Tulisan ini untuk menjawab komentar Ade, yang kelihatannya telah mulai memikirkan kemungkinan menikah dalam waktu dekat, dan semoga tulisan ini dapat menggambarkan kemungkinan-kemungkinan apa yang terjadi, apa yang harus dipersiapkan dan sebagainya. Pernikahan ternyata tak hanya ditentukan oleh kedua calon pengantin, namun juga oleh kedua keluarga, dari pihak pengantin perempuan dan pihak pengantin pria. Bagi keluarga yang masih menjunjung tinggi nilai adat dan tradisional, kadang hal ini bisa menjadi hambatan, jika tidak diantisipasi sejak dini. Pernikahan bagi keluarga di Indonesia, bukanlah hanya keputusan antara kedua pasangan, namun juga persatuan antara dua keluarga besar. Yang lebih sulit, jika pasangan berasal dari keluarga besar, dimana para anggota keluarga juga mempunyai pandangan yang berbeda dalam melihat suatu pernikahan.
Apa yang menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian ini?
1. Perbedaan dalam melakukan acara lamaran
Apabila sepasang kekasih telah merasa siap dan memutuskan untuk menikah, maka masing-masing akan memberitahukan pada keluarganya. Maka masing-masing keluarga akan mulai mempersiapkan segala sesuatu nya, didahului oleh sebuah lamaran. Akankah semudah itu? Ternyata ada beberapa hal, yang bisa mengganggu acara ini, yang akhirnya tak terjadi lamaran.
Sebagai contoh:
a. Pada saat pacaran, A dan B, tidak pernah berpikir akan menemui kesulitan seperti ini. Saat memutuskan akan menikah, ternyata saat keluarga B datang melamar (B pihak laki-laki), keluarga A meminta sejumlah besar uang, sebagai ganti membesarkan A sejak kecil sampai dewasa, ditambah B ikut menanggung biaya pernikahan. Kasus ini saya baca di majalah (saya lupa majalahnya). Sarannya adalah agar A maupun B dapat menjelaskan pada masing-masing orangtua, karena kalau tidak ada yang mengalah, maka pernikahan terancam batal.
b. Saya baru saja membaca keluhan yang dilakukan oleh seorang calon pengantin pada rubrik keluarga, yang diasuh oleh seorang psikolog pada majalah Nova. Kedua calon pengantin sama-sama dari daerah Minang. Kebetulan keluarga calon pengantin wanita memegang adat, bahwa yang melamar pihak laki-laki. Namun pihak keluarga laki-laki adatnya adalah dilamar pihak calon pengantin perempuan. Saran psikolog adalah, bagaimana kedua calon pengantin menjelaskan kepada keluarga masing-masing, agar masalah pernikahan, yang sebetulnya telah disetujui oleh kedua belah pihak, terancam batal hanya gara-gara masalah perbedaan ini.
2. Perbedaan dalam menentukan acara (adat yang digunakan)
Apabila kedua calon pengantin berasal dari suku yang menggunakan adat berbeda, maka perbedaan pandangan juga dapat menimbulkan ketidak sesuaian dalam cara menyikapi acara pernikahan. Ini pernah terjadi pada teman saya, yang orangtuanya berasal dari Sunda, sedang calonnya dari Jawa. Kedua orangtua sejak awal telah menyetujui rencana pernikahan sejak awal, karena memang mereka telah kenal baik, namun pihak keluarga lain (uwak dsb nya) agak keberatan. Setelah melewati perdebatan lama, dan menguras energi akhirnya disepakati, acara akad nikah menggunakan adat Sunda, serta acara resepsi nya menggunakan adat Jawa.
Apakah timbulnya perbedaan pandangan hanya tejadi pada pernikahan antar suku? Ternyata tidak, walaupun berasal dari suku yang sama, ada yang menginginkan acara bernuansa agama (Islam), sedang yang lainnya menggunakan adat.
Jalan keluarnya adalah pada kemampuan komunikasi kedua calon pengantin, bagaimana agar perbedaan pandangan ini jangan sampai menimbulkan kerugian, yang dapat berakibat batal. Oleh karena itu, saat anak sulung saya menikah (anak saya laki-laki), saya dan suami menyerahkan sepenuhnya kepada pihak keluarga pengantin perempuan yang ingin menggunakan adat Jawa, karena menantu saya adalah satu-satunya anak perempuan di keluarga besan saya serta anak bungsu.
3. Siapa yang akan membiayai biaya resepsi pernikahan?
Sebetulnya, mempersiapkan pernikahan adalah tanggung jawab orangtua, untuk yang terakhir kalinya bagi anaknya. Setelah menikah, anak membangun keluarga sendiri, terpisah dari rumah orangtuanya. Namun perkembangan zaman, apalagi banyak orangtua yang keuangannya menipis, dan lebih memilih membiayai anaknya sampai selesai kuliah di Perguruan Tinggi, dibanding hanya menyimpan uang untuk biaya pernikahan. Oleh karena itu, siapa yang akan membiayai acara pernikahan saat ini lebih fleksibel.
