Pilihan: karir atau rumah tangga?

Tulisan dengan judul di atas telah banyak ditulis di berbagai media, dan teman-teman telah pernah pula menuliskannya di blog, namun siapa tahu dari tulisan saya ada hal-hal baru yang bisa dipetik hikmahnya. Jika pada tulisan lainnya adalah menulis tentang apa yang sebaiknya dilakukan kaum perempuan, memilih karir atau rumah tangga, namun tulisan saya disini, adalah bagaimana pilihan tersebut bisa diseimbangkan, sehingga tak ada yang dikorbankan.

Semakin banyaknya perempuan yang memperoleh pendidikan sampai ke jenjang perguruan tinggi, apalagi banyak yang mendapatkan nilai membanggakan, membuat semakin banyaknya perempuan yang bekerja di luar rumah. Di satu sisi, semakin banyak juga keluarga kecil, sehingga tidak mudah mendapatkan orang lain yang dapat diminta untuk membantu menemani dan mengawasi pengelolaan rumah tangga kaum ibu yang mempunyai anak kecil dan berkarir di luar rumah.

Apa yang perlu diperhatikan jika ber karir di luar rumah?

Karena saya berasal dari keluarga yang ayah ibu, bude, bulik, sepupu perempuan, berkarir di luar rumah semua, dengan sendirinya sejak memilih calon suami, adalah mempertimbangkan calon yang mendukung saya untuk tetap berkarir di luar rumah. Sejak awal saya menyadari, bahwa kelangsungan rumah tangga saya sangat tergantung dari kerjasama suami isteri, sehingga pilihan menentukan mempunyai anak, menambah anak, diperhitungkan dengan apakah kami mampu menangani dan membesarkan kedua anak kami, bila sewaktu-waktu si mbak pulang kampung atau mendadak ingin keluar.

Saat awal menikah, suami masih lebih banyak aktif di Ditjen Pendidikan Tinggi, sehingga bisa membantu bila sewaktu-waktu diperlukan, saat anak sakit dan lain-lain. Bisa dikatakan selama beberapa tahun sejak melahirkan anak, sampai dengan kelahiran anak kedua, peningkatan karir saya nyaris jalan di tempat. Hal ini saya sadari dan bagi saya menguntungkan, karena beban yang saya peroleh juga seimbang. Kebetulan bos saya baik, sehingga saya diperbolehkan pulang tepat waktu, dengan catatan pekerjaan yang ditugaskan harus ada di meja beliau besok paginya jam 7.00 wib.

Jadi begitu sampai rumah, saya segera mandi, dan mulai memegang anak-anak, menyuapi, sampai menemani mereka tidur. Malamnya setelah menemani makan malam dan mengobrol dengan suami, pada saat mereka tidur, atau kadang-kadang suami membawa pekerjaan kantor juga, maka mulailah saya menyelesaikan tugas dibantu mesin ketik tua. Saat itu belum ada PC, dan kesalahan mengetik lebih dari tiga pada setiap halaman harus diulang lagi. Setiap hari saya kurang tidur, karena jam 4 pagi sudah bangun untuk memasakkan makanan anak, kemudian mandi, terus memandikan anak. Saat saya dijemput mobil jemputan (rombongan), anak saya sudah makan pagi dan memberi daag saat ibunya masuk mobil jemputan. Kebetulan di komplek rumah dinas banyak kaum ibu yang bekerja di luar rumah, sehingga anak-anak tidak protes dan tidak merasa kesepian karena banyak anak kecil seumurnya untuk teman mainnya. Apalagi setelah anak mulai sekolah di TK negeri, setiap hari dia dijemput mobil jemputan, kadang ditemani si mbak yang momong, tapi lebih sering sendiri.

Teman saya ceritanya lain lagi, dia keluar dari pekerjaan saat memutuskan menikah dan kemudian mengikuti suami yang ditugaskan sebagai dokter di pelosok. Temanku belajar menyuntik, menjadi jururawat suami, dan mengajar ibu-ibu menyulam, menjahit dan pekerjaan ketrampilan lain agar ibu-ibu mendapat tambahan ketrampilan saat sore hari sepulang dari bekerja di ladang. Saat sang suami melanjutkan spesialis di pulau Jawa, suaminya meminta agar teman saya melanjutkan kuliah S2 di PTN cukup terkenal. Selanjutnya si isteri didorong mencari pekerjaan lagi, jadi teman saya yang awalnya berniat menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya, atas dorongan suami bekerja sampai sekarang dan mencapai posisi puncak di suatu Departemen.

Seniorku lain lagi, dia tak bekerja setelah menikah. Setelah anak berumur 5 tahun, dia melanjutkan kuliah S2 dan selanjutnya bekerja kembali. Senior saya ini memang pandai sekali, dia menguasai empat bahasa asing, bahkan setelah pensiun dengan jabatan terakhir sebagai General Manager sebuah Bank, dia bekerja lagi sebagai konsultan di perusahaan konsultan yang termasuk”The big Five.”

