Kehidupan masa kecil di Desa, dan Lumbung Desa yang berfungsi sebagai jaring pengaman masyarakat petani di pedesaan

Desa dimana saya dibesarkan sejak kecil, terdiri atas beberapa dukuh. Dukuh yang paling dalam banyak ditinggali oleh penduduk asli, masyarakatnya sebagian besar terdiri dari kaum petani, pedagang dan peternak. Sedang dukuh yang agak luar, berbatasan dengan kota kecil, adalah tempat tinggal pendatang, yang pada umumnya berpenghasilan tetap, seperti Guru, mantri rumah sakit, dokter, dan lain-lain. Hanya berjarak sekitar 200 meter dari rumah kami, terbentang sawah dan ladang, yang pada saat-saat tertentu ditanami tebu, para petani bekerjasama dengan Pabrik Gula Kanigoro, yang berlokasi di kota kecamatan ke arah Ponorogo. Pada saat itu angkutan yang umum adalah dokar (delman), becak (untuk jalan yang sudah halus) serta sepeda. Kendaraan roda empat masih sedikit, demikian juga sepeda motor.

Jalan desa yang menghubungkan desa satu dan lainnya masih berupa tanah dicampur kerikil, yang berdebu pada saat musim kemarau dan becek saat musim penghujan. Keberuntungannya, desa kami tak pernah terkena banjir karena letaknya jauh dari sungai besar yang melewati kota kecil kami. Panen padi adalah saat yang ditunggu-tunggu, karena pada saat itu desa kami melakukan upacara “Bersih Desa” yaitu upacara syukuran karena telah mendapat panen yang berlimpah. Pada saat panen, petani akan menyetor sebagian padi untuk disimpan ke Lumbung Desa.

Pada awalnya Lumbung Desa menyediakan (dan menagih) pinjaman dalam bentuk padi. Tujuan utama didirikan Lumbung Desa adalah untuk meratakan fluktuasi musiman pasokan beras di desa. Pada awal 1900 an, Lumbung Desa di daerah maju di Jawa mulai menyimpan dan menagih pinjaman dalam bentuk uang. Hal ini disebabkan pengelolaan beras pasca panen sulit untuk dijaga agar kualitas beras tidak menurun, disamping ada risiko tikus di Lumbung.

Karena perkembangan tersebut, mulai diperkenalkan Bank Desa, yang beroperasi berdasarkan uang. Akan tetapi posisi pinjaman terhadap asset Lumbung desa adalah 27 persen pada tahun 1913 dan hanya 2 persen pada tahun 1926. Jadi 98 persen dana Lumbung Desa menganggur dan tak digunakan untuk memberikan pinjaman pada masyarakat pedesaan. Tingkat investasi rendah tersebut karena Lumbung Desa dimiliki oleh desa dan didanai 99 persen oleh ekuitas. Sumber ekuitas Lumbung Desa adalah keuntungan yang disimpan atau laba ditahan.

Pada saat Bank Desa memulai memberikan pinjaman dalam bentuk uang tunai, terdapat pemintaan yang cukup besar. Sumber utama dana awal Bank Desa berasal dari pemerintah, Bank Kabupaten, Lumbung Desa, dan bagian kepemilikan orang desa, yang dapat dibayarkan kembali (repayable shares). Tingkat kredit macet rendah rata-rata 1 (satu) persen, overhead cost rendah, karena Bank berlokasi dikantor yang umumnya menjadi satu dengan rumah Kepala Desa. Kemudian Lumbung Desa dan Bank Desa diatur berdasar sebuah keputusan untuk menjadi Badan Kredit Desa. Berusia lebih dari 100 tahun, Badan Kredit Desa (BKD) adalah salah satu lembaga kredit mikro pertama di Indonesia. BKD berada di Pulau Jawa dan Madura, dan setiap BKD dimiliki oleh Pemerintah Desa. BKD adalah perkembangan dari Lumbung Desa dan kemudian Bank Desa, yang beroperasi berdasarkan uang, dan bukannya beras.

