Semakin beragamnya kehidupan kota besar di Indonesia, perkembangan penduduk kota yang makin pesat, serta semakin banyak pasangan yang keduanya bekerja di luar rumah, akan membentuk pola hubungan antar tetangga yang berbeda di banding sepuluh atau duapuluh tahun yang lalu.
Dibesarkan di kota kecil, saat saya masih kecil sampai remaja, hubungan antar tetangga sangat dekat bahkan seperti saudara. Risikonya gosip juga seru, sehingga ibu selalu berpesan, kalau main jangan ke tetangga, tapi bermainlah dengan teman sekelas, atau teman kelompok belajar. Apalagi diantara tetangga anaknya tak ada yang satu sekolah denganku.
Saat masih lajang dan mulai bekerja di Jakarta, saya tak terlalu memikirkan hubungan antar tetangga ini apalagi masih kost, karena berangkat pagi dan pulang petang. Hari libur biasanya digunakan untuk menengok kerabat yang tinggal di Jakarta atau kegiatan lain, dan pada saat itu hari Sabtu masih masuk setengah hari. Namun setelah menikah, dan mengontrak rumah di daerah Rawamangun, mau tak mau harus kenal dengan tetangga kiri kanan rumah, serta berkenalan minimal dengan pak RT. Kemudian saya pindah ke rumah dinas, dan tak terasa saya tinggal di rumah dinas sejak si sulung berumur 10 bulan sampai dengan pensiun. Di kompleks rumah dinas, karena semua satu kantor hubungan relatif mudah, ketua RT nya juga rekan sekantor. Meskipun demikian, kesibukan masing-masing membuat setiap kali ada acara, selain diberitahukan secara tertulis, juga dikirim melalui email dan sms, maklum para penghuni bergantian turne dan jarang di rumah. Tetangga biasanya baru ketemu saat ada yang meninggal, atau ada perayaan yang berhubungan dengan 17 Agustus dan keagamaan.
Teman-teman saya yang tak mengambil rumah dinas, namun tinggal di kompleks perumahan rata-rata masih berhubungan dan kenal baik antar tetangga, walaupun sama-sama sibuk bekerja di Jakarta. Sedang teman yang tinggalnya di kota Jakarta, nyaris jarang ketemu tetangganya, maklum pagar rumah di Jakarta paling tidak 2 meter dan ditutup dengan fiberglass, sehingga benar-benar mencerminkan individu penghuninya. Setelah pensiun, mau tak mau kami harus tinggal di rumah sendiri. Mencari rumah sendiri, juga memerlukan pertimbangan dari berbagai segi, dan akhirnya kami memutuskan punya rumah di daerah Cilandak, yang relatif dekat kemana-mana walaupun kecil. Walau dekat dengan jalan raya Fatmawati dan Tol Simatupang, namun karena jalan masuknya kecil (hanya cukup satu mobil ) dan jalan buntu, maka lingkungan rumah relatif nyaman, karena tetangga masih ada yang menanam halaman belakang rumah dengan pohon besar. Setiap pagi sampai sore diramaikan dengan suara burung gereja, dan kupu-kupu yang berwarna warni serta kumbang.
