Membaca postingan mas Iman tentang bulan Film Nasional 2009, yang diadakan selama bulan Maret 2009, mengingatkanku pada si sulung. Betapa senangnya dia jika masih berada disini, karena dia penyuka berbagai jenis film. Ketika saya mengobrol dengan teman, ternyata pemutaran film juga diadakan di Salihara, yang berlokasi di Jalan Salihara 16, Jakarta Selatan, dan tak terlalu jauh dari lokasi tempat tinggalku. Kemudian saya teringat postingan Yoga, tentang Salihara disini.
Setiap akhir pekan, sejak sebulan ini hari-hariku tak lepas dari undangan, dan Minggu ini ada undangan dari tetangga dekat yang wajib untuk dihadiri. Setelah mengecek jadual, temanku mengajak, bagaimana jika kita menonton Minggu siang ini? Saya setuju, dan agar memudahkan mengatur waktunya, bagaimana jika dia menemani untuk ikut ke kondangan, baru setelah itu pergi ke Salihara.
Salihara mempunyai fasilitas gedung kesenian yang memiliki Black Box Theatre dengan kapasitas tempat duduk 200 orang. Selain itu terdapat ruang untuk pameran, untuk perpustakaan, untuk distro, serta kedai Salihara yang juga dilengkapi dengan hot spot. Sebagai fasilitas pendukung sarana Komunitas Salihara, kedai Salihara juga menerima dan melayani Grup/Corporate meeting, Coffee Break, Ulang Tahun mulai dari 25 orang sampai 300 orang.
Kami datang masih sekitar jam 1 siang, sambil menunggu kami melihat-lihat perpustakaan yang ada lukisan tiga serangkai.

Dari ruang perpustakaan, kami menuju ke Galeri Salihara, tempat Hanafi sedang mengadakan pameran tunggal, dengan judul “Tentang Ruang dan Bayang“. Yoga pernah mengulas hal ini dalam tulisannya. Bagi Hanafi, pengertian “bayang” mengandung dua pengertian: 1) kenangan atau hal yang muncul dalam pikiran, dan 2) sebagai shadow atau bayang-bayang secara harafiah. Berdasar pengertian pertama, Hanafi mencoba melukiskan kembali banyak hal yang melintas dalam hidupnya. Dalam gelap, muncul bayang-bayang yang kemudian menjadi warna dan rupa. Berangkat dari pengertian kedua, Hanafi ingin mengukur diri, melihat kembali batas-batas dirinya, yang terlihat dari bayang. Saya tertarik dari hasil kreatif Hanafi, yang menggambarkan orang-orang yang tidur dalam posisi seperti fetus. Dan temanku yang penikmat seni itu, mengatakan bahwa gambaran tersebut menunjukkan kondisi yang sedang under pressure.
Proses kreatif Hanafi lainnya, menunjukkan gambaran seperti orang membungkuk, yang sedang mengukur. Dan, kembali temanku yang memahami seni itu, mengatakan bahwa itu menunjukkan gambaran seperti “mengukur bayang”.

Bagi Hanafi, bayang mencerminkan obyek, karena bayang memang setia dan tidak pernah jauh dari obyek.
Karena acara film nya masih lama, kami mencoba menaiki tangga dan melihat suatu teater terbuka, yang terletak di atap gedung, ditanami rerumputan.
Situasi Salihara yang tenang, membuat kami bisa bereksplorasi, melihat sekeliling gedung, yang penuh dengan hal-hal kreatif. Pada lorong antara gedung satu dan lainnya terdapat dekorasi yang menarik, juga ada mural di tembok taman.
Puas berjalan-jalan mengitari Salihara, kami mencoba es cream di kedai Salihara, sambil menunggu film dimulai. Orang mulai berdatangan, tapi saya lihat mereka kemudian asyik berselancar di internet sambil menikmati makanan di kedai tersebut.
Tak terasa waktu mendekati jam 14.30 wib, dan rasanya yang datang nggak banyak. Akhirnya kami menuruni tangga ke arah ruang tempat pemutaran film, dan apa yang terjadi? Ternyata film dengan judul “Masa Topan dan Badai” telah diputar sekitar 15 menit yang lalu. Saya dan teman melongo, mungkin kami membayangkan diumumkan sebagaimana kalau nonton di Twenty one atau di Blitz Megaplex. Di pintu masuk, kami diminta menuliskan nama, serta nomor email, untuk bisa dihubungi jika Salihara ada acara yang kemungkinan membuat kami tertarik.