Membuat lingkungan yang saling mengamankan.

Apa maksud sub judul diatas? Kita membuat kesepakatan dengan tetangga, untuk saling melihat keadaan rumah tangga (keselamatan anak-anak). Jika tetangga mendengar anak saya menangis tak henti-henti, tetangga ini (ibu bekerja dirumah) menengok rumah saya apakah anak saya baik-baik saja. Demikian juga jika pembantu saya pulang kampung dan saatnya saya harus kerja belum kembali, anak saya bisa dititipkan pada ibu tetangga yang baik hati ini. Setelah anak saya besar, gantian rumah saya yang ramai, karena banyak penitipan anak tetangga, apalagi saat selesai lebaran, dan si mbaknya belum pulang dari kampung.

Bagi saya yang tinggal di kompleks rumah dinas hal ini memudahkan karena semua tetangga saling mengenal dengan baik, bagaimana yang tidak tinggal di rumah dinas? Anak buah saya rumahnya di Bekasi, setelah selesai sholat Subuh harus segera berangkat untuk mengejar bis yang menuju Jakarta. Pulangnya dia harus menyeberang jembatan, dan berebut mobil omprengan di depan Atmajaya untuk pulang ke Bekasi. Dia juga menitipkan anak pada tetangganya, bukan menitip dalam arti fisik, tapi tetangganya ikut mengawasi.

Dengan pengamanan lingkungan seperti ini, ibu bisa meninggalkan anaknya dengan tenang di rumah. Syukurlah kejadian seperti anak diculik dsb nya tak pernah terdengar, kuncinya memang kita harus mengenal tempat tinggal si mbak, beserta seluruh keluarganya. Kalau Lebaran dan kebetulan pulang kampung, sekaligus si mbak diajak dan majikan ikut mampir kerumahnya, disini sekaligus mempererat tali silaturahim, sehingga keluarga di kampung juga tenang karena mengenal majikan anaknya dengan baik.

Paling kritis adalah saat anak masa pra remaja sampai remaja.

Ini benar-benar masa yang paling berat, diperlukan kesabaran, pengertian dan selalu memaafkan anak jika dia berbuat salah, sebesar-besarnya kesalahan anak, agar si anak tak perlu mencari pemecahan dari orang lain yang belum tentu kita kenal dengan baik. Dengan perasaan bahwa orangtua akan selalu memaafkan dan membantu mencarikan solusi permasalahan, anak mau menceritakan segala sesuatunya pada orangtua.

Apakah saya bisa memahami anak saya? Jawabannya adalah ”tidak selalu”. Masa-masa inilah masa dimana saya banyak berkonsultasi pada psikolog, serta banyak berdoa mohon diberi kekuatan dan kesabaran pada Allah swt. Bayangkan, teman sebangku anak saya, anak semata wayang dari pasangan orangtua yang keduanya dokter, diketemukan sebagai pengguna narkoba. Saya bersyukur guru sekolah banyak membantu, jadi pandai-pandailah bekerja sama dengan sekolah, dan kita harus mengamati perilaku anak setiap hari. Perubahan perilaku yang sekecil apapun harus diwaspadai, tapi anak tak boleh sampai merasa dicurigai. Berikan waktu untuk ketemu dan diskusi dengan anak, jalan-jalan ketempat wisata, atau sekedar ke toko buku dan pulangnya makan di restoran. Sambil mengobrol, kita bisa mendapatkan lontaran atau celetukan anak, yang bisa kita nilai apakah anak kita masih relatif aman. Kembangkan hubungan dengan orangtua sesama murid dan sahabat anak, karena mereka juga bisa dianggap sebagai orangtua yang ikut membantu mengawasi anak kita agar tak terjerumus ke hal-hal yang tak benar.

Kemudian saat anak mulai kuliah, tugas pengawasan orangtua juga belum berakhir. Banyak terjadi kegagalan mahasiswa dalam menyelesaikan kuliahnya, bahkan drop out ini bisa terjadi pada tahun terakhir masa kuliah. Pemahaman orangtua tentang kesulitan anak, memudahkan anak untuk mau bercerita dan mngemukakan kesulitannya. Walaupun orangtua belum tentu dapat mencari pemecahannya, paling tidak anak merasa tidak sendiri.

Melihat tulisan di atas, sebetulnya diperlukan kesiapan mental, kerja keras, disiplin yang tinggi bagi para ibu yang bekerja di luar rumah, agar manajemen rumah tangganya tak berantakan, sekolah anak-anak terjaga dan hubungan dengan suami baik. Tentu saja kaum perempuan tak bisa bekerja sendiri, karena ini memerlukan kerjasama antara suami dan isteri.

