Perubahan budaya yang telah berurat berakar, mungkinkan?

Sebuah Case Study

Salah satu unit dari Bank BUMN, pada awalnya dibentuk sebagai sarana penyaluran program pemerintah, yang dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para petani. Kenyataannya hal tersebut tak sejalan dengan rencana, karena kendala berbagai hal sebagai berikut:

1.Sasaran program tidak kompatibel
Program intensifikasi padi Bimas memiliki dua sasaran utama. Pertama adalah memainkan peranan penting dalam sasaran program intensifikasi padi yang lebih luas, untuk meningkatkan produksi beras secara cepat. Dengan demikian, program Bimas menekankan pinjaman untuk pengolahan varietas padi yang meningkatkan hasil panen di sawah dengan sistem irigasi yang baik. Paket input yang tersedia melalui program kredit adalah input yang diperkirakan cocok untuk lahan seperti itu. Lahan-lahan ini harganya mahal, dan biasanya dimiliki oleh para petani yang lebih kaya.

Sasaran Bimas yang kedua, adalah untuk meningkatkan pendapatan para petani miskin. Diasumsikan, bahwa tanpa kredit, para petani tsb tidak akan mampu untuk membeli input yang dibutuhkan, untuk perkembangan teknologi padi baru, yang memungkinkan hasil panen yang lebih signifikan. Para petani miskin dapat mengambil pinjaman Bimas, dan mengolah padi yang menghasilkan panen tinggi, dan dengan cara itu meningkatkan persediaan beras Negara dan meningkatkan pendapatan petani. Akan tetapi benih dan pupuk yang disediakan melalui Bimas cenderung hanya cocok bagi sawah berkualitas tinggi yang tidak dapat diakses oleh para petani miskin.

2.Kredit Bimas terikat pada paket input
Pada awal tahun 70 an paket input Bimas membantu memperkenalkan benih-benih penghasil panen tinggi dan pupuk sintesis untuk para petani. Akan tetapi program tsb dirancang untuk pengolahan padi di sawah ber irigasi baik. Sedangkan hampir setengah sawah di Indonesia terletak di daerah-daerah lain, seperti sawah dataran rendah tadah hujan, dataran tinggi yang tak mendapat irigasi, dan tanah rawa. Seringkali pula sawah beririgasi memiliki lingkungan mikro yang berbeda.

Secara teori, Bimas mengakui adanya keragaman lingkungan dengan menyediakan berbagai paket input yang berbeda. Tapi pada prakteknya, hanya ada satu atau dua paket Bimas yang tersedia di sebagian besar kecamatan, dan ini adalah paket yang hanya cocok untuk sawah-sawah teririgasi dengan baik.

3.Departemen terkait (bukan Bank) yang menyeleksi para peminjam
Departemen terkait menetapkan sasaran-sasaran nasional dan regional untuk jumlah petani dan hektar tanah yang akan dicakup dalam program Bimas setiap musim panen. Para peminjam potensial ditentukan oleh para pejabat dari Departemen terkait tersebut dan Pejabat lokal lainnya. Secara umum, ini menjadi proses yang memungkinkan kalangan elit pedesaan dipilih sebagai peserta Bimas, dan dengan demikian mendapatkan bagian yang besar dari subsidi.

Di beberapa daerah, sasaran Bimas ditetapkan terlalu tinggi jika melihat potensi daerah tertentu menumbuhkan padi. Dalam situasi seperti ini, terjadi tekanan kepada pejabat pemerintah untuk memenuhi target, yang membuat mereka mendaftarkan peminjam Bimas tanpa melihat apakah mereka layak mendapatkan kredit atau apakah lahan mereka cocok untuk pengolahan padi.

4.Kebijakan untuk menghapus utang dan menjadual ulang pembayaran ketika panen gagal, kurang direncanakan dengan baik

Dalam kasus kegagalan panen, keputusan Presiden no.2/1976 membuat ketentuan mengenai penjadualan ulang atau penghapusan pinjaman Bimas, tergantung dari jumlah kerugian. Akan tetapi, sejak pernyataan resmi mengenai kerugian diwajibkan untuk setiap sawah, tercipta ruang terjadinya risiko penyalahgunaan.

5. Bank pada saat itu, kurang memiliki organisasi, sumber daya manusia, atau motivasi untuk mengelola unit Bank secara efektif
Staf unit Bank kurang terlatih, tidak memiliki motivasi, pengawasan kurang memadai, dan semangat kerja yang rendah. Staf Bank yang menangani Unit adalah bukan karyawan organik Bank tersebut. Dengan suku bunga pinjaman 12 persen, sedang suku bunga mayoritas simpanan 15 persen, staf Unit bertanggung jawab untuk menagih pinjaman Bimas dalam bentuk tunai, dari peminjam yang tidak boleh dipilih sendiri oleh Bank, dan kebanyakan pinjaman dalam bentuk barang. Dan karena Staf unit Bank yang menangani kredit Bimas bukan merupakan jajaran organik dari pegawai Bank, tidak ada kerangka institusional dimana Staf unit dapat berfungsi secara efektif.