Setelah Undang-undang Perbankan tahun 1992, BKD diberi izin sebagai Bank Perkreditan Rakyat secara kolektif, karena BKD dinilai terlalu kecil untuk menerima lisensi BPR sendiri-sendiri, dan pembukaan BKD baru tak diijinkan. Pada akhir tahun 1996, hanya terdapat 4906 BKD yang masih aktif, dan setiap BKD menyediakan pinjaman komersial kecil bagi para individu yang tinggal di desa. Tidak semua desa memiliki BKD, dalam prakteknya lembaga ini juga melayani penduduk di desa tetangga. Walau data dari jenis kelamin tidak tersedia, sebagian besar nasabah BKD adalah wanita.

Walau kedua orang tua saya berpenghasilan tetap, namun karena nenek seorang petani, ibu mengajarkan cara menabung secara sederhana, yaitu setiap kali akan menanak nasi, maka diambil segenggam beras yang dipisahkan pada wadah tertentu, yang pada akhir bulan bisa digunakan paling tidak untuk bahan menanak nasi selama dua hari. Masa kecilku, yang pernah merasakan bagaimana segala sesuatunya dijatah (mendapat kupon untuk mengambil beras, gula, minyak dan sebagainya), membuat para ibu rumahtangga harus kreatif untuk bisa mencukupi kebutuhan pangan bagi anggota keluarganya. Dan juga tak ada sejengkal tanahpun yang tersisa, tanpa ditanami bahan pangan, seperti cabe, bayam, kangkung, labu siam dan lain-lain. Pada saat itu, hanya bahan pokok tertentu yang masih harus dibeli diluar.

Entah kenapa, saat itu menabung jarang dilakukan melalui Bank, mungkin karena letak Bank di kota, yang memerlukan waktu cukup lama, dan harus naik sepeda atau becak ditambah jalan kaki. Cara menabung yang lain adalah menggunakan sistem arisan, dan hasil penerimaan arisan harus dapat digunakan untuk investasi dan tidak boleh untuk konsumsi rumahtangga. Yang sering adalah, uang arisan yang diterima adalah untuk membeli peralatan sekolah.

Jika sekarang pulang kampung, desaku telah termasuk kotamadya, dan sawah ladang telah digantikan oleh perumahan penduduk. Anak-anak yang dibesarkan oleh para petani, sebagian besar telah keluar dari kampung dengan berbagai profesi. Temanku saat SD, yang saat itu kalau belajar sambil menunggang kerbau di sawah, anaknya memang pandai, sekarang telah menjadi seorang dokter dan bekerja di sebuah rumah sakit di ibu kota propinsi, berjarak 5 (lima) jam perjalanan dari kotaku. Beberapa teman lain, rata-rata telah sukses di bidang pekerjaan masing-masing, dan jarang yang kembali ke sawah, atau karena memang sudah tak punya sawah. Sawahnya adalah bidang pekerjaannya tadi. Musim memang telah berganti, namun menabung tetap merupakan kebiasaan yang perlu di biasakan, karena dengan menabung tadi kita bisa melakukan perencanaan, seperti halnya petani yang menabung melalui lumbung desa, agar jika terjadi paceklik, karena musim kemarau berkepanjangan, tetap masih punya uang untuk memberi makan anggota keluarganya.

Sumber data:

  1. The Micro Finance Revolution. Vol 2: Lessons from Indonesia. Marguerite S. Robinson. The World Bank, Washington, D. C. Open Society Institute, New York
  2. Beberapa catatan dan pengamatan penulis
Iklan

47 pemikiran pada “Kehidupan masa kecil di Desa, dan Lumbung Desa yang berfungsi sebagai jaring pengaman masyarakat petani di pedesaan

  1. Menabung itu adalah sifat yang terbentuk dari kebiasaan ya bu, tanpa pembiasaan yang intens tidak mudah untuk memiliki sifat menabung. Dan sifat itu mudah dibentuk sejak usia dini sehingga ketika dewasa bukan hal yang asing lagi. Saya harus belajar banyak untuk mengajarkan Zia.