Sebelum membangun rumah, untuk mengurus IMB wajib ijin tetangga kiri kanan, depan dan belakang rumah, karena kemungkinan mereka akan terganggu selama pembangunan. Syukurlah tetangga semuanya bersikap baik, pak RW kebetulan rumahnya didepan rumah kami, sedang ketua RT nya pilot, sehingga kalau mengurus sesuatu harus memberikan jarak waktu karena beliau sering terbang dan tak selalu ada di rumah. Awalnya kami ingin pagar rumah terbuka walaupun cukup tinggi sehingga kalau ada apa-apa terlihat dari luar, namun ternyata menjadi buah simalakama, karena setiap kali orang menawarkan dagangan, minta sumbangan dengan mengebel rumah, karena tetangga kiri kanan pintunya tertutup rapat. Apaboleh buat, akhirnya kami ikutan menutup pagar dengan fiberglass. Sulitnya, kami tak boleh lupa mengunci pagar rumah, dan tetangga menyarankan hanya orang tertentu dan telah dikenal yang boleh masuk, seperti: jika pengecekan PLN namanya pak A, tukang sampah pak X, dan jika iuran keamanan akan diedarkan oleh satpam. Walau tetap menghargai privacy masing-masing, kami dan tetangga masih saling mengantar sekedar oleh-oleh, dan mengobrol jika ketemu karena sedang menyiram bunga di depan pagar. O,iya karena rata-rata kavling rumah kecil, maka di atas selokan diberi semacam tempat untuk menaruh pot-pot bunga, sehingga di kiri kanan jalan masih terlihat hijau. Setiap bulan ada pengecekan jentik-jentik nyamuk, dan kemarin baru saja ibunya ketua RW keliling mengedarkan formulir untuk diisi masing-masing penghuni rumah, agar jika terjadi apa-apa bisa saling membantu. Formulir tadi antara lain berisi; nama penghuni, latar belakang pendidikan, golongan darah (bersedia diminta donor/tidak), jumlah mobil yang dimiliki, apakah mobil boleh dipinjam untuk keperluan darurat dsb nya. Menarik sekali, karena di lingkungan tempat tinggal saya, yang aktif adalah ibu-ibu pensiunan, mereka aktif melakukan pengajian, pengecekan jentik nyamuk, mengedarkan surat menyurat untuk keperluan hubungan antar tetangga dalam wilayah RT, serta saat ini yang lagi digalakkan adalah kebersihan lingkungan, agar RW tempat tinggal kami dapat menang lomba kebersihan dan lingkungan, yang sebelumnya mendapat no.3 dan diharapkan tahun ini dapat meningkat.
Saya bersyukur karena memilih tempat tinggal di daerah ini, walau rumah kecil, tapi lingkungan sangat nyaman, hubungan antar tetangga masih baik, dan tetap menjaga privacy masing-masing.
Harus saya akui, semakin bertambah usia, semakin sibuk dengan urusan pekerjaan (duniawi?), malah semakin memperjarang hubungan saya dengan tetangga sekitar rumah.
Kalau kebetulan bertemu, seperti orang yang sudah tahunan tak berjumpa: “Apa kabar? Sehat? Kemana saja?” padahal tinggalnya tetap di sana.
Tulisan Ibu kali ini berhasil mengingatkan saya akan hidup berhabitat rupanya. Thanx.
Daniel Mahendra,
Hal yang wajar kok, makanya saya dulu memilih tinggal di rumah dinas, sehingga bisa tetap kenal tetangga…entah di ruang rapat, entah saat makan siang di restoran tenda belakang kantor dsb nya. Dan segala berita malah melalui milis atau email…hahaha
Tapi syukurlah tetanggaku sekarang tetap menjaga privacy masing-masing, walau tetap akrab. Saya juga ikut arisan RW sekali sebulan, dan baru datang sekali, dan naga2 nya bulan inipun tak bisa datang lagi, pas ada meeting dengan beberapa rekan….
wagh….bgimana aku dirumah baruku ini yak ??
Okta Sihotang,
Maksudnya????
Alhamdulillah Tetangga hingga radius 3 rumah Kanan Kiri dan Depan… sayah akrab… Tinggal yang belakang negh blom pernah bersua
JoEy D`JuVe,
Memang yang penting tetangga terdekat rumah….
kebahagiaan hidup kurang lengkap apabila tidak ditunjang dengan hubungan yang harmonis dengan tetangga terdekat. kepada merekalah *sok tahu* kita meminta pertolongan, bukan kepada saudara kita yang jauh tempat tinggalnya. syukurlah, bu enny dan keluarga tinggal di lingungan yang guyup dan rukun. saya juga tinggal di kompleks perumahan, bu. rata2 mereka pendatang. merasa senasib dan sepenanggungan, sehingga hubungan kami sangat harmonis.
Pak Sawali,
Iya pak, saya bersyukur sekali, ditengah rimba beton Jakarta, masih menemukan lingkungan yang baik…
Memang saya akui bahwa sense of community kita sangat bisa dibanggakan. Di Aussie dengan tetangga sebelah apartment malah tidak pernah ketemu sudah setahun lebih π Sangat individual meskipun privacy juga sangat dihargai. Lain halnya dengan teman2 dari Asia lainnya, biar agak jauh tapi sering ngumpul, rupanya sense bertetangga itu ada pada orang2 Asia.. kenapa yak?
Adywirawan,
Mungkin memang kulturnya berbeda….orang Asia cenderung ramah. Suatu saat di bandara De Gaule, Paris saya ditegur ibu-ibu….yang menyangka saya dari Malaysia, dan mengobrollah sampai waktunya boarding. Begitulan sifat orang Asia terutama Asia Tenggara, mudah menegur seseorang yang baru ketemu.