Semoga dengan tulisanku ini, bagi kaum perempuan yang ingin bekerja di luar rumah tak menjadi bimbang, namun yang saya tekankan disini, bahwa anda harus mempunyai kekuatan dua kali lipat dibanding perempuan yang tidak bekerja. Dan saat anak-anak makin besar dan karir terentang dihadapan anda, maka kaum perempuan harus bekerja minimal dua kali lipat dari laki-laki, karena jika kinerjanya sama, perusahaan akan memilih laki-laki untuk menduduki posisi tertentu karena lebih fleksibel.

Iklan

23 pemikiran pada “Pilihan: karir atau rumah tangga?

  1. yups, menjadi ibu rumah tangga atau terjun ke sektor publik agaknya itu sebuah pilihan, bu. keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing2. yang penting diperhatikan *halah sok tahu ya bu* adalah komitmen suami istri utk memilih yang mana, lantas konsisten utk menjaga komitemen itu agar keluarga tetap harmonis dan bahagia.

    Pak Sawali,
    Benar pak…tulisan saya hanya untuk menjelaskan, tak perlu yang lain merasa lebih baik dari satunya. Masing-masing keluarga telah mempunyai ambang batas risiko, serta telah dikaji, baik isteri hanya ibu rumah tangga, isteri bekerja paruh waktu, bekerja di rumah ataupun bekerja di luar rumah.

    Karena bekerja di luar rumah, maka rumah saya penuh catatan, semacam early warning signal, yang harus disepakati dan diikuti oleh semua anggota keluarga.

  2. arifrahmanlubis

    ibu saya juga bekerja 🙂

    waktu kecil saya ngambek dan protes terus.

    kunci sukses beliau membentuk saya adalah saat kecil dan remaja. beliau selalu bercerita tentang kasihsayangnya yang luar biasa ke ibunya. dan pengertian dari ibu saya yang luar biasa ke nenek dulu(yang juga sibuk mencari nafkah).

    hingga sma, kuliah dan sekarang bekerja, karakter saya benar2 terbentuk untuk menyayangi dan memahami kesibukan ibu saya (seperti ia menyanyangi dan mengerti ibunya dulu).

    so, para istri (khusunya yang berkerja). pahamilah dan sayangilah ibu masing-masing. agar begitu pula anak kalian memahami dan mengerti kalian.

    salam hangat

    Arif Rahman Lubis,
    Sepertinya ibumu adalah ibu yang perhatian pada anak-anaknya…..dan ternyata kedua putranya berhasil kan? Karena saat anak kecil, mereka belum memahami dan mengerti, sehingga tugas orangtua menjelaskan mengapa ibu berbeda dengan ibu temannya. Saat si anak telah mengerti, dia akan ganti mendukung peran ibunya tadi.

  3. rabbani

    Menurut saya, memang lebih baik seorang ibu itu bekerja. Selain buat aktualisasi dirinya, juga untuk menambah wawasan dalam hidup dan berkeluarga. Yang sering jadi masalah adalah membagi waktu antara pekerjaan dan rumah tangga karena dua2nya penting. Masalah itu bertambah besar di Indonesi, apalagi Jakarta, ketika orang bekerja seperti tak kenal waktu. Padahal semakin maju suatu negara, jam kerja masyarakatnya semakin sedikit.

    Di negara2 maju, selain jam kerja dibatasi (biasanya maksimal 8 jam perhari), seorang ibu juga diberi hak untuk cuti hamil hingga 1-2 tahun sampai anaknya mendapatkan hak azasinya (kasih sayang dan ASI). Dan hebatnya, hal ini tidak berakibat pada diskriminasi karir pada wanita. Setelah itu dia bisa kerja kembali, sembari sang anak dititipkan di Childcare yang menurut saya masih lebih baik daripada harus menyewa baby sitter.

    Bisa gak ya peraturan seperti ini diperjuangkan di Indonesia? Depnaker dan Menteri Pemberdayaan Permepuan harusnya bisa. Tolong dong Bu, diperjuangkan. Minimal lewat kampanye di blog ibu. 🙂

    Rabbani,
    Saya malah tidak sependapat, karena perempuan bisa memilih pekerjaan apa yang cocok dengan kompetensinya, beserta risiko apa yang mungkin terjadi. Perempuan dalam memlilih karir, juga harus mendiskusikan dengan suami, karena diperlukan kerjasama suami isteri.