    Perihal kampung yang berubah, sama halnya terjadi dikampung saya. Persawahan tempat bermain masa kecil itu tinggal kenangan, dan sekarang berubah menjadi rumah kontrakan yang berjejal tidak karuan.

    Kalau pulang dan melewati tol yang melintasi hamparan persawahan , rasanya sedih. Batin saya, tak lama lagi sawah-sawah ini akan lenyap. Sempat berkhayal, kalau memang harus membangun tol yang melintasi persawahan, bisa ngga ya tolnya dibuat diatas sawah?

    Mascayo,
    Tol di atas sawah? Jelas padinya tak mungkin tumbuh, karena padi sawah perlu air dan matahari untuk fotosintesa..

  2. perubahan di kampung secara fisik tidak begitu terasa kalau di kampung saya. Yang sangat terasa adalah banyaknya generasi terutama seusiaku yang hampir tak ada yang tertinggal, meninggalkan iklim agraris kebanyakan menjadi buruh di tempat lain. Tak terkecuali saya.

    Sunarnosahlan,
    Teman seangkatanku juga keluar kampung semua, mungkin yang tinggal bisa dihitung dengan jari tangan…..

  3. enak banget ya bunda kalo punya desa itu… 😛 sejak pindah ke bekasi saya jadi seneng banget dech kalo pasti saya punya saat di mana ada saatnya mudik (pulkam) 😛

    Bunda sekali nich ngabarin, saya udha pindah blog di http://hatimungilku.com/ 😛

    Retie,
    Mungkin karena rumahku dulu dikelilingi pategalan dan sawah, saya akhirnya meneruskan ke Bogor…pada kenyataannya saat kerja sawahnya lain lagi…hehehe

  4. ………prakarsa mengembangkan bangunan lumbung desa ini dimulai tahun 1902 oleh Messman, orang Belanda, yang saat itu menjabat sebagai Residen Cirebon dan Sumedang (Jabar)…..idenya bermula karena kekhawatiran Messman akan kemungkinan terjadinya kerawanan pangan di daerahnya…….normatifnya apabila para petani memiliki tabungan padi atau gabah, pada masa-masa paceklik kebutuhan pangan mereka akan tetap tercukupi…….ada yang memaknai lumbung desa sebagai lumbung paceklik atau lumbung pangan…… kegiatan utamanya simpan pinjam dalam bentuk natura saja…..sementara lumbung bisa lebih dari itu….yakni sebagai lembaga ekonomi perdesaan yang bisa menangani kredit petani, distribusi dan fungsi logistik yang efektif…..inilah tampaknya sebagai cikal bakal munculnya bank desa……..namun adanya perkembangan institusi-institusi lain……….dan hadirnya BULOG di daerah-daerah yang telah mengambil alih fungsi lumbung…… semakin menggeser peran lumbung sebagai salah satu refleksi bentuk indigenous technology (kearifan teknologi) di kalangan masyarakat perdesaan……

    Safri Mangkuprawira,
    Betul pak, niat pemerintah sebetulnya baik. Dengan mendirikan Bulog dan Dolog di daerah, dimaksudkan untuk menjaga agar harga tidak jatuh saat panen, dan juga pada saat paceklik harganya tak melebihi ceiling price…maksudnya agar ada ceiling price dan floor price

  5. kalo ada foto foto dulu dan sekarangnya mantap niy buk…

    Imoe,
    Saya masih belum ketemu fotonya….ada juga foto lumbung istana Pagaruyung….

  6. wuih, kaget kok ibu bisa tahu data2 awal abad 20. ga tahunya… hwehe.

    v(^_^)

    jadi inget cerita ttg Nabi Yusuf as.

    jadi inget persawahan di kota asalku yg semakin byk ditanami perumahan. hoho. menyedihkan. perkembangbiakan manusia ternyata lbh pesat dibandingkan perkembangbiakan padi.