Saya pernah ke Brisbane, anak saya sempat tinggal di homestay, ibu kostnya baik sekali, saat saya menengok anak, mereka mengundang makan, mengantar saya kembali ke hotel (maklum lokasi rumahnya di daerah sepi, di luar Brisbane….Tapi begitulah mereka, kalau udah kenal baik sekali, dan mereka juga mau memberikan jawaban kalau kita menanyakan sesuatu dijalan…kalau kita diam-diam aja, mereka juga akan diam. Mungkin karena mereka menomor satukan privacy, tak berani mengganggu kalau nggak ditanya.
Wah menyenangkan ya Bu π
Saya pernah merasa gak enak sekali ketika kos didaerah Cipinang. Tiap hari berangkat pagi, pulang selalu malam, sabtu minggu jarang di rumah ditambah hari biasa terkadang travelling ke luar kota. Walhasil jadi tidak kenal semua tetangga (apalagi yang jarang keluar) padahal tinggal di gang buntu. Tahu-tahu disebelah kiri kok ada rame-rame banyak tamu, disangka ada arisan gak tahunya tetangga meninggal, itupun tahunya satu-dua hari setelahnya. Kebangetan kami ini (habis satu kos gak ada yang tahu).
Yoga,
Kalau masih anak kost, belum berkeluarga masih dimaklumi. Namun kalau kontrak rumah, apalagi sudah berkeluarga, sebaiknya lapor RT, dan kenal tetangga kiri kanan, depan dan belakang rumah, untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu.
Memang bagusnya ada balance antara privacy dengan hubungan yang akrab dengan tetangga. Ada lingkungan yang mempunyai hubungan berketetanggaan yang baik namun sangking akrabnya sampai2 pergunjinganpun masuk dalam daftar keakraban. Sebaliknya ada juga yang sangking cueknya sampai2 ada rumah tetangga kerampokan, kita baru mendengar beritanya seminggu kemudian.
Saya sendiri sudah lumayan banyak mengalami “kerugian” akibat ketetanggaan yang terlalu akrab dan juga terlalu cuek, tapi maaf nggak bisa saya ceritakan di sini, soalnya masalahnya pribadi hehehe….. Tapi dari peristiwa2 tersebut saya belajar bahwa kita memang pada suatu saat pasti akan membutuhkan tetangga walaupun begitu kita tetap harus bisa menarik garis batas bahwa tidak semua urusan tetangga kita harus “menjadi” urusan kita juga……….
Kang Yari NK,
Memang harus menjaga keseimbangan, kenal baik tapi jangan sangat akrab juga, apalagi sampai mendengarkan gosip. Saya sendiri baru sekali datang ke arisan RW yang diadakan sebulan sekali, karena pas waktunya, tiap kali mesti ada rapat atau pekerjaan yang membuat saya keluar rumah.
Tapi karena aktifnya kegiatan PKK yang dilakukan ibu-ibu, mau tak mau kenal juga, terutama pada ibu-ibu yang memeriksa jentik-jentik nyamuk, jika saat diperiksa pas saya ada dirumah.
kalau saya tetangga itu ibaratnya saudara dekat kita,,,
Zoel chaniago,
Betul…..
Saya sering ingat sebuah satire dari Guru Ngaji saya : kalau semua orang, kelakuannya baik-baik, nggak perlu kita bikin pagar di depan rumah. Coba kita kalkulasikan, berapa biaya pembuatan pagar di seluruh negeri ini yang nilainya bisa analogikan sebagai nominal untuk menjaga sifat jelek dari orang-orang, baik penjahat ataupun tetangga sekitar kita. Sebuah nilai yang besar dan rumit ternyata untuk membuat sebuah persamaan antara nilai uang dan sifat manusia (kalau dianalogikan dengan uang) π
Yoyo,
Kenyataan didunia nyata tak seperti itu. Tetangga kita mungkin baik, tapi arus urbanisasi yang pesat, juga makin banyak orang yang datang ke ibu kota. Anakku sempat komentar…”Bu, teman saya SD kan banyak anaknya orang tak mampu, ibunya buruh cuci, atau pembantu, tapi mereka tetap sekolah sampai SMA dan bekerja, walau kerja kasar. Jadi mereka punya harga diri untuk tak mengemis…”
(anak saya SD nya di SD Inpres, diluar lingkungan kompleks rumah dinas)
sekarang sedang menjalin hubungan silaturahmi dengan para blogger sumut lewat acara kopdar
silahkan lihat laporannya di postingan terbaru bunda
Realylife,
Ntar kalau ada waktu saya mampir…
Dalam keadaan genting dan mendesak, tetangga biasanya yang paling sigap dalam memberikan respon. Padahal keluarga, kerabat dan kolega terlebih dahulu tahu tetapi tidak serta merta mereka langsung memberikan pertolongan.