    Bagi saya, perkawinan yang berhasil adalah jika masing-masing anggota keluarga dalam rumah tangga tersebut bahagia, baik ibu, bapak maupun anak-anaknya. Kalau ibu dan bapak sama-sama berkarir, perkawinan berhasil jika karir keduanya bagus, serta anak-anaknya tak terbengkalai. Susah kan? Tapi kalau perempuan ingin disamakan, perempuan tak boleh meminta hak untuk diistimewakan, dan kenyataannya perempuan masih boleh kok ambil cuti melahirkan sampai maksimum 3 bulan. Cuti 2 tahun? Lha mendingan pekerjaannya digantikan dengan orang lain, yang butuh pekerjaan…dan perusahaan juga perlu berkembang, dan tak bisa ditinggalkan begitu saja.

  4. Kalau saya bingung Karir / Bisnis… 🙂 rasanya ngga mantap kalau masih menapak 2 kaki, tapi masih perlu mempertimbangkan risknya juga…

    Andy,
    Kalau menengok kebelakang, saya sendiri heran, kenapa saya dulu begitu kuat, hanya tidur 3-4 jam sehari saat anak-anak kecil. Saya percaya, motivasi, keinginan membahagiakan keluarga yang membuat semuanya menjadi mungkin.

  5. hmm makasih sudah membagi pengalaman di blog ini…kadang sy tidak bisa memahami mengapa seorang perempuan harus bekerja di luar rumah…alasannya sy memang tidak punya pengalaman soal ini, jadi tidak tau harus bersikap bila dikemudian hari istri sy ternyata berbeda dgn perempuan2 di sekeliling sy, yg semuanya ibu rumah tangga 🙂

    Uwiuw,
    Nanti akan memahami sendiri kok….melalui sebuah proses, mana yang paling memungkinkan untuk membuat keluarga bahagia.

  6. Kalau karakter istri memang yang tidak bisa fully sebagai ibu rumah tangga, memang sebaiknya bekerja. Karena ada loh karakter perempuan yang kalo kegiatannya cenderung monoton, maka dia akan punya kelebihan energi atau pikiran, nah kelebihan itu kadang dipakai untuk mikir yang “enggak-enggak” tentang kegiatan suaminya, apalagi kalo diprovokasi :-p

    Andri,
    Memang ada banyak tipe orang, ada yang tak bisa berhenti bergerak (mungkin mirip saya), ada yang lebih senang ketenangan, dan lain-lain. Jadi suami juga mesti mempertimbangkan, isteri macam apa yang dinikahinya…karena kalau pada dasarnya isteri senang kesibukan, dan tak ngapa-ngapain….memang bisa jadi ceritamu tadi.

    Saat menjelang pensiun, saya juga kawatir, apalagi sebelumnya pekerjaan saya “sangat sibuk”…ternyata kekawatiran saya tak terbukti, karena saya bisa mengisi waktu dengan merawat tanaman, membaca, menulis, dan sesekali mengajar atau membimbing membuat makalah serta penguji.

  7. btw tentang monoton….yg kayak gimana tuh? kali aja kan bisa teliti sebelum membeli eh salah sebelum nikah maksdnya:D….

    nice post,
    slm knl*,*

    Hafidzi,
    Lihat jawabanku pada Andri.

  8. jadi ingat jaman SMP.. Bertengkar ama guru BK gara-gara tersinggung karena menurut guru BK, “anak-anak kurang kasih sayang, yang orang tuanya selalu kerja, membuat anak-anak mencari perhatian ke narkoba” sementara menurutku (karena lihat teman-temanku), “anak-anak yang bosan melihat wajah ibunya yang cerewet di rumah lah, yang mencari perhatian ke narkoba”

    hihihihi.

    Tetapi sebenarnya memang yang penting itu ‘kualitas waktu bersama orang tua’, bukan ‘kuantitas waktu bersama orang tua’.

    Kunderemp
    ,
    Makasih ya nak, justru karena dukunganmu dan adikmu, maka ibu bisa seperti ini. Dan saat ibu mau MPP, kalian pula lah yang memberikan kesibukan baru pada ibu, mengajari menulis blog dan hal-hal lain, sehingga ibu bisa mengisi waktu untuk hal-hal yang bermanfaat.
    Ibu berterimakasih pada Allah swt yang memberikan anak-anak manis pada ibu.

  9. Setiap pilihan, tentu ada konsekuensinya. Keluarga yang bijak, tentunya telah memperhitungkan segala kelebihan dan kekurangannya, dan tidaklah pada tempatnya menyesali keputusan, atau membanding-bandingkan dengan keluarga lainnya, kecuali kalau memang bukan termasuk dalam golongan keluarga bijak
    Alhamdulillah, istriku memilih untuk berkarir sebagai ibu rumah tangga dan menjadi pendidik utama bagi buah hati kami. Walaupun sebenarnya aku memberikan kesempatan seluas-luasnya baik untuk bekerja maupun melanjutkan studi.

    Bodronoyo,
    Banyak hal yang harus dipertimbangkan, dan semuanya sangat pribadi, artinya setiap pilihan antara keluarga yang satu tak bisa dibandingkan dengan yang lain.