    Farijs van Java
    ,
    Lha iya tahu data lama, karena ada di bacaan…hehehe

  7. Bertani dan panen 3 atau 5 bulan sekali adalah sebuah proses menabung. Karena kuperhatikan orang di desaku, yang sifat kerjanya harian (tiap hari dapat bayaran) seperti kusir gerobak, tukang bangunan, dll, biasanya pola hidup lebih mewah tapi tidak punya simpanan. sedang petani hidupnya harian prihatin, tapi saat panen mereka punya tabungan. Maka menabung itu penting diajarkan kepada orang yang penghasilannya harian seperti tukang becak, buruh tani dsb.

    Sony,
    Kenyataannya kalau mereka berhutang pada rentenir, bisa membayar…padahal sebetulnya mereka bisa menabung.

  8. Menurut Ibu sistem manakah yang terbaik : lumbung konvensional atau perbankan modern? saya masih belum terlalu menangkap mana yang lebih mendatangkan manfaat kepada masyarakat desa secara nyata.

    Zulfikar,
    Lumbung tradisional hanya menolong masyarakat lokal.
    Ingat, perbankan merupakan fungsi intermediary, menyimpan dana dari kaum berlebih (penyimpan), dan menyalurkannya pada yang membutuhkan, tentu saja harus dinilai kelayakannya, karena Bank wajib membayar bunga pada para penabung. Lumbung desa ini untuk menyimpan beras (bentuk fisik) saat panen….jadi sebetulnya mirip Bulog untuk menjaga agar harga beras nggak terlalu fluktuasi. Semuanya saling melengkapi.

  9. Saya jd inget masa kecil saya didesa dulu… menanam singkong, memanen padi , kacang…
    kapan ya bisa seperti itu lagi…

    Maskoko
    ,
    Hmm saya juga kangen rumah di kampung, yang dulu ditanami tanaman yang bisa dimakan, dibuat sayuran atau untuk teman makan pecel.

  10. Berdasarkan pengamatanku saat pergi ke Iowa, setiap beberapa pertanian di sini kayaknya ada lumbung deh. Istilahnya “Silo”. Koreksi bila aku salah.

    Kunderemp,
    Ibu yakin bahwa di negara maju pun ada lumbung, namanya memang silo. Istilah ini dikenal di Indonesia, sebagai penyimpan semen.
    Apalagi Iowa terkenal dengan ladang jagungnya, jadi pasti punya silo.
    Tolong kalau kesana, buat foto, dan artikel, pasti akan menarik.

  11. Waa…ternyata ibu berasal dari suatu kota di Jawa Timur juga seperti saya. Kehidupan desa merupakan kehidupan yang akrab bagi saya saat masa kecil. Banyak hal yang dipetik saat hidup didesa, mendidik lebih tegar, pantang menyerah, andhap asor, inget sesama, dan cinta alam.
    Saya inget pada saat saya SMP, teman-teman saya tidak banyak yang tahu tentang tanaman seperti bunga seruni, bunga dahlia, semanggi, dan lainnya karena mereka tinggal jauh dari desa.

    Perekonomian di desa masih sederhana, itu juga disebabkan karena karakter mereka yang sederhana, nrimo. Begitu bukan Bu? Perekonomian yang lebih modern diterapkan oleh kaum pendatang yang menamkan modalnya di desa.

    Prameswari,
    Iya, saya berasal dari kota kecil, di ujung barat Jawa Timur.
    Sekarang sawahpun telah menjadi area perdagangan, juga telah ada universitas swasta, dan kalau pulang kampungpun semakin tak kenal karena ada angkot…dulu saya naik sepeda atau becak.

    Pengetahuan modern sebetulnya lebih untuk memanage keuangan, serta mengelola pertanian agar lebih baik.

  12. Ada juga lho yang dari Madiun sudah jadi pengajar yang cukup sukses dari segi ekonomi malah eksodus ke daerah Ponorogo yang lebih ‘ndeso’ biar bisa membenam kaki di lumpur sawah. Ibu saya contohnya….