Reorganisasi institusional dari Unit dan peningkatan kualitas staf merupakan keperluan yang sangat mendesak, dalam membangun keuangan mikro di pedesaan. Pada tahun 1984 para manajer baru di Kantor Pusat menyadari bahwa sistem yang kental dengan birokrasi dan senioritas, tidak efisien, tidak memiliki inisiatif, serta menciptakan peluang penyalahgunaan melalui pencairan kredit bersubsidi. Oleh karena itu perlu diadakan restrukturisasi Unit secara mendasar, agar budaya baru yang menekankan pada profesionalisme, transparansi, efisiensi, inisiatif dan tanggung jawab,bisa menjadi berurat berakar.

Suatu instrumen pinjaman dikembangkan dan diimplementasikan agar memungkinkan unit memberikan jangkauan luas dan menguntungkan bagi nasabah berpenghasilan rendah. Untuk mencapai hal tsb, Unit harus menjalankan beberapa fungsi utama yang baru, termasuk mengembangkan proses baru dalam pemilihan peminjam, metode baru untuk menagih pinjaman, serta penilaian dan manajemen tunggakan, demi mencapai tingkat pelunasan pinjaman yang tinggi secara tepat waktu. Terakhir sistem di bidang akuntansi, pelaporan, dan manajemen informasi.

Demikian pula program simpanan baru harus dirancang dan diimplementasikan untuk memenuhi besarnya permintaan akan jasa-jasa simpanan, serta untuk membiayai program pinjaman Unit. Hal ini membutuhkan peningkatan kemampuan untuk mengembangkan instrumen simpanan dengan harga yang sesuai dan karakteristik yang diinginkan nasabah. Selanjutnya kapasitas ini diperlukan untuk mengidentifikasi penabung potensial di desa-desa yang tersebar luas dan menghimpun simpanan mereka. Untuk memberikan keamanan, diperlukan manajemen arus kas, dan pelayanan bagi para penabung, sehingga mereka mau membuka dan mempertahankan rekening di Unit Bank.

Sistem baru harus mengembangkan kemampuan untuk merancang, menetapkan harga, serta menerapkan instrumen-instrumen simpan pinjam ini bersama-sama, untuk menciptakan mekanisme harga transfer yang sesuai, untuk membuat prosedur operasi yang efektif dan efisien, untuk mengembangkan program pelatihan staf baru yang dirancang untuk keuangan mikro komersial, serta untuk menyediakan proses pengawasan dan insentif berdasarkan kinerja demi mencapai produktifitas staf yang tinggi.

Untuk mengimplementasikan, mengawasi, dan mengendalikan sistem seperti itu, harus dilakukan perubahan-perubahan organisasi yang mendasar. Pada tingkat rendah, struktur organisasi Bank harus diubah dari sebelumnya branch window menjadi profit center tersendiri. Staf Unit harus diberi tanggung jawab lebih besar, diberikan wewenang untuk melaksanakan tugas-tugas mereka yang baru, dilatih dalam keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang baik, ditawarkan insentif-insentif untuk mencapai produktifitas yang tinggi, serta dimintai pertanggung jawaban atas kinerja mereka. Staf Unit juga menjadi bagian organik dari Staf dari Bank tersebut.

Langkah-langkah serupa dilakukan di Kantor-kantor cabang dan Wilayah, untuk memungkinkan pengawasan secara efektif atas kegiatan-kegiatan Unit Bank. Kantor Pusat mengembangkan manajemen informasi yang sesuai, mengkoordinasikan perencanaan, serta mempertahankan pengendalian sistem yang efektif. Pusat-pusat pelatihan dirancang dan para instrukturnya dididik sehingga dapat melatih staf Unit, dan para pengawasnya dalam Perbankan mikro.

Transformasi dapat berjalan dikarenakan komitmen Manajemen puncak, yang kemudian menggerakkan para staf sebagai change agent. Komunikasi antara Manajemen puncak dan Tim, dilakukan terus menerus, agar setiap kali terjadi kendala dapat didiskusikan dan dicari penyelesaiannya. Perubahan budaya kerja yang telah berurat berakar bukannya tidak mungkin, namun memerlukan restrukturisasi yang komprehensip, yang sebagaimana case di atas, telah dilaksanakan oleh seluruh jajaran, dengan perubahan struktur organisasi yang lebih sesuai, operasional, manajemen informasi, dan paling utama adalah Sumber daya Manusia yang akan mengawal perubahan budaya kerja tersebut, sampai dengan target yang diharapkan, serta dikelola terus menerus.