  10. Iya,Bu, jd ibu rumah tangga skaligus berkarir mmg butuh kekuatan berlipat. Salut u para ibu yg berkarir di dlm dan luar rumah.

    Kmrn wkt hamil muda smbil mengajar 2-5 jam/hr yg notabene manage bdn sendiri aja dah mabok. Besok kalo sudah ada anak,hrs lbh pandai mgatur wkt dll.

    Dilla,
    Iya, mengajar tuh kayaknya enak, tapi sebelumnya persipan butuh waktu dan mesti meng up date ilmu.
    Inipun saya udah diuber-uber untuk segera menyerahkan hasil penilaian…..duhh, masih keenakan ngeblog

  11. Menurut saya memang karir bagi wanita sekaligus ibu rumah tangga merupakan hal yang wajar di zaman ini. Hanya saja memang harus memikirkan bagaimana menyeimbangkannya. Yang paling penting adalah pada saat anak2 masih kecil di mana mereka tentu butuh perhatian orang tuanya. Biasanya pada saat2 tersebut orang tua (terutama sang ibu) bisa saja mengambil kerja sambilan atau kerja yang tidak membutuhkan konsentrasi atau tenaga yang intens pada pekerjaannya. Bagaimanapun juga perkembangan jiwa dan raga si anak tetap merupakan hal yang utama, mengenai teknisnya dan prakteknya bisa diatur antara sang suami dengan sang istri.

    Kang Yari NK,
    Justru sulitnya kadang kita tak bisa memilih. Andaikan bisa memilih, betapa bahagianya. Berkarir di perbankan, mengalami masa pendidikan 2 tahun, yang selama pendidikan tak boleh menikah. Dan syarat untuk ikut test adalah belum menikah.

    Jalan satu-satunya adalah memitigasi risiko, dan mengatur rumah tangga sebagaimana manajemen kantor…dan rumah saya penuh catatan…dari jadual anak makan, bermain, kursus, sampai kalau ada gejala sakit. Juga mengendalikan dengan membuat kerjasama dengan dokter puskesmas (dilingkungan kompleks), dokter gigi, dokter anak….jadi setiap saat saya bisa menghubungi dokter dimanapun berada. Juga hubungan dengan guru-guru sekolah anak, guru piano dll. Dan barisan belakang harus kuat…dan kebetulan mbak yang ikut saya awet. sejak anak saya masih kecil sampai menikah….

  12. jeng Ayu

    Saya sudah bekerja sebelum menikah, bahkan saya termasuk orang yang idealis mencapai cita-cita, bagi saya (dulu) hidup itu ada target-target yang harus dicapai, plus keluarga adalah no satu (orang tua dan saudara). Saya bekerja juga untuk membahagiakan mereka.

    Tetapi berdasarkan pengalaman, hidup tidak bisa kita kotak-kotakkan, kita harus lebih fleksibel.

    Setelah selesai S1 saya dapat tawaran beasiswa ke luar negeri, tetapi karena jodoh sudah datang, saya lebih memilih menikah. (berat juga sie pertentangan hati, karena pandangan saya saat itu s2 ke luar negeri adalah tombak kesuksesan, tapi berkat banyak pertimbangan dan doa saya bisa menentukan pilihan ini yang menurut saya terbaik)

    Setelah menikah saya tetap bekerja sebagai guru di sebuah sekolah internasional, kerja full time senin-jumat berangkat jam 7 pulang jam 5 sore, kadang ditambah les-les privat. plus coba merintis bisnis sendiri, wwuah cape sekali, kadang jatah waktu dan perhatian ke suami jadi berkurang.

    Sampai saya memiliki anak, pandangan hidup mulai berubah, saya memutuskan kerja setengah hari sampai jam 12, karena saya ingin lebih banyak waktu buat suami dan anak. Awalnya agak sulit beradaptasi ke keluarga, ke suami, terlebih ke tempat kerja. tapi saya tetap coba. kuncinya KEBERANIAN dan KOMUNIKASI.
    plus suami juga tipe orang yang mementingkan pendidikan anak, kami sepakat pagi dia yang jaga dan siang saya sebagai ibu yang jaga. jadi kami berdua sama-sama menyesuaikan jadwal.

    hikmah yang diambil, hidup kita bukan milik kita sendiri, fleksibelitas dan pengertian amat penting.

    Jeng Ayu,
    Hidup ini memang banyak pilihan, apapun pilihannya ada unsur risiko. Yang penting kedua belah pihak (suami isteri) bebas dalam memilih, sehingga semuanya berjalan lancar, karena nilai keberhasilan dan kebahagiaan keluarga yang satu dengan yang lain, tak bisa disamakan.