    NdaruAlqaz,
    Sebetulnya tergantung pada kemauan dan kesempatan, ada yang kembali ke kampung untuk membangun desa, namun juga ada yang sawahnya berpindah ke tempat lain.

  13. Tulisannya bagus Bu, inspiring dan terpenting ada yang disharing untuk pembaca. Menabung itu kalau sedikit demi sedikit lebih ringan rasanya, selain itu mengajar ketelatenan yang berguna untuk banyak segi kehidupan. Pokoknya Bu Enny pakarnya deh kalau sudah bicara soal yang satu ini.

    Ngomong-ngomong baca komentar Prameswari di atas, saya jadi kangen makan semanggi. Ibu tahu kan, masakan ala Surabaya yang satu itu?

    Yoga,
    Apa masih ada ya daun semanggi…enak tuh di buat teman makan sambel pecel.

    Ini kan karena baca tulisannya Marguerite….terus ingat masa kecil, ada acara bersih desa, wayangan dsb nya.

  14. Tulisan yang amat bagus. Membuat saya ini balik ke desa, setelah puluhan tahun hidup di Jakarta, didera macet dan kehidupan yang mekanis.

    Budiono Darsono,
    Bener nih mau balik ke desa?
    Kalau ayah ibu sudah alm, dan karena beliau keduanya guru, tak ada sawah yang diwariskan. Lha sawah saya dan sawah adik-adik berbeda, tak memungkinkan untuk balik kampung.

  15. Kalau soal nabung pertama kali nabung ya pakai celengan (kenapa ya namanya kok celengan?), yg rame pas mbuka celengan meskipun uangnya sedidkit …

    Kemudian nabung di kantor pos karena sekolah dekat dengan kantor pos besar di Surabaya. Nabung di Bank ya baru setelah kerja (bukan tabungan deng, cuma rekening bank untuk transfer gaji dari kantor aja, jadi ya cuman lewat wes ewes ewes … heheeh) 🙂

    Oemar Bakrie,
    Saya pertama nabung juga pake celengan….entah kenapa dulu kayaknya beras itu merupakan barang yang sangat berharga, sehingga alm ibu juga mengajarkan menabung dengan setiap hari mencowok segenggam beras.Dan nyatanya hal ini juga diceritakan oleh teman-temanku…bahkan saya pernah baca di ceritanya Nh Dini hal yang sama.

  16. Perubahan itu memang terus berlangsung, sayangnya mungkin “tidak terencana dengan baik”, seperti di kampungku juga, hutan habis digunduli, sawa juga jadi perumahan…
    Menabung iya adalah tranformasi lumbung padi, semoga jadi kebiasaan di negeri ini. itupun kalau ada yang akan ditabung.

    Singal,
    Menabung itu memang harus, seberapa kecilpun penghasilan kita, tetap ada uang yang harus disisihkan…

  17. saya juga punya rumah di desa. rumah kakek ma nenek sih 😀
    rumahnya besar, tapi isinya gabah semua. cuma beberapa kamar depan yg difungsikan secara benar.
    heheeee.
    aneh,. rumah kok dijadikan lumbung padi

    Hoihei,
    Itu hal yang umum terjadi didesa….

  18. Jadi teringat masa kecil dulu Bu…dan juga kehidupan masyarakat Bali yang sampai sekarang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani:-)

    Gusti Dana,
    Pertanian di Bali sangat terkenal, juga sistem pengairan yang menggunakan cara subak…..

  19. ibu berasal dari suatu kota di Jawa Timur juga seperti saya. Kehidupan desa merupakan kehidupan yang akrab bagi saya saat masa kecil. Banyak hal yang dipetik saat hidup didesa, mendidik lebih tegar, pantang menyerah, andhap asor, inget sesama, dan cinta alam.
    Saya inget pada saat saya SMP, teman-teman saya tidak banyak yang tahu tentang tanaman seperti bunga seruni, bunga dahlia, semanggi, dan lainnya karena mereka tinggal jauh dari desa. salamm manissss

    Mr Pall,
    Tulisan ini memang untuk mengenang masa kecil di pedesaan, yang jauh dari polusi.