Adipati Kademangan,
Betul, karena keluarga terdekat biasanya juga berjarak beberapa km dengan rumah kita…..
alhamdulillah, semoga budaya ini jangan pernah hilang di Indonesia ya bu..
Hanggadamai,
Betul, minimal kita kenal tetangga dekat, sehingga tak ada teroris yang tahu-tahu menjadi tetangga dekat kita.
hihihi.. jadi inget ketika pertama kali punya rumah di jakarta eh tangerang.. kepengen kayak di jawa, pintu selalu dibuka. dan ternyata banyak banget “tamu” yang dateng bahkan pernah udah sampai depan pintu.
ternyata pintu selalu tertutup di jakarta bukan berarti sombong tetapi bisa juga untuk pengamanan.
Nindityo,
Tamu tak diundang bukan berasal dari tetangga…tapi entah dari mana. Jadi tetap perlu pengamanan….saya rindu di kompleks rumah dinas, pagar tak terkunci, begitu pula pintu garasi…..tapi memang karena dijaga satpam di pintu masuk kompleks. Anak-anak bisa berlarian, naik sepeda….bermain dengan anak tetangga…bahkan main sepakbola dijalan raya kompleks yang sepi.
Uh, saya sendiri nggak terlalu dekat dengan tetangga. Mungkin hanya beberapa orang saja. Pertama, karena saya sendiri kurang begitu suka bergaul (introvert) π dan kedua lebih senang beristirahat di rumah sambil nonton tivi/internetan kalau hari libur. Saya termasuk jarang berinteraksi dengan tetangga.
Goldfriend,
Mungkin karena masih bujangan… nanti kalau berumah tangga tetap perlu kenal tetangga, minimal didepan dan kiri kanan rumah yang kita tinggali.
Bu, ada rumah yang mau di jual di lingkungan ibu situ ga??
*yang sedang mulai hunting2 rumah π
Trian,
Jawaban lewat sms ya…sebagai ancer-ancer harga tanah per m2 sekitar Rp.4 jt-Rp.5 jt.
Wah, sepertinya nyaman sekali lingkungan tempat tinggal Ibu. Jadi kepikiran nih kalau nanti saya sudah menikah, mau cari tempat tinggal di mana. Harus yang bagus, lah. Buat perkembangan anak saya juga nantinya.
(^_^)v
Farijs van Java,
Pengalaman pahit ku saat si sulung masih bayi, maka perlu mencari rumah yang lingkungannya mudah di akses seperti dekat ke pasar, dekat dokter anak, dekat rumah sakit, sekolah dsb nya. Karena saya bekerja, maka hal itu paling prioritas, karena saya ingin anak-anak mandiri, tak harus diantar sopir, bisa naik angkot, bajaj, dan bisa mengantisipasi risiko…karena hidup di Jakarta penuh kejutan.
waahh… rumah ibu di cilandak yak, deket citos dong π
saya insya allah di jatiasih bu… krn deket ke kantor..
oh iya, maya dah melahirkan bu, foto2 nya bisa diliat di FS or FB saya…
Sigit,
Iya, kapan mampir…sama Maya dan si kecil? Jatiasih itu yang ke arah Pondok Gede ya, berarti kemungkinan dekat dengan adikku, anak bungsunya di ITB juga seangkatan sama anakku.
Selamat ya Sigit, semoga menjadi anak yang sholeh dan selalu dilindungi oleh Allah swt. Amien.
Saya mau mulai silaturahmi ke tetangga … biar berkah ya Bunda?
Rindu,
Silaturahmi ke tetangga tetap bermanfaat….dan bukankah memang itu disarankan, di agama manapun?
emang begitulah kalau kita bertetangga bu.. tapi kadang kita sudah baik malah dibalas tidak baik.