  13. Bu Ed ini sepertinya super mom ya! Salut Bu. Banyak ilmu yang saya dapatkan dari pengalaman ibu. Do’akan saya yang hanya bekerja di rumah ini bisa lebih optimal lagi dalam mendidik dan mengasuh anak serta mengurus rumahtangga. Bisa menciptakan kebahagiaan bagi seluruh penghuni rumah.

    Ratna,
    Nggak juga, saya sering stres, patah semangat, tapi kembali berdoa pada Allah swt. Apapun ini adalah risiko yang saya pilih dan kalau mau dihitung, sebetulnya lebih banyak yang menyenangkan dibanding kesulitannya. Sekarangpun saya masih bekerja, tapi tidak full time seperti dulu, dan banyak dikerjakan di rumah…..dan ternyata, kerja di rumah disiplinnya bahkan harus lebih tinggi.

    Pilihan menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya juga tak masalah kok, yang penting pilihan tsb harus dilakukan dengan rela…dan kerjaan di rumah kan tak pernah ada habisnya dan hasilnya tak kelihatan.

  14. Bu tolong berbagi pengalaman tentang bagaimana mendidik anak yang baik itu? seimbang antara intelektualitas & akhlak, berjiwa enterpreneur namun juga memiliki empati tinggi akan keadaan di sekitarnya
    saya sering tidak tahu bagaimana harus mendidik anak, suruh belajar terus biar berhasil sekolahnya sepertinya tidak adil baginya
    saya ingin mengembangkan potensi dirinya bukan malah mematikan pribadinya
    hehehe curhat nih Bu

    Tomy,
    Saya sendiri juga bukan ahli pendidikan, tapi saya belajar prosesnya, dan setiap kali bingung ke psikolog, merekalah yang tahu dan banyak pengalaman dari cerita kliennya. Memang yang penting dikembangkan potensi diri anak-anak, sehingga nantinya pendidikan yang dipilih adalah yang sesuai dengan bakat dan minatnya, sehingga hasilnya lebih baik. Syukurlah mas Tomy telah menyadari sejak awal, semoga berhasil.

  15. liswari

    Nanti aku kayaknya bukan cuma karir + ibu rumah tangga nih tapi pembantu juga kali, mana bisa punya pembantu di sini.. atau suaminya aja deh yg disuruh merangkap jadi pembantu hihihihi jadi istri sbg wanita karir dan ibu rumah tangga nah suami sebagai kepala keluarga dan pembantu… :-p *setuju ya pek ^_^

    Lis,
    Ingat bu Lily kan, yang ketemu saat reuni. Dia kan juga mengalami seperti Lis, tapi biasanya orang-orang seperti itu, punya anaknya sedikit…bukankah saya juga cuma berani dua orang sudah cukup? Gara-gara saat anak-anak kecil mencari pemomong yang sesuai sulit sekali, baru setelah mereka SD bertahan sampai sekarang.

  16. Puspa

    Terima kasih sharingnya bu… berharga sekali untuk pelajaran bagi saya.
    Menurut saya pilihan menjadi Wanita Karier atau FTM (Full Time Mother) sama2 punya tantangan sendiri2. FTM juga gak gampang loh, stress dan jenuh yg biasanya paling menyiksa. Dan yang jelas jadi Kuper, seperti saya :D.
    Kalau dulu dikantor kita selalu up date kabar terbaru, dari gossip seputar kantor sampai apa yg lagi ngetrend di negeri ini, ditambah tiap hari mantengin komputer. Tapi setelah berhenti kerja, dunia jadi sepi, jenuh karena yang dihadapi itu2 aja, seputar rumah.
    Apalagi kalo lagi berselisih dengan suami. Klo dikantor paling tidak bisa 8 jam lupa dengan masalah dirumah, tapi yang gak kerja, seharian bakalan bete abis. Dan bahayanya kita bisa uring-uringan dan ngomel gak jelas, dan korbannya tentu saja para anak2 yg tak berdosa.
    Itu kenapa banyak anak yg ibu dirumah tapi bisa kena Narkoba seperti Kunderep bilang ya..
    Dulu dikantor, waktu makan siang, cuman modal pasang telinga, kita gampang sekali dapat info2, dapat nasehat, atau mengambil pelajaran ttg apapun termasuk mendidik anak, sekarang saya yang harus aktif, cari info sendiri melalui internet, termasuk baca2 blog yg informatif seperti blog ibu ini.
    Gak gampang ya jadi wanita…
    Bravo para Kartini !!! jangan surut menghadapi tantangan…

    Puspa,
    Baik seorang perempuan bekerja di luar rumah, maupun bekerja di rumah, semua ada tantangannya. Karena semakin besarnya anak, dia mempunyai hak untuk diberi kemandirian, dan tak mungkin dibuntuti terus menerus. Jadi semua sulitnya sama…dan yang lebih sulit, kalau bekerja di rumah (pekerjaan di rumah tak ada habis-habis nya), hasil kerja tak kelihatan, se olah=olah tak menghasilkan uang….karena hasil pendidikan anak tak bisa dinilai dari uang. Justru karena itu, dibutuhkan pemahaman dan pengertian dari suami, dan keluarga yang lain…bahwa seorang ibu, walaupun hanya di rumah juga memerlukan sosialisasi, butuh meningkatkan kemampuan…..apalagi kalau anak-anak besar, dan tak membutuhkan perhatian yang penuh. Ibu yang bahagia akan membawa lingkungan rumah yang bahagia bagi penghuninya.

