Seminggu yang lalu, temanku dari luar kota sms, dia lagi mengantar putranya ikut lomba debat bahasa Inggris yang diadakan oleh ALSA di Fakultas Hukum UI. Lomba debat ini diikuti oleh pelajar SMA sampai dengan mahasiswa. Wahh menarik nih…..jadi saya dan anak sulungku berencana mengikuti acara pada hari Sabtu, untuk melihat dari dekat seperti apa lomba tersebut diadakan.
Peserta lomba dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari tiga orang. Mereka telah dibekali panduan secara umum, apa yang area yang akan ditanyakan, meliputi berbagai bidang, antara lain: Biologi, science, politik, kesehatan, masalah sosial dan ilmu-ilmu lain. Kelompok dibagi dua, ada kelompok yang menyajikan secara affirmative (kelompok yang mempresentasikan topik dari sisi positifnya, artinya setuju dengan pendapat yang dikemukakan dalam topik tersebut), dan kelompok satunya berperan sebagai penyanggah. Saya datang sudah siang, sehingga hanya sempat datang di auditorium Prof. Djoko Sutono SH, melihat kesimpulan diskusi yang telah berjalan, melihat berapa kali sebuah kelompok menang dan berapa kali kalah, serta marginnya berapa. Saya mendapat kesempatan untuk mengikuti debat tentang ”apakah kaum minority perlu diberikan quota”…kebetulan kelompok putra temanku mendapat giliran yang bersikap sebagai negatif. Topik ini baru diberikan 15 menit sebelum acara debat dimulai, masing-masing orang dalam kelompok harus memberikan presentasinya, dan setelah kedua kelompok selesai presentasi, masing-masing juru bicara menanggapai presentasi kelompok lawan. Dalam setiap presentasi diberikan kebebasan apakah bersedia menjawab pertanyaan kelompok lawan atau tidak.
Dari perdebatan ini saya melihat, bahwa untuk bisa berhasil dalam lomba debat bahasa Inggris, tak sekedar harus pandai berbahasa Inggris, tetapi harus bisa menuliskan pendapatnya dalam konsep yang jelas, berwawasan luas (karena topiknya luas), bisa mempresentasikan dengan meyakinkan, tidak emosional serta dapat menjawab sanggahan kelompok lawan dengan baik. Hasil kompetisi ini, kelompok putra temanku menang, kemudian akan dilanjutkan besok pagi. Kami bersama-sama makan di cafe, sekaligus mendiskusikan apa yang harus dipersiapkan malam itu, karena temanku beserta putranya tidur di wisma Makara (wisma milik UI), maka kami mengantarkan untuk melihat tempat-tempat dimana bisa mengunjungi warnet dari lokasi terdekat. Mereka harus mencari bahan dari internet, mempersiapkannya, karena yang diberikan panitia hanya panduan umum, dan topik yang akan diperdebatkan, baru diberikan sesaat sebelum dilakukan debat, dengan demikian wawasan harus luas, dan saya salut pada anak-anak muda ini, yang umurnya masih 15 tahun, tapi semangatnya sangat tinggi.
Kami juga membahas penyebab kekalahan kelompok lain, yang sesuai penjelasn juri, karena konsepnya kurang tepat, sehingga saat dipresentasikan banyak celahnya. Keesokan harinya, saya tak bisa ikut mendampingi, dan saat malam hari teman saya sms bahwa mereka gagal untuk masuk final, karena lawannya memang canggih, dan dalam setiap presentasi sejak 3 hari berturut-turut tak pernah kalah. Saya menanggapi, bahwa putranya sudah berjuang, masih ada kesempatan lain kali, dengan persiapan yang lebih matang. Saya ingat yang diucapkan salah seorang panitia…”Bu, anak-anak sekarang hebat, saya baru berani berdebat saat mahasiswa, tapi anak-anak ini dengan umur yang masih muda, sudah melakukan hal yang dulu tak berani saya lakukan” Melihat lomba debat ini, juga kegiatan anak-anak muda lain, saya masih berharap, bahwa sebetulnya anak Indonesia banyak yang cerdas dan berwawasan luas, tinggal bagaimana para pendidik, instansi terkait serta orangtua mempersiapkan mereka agar menjadi orang-orang yang berguna bagi nusa bangsa nantinya.Buat temanku, terimakasih telah mengajakku melihat acara ini, sehingga saya mempunyai pengalaman yang mencerahkan.
lain dulu lain sekarang dulu makan gaplek sekarang makan roti
salam kenal bu…………gadis desa makannya ketela.
bloger junior tidak punya tulisan
bisanya nulis nanti kalo sudah makan roti bu………
Ekapratiwi,
Saya masih suka makan singkong, tiwul (kalau gatot udah susah carinya), karena saya juga dari desa. Anak-anak saya juga suka makan singkong rebus, terutama yang masih panas, pisang rebus dll…ini kan jenis makanan sehat karena tanpa digoreng. Mengapa memangnya kalau dari desa? Karena banyak yang dari desa berhasil, kriteria berhasil ini bukan harus pergi ke kota besar, yang penting bisa mandiri, kerja keras dan membantu masyarakat disekitarnya.