Film “Masa Topan dan Badai” di buat tahun 1963, dengan sutradara D. Djajakusuma, dan pemain: Wahab Abdi, Sri Redjeki, Sari Narulita, Keiko Takeuchi, Rendra Karno, Bambang Irawan. Cerita mengisahkan seorang seorang ayah (Kaslan), bekerja di sebuah Bank. Kaslan pegawai Bank yang lurus dan jujur, sedangkan isterinya (Miah) lebih bersifat longgar pada disiplin. Kaslan sangat keras dalam mendidik kedua putrinya, Wati dan Tina. Sikap ini menyulitkan Wati, sehingga Wahab (teman sekelas Wati) takut mendekati Wati.
Sepanjang film saya geli melihat baju yang dipakai para pemainnya, yang rata-rata memakai rok yang mengembang di bawahnya, dengan rambut para wanita di sasak, serta sepatu hak tinggi yang ramping. Juga ada cerita tentang Ganefo, serta jembatan Semanggi yang masih kosong dan sepi. Kendaraan becak masih terlihat banyak yang berlalu lalang, dan mobil hanya sesekali lewat. Cerita terasa sederhana jika dibandingkan sekarang, dialog juga terasa aneh, namun saya merasakan bisa melihat situasi kebelakang, Jakarta pada tahun 1960 an. Dan atraksi yang saat itu populer adalah tari lenso, dan ibu-ibu yang bersanggul dengan kain panjang, menari lenso melingkar bergandengan tangan dengan para suami. Dan pada saat film sudah selesai, kami kaget..Lho!…ya soalnya membayangkan masih ada cerita lanjutannya. Dan konyolnya, baru membaca buku panduannya setelah film selesai ditonton, jadi mengingat-ingat kembali siapa kira-kira pemain yang dikenali, dan rasanya hanya Bambang Irawan. Betapapun, saya puas (walau gambarnya sudah tidak bagus lagi), karena bisa melihat film lama, dan membayangkan masa pada saat film itu di buat, dan situasi yang melatar belakangi saat itu.
Ini memang pengalaman pertama menonton film seperti ini, mungkin saya perlu menyempatkan waktu lagi untuk menonton lain kali, untuk menambah pengalaman. Jika masih ada yang ingin menonton, Bulan Film Nasional masih akan berakhir pada tanggal 31 Maret 2009, dan anda bisa mengakses di http://www.kineforum.wordpress.com, http://www.dkj.or.id dan http://www.salihara.org untuk mendapatkan informasi.
kira-kira kalau ngajak pak Roes, beliau pasti suka juga ya…
ah sayang kmrn saya absen. mudah-mudahan minggu depan bisa ikut
Utaminingtyazzzz,
Iya, pak Roes penikmat seni…..sebetulnya saya tak terlalu memahami, syukurlah kemarin mengajak teman yang mengerti, dan sabar…yang mau menjelaskan satu persatu.
Senang membaca tulisan ini, nampaknya Ibu dan temannya menikmati betul suasana Salihara. Lha itu yang berbaju hitam, apa tengah tertekan juga? 😀
Yoga,
Hehehe….saya baru paham, ternyata gambaran orang yang sedang tertekan seperti itu ya. Jadi ingat ceritanya Bella (dalam serial Twilight Saga)…kalau lagi stres duduk membungkuk, dan menutupi wajahnya dengan kehua tangan.
Tapi gambaran itu, gambaran saya kalau PMS dan memang lagi sakit perut…..
Di youtube, paling banter akhirnya nonton Boneka Indiana.. hehehe… Aku juga dapat Soerabaia 45 😛
Pengen deh dapat film-film hitam putih seperti Loetoeng Kasaroeng.
Kunderemp,
Ternyata menyenangkan melihat film lama, melihat bagaimana teknologi pembuatan film saat itu dibandingkan sekarang, bagaimana budaya orang saat itu, perspektifnya (cara orangua menghadapi anaknya), juga konflik yang ada, yang terlihat lebih ringan, dsb nya.
oalah kirain kmaren nonton “Confessions of a Shopaholic” hehehe…
Baca komen Yoga jd senyum2 sendiri 😛
Si Bulet,
Mau juga sih, biar bisa ketawa-ketawa…mungkin nantinya nonton sendiri kalau nggak males…padahal bioskop nya dekat. Popy ada rencana ke Jakarta? Bisa nonton kita
Alow bunda.., rtn suka bgt smua tulisan bunda. Sebagai wujud penghormatan rtn ke bunda.., ada award nich untuk bunda..
Dengan tidak mengurangi rasa hormat, award silakan diambil di blog rtn yaaa…… 🙂
Ratna,
Makasih dan syukurlah kalau tulianku ada yang menyukai.