  20. Wah, tulisan ini unik ya. Aku malah ingin nabung yang banyak agar bisa tinggal di desa pada akhirnya. Wuaaahhh…

    Daniel Mahendra,
    Nabung yang banyak, terus pindah ke desa, dengan syarat ada koneksi internet. Kapankah itu?

  21. Ping-balik: Perasaanku Bercampur Aduk « Perubahan Menuju Kebaikan

  22. ada beberapa kasus di pedesaan Cigeger Garut atau Baduy sangat unik, mereka memiliki lumbung desa, yakni menyimpan beras beras sesudah panen.
    Beras beras ini tidak digunakan, kecuali saat kemarau panjang atau gagal panen..
    Indahnya hidup komunal seperti itu..

    Iman Brotoseno,
    Fungsi Lumbung desa memang dimaksudkan seperti itu, untuk menolong petani saat paceklik atau kemarau panjang

  23. wah, kayaknya di Indonesia memang dari dulu susah ya hehehe.

    Iwan Awaludin,
    Indonesia memang negara agraris, dan sebagian besar penduduk mendapatkan penghasilan dari pertanian rakyat, yang sangat tergantung pada alam (cuaca, air dan panas).

  24. jadi inget lagu ini…

    “desaku yg kucinta…pujaan hatiku…..”

    aku suka banget sama lagu itu bunda, dan suka sekali masyarakat pedesaan yang sederhana dan kental dengan gotong royongnya. Semoga dengan perkembangan teknologi desa2 di seluruh wilayah indoesia bisa semakin makmur tetapi tidak kehilangan ciri khasnya…

    Ria,
    Saya suka sekali jika mendapatkan tugas yang melalui perjalanan darat dan dari desa ke desa, melihat kehidupan masyarakat dari dekat

  25. Sepertinya memang inti segala inti adalah menabung ya…
    Meski beebrapa waktu yang lalu di salah satu koran di sini, pemerintah Australia memiliki tips jitu nan unik untuk menggerakkan kembali ekonomi yang melemah karena imbas resesi global, Bu.. Jadi ceritanya pemerintah membagikan uang gratis untuk perkara2 khusus seperti misal kita diberi uang kalau kita punya anak di Australia, atau kita kalau beli rumah didiskon sampe 21 ribu dollar!

    Itu semua semata-mata supaya orang berani berbelanja sehingga pasar bergerak dan ekonomi naik lagi.

    Begitu, Bu… lucu dan aneh ya kalau dipikir-pikir

    DV,
    Di negara maju, masyarakat cenderung suka menabung, ini beda dengan Indonesia yang masyakatnya suka belanja. Jadi itu sebabnya pemerintah Australia memberikan insentif agar masyarakat mau belanja dan menggerakkan ekonomi melalui daya beli dari sisi konsumtif. Ini dibahas di Kompas oleh M. Chatib Basri…saya juga mengutipnya sebagian pada postingan sebelum ini.

    Sedang di Indonesia, harapannya pertumbuhan ekonomi berasal dari belanja konsumtif masyarakatnya…untuk itu perlu ada peningkatan daya beli masyarakat menengah ke atas…agar mengucur untuk membeli barang2 yang dijual masyarakat di bawahnya, seperti di pasar tradisional.

  26. yah memang dengan pelbagai cara apapun namun pada intinya adlah untuk bertahan hidup di kemuadian hari ( jika keadaan darurat )
    namun memang kebiasaan menabung haruslah di biasakan sejak dini
    cerita di atas sangat mengingatkan kita pada masa masa lalu dan indahnya jika di kenn

    Genthokelir,
    Intinya adalah kita harus bisa menabung dan bertahan hidup, semoga bisa bertahan dalam setahun ke depan ini, dengan harapan nantinya ada perkembangan yang semakin baik.