Dulu, pernikahan dilangsungkan di keluarga pengantin putri, dan kalaupun keluarga pengantin laki-laki ingin menyelenggarakan resepsi, acaranya disebut ngunduh mantu. Dengan demikian tak ada keributan ataupun perbedaan yang menimbulkan persoalan karena telah jelas tanggung jawab masing-masing. Namun karena saat ini pada umumnya masing-masing calon pengantin telah bekerja, bisa menabung, serta kesibukan waktunya yang tak memungkinkan cuti lama, maka resepsi pernikahan dipersingkat, bahkan acara akad nikah dilanjutkan dengan resepsi pada gedung yang sama dan hari yang sama. Oleh karena itu, agar tak menimbulkan kesulitan di kemudian hari, masalah biaya ini hendaknya dibicarakan secara baik-baik, siapa yang akan menanggung, dan dari besarnya plafond biaya yang telah disepakati tadi, baru dipikirkan bentuk acaranya.
Dari paparan di atas, maka pasangan calon pengantin harus mempunyai kedewasaan dalam berpikir dan bersikap, karena sebelum mereka mengepakkan sayap dan membentuk keluarga baru, banyak hal-hal yang memerlukan tenaga dan pemikiran, agar berjalan sesuai yang dikehendaki. Dan kalau terjadi perbedaan yang ber larut-larut, hanya kedewasaan calon pengantin yang dapat mengatasinya, dan meyakinkan kedua orangtua masing-masing untuk lebih memikirkan masa depan anak-anaknya.
kalo dipaksakan keinginan 2 belah pihak rasanya bakal banyak konflik dalam mempersiapkan pernikahan, kompromi dan saling mengalah adalah jalan yang harus ditempuh. kalo ga ada yang mau ngalah ya udah kawin lari aja sana 😀
Iway,
Ternyata ada yang akhirnya batal…dan itu temanku sendiri (padahal udah pacaran 5 tahun)….kasihan deh, syukurlah akhirnya menemukan calon yang cocok, walau sempat down juga.
Jadi pesanku pada anak-anak, sejak awal harus dinilai apakah si Dia termasuk orang yang pantang menyerah, dan mau berjuang untuk meraih kebahagiaannya?
Karena melibatkan beberapa pihak, yang notabene memiliki sistem nilai yang berbeda satu sama lain, pernikahan sebagian orang kadang terlihat “complicated”.
Saya dan suami merasa termasuk pasangan yang beruntung. Meski berbeda budaya, saya jawa dan suami batak, tapi orang tua kami tergolong orang tua moderat yang tidak “belibet” soal adat. Bukan hanya terkait dengan cara pandang mengenai pernikahan saja, tetapi juga cara pandang menyoal nilai-nilai kehidupan yang lainnya.
Pada kondisi ‘complicated”, kata Mas Iway menurut saya bener, diperlukan kompromi dan sikap saling mengalah antara pihak-pihak terkait.
O iya, membaca tulisan-tulisan bu enny, saya sangat yakin, kalo bu enny dan suami termasuk orang tua modern yang sangat patut diteladani.
Saya kagum.
Kris,
Hehehe..bukan orang modern…tapi nggak peduli hal-hal yang ribet, karena males mikirnya dan tak ada waktu. Dengan kata lain…memang nggak bakat seni atau mengurus hal-hal seperta pesti dan pernak pernik lainnya. Makanya saya tak pernah diminta jadi panitia pengantenan, pernah sekali saat bos langsung yang mantu, dan hanya jadi penerima tamu, rapatnya seminggu sekali sampai 3 bulan berturut-turut…duhh bosennya, dan merasa ga produktif. Sampai saya dipanggil bos…”En, aku tahu kalau kamu ga suka, tapi kalau kamu ga ikutan panitia, bagaimana kata orang?” …hahaha…
Tapi disatu sisi banyak pelajaran yang dipetik, terutama kemarin saat anakku grubak grubuk minta menikah hanya dalam waktu 2 minggu, sekaligus karena pacarnya pulang (cuti) dari Amrik. Tapi karena anakku laki-laki, tetap aja sebetulnya saya nggak ngapa-ngapain….dan supaya ga repot, semalam sebelumnya semua udah digotong untuk tidur di wisma yang satu kompleks dengan tempat pesta.