Dan makasih untuk awardnya, walau nggak janji ya untuk menuliskannya….
apa kabar bu, lama ga mampir
Cutemom cantik,
Kabar baik…
jadi pengen nonton nih…
Krismariana,
Filmnya menarik kok…kalau mau tiap hari bisa lihat di TIM, karena di Salihara hanya hari Minggu
Bu, terima kasih infonya. Saya sering denger tentang kegiatan di jalan Salihara ini, tapi belum pernah ke sini. Jadi niat beneran nih. 🙂
Toni Wahid,
Bagus mas Toni, dan bisa buat obyek foto…baca komentarnya Zam di bawah ini
Saya juga dapat undangan ini Bun, tapi belum niat nontonnya, takut ngantuk 😀
Met hari Senin Bunda…
IndahJuli,
Kalau dari kantormu, enakan nonton di TIM, bisa setiap hari. Sayang rumahku jauh banget dari TIM…dulu saat masih tinggal di jl. Minangkabau, kemudian Rawamangun, saya sering menonton di TIM
bunda enny nggak hanya ngefans sama buku.. film juga,.. hebad.. bun.. 😀
Puak,
Yang berbau seni saya memang suka, karena sejak kecilnya suka menonton tari, terus suka dengerin orang baca puisi (padahal aku nggak ngerti tentang puisi), dan saya suka mengunjungi TIm dahulu waktu masih lajang dan saat awal menikah, selain rumahku dekat, juga suami orang seni. Saat anak-anak masih kecil, keraanku menemani mereka konser piano dari satu tempat ke tempat lain.
Di Bandung, kebetulan rumahku dekat STSI, suka nonton teater di sana….sekarang memang kebanyakan sibuk yang lain.
Kebetulan kemarin saya ketemu teman yang suka tentang hal yang sama…dan ketemunya di blog…betapa menyenangkan nya blog ya.
idem dengan puak….
buku dan film…hebat!
kelihatan ibu menikmati benar hari minggunya.
EM
Ikkyu_san,
Jika rumahku dekat TIM, mungkin saya suka keluyuran kesana. Dulu sering kesana dengan suami.
Minggu yang indah Imel….menonton film lama, sambil ketawa2 mengomentari entah dari pencahayaan, gaya pemainnya (yang jadul banget), cara bicaranya yang mungkin sekarang istilahnya udah tak terpakai lagi. Dan saya membayangkan Jakarta masa itu, saya ke Jakarta pertama kali di ajak ayah tahun 1967, itupun Jakarta masih sepi banget.Apalagi ini film tahun 1963.
wuih, ada tah acara2 beginia? yah, tadinya akhir pekan kemarin ikut nonton juga, yak. ga tau akhir pekan ini luang ato kagak.
v(^_^)
Farijs van Java,
Kalau mau nonton di TIM ada tiap hari, bisa sepulang kantor….ada yang mulai jam 19.30 wib.
saya pernah tour di sana bersama si “empunya” Salihara, mas GM.
konon teater di Salihara itu adalah teater akustik paling keren se-Indonesia. suara dari luar sukses diredam dengan mantab di dalam sana. walau kata mas GM teater itu ada “penunggunya”.. heheheh..
galeri oval-nya juga keren. oiya, teater rumput di atas itu keknya asyik untuk dipakai acara kumpul bloger (kopdar).. konon mas GM sudah mengijinkan salah satu ruangannya untuk kegiatan blogger.. 😀
Zam,
Wah keren dong….
Kalau penunggu, itu hal biasa untuk gedung seperti itu ….yang penting nggak mengganggu.
Nahh kapan kita kopdar disana? Zam yang jadi EO nya, atau Chika? ..makanannya kayaknya nggak mahal kok, dan acara kayaknya bisa nggak dibatasi, asal nggak mengganggu tetangga sekitar (kalau di teater terbuka mungkin mengganggu). Di depannya Salihara, juga ada angkringan, kayaknya menarik.
Zam, saya malah belum pernah mencoba angkringan Gembul di depan markas dagdigdug…kemarin pas ada acara kebetulan saya pas keluar kota…padahal kalau disitu juga dari rumah dekat (maklum gini nih kalau nggak bisa nyetir sendiri).
Bu, saya selalu tertarik untuk mengetahui segala sesuatu dari masa lampau, ya suasana, tempat, mode, lagu, gaya hidup…. kalau bisa mengetahuinya dari buku atau film jadul seperti ini.. wah, rasanya bisa memanjakan imajinasi saya… Jadi pengin nonton deh Bu.. hehehe..