Ha, ya….selain belajar untuk menambah wawasan, adapun belajar debat dari blog juga dapat dilakukan. Misalnya dengan menjawab komentar yang kontroversial. 😀
Mihael Ellinsworth,
Betul…..tapi sebaiknya kita mulai belajar berdebat dengan baik, tidak WTS (waton suloyo), kalah menang tak masalah….karena dengan perdebatan (sebetulnya diskusi), kita akan menambah banyak ilmu dan wawasan. Blogger sebetulnya dapat berperan serta untuk mendukung hal ini, dimulai dengan mencoba menulis komentar yang disesuaikan dengan topik tulisan, sehingga terjadi bahan diskusi yang menarik.
iya… mungkin saya berkesan menghindari debat lantaran wawasan saya yang ndak luas ini.
Peyek,
Sebetulnya tak ada alasan untuk itu, melalui blog kita bisa saling membagi ilmu, sayapun mendapatkan banyak ilmu dari tulisan teman-teman. Kita bisa mulai mencoba menanggapi tulisan jika kita memang mengerti bidang yang ditulis, atau kalau tertarik tapi tak paham, bisa dengan menanyakannya kepada pemilik blog. Dengan begitu akan terjadi komunikasi dua arah yang baik.
ada satu hal bahwa budaya debat perlu di biasakan sejak dini di Indonesia. Kami generasi tua tidak terlatih untuk itu, karena budaya ABS atau komando dari atas. Harus nurut..
Bukan masalah winning atau loosing.
Mas Iman,
Betul, agar anak-anak bisa berdebat secara sehat. Kebetulan saya dulu punya bos yang baik (pernah menjadi CEO di BCA), tiap minggu mendapat buku yang harus dibaca….untuk diperdebatkan minggu depannya. Walaupun seorang Direktur, beliau seminggu sekali mengajak pertemuan, dan ajang debat dengan anak buahnya. Hasilnya tim dibawah kepemimpinan beliau sangat kuat, bisa berargumentasi, dan ini sangat berguna dalam perkembangan karir anak buahnya, yang setiap kali harus berkomunikasi dengan pihak-pihak luar.
Anak-anak sekarang lebih beruntung, dan melihat situasi kemarin, serta banyaknya anak muda yang menulis di blog akan membuat anak-anak bisa menuliskan pemikirannya, dan bagaimana menanggapi komentar, dari berbagai orang, berbagai sifat serta temperamennya.
Debat-mendebat yang paling susah biasanya dalam menghadapi orang yang lebih tua.
Ada percampuran antara keinginan mempertahankan argumentasi, tetap menghormati, pemilihan kata, dan sungkan.
Tidak bisa asal bantai walaupun sudah yakin benar, logis, dan siap bahan.
Apalagi dalam urusan meminta restu ^_^
Ade,
Komentarmu kok menjurus terus kearah situ ya….kalau soal meminta restu, belajar sana sama Narpen, bagaimana dulunya meyakinkan bokapnya…hehehe…dalam hal apapun.
Justru dengan orang lebih tua, harus dipelajari….karena nanti kita akan banyak ditentukan atas bagaimana bisa mempresentasikan, meyakinkan atasan, lingkungan sekitar bahwa pendapat kita benar. Saya banyak belajar dari konsultan (mau ditulis, belum sempat), bagaimana mereka bisa mempresentasikan dan menjawab serangan tetap dengan santun. Latihan ini perlu Ade, untuk karirmu nanti, karena semakin tinggi karir seseorang, dia akan makin banyak ketemu orang, harus setiap kali meyakinkan orang lain, mempengaruhi agar mendukung ide kita…..saya merindukan masa-masa itu….:P
Saya kebetulan adalah orang yang senang sekali berdebat tetapi letak kepuasan utama dari sebuah perdebatan untuk saya bukanlah masalah menang atau kalahnya. Kepuasan utama saya dari berdebat adalah saya selalu bisa belajar dan menambah wawasan dari perdebatan itu. Kalau kita kalah tentu kita bisa banyak belajar dari yang menang bahkan jikalau kita menangpun terkadang kita bisa mengambil sesuatu yang berguna dari yang kalah…….