Saya dulu malah mau melamar sendiri, Bu. Namun, karena saya tidak mau ngilang-ilangke orang tua, maka kedua orang tua saya minta datang dari Sleman ke Tangerang untuk melamar. Hanya kedua orang tua saja. Kebetulan karena kami adalah “orang kebanyakan” kedua keluarga tidak mempersulit.
Saya sendiri menolak ketika orang tua akan mengadakan acara beradat Jawa di Sleman. Bagi saya, pernikahan yang saya jalani sudah sah secara agama sehingga saya merasa tidak perlu neko-neko bikin resepsi yang hanya akan menghamburkan biaya. Saya menilai bahwa saya menikah untuk hidup bertahun-tahun kemudian, bukan untul hidup sehari pada saat resepsi pernikahan. Saya berkata pada ibu saya bahwa saya tidak akan hidup dengan “wah” dari para tetangga. Saya akan hidup dengan segala yang saya sendiri miliki. Memang, selepas SMP ibaratnya kedua orang tua sudah melepas saya. Permintaan untuk masuk AKABRI atau STPDN lulus SMA dulu tidak saya turuti karena saya ingin berbakti kepada orang tua dengan cara saya, bukan cara yang orang tua kehendaki.
Saya sih akan pilih calon istri yang lain kalau keluarganya rewel dan ribet. Mungkin saya akan datangi calon mertua dan berkata: Bapak ibu akan merestui kami dalam pernikahan yang suci dan sah atau akan membiarkan kami hidup berzina. Hahaha…
Kang Kombor,
Saya dulu juga menikah secara sederhana, karena didepan jenazah ayah…..ayah meninggal sebulan sebelum saya berencana menikah. Akibatnya saya males pesta, lha gimana, ayah udah nggak ada, buat apa?
Kalau kemarin, memang keluarga pengantin putri yang minta adat Jawa, karena putri satu-satunya dan anak bungsu. Dan saya juga tak keberatan, asal saya tak harus membantu, maklum saya dari keluarga kecil, adik keduaku dosen di Undip, dan adik bungsuku suami isteri kerja, malah isteri adik bungsuku sedang kuliah S3 di Malang. Dan keluarga besan tak masalah..memang enaknya ada kenangan berupa foto, dan jadi bahan perhatian bule, bahkan mereka minta dibelikan baju kayak yang dipake pengantin putri…hehehe…akhirnya selesai acara, malah manten putrinya sibuk cari oleh-oleh titipan teman-temannya di tanah Abang…hehehe
Entahlah si bungsu nanti, mau seperti apa….tapi kalau berjodoh dengan cowoknya sekarang, kayaknya mau sederhana, dan uangnya buat beli laptop dan jalan-jalan keliling Indonesia…ide yang menarik.
pengalaman dari bu enny banget ya..
gimana kalau resepsinya ‘menyatukan’ dua budaya bu? tampaknya lebih unik tapi emang ribet :D.
biaya nikah berharap orang tua yang mencukupi, jadi uang kita nya bisa dipakai beli rumah atau mobil hehehe.
Trian,
Tentu harus didiskusikan dengan calon isterimu, karena kalian berdua lah yang menentukan mau seperti apa. Yang penting adalah berapa uang yang bisa disediakan (entah dari mana, saranku jangan berhutang), sehingga diketahui plafondnya berapa, dan mau dipake sebagai apa…bisa saja pesta sederhana, supaya uangnya bisa untuk uang muka rumah, dan atau beli mobil.
first..
T_T saya menjadi terharu atas perhatian Ibu..
“waktu dekat” saya ini juga paling 1-2 tahun lagi kok Bu. Tapi ya itu, saya mulai memikirkan dari sekarang agar nanti tidak terkesan mendadak-dadak.
Pembicaraan ke arah situ juga sudah dibicarakan dengan pasangan, namun ya pelan-pelan, step by step agar kami benar-benar saling memahami.
Memang, saya dan dia berasal dari suku yang berbeda (saya jawa, dia sunda), namun saya melihat bahwa keluarga kami berdua cukup ‘moderat’ dan tut wuri handayani. Saya kenal baik keluarga dia dan dia kenal baik keluarga saya, walau memang untuk saat ini, kedua keluarga belum bertemu. Mungkin nanti pas wisudaan saja.. (duhh.. jadi teringat TA.. hiks..)
Dalam penentuan acara adat, nantinya menurut adat dia dulu pada hari H-nya, baru kemudian dilakukan lagi semacam ‘pengumuman’ di daerah saya (ngunduh mantu, seperti yang Ibu sebutkan). Terpikir pula bagi saya untuk menggabungkan saja suasana kedua budaya, karena yang terpenting kan akad nikahnya. Tentang resepsinya bisa dibuat bermacam-macam.
Jadi tentang latar belakang budaya, secara garis besar, tidak ada masalah.