  17. Ping-balik: kodrat wanita « Spesial Belut Surabaya

  18. Saya selalu bekerja sejak kuliah, setelah lulus karir cukup melesat. Menikah dgn orang perancis sempat menganggur 1 tahun krn halangan bahasa, lalu bekerja dari bawah lagi: jadi cleanning service, tukang bangunan (pasang wallpaper, ngecat, pasang tegel, pasang dinding penyekat), secretaris, asisten direktur kontraktor. Kembali ke Indonesia: punya galeri antik sekaligus exportir meubel di samping itu punya toko grosir/detail. Karena ex-suami bermasalah terus, saya tinggalkan semuanya dan kembali ke Perancis tapi tetap bergerak di bidang export meubel. Sayang sekali anak I tidak bisa diajak kompromi dan saya putuskan utk meninggalkan perkerjaan dan tinggal di rumah utk mengurus anak. Kebetulan sekali hidup di Perancis memungkinkan seorang ibu berhak tidak bekerja untuk membesarkan anak.
    Pertama kali terasa berat, lama-lama enjoy juga. Bapak saya sering menyesali akan hal ini, tapi saya tidak. Sekolah tinggi-tinggi itu perlu juga utk ibu RT, karena anak-anak sekarang sangat sensitif dan kritis penuh dengan pertanyaan dan keingintahuannya sangat tinggi.

    Juliach,
    Saya malah membayangkan betapa enaknya kalau pintar menulis seperti Nh Dini, dia cerita bagaimana mengatur keluarganya….dan diantara kesibukan mengurus rumah tangga tetap bisa menulis.
    Sayangnya tak semua perempuan mempunyai kemampuan untuk bisa tetap di rumah, mendidik anak-anaknya, tetapi juga mempunyai penghasilan. Saya termasuk perempuan yang seperti ini, mau tak mau harus meninggalkan anak setiap hari untuk bekerja…awalnya memang berat, terutama setelah kelahiran anak pertama. Tapi saya harus menguatkan diri, dan tetap berusaha agar roda rumah tangga bisa berjalan mulus tanpa mengeluh. Memang berat sekali, dan kalau saya kembali memikirkan hal-hal yang telah berlalu, bingung juga kok saya bisa sekuat itu…mungkin karena dorongan untuk tetap memberi perhatian pada anak lah yang membuatku kuat…dan memang buahnya manis.

    Betul juga kalimatmu, jika ibu berpendidikan akan memudahkan menjawab pertanyaan anak yang makin lama makin kritis. Tapi kadang saya juga berpikir, bahwa anak kita adalah anak yang memahami ibunya, kenyataannya saya banyak tak bisa menjawab pertanyaan mereka, dan untuk ini saya berterus terang pada mereka…..dan ternyata malah mereka yang ganti menjelaskan pada ibunya.
    (https://edratna.wordpress.com/2008/01/18/bila-orangtua-tak-bisa-menjawab-pertanyaan-anak)

  19. Saya termasuk anak yang dibesarkan oleh seorang ibu yang bekerja dikantor. Banyak sisipositif yang bisa saya ambil darinya adalah kemandirian, beruntung kala itu ayah melanjutkan sekolah lagi di UI-rawamangun, sehingga takkala ibu berangkat ke kantor, ayah yang menemani saya dirumah. JIka ayah kuliah saya ikut menemaninya kuliah. Baru ketika saya agak besar dna ibu sudah mulai senior di kantor, waktu ibu untuk saya banyak, bahkan ketika masa2 pensiun justru sering berkomunikasi dengannya.
    Tak ada yang salah jika wanita berkarir diluar rumah asal sang suami mengijinkan, apalagi untuk mensuporrt suami dan keluarga. Namun jangan sampai karir menyebabkan RT menjadi kurang terurus karena banyaknya pekerjaan kantor yang terbawa ke rumah.