FAD,
Ada rambu-rambu untuk hidup bertetangga. Hubungan baik tak berarti mereka bisa datang dan pergi kerumah kita kapanpun, juga seenaknya pinjam pake barang…tetap ada aturan mainnya. Syukurlah selama ini saya aman-aman aja….tapi mungkin juga saya dikenal zakelijk (?)
saya pindah pindah rumah terus jadinya sama tetangga ga ada yang akrab… sedih kadang kadang jadinya merasa kesepian kalau lagi ga kemana mana… tapi ya sudahlah… mungkin nanti kalau akan punya rumah sendiri bareng suami keadaan akan diperbaiki supaya anak nanti punya teman sepermainan dari kecil π
Natazya,
Saya juga pindah-pindah rumah (mengontrak), sebelum mendapat rumah dinas, itupun juga pindah tiga kali dilingkungan rumah dinas. Namun setiap kali saya memperkenalkan diri, minimal pada tetangga depan, kiri kanan dan belakang rumah, serta lapor kepada ketua RT (ini sangat penting). Walaupun kemungkinan kita tak punya KTP disitu, dengan lapora pada ketua RT, memberikan copy KTP dan KK, maka sebetulnya telah ijin, ini untuk berjaga-jaga dan mengikuti aturan. Bahkan saat masih lajang, saya tetap lapor ke ketua RT agar tak terjadi masalah dikemudian hari.
Banyak dalil yang menyebutkan kita untuk berbuat baik terhadap tetangga .. π
Tintin,
Yup…sepakat…
Kebetulan rumah kami di pinggir jalan raya, jadi tetangganya kebanyakan pedagang. Entah kenapa, karena kesibukan di kampus jadi jarang sowan ke tetangga, tapi kalau sekedar menyapa dan beramah-tamah kalau lewat sebisa mungkin tetap jalan. Yang jelas jangan sampai tidak akur sama tetangga, bagaimanapun, kita kan hidup bersama, pastilah saling membutuhkan. Bukan begitu, Bu?
Tunjungsari,
Yang penting mengenal, biasanya saya pun hanya ketemu pas lebaran, sekaligus salaman setelah selesai sholat Ied. Sekarangpun, setelah satu tahun tinggal di Cilandak, saya juga baru datang 2 kali pas arisan karena memang waktunya bentrokan.
Untungnya saya 100% ibu rumah tangga. Jadi meski suami hampir tidak pernah bersosialisasi dengan tetangga, karena kesibukannya bekerja, saya cukup bisa mewakilinya.
Alhamdulillah, para tetangga di kompleks saya cukup perhatian dengan keluarga saya. Sering nengokin kalau suami sedang jaga malam. Betulin listrik, angkutin tabung gas kalau stok di rumah habis dan mau dititipin anak kalau saya lagi kerepotan dengan pekerjaan rumah lainnya.
Ratna,
Sebetulnya kalau kita baik, mereka juga akan membalas dengan kebaikan….
Bu Eny,
Gimana ya kalo mengahadapi tetangga yang agak “nyentrik”?
Ada satu keluarga di tempat saya yang kalo ngobrol bisa sampe tengah malem. Saudara mereka juga ikut nimbrung. Dan ini hampir setiap hari. Kalo pas ngobrol, suaranya bisa sampe kedengeran sampai ujung jalan. Mungkin 4 hari dalam seminggu.
Mereka sudah pernah “diadukan” ke pak RT. Tapi tetep nekat dan cuek. Dan parahnya, mereka sepertinya sudah punya komitmen untuk menutup diri dari lingkungan sekitar (kecuali saudara dan teman2 semarga). Kami sudah putus asa memikirkan jalan keluarnya.
Pernah mengalami yang seperti ini bu? Terus jalan keluarnya apa ya? Demo? Kata istri saya, pindah rumah yuk…
Ardians,
Kita tetap baik, tapi harus jaga jarak, agar secara tak langsung diharapkan ybs tahu bahwa kita perlu privacy.Saya beberapa kali pindah rumah, dan mengalami berbagi hal tentang tetangga yang bermacam-macam…tapi pada gilirannya memang kita sendiri yang harus menertibkan dimulai dari keluarga kita sendiri.
say sedang karya ilmiah di sekolah,dan karya ilmiah saya yang berkaitan tentang anak indigo.karena anak indigo msi jarang dan blum bnyak d temukan,oleh sebab itu saya ingin minta bantuan untuk di beritau d mna saja saya bisa mencari info tentang anak indigo atau di mna dan dengan syapa saya bs bertemu untuk membahas indigo.adakah yayasan tentang anak indigo?tolong untuk di berikan infonya ke email saya.terimakasih