Sumber Data:

  1. Marguerite S. Robinson. The Micro Finance Revolution. Vol.2: Lessons from Indonesia. 2004. The World Bank, Washington, D.C. Open Society Institute, New York.
  2. Pengalaman penulis selama bekerja di lembaga keuangan
Iklan

12 pemikiran pada “Perubahan budaya yang telah berurat berakar, mungkinkan?

  1. hoho. dari awal negeri ini memang sudah salah olah.

    v(^_^)

    Farisj van Java,
    Pernah dengar “learning organization”?
    Organisasi pun harus belajar, justru dari kesalahan, organisasi belajar yang akhirnya menjadi kuat. Yang penting, bagaimana kita memperbaiki kesalahan tsb. Analisis Marguerite adalah setelah kejadian, tapi saya percaya strategi yang dibuat pemerintah tidak salah, cuma implementasi dilapangan memang membutuhkan pengawasan, tim yang terkoordinasi dengan baik…dan kita tahu alam Indonesia sangat heterogen, setiap daerah mempunyai jenis tanah berbeda, yang tak selalu tepat untuk ditanami oleh semua jenis tanaman tertentu.

  2. Kata kuncinya konsistensi ya Bu ya..?
    Konsisten buat terus berjalan di sistem tho ?

    DV,
    Iya sejak awal, harus konsisten, karena setiap usaha mestinya selalu berorientasi pada profit…kalaupun usaha itu ada subsidi, tetap harus tak boleh menjadi rugi.

    Disini, sejak awal pembuat kebijakan, harus memikirkan dari segala sisi. Dan kita tahu, walau sudah dipikirkan dari segala sisi, dalam prakteknya selalu terbuka ruang terjadi kesalahan, jadi dalam implementasinya harus setiap kali di review untuk melihat kekurangan yang ada dan memperbaikinya. Dan karena menyangkut skala ekonomi yang luas, maka kergian bisa menjadi lebih besar.

  3. Wah bu….. komentar seriusnya besok pagi ya atau nanti siang pada saat break…. pagi ini saya udah kehabisan waktu nih…. udah jam 7 kurang seperempat, belum mandi dan belum ngapa2in nih hehehe……. ternyata blogwalking dan membalas komen2 masuk lumayan memakan banyak waktu ya?? :mrgreen:

    Yari NK,
    Tenang kang…nggak apa-apa…santai aja….
    Habis membaca bukunya Marguerite, dia telah menghabiskan waktu untuk melakukan penelitian di Indonesia tentang keuangan mikro…jadi pengin sharing disini.
    Sekaligus agar saya lebih memahami, dari sisi pandang Marguerite.

  4. Banyak celah yang dimanfaatkan orang yang tidak bertanggungjawab ya Bu

    Sunarnosahlan,
    Pelajaran yang kita peroleh:
    – Membuat kebijakan itu tidak mudah
    – Kebijakan yang telah dinilai dari berbagai sudut pandang, tetap ada celah untuk penyalahgunaan
    – Jika membuat kebijakan yang tepat udah sulit, implemntasinya, yang melibatkan banyak pihak dengan beragam kepentingan lebih sulit lagi
    – Koreksi dilapangan (kebetulan pertanian termasuk risiko tingginya dilapangan, selain faktor manusia, juga banyak risiko dari faktor alam), tak mudah.

  5. mampiir ni buuu……… kenalan dulu yahhh……. kayaknya emang negara qta harus kembali ke khitah jadi negara agraris yah bu……..

    Ibu Rumpi,
    Negara agraris?
    Kalau lihat kondisi wilayah Indonesia malah lebih banyak lautnya…

  6. Wah… bicara mengenai sistem memang repot. Apalagi sistem yang luas yang dibawahnya ada subsistem2 lagi. Jikalau membuat atau merombak sistem yang ada secara keseluruhan mungkin cost-nya akan tinggi. Bukan hanya ‘tangible cost‘ tetapi juga yang ‘intangible cost‘. Namun terkadang sebuah sistem memang harus dirombak setinggi apapun cost-nya, sebab jikalau tidak malah justru akumulasi kerugian akibat sistem yang sudah usang tersebut atau akibat penyelewangan2 akibat sistem yang sudah mulai ‘bolong-bolong’ tersebut akan jadi menggunung setelah sekian lama.