    Resi Bismo,
    Saya senang mendengar komentarmu, dan saya membayangkan Ario anak yang menyayangi dan menghormati ayah ibunya….karena komentar seperti ini yang saya perlukan dan semoga dibaca teman-teman lain. Jika yang komentar anak saya, hal ini menjadi biasa.
    Kuncinya ibu yang bekerja di luar rumah, adalah pilihan sendiri dan di dukung oleh suami dan anak-anaknya. Saya setuju, rata-rata anak temanku yang ayah ibunya bekerja lebih mandiri, karena telah dibekali plan A,B, C jika terjadi keadaan darurat…sehingga saat mereka besar mereka dapat memutuskan apa yang terbaik bagi mereka. Sayapun produk ayah ibu yang bekerja (keduanya guru), dan rasanya nyaman aja….karena walau beliau sibuk, anak-anaknya tahu kemana harus dihubungi jika kondisi darurat.

  20. valentiana

    Salut dengan blog ibu yang penuh inspirasi. bakalan jadi blog favorit saya nih. saya masih ingin mempertahankan karir karena ingin nabung biar punya passive income saat berhenti bekerja nanti. namun 25 feb 2008 lalu, saya sempat keguguran anak pertama pada usia 7 bulan dan haris dioperasi caesar. jadi saat ini masih ga fokus antara pingin punya anak dan punya passive income. apa pendapat ibu mengenai bisnis mlm yang marak di indonesia? karena saat ini saya sedang mempertimbangkan ikut bisnis mlm biar bisa punya passive income biar nantinya bisa pensiun dan mengurus anak2ku kelak dengan baik. mohon doanya ya bu… matur nuwun sanget……

    Valentiana,
    Mohon maaf, saya tak bisa membahas bisnis MLM, karena saya tak memahami dan memang tak tertarik bergerak di bidang ini. Pekerjaan saya berhubungan dengan hal riil, risikonya memang up and down, tapi justru disini nikmatnya.

  21. Heru S.

    Alahamdulillah …. istri saya sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT), dan dia memang belum S1, karena waktu selepas SLTA ketika ditanya orang tua nya tentang kuliah, dia pilih bekerja. Pada waktu itu (setelah selesai sejenis kursus) sampai dengan usia pernikahan beberapa bulan, dia bekerja di salah satu Perusahaan swasta dibidang kontraktor listrik, yang mana kesibukan kesehariannya adalah mengurusi tender, tagihan dll. pokoknya serabutan. Namun karena tempat tinggal kami (setelah menikah) agak jauh yaitu di Kab. Bogor sedangkan kantornya adalah dikawasan Cempaka Putih, saya sebagai suami menyarankan agar sebaiknya berhenti saja bekerja (diluar rumah).

    Memang, kalau kita pikir menurut akal manusia (matematika dunia) tidak akan nyambung, bayangkan penghasilan saya (pegawai swasta dan tidak memegang jabatan khusus) yang hanya pas-pasan tidak cukup untuk menopang biaya hidup sehari-hari, namun sebagai umat muslim kami yakin bahwa Allah SWT. Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemberi dan Maha Mengetahui akan hamba-Nya, Alhamdulillah sampai sekarang saya enjoy saja, meskipun saya punya pinjaman di Koperasi Kantor untuk biaya sekolah anak (prinsip saya sebagai anggota koperasi, harus aktif meminjam) soalnya kalau aktif meminjam, nanti pada saat pembagian SHU, akan memperoleh SHU yang lumayan.

    Dalam surat Al-Ahzab (33) : 33 Allah berfirman :
    “Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”

    Kami juga mengajak para pembaca, agar anak-anak kita setidak-tidaknya 1 minggu sekali diwajibkan menuntut ilmu (islam/nagji) untuk membentengi supaya mereka terhindar dari hal-hal yang tidak kita inginkan (narkoba, hal-2 negatif yang lainnya).

    Para orang tua juga harus ngaji, karena menurut Islam, menunut ilmu adalah wajib hukumnya, tidak ada kata istilah terlambat, sampai nyawa ditenggorokan. Memang untuk yang satu ini (ngaji) sangat berat untuk kita laksanakan, karena rutinintas kita adalah berangkat pagi pulang sore, yang paling nikmat adalah pulang kantor biasanya nonton TV, baca koran, minum kopi/teh, sambil nikmati makanan kecil dan ngantuk lalu tidur, bangun pagi-2 lalu berangkat, teruuussss … setiap hari. Kalau sudah begini, biasanya syetan berperan sangat agresif dan syetan berjanji selalu akan menggoda manusia sampai kiamat, sekarang tinggal pandai-pandai kita, ingin ikut langkah-2 syetan (agar masuk neraka) atau ingin selamat dunia akhirat.

    Alhamdulillah …… sampai saat ini saya masih ngaji 3 kali dalam satu minggu.

    Maaf …. saya bukan menggurui … hanya mengingatkan.
    Kebenaran milik Allah SWT, kesalahan adalah keawaman saya, saya mohon maaf.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s