  27. Waktu nabung pertama kali make satu ruas potongan bambu yang salah satu ujungnya diberi lobang tipis untuk memasukkan uang.
    Ketika kecil di kampung saya Muaralabuh-Solok Selatan, di depan rumah ada bangunan penyimpanan padi sehabis panen, namanya RANGKIANG. Sekarang susah ditemui…hiks.hiks….

    Alris,
    Mertua adik saya menabungnya juga di ruas bambu petung yang digunakan sebagai dinding/plafon rumahnya… aman dari perampok maupun penjajah Belanda

  28. Saya jadi inget desa saya
    Tapi di sana tidak ada Lumbung Padi
    Tidak ada juga Bang Desa
    Banyak penduduknya pada nyari kerja ke Kota
    Ya salah satunya saya 🙂

    Achoey,
    Dengan adanya Bulog, memang Lumbung desa peranannya menurun dan lama kelamaan menghilang, seperti yang diceritakan pak Syafri di atas

  29. halo bu enny? ..:-). pakabar?
    Sedikit koreksi ya bu, sekarang tidak ada istilah kotamadya lagi, tapi diganti dengan kota… :-)… hehehe… gak penting banget koreksinya ya bu… hihihi

    Kris Tasrin,
    Hallo….saya juga lama ga sempat blogwalking…kebanyakan acara ga jelas.
    Makasih koreksinya…sekarang cuma kota ya, nggak ada kotamadya, karesidenan dsb nya.

  30. Lama2 kampung hilang bun, Tempat dimana saya mengail ikan sekarang diatasnya sudah ada bangunan, Dulu air berlimpah sekarang tandus karena banyak pohon yang di tebang, dulu wangi pinus…sekarang bau kandang ayam bun…..ini lah kondisi kampung saya. mau protes ngak bisa, akhirnya pasrah mengikuti perkembangan yang ada.

    Dan kekangenan itu tak pernah hilang!

    Pakde
    ,
    Padahal saya menikmati postingan pakde pulang kampung. Kalau bau kandang ayam, berarti masyarakat nya pindah usaha ke peternakan ya…mungkin jika dihitung lebih menguntungkan.

  31. ingin suasana desa lagi bu? datang saja ke tempat saya di sumatera. sawahnya masih luas, belum berganti lahan beton

    Zulmasri,
    Wahh Minang memang indah nian uda…saya dua tahun yang lalu mengajak anak-anak dan calon menantu, sebelumnya berdua suami. Jalanan bersih, hijau dikiri kanannya…..rasanya pengin kembali ke sana.

  32. Satu lagi bukti kalau fungsi intermediasi dunia perbankan tidak bisa ditinggalkan dalam perekonomian modern yang semakin dinamis ini.

    Rafki RS,
    Memang sejak dulu telah ada intermediasi perbankan, dengan Bank desanya, walau bersifat lokal.

  33. Setelah membaca cerita di atas saya sadar betapa orang2 jaman dulu begitu tertib, terbiasa dgn segala keterbatasan sehingga menabung dlm bentuk apapun.
    Sepertinya lumbung desa termasuk cikal bakal perbankan kt ya Bu, menarik sekali..

    Idawy,
    Betul…dan Bank tempatmu bekerja sangat besar peranannya…

  34. Wah, Bu…
    Ibu saya juga berasal dari desa didaerah sekitar yang ibu gambarkan.
    Beliau dulu juga bekerja di instansi yang sama dengan bu Enny…
    waduh… berkelindan deh 😉

    Tanti,
    Jangan-jangan ibumu kenal denganku. Kerjanya dimana? Di Semarang?
    Wahh ternyata dunia ini kecil ya….hehehe

  35. waduh, maaf.. komen diatas OOT,

    yang ini komen benerannya :
    membaca posting ini ada dua lagu anak-anak yang terlintas di pikiran saya
    yaitu
    “Desaku yang kucinta, pujaan hatiku…”
    dan
    “bing beng bang yuk, kita ke Bank
    bang bing bung yuk, kita nabung..”