Menurut saya perdebatan yang “paling berat” adalah perdebatan masalah antaragama atau kepercayaan, masalahnya dalam kasus ini hampir tidak ada referensi “yang bisa dipakai bersama”, karena masing2 “hanya” mengandalkan referensi dari apa yang dipercayainya atau minimal dari visi yang dipercayainya. Jadi topik2 perdebatan antaragama ini sangat bersifat subyektif dan hampir pasti tidak akan ada titik temu……….
Kang Yari NK,
Saya malah tak berani menyinggung masalah itu, karena ilmu saya sangat sedikit, justru saya banyak belajar dari si sulung tentang agama…entahlah anak itu seneng banget baca. Dan ternyata berdebat dengan anak menyenangkan, saya terkaget-kaget dengan perkembangan ilmunya, syukurlah mereka berkembang baik, dan mudah2an tetap baik untuk seterusnya.
jadi ingat dulu pernah ikut debat model gini, format australasia. seneng bisa debat kayak gitu n setuju banget kalau bukan hanya kemampuan bahasa yang diasah tapi juga wawasan umum. salut untuk anak2 yang semangat ikut debat seperti ini.
Frater Telo,
Betul…dan perdebatan adalah ilmu yang baik untuk dikuasai, dan jangan harus menang, dan tak mau mengalah. Debat yang baik, akan memberikan sharing pengalaman. Saya baru tahu, ternyata sulungku pernah juga lomba debat antar anak SMU di Jakarta, walaupun kalah (no.2), dia sangat menghormati lawannya, karena pengetahuan mereka benar-benar luas, dengan memberikan contoh-contoh nyata yang tak terbantahkan.
Debat, seru. Tapi kadang-kadang sampai terbawa emosi.
Edipsw,
Wahh jangan emosi….karena sebetulnya adu pendapat, yang nanti akan sama-sama mendapat manfaat. Di bidang pekerjaan, inilah yang harus dilatih dan di dorong untuk anak-anak, karena saat ini, tak ada lagi yang bekerja sendiri, semua dalam bentuk tim. Dan sebelum tim bergerak, selalu ada ajang diskusi, disini orang dilatih tak boleh menang sendiri, tapi juga harus mau mendengarkan pendapat orang lain. Orang-orang yang pandai komunikasi, itulah yang nantinya pantas untuk menduduki pimpinan, karena bisa mengelola tim dengan baik.
Wah…, bisa kebayang serunya. Yang jelas banyak point plus yang kita dapat dari situ. SUKSES !!!
Aries,
Betul…banyak sekali manfaat yang diperoleh.
bener banget bunda
dan rasa-rasanya hal itu berlaku untuk semua hal yang kita kerjakan
setuju ?
Realylife,
Yup…setuju
Wah jadi ingat waktu ikut IVED (inter varsity english debating) 2002 di USU 😉
Ren2,
Pengalaman yang menyenangkan bukan?
Saya pernah mengikuti lomba bahasa inggris takkala duduk di SMP, formatnya story telling, kita bercerita ttg suatu kisah dengan english dan menggunakan mimik yg berbeda2. Bagaimana membuat audiens menangis, tertawa dan tegang adalah faktor2 yg menentukan dalam lomba tersebut. Sayang saya tertahan hingga tingkat kota madya jakarta selatan, lumayan lah buat pengalaman.
Resi Bismo,
Saya belum pernah melihat lomba semacam ini, pasti seru ya….karena yang ikut lomba, harus bisa berakting bak seorang aktor. Terbayang deh serunya…..walau kalah, itu merupakan pengalaman menarik yang tak terlupakan.
menyenangkan ya bu punya atasan yang suka berargumentasi, karena jarang sekali bu, atasan yang punya goal setting untuk berdebat.
Tini,
Kebiasaan diskusi memang harus dilatih…dulu saat awal masuk perusahaan, situasinya hubungan atasan bawahan jauh sekali…namun semakin banyaknya Sarjana baru yang masuk, lama kelamaan diskusi menjadi hal yang biasa, juga kritikan diterima dengan senang hati. Karena bawahan yang tukang kritik biasanya bawahan yang care, pandai-pandailah atasan mengajak diskusi dan menjelaskan permasalahannya, dan kalau bawahan menerima penjelasan, mereka akan menjadi orang yang loyal pada perusahaan (bukan loyal pada atasan lho!).