    Yah kita harapkan saja, semoga ke depannya sistem penyaluran kredit2 kepada petani di masa mendatang bukan hanya efektif sasaran tetapi juga efektif guna dan juga efektif return bagi semua fihak…….

    Yari NK,
    Itu cerita masa lalu, kenyataannya setelah dilakukan restrukturisasi secara menyeluruh, Indonesia dikenal di seluruh dunia tentang keberhasilan mengembangkan Lembaga keuangan mikro, dan dapat award di PBB…
    Jadi tulisan ini merupakan case study yang pernah terjadi di Indonesia, dan sekarang banyak dari negara lain yang belajar.

    Marguerite termasuk tim dari Harvard yang membantu penelitian dan mengembangkan sistem nya

  7. eric

    wah perlu orang teknik kendali nih bu untuk optimasi sistem keuangan mikro hihihi..
    kalau menurut pendapat saya yang ga tau apa2x intinya banyakin feedback sih bu.. ada pendampingan yang melekat misalnya jadi situasi di lapangan selalu diketahui dan bisa dikendalikan dengan benar.. bank tidak hanya memberi kredit, saya ga tau mungkin yang pemenang nobel dari pakistan(lupa bener apa ga ) yang membuka bank untuk rakyat miskin bisa dijadikan rujukan juga..

    Eric,
    Maksudmu Gramen Bank, yang dikelola oleh Moh Yunus dan pernah dapat Nobel?
    Hal ini pendekatannya agak berbeda, Gramen Bank memberikan bantuan dalam bentuk kelompok, sebagian besar terdiri dari kaum perempuan miskin…..berhasil, namun perkembangannya tidak secepat pengembangan Lembaga keuangan mikro di Indonesia (ini menurut pakar int’l yang meneliti berbagai keuangan mikro di seluruh dunia ).

    Harus diingat, keuangan mikro di Indonesia telah ada sejak zaman penjajahan, diawali dengan Bank desa (lihat tulisan saya sebelumnya).

    Kayaknya boleh dicoba Eric, bagaimana teknik kendali dipadu padankan untuk mengendalikan optimasi sistem keuangan mikro. Mesti diskusi sama pak Dim….

  8. dari kelemahan-kelemahan yang diangkat dalam studi kasus ini, ternyata indonesia akhirnya berhasil dalam hal restrukturisasi dan justru berhasil mengembangkan lembaga keuangan mikro. permasalahan dalam bidang pertanian negeri kita kiranya sangat kompleks ya, bu? tapi saya bangga juga dengan pencapaian ini. sudah semestinya, karena indonesia memiliki wilayah geografis yang bisa sangat maju dalam bidang pertanian kalau dikelola dengan baik.

    para petani pun harus terus diberi encouragement supaya orang tak melulu ingin meninggalkan profesi yang mulia ini.

    Marsmallow,
    Benar, dan perjuangan ini tak kenal henti…karena wilayah Indonesia demikian luas, dan belum semuanya terjangkau oleh lembaga keuangan mikro. Bagi rakyat kecil, terutama rakyat di pedesaan, lembaga keuangan mikro inilah yang dapat menjangkau mereka. Dan melayani mereka harus dengan hati.

  9. memng sih kita harus konsisten sejak awal karena setiap usaha mestinya selalu berorientasi pada profit

    Iwan,
    Yup…tapi dalam prakteknya kita juga harus mau memperhatikan yang lain. Untuk saat ini, perusahaan yang bisa berumur panjang, selain dapat menghasilkan profit, juga harus berpikir untuk kepentingan stakeholder

  10. Rakyat kecil yang selalu menjadi korban. seharusnya yang diatas bisa belajar dari pengalaman yang sudah untuk di perbaiki agar lebih baik.

    Wa2n,
    Coba baca lagi tulisannya pelan-pelan….tulisan di atas adalah studi kasus, yang diteliti oleh antropolog dan ahli keuangan mikro. Penelitiannya, antara lain di negara Indonesia. Dan jika dibaca akan bisa terlihat, itu adalah cerita pembelajaran, bahwa kebijakan yang baik, dilapangan bisa terjadi berbagai macam hal yang menjadi tidak tepat sasaran.
    Dibantu tim, akhirnya diadakan koreksi, restrukturisasi, dan akhirnya menjadi berhasil.
    Dan cerita ini sebetulnya masih terus bersambung…tapi nanti dulu deh.

  11. Belakangan hectic tak sempat BW dan nulis, boleh saya baca kalau sudah senggang ya Bu? Saat ini lagi ingin baca yang ringan-ringan. 🙂

    Agoyyoga,
    Boleh…boleh…waduh…padahal saya pikir udah kayak dongeng

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s