    Tanti,
    Disini tak ada komen OOT…semua bisa berpendapat…
    Iya, dari dulu kita didorong untuk selalu bisa menabung

  36. Selama ini saya belajar menabung tetapi setiap kali terkumpul dan hari raya tiba, musti rela di ambil dan dikirim saudara di desa.. 🙂 Anyway, menabung memang susah perlu kedisiplinan diri dan menahan diri.

    Btw kehidupan didesa yang sederhana justru menyenangkan karena tidak ada tekanan dan membuat orang terhindar dari depresi. Tulisannya Bunda selalu menarik untuk dibaca. Thanks

    Yulism,
    Itu berarti mutasinya aktif…hehehe…membantu saudara di desa sangat menyenangkan, apalagi jika uang itu diperlukan untuk tujuan produktif. Jika tak menabung, mungkin malah tak bisa mengirim uang…
    Kondisi sekarang, di desa maupun di kota tetap ada tekanan, tapi kalau di desa karena melihat kehijauan, tanpa macet, orang2nya lebih sabar dan lebih bisa menerima

  37. kalau ingat masa kecil…sebenarnya mereka .para sesepuh kita…dengan caranya sendiri..menabung,menjaga ketahanan pangan,cermat hidupnya….
    lha saiki…desa desa sudah sangat berubah mbak…saya tidak lagi melihat lumbung desa,atau simpanan padi diatas paga didapur mereka….

    Dyahsuminar,
    Wahh membaca tentang paga, saya jadi ingat rumah nenek suami, didapurnya ada paga…memang tak ada simpanan padi, tapi untuk menyimpan pecah belah, alat untuk memasak.

  38. Sekarang di Bali, lumbung jadi cottage… aku juga sempat mengekspor beberapa lumbung (tidak asli, karna sangat mahal) ke Perancis dan Italia. Ngak tahu tuh orang gila yg beli… orang di sini udaranya dingin sekali … Mungkin untuk musim panas ya… Untuk aku sendiri jauh punya pikiran memiliki rumah lumbung … mungkin jika aku sudah pensiun. Jadi sekarang cukup happy dengan menyimpan gambar architekturnya!

  39. Perubahan sosial telah terjadi, mengkais-kais masa silam terkadang kita temukan kekayaan berupa pranata sosial, modal sosial yang kuat.

    Kemodern harusnya mengkedepankan pemurnian kembali nila-nilai universal sehingga akan menjadi lahan yang subur bagi berseminya modal sosial.

  40. dodi ogie senna

    keberadaan Badan Kredit Desa (BKD) atau Lumbung Desa sangat di butuhkan oleh masyarakat desa yang belum tersentuh oleh layanan perbankan atau lembaga keuangan mikro lainya dan sampai dengan saat ini masih tetap eksis berjalan melayani masyarakat di desa namun kalau kita perhatikan kenapa sih pemerintah selalu menciptakan produk baru berupa dana bergulir dan sejenisnya…yang hasilnya kita lihat diatas kertas tidak maksimal ..kenapa tidak memberi kesempatan mengalokasikan dananya kepada BKD atau Lumbung supaya bisa lebih berkembang dan tepat sasaran dalam memberikan layanan kepada masyarakat desa dari pada menciptakan atau membuat produk baru yang tidak pasti hasilnya…..

  41. Abhiseca

    Apakah konsep lumbung ini benar-benar baru dikenalkan oleh Messman pada awal abad 20? Tidakkah pengetahuan jenis itu telah lebih dahulu kita miliki sekaligus kita praktikkan, yakni sejak pada masa-masa Majapahit, Syailendra bahkan jauh pada masa-masa sebelumnya? Mungkin Messman hanya memodernisasikan dalam arti menguatkan sistem manajemen karna ditopang oleh kebijakan pemerintah Hindia-Belanda yang kebetulan dalam kasus ini diwakili sendiri oleh Messman karena ia adalah Residen Cirebon dan Sumedang? Mohon keterangan detail. Terimakasih.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s