Tentang keuangan, kami sudah mulai menabung Bu ^_^
Ya, walau sekarang mungkin baru cukup untuk cetak undangan dan souvenir2, namun ini senantiasa kami tambah.. hehehe..
Walaupun, tidak kami pungkiri, nantinya peran kedua orangtua juga diharapkan.. ^_^
Ada hal-hal yang menurut saya nantinya menjadi pemikiran, yakni tentang hitung-hitungan “hari baik”..
Mungkin Ibu bisa share tentang “hitung-hitungan hari” ini. Biasanya kan ada yang hitung nama, hari lahir, arah datang, dan sebagainya.. (mbulet *_*)
Biasanya orang tua (bapak-ibu) fine-fine saja, tapi kalau menghadapi mbah-mbah/kakek-nenek (yang masih memegang teguh ajaran lokal setempat yang adiluhung bawalaksana).. nah.. ini kadang memerlukan lobi-lobi khusus..
Kalau menurut saya, semua hari adalah baik ^_^ hehehehe.. tampak pengen cepet-cepetnya ya Bu?
Ade,
Sayang sekali saya termasuk orang yang percaya semua hari baik, jadi pindah rumah, menikah, jam akad nikah tak pernah menjadi pemikiran berat.
Ping-balik: DeBayBlog: Ade Bayu Blog » Pemahaman karakter pasangan dan sekitarnya
Pengalaman keluarga saya, ketika kakak perempuan akan menikah dengan laki2 idamannya banyak sekali masalah dan itu hampir berlangsung 1 tahun, karen a perbedaan cara pandang adat dan kebiasaan walaupan kita sama2 muslim. Semenjak saat itu emak kapok dan mengultimatum saya agar hanya mencari gadis yang kamu suka dengan syarat satu suku dan agama. Makannya nih sorry rada pilih2 🙂
Resi Bismo,
Saya memposting tulisan tsb karena saya melihat bahwa mempertemukan dua keluarga besar sangatlah tidak mudah. Bagi orangtua, mereka menginginkan anaknya mendapatkan orang yang tepat, sehingga orangtua akan lega jika mendapatkan pasangan yang cocok, termasuk latar belakang keluarga calon besan. Ibumu syaratnya masih dua ya…saya malah cuma satu, saat pesan ke anak laki-laki saya…syaratnya adalah calonnya perempuan beneran……memangnya ada yang nggak beneran? Ario tahu yang saya maksud.
Memang sebaiknya agama harus sama, karena berbeda agama penyelesaiannya sangat sulit. Kalau berbeda suku, sepanjang kedua keluarga memahami akan lebih mudah, dan kuncinya pada kedua pasangan yang akan menikah….
saya tidak pernah menyangka akan menghadapi permasalahan tentang perbedaan adat/ tradisi antara keluarga saya dengan calon suami saya. ayah saya Jawa, ibu saya sunda. saya??? sunda? ya sunda.. calon saya dari Jawa.
masalah mas kawin.kata Jawa jangan besar-besar karena riya’. sedangkan kata sunda kalo kecil akan mempermalukan harkat dan martabat dari pihak perempuan maupun pihak laki-laki.
saya juga baru tahu, banyak orang jawa memandang perempuan sunda kurang baik, diantaranya cewek matre, cantik-cantik karena dandan terus ngabisin duit suaminya..
saya dan calon suami saya yakin bahwa saya perempuan sunda yang tidak sama dengan pandangan tsb.
saya ingin sekali membuktikan kepada mereka bhw saya benar2 mencintai calon saya. tapi saya tidak bisa berbuat banyak, karena hanya waktu yang bisa menjelaskan semuanya.
kalau sedang menjalani nya sekarang ini si rasanya tidak mudah, butuh ekstra kesabaran..
tetapi dengan membaca artikel ini, saya menjadi bersemangat untuk meyakinkan kedua belah pihak, sabar, dan pada akhirnya harus ada yang mengalah.
terimakasih…saya sangat tunggu komen nya dari semua.
Saya punya masalah yang rumit dalam hal ini. Saya berharap Mas dan Mbak yang ada di sini dapat membantu saya dengan memberikan pendapat yang dapat saya pertimbangkan. Saya baru lamaran, keluarga saya meminta diadakan pesta seperti layaknya pengantin lainnya. Namun pihak pria tidak mendukung diadakannya pesta. Mereka berniat untuk memberi DP rumah bakal tempat tinggal kami. Saya adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Ayah saya sudah meninggal sejak saya balita. Ibu saya yang membesarkan saya hingga saya mendapat gelar sarjana. Apa salah orangtua saya ingin menyelenggarakan pesta untuk anaknya walau hanya sesederhana mungkin? Pasangan saya sedikit banyaknya kurang mendukung saya dalam hal ini. Saya mohon beri pendapat untuk masalah saya.