari sisi yang berbeda. Anthropolog, psikolog, sosiolog, teolog, semua melihat dari disiplin ilmunya masing-masing. Saya baru saja membaca buku yang sangat menarik, yang menjelaskan perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari fisik otaknya. Judulnya “Female Brain”, ditulis oleh Louann Brizendine, seorang dokter spesialis neuro-psikiatri. Buku ini ditulis berdasarkan pengamatannya selama 20 tahun, dengan 600 lebih referensi, sehingga secara akademik sangat bisa dipertanggungjawabkan. Intinya, bahwa sejak masih berupa janin umur empat bulan dalam kandungan, otak bayi perempuan dan bayi laki-laki sudah tumbuh secara berbeda. Otaklah yang mengatur cara berpikir manusia, sehingga cara berpikir laki-laki dan perempuan memang berbeda. Kecenderungan-kecenderungannya juga berbeda. Misalnya, laki-laki cenderung suka elektronik, sementara perempuan cenderung suka pada hal-hal yang berkaitan dengan kecantikan. Otak perempuan memiliki sel-sel pusat komunikasi yang lebih besar dari pada otak laki-laki, sehingga rata-rata perempuan menggunakan 20.000 kata per hari, sementara laki-laki hanya 7.000 kata (tentu saja selalu ada sebagian orang yang merupakan pengecualian).
Yang perlu dicatat dengan huruf tebal dan digaris bawahi adalah, perbedaan ini bukan berarti menghilangkan hak perempuan untuk memilih menjalani hidup sebagaimana yang diinginkannya. Perempuan mau berkarir di luar rumah atau menjadi ibu rumahtangga, itu adalah pilihan dia sepenuhnya. Hanya saja, jika seorang wanita berada dalam ikatan pernikahan, tentunya pilhan itu harus merupakan kesepakatan bersama dengan suaminya. Jika tidak, maka hasilnya sudah pasti bencana.
Tutinonka,
Pada dasarnya orang yang menikah adalah berjanji setia satu sama lain, saling mendukung dst nya. Dengan demikian hal-hal yang akan diputuskan oleh suami isteri hendaknya dibicarakan bersama. Oleh karena itu, tak hanya seorang isteri, seorang suamipun tentunya mempertimbangkan dari segala segi jika hendak memutuskan sesuatu.
Saya setuju, laki-laki dan perempuan memang makhluk yang berbeda, dan perbedaannya ini yang justru saling mempertemukan. Perempuan sendiri, tetaplah harus berpikir, untuk bertanggung jawab pada keluarganya apapun yang diputuskannya. Dan sebetulnya yang dimaksud dengan kebebasan adalah kebebasan yang bertanggung jawab, bebas untuk memilih perannya….namun jika sudah menikah, pilihan peran ini harus didiskusikan bersama pasangannya…bukankah dia juga bebas saat menentukan untuk memilih pasangannya untuk sehidup semati?