Tanti,
Wahh kalau Tanti di jakarta, kayaknya temenku yang suka hal begini nambah deh…suka buku, diskusi buku, nonton film dll.
@Zam,
saya sudah “rasan-rasan” dengan Bu Enny untuk mengadakan kopdar di sana. Apalagi di depannya ada angkringan khas Yogya yang buka cuma malam hari, saya belum tahu wujud angkringan itu, karena cuma selintas, tapi jadi penasaran juga.
Yoga,
Kita tunggu gerakan Zam..pasti menarik kopdar disana…
Apalagi Zam kenal dengan pak GM. Dan kopdarnya bisa diisi hal berguna…nonton film bareng, baca puisi, bedah buku dsb nya….
Wah keren..
Meski film film jadul tapi pasti sarat penuh makna kan Bunda….
Jadi pengen liat juga nich….
Bocahbancar,
Iya, Film kan niatnya juga untuk edukasi masyarakat…makanya saya heran kok belakangan banyak film horor, itu kan hanya menghibur…Mestinya selain untuk menghibur, tetap ada nilai edukasinya.
Wah Ibu mulai merambah ranah seni dan budaya lebih dalam dan dalam lagi!
Salut, Bu!
Kita memang tak harus hanya ke 21 or megablitz atau apalah namanya itu, banyak tontonan alternatif yang bisa dilihat di venue-venue seperti itu!
DV,
Saya sejak dulu menyenangki hal-hal seperti ini. Kalau di Bandung, sering ke pementasan teater, karena suami memang mengajar di seni. Juga saya sering nonton sendratari, konser piano, nonton wayang, pembacaan puisi…cuma setelah makin sibuk, dan suami lebih banyak di Bandung, banyak acara yang terlewatkan.
Sepakat dengan Zam dan Yoga, mari kita kopdar di Salihara!
Sejak kecil, saya sering mengikuti Bapak dan Ibu ke acara2 seni seperti itu. Kemudian lanjut waktu di kuliah di Jogja. Biasanya sama komunitas B21 (ya kan, Zam?).
Saya benar-benar rindu aroma itu. Bayangan berkumpul dengan teman-teman blogger dengan suasana Salihara, duh duh, belum2 dada saya sar sir lho, Bu.
Hayuks…
Sanggita,
Kayaknya minat kita mirip…mungkin karena ayah Sanggita ternyata kenal dengan suami saya ya.
Dulu, saya terbersit ingin menjadi penari…hahaha…gara-gara suka menonton penari Viatikara (masih ada nggak ya). Saat anak-anak kecil, saya suka menonton konser piano…..nonton wayang, mengasyikkan lihat ki Manteb melakukan sabetannya.
saya baru tahu tentang Salihara
wah jian katrok
Tomy,
Saya juga karena baca blognya mas Iman tentang Kineforum….
Wah idem ma Tomy diatas…
Salam kenal bun…:)
Gek,
Sakam kenal juga, makasih telah berkunjung ke blogku
wah,klo saya mah sukanya film kungfu atau action lain jaman pertengahan yg msh pake pedang hehe.. ga spt action biasa, kadang banyak memuat filosofi hidup entah lewat kaligrafi atau way of life jagoannya :P. sayang dah jarang sekarang,paling yg baru film redcliff
Eric,
Kalau mau memilih, sebetulnya yang di Kineforum, yang berlokasi di TIM (Taman Ismail Marzuki) karena filmnya diputar setiap hari selama bulan Maret 2009. Tapi lumayan jauh dari tempat tinggalku dan males macetnya
Aku masih terpana dengan “Lukisan Tiga Serangkai” itu, Bu. Rasanya kalau bisa mengoleksi, bisa kupandangi berjam-jam lamanya tanpa gangguan.
Daniel Mahendra,
Lukisannya memang indah…..
Udah aku masukin ke daftar kunjungan saat pulkam. Tks!
Juliach,
Hmm…memang menarik…..
Wah bunda Ratna penikmat film juga, terus nonton film jadul. Hem jadi teringat nostalgia ya bun 🙂 🙂 🙂
Photo Pamerannya keren bunda Ratna, seperti yang ditulis juga oleh mbak Yoga. Sarat dgn pesan seni bagi penikmat seni tentunya 🙂 🙂 🙂
See you bunda Ratna 🙂 🙂 🙂
Best regard,
Bintang
Elindasari,
Gara-gara baca tulisan Yoga, jadi pengin kesana…selama ini saya tahunya TIM, dulu sering ke TIM saat rumahku masih di daerah Rawamangun. Sekarang jauh dan macet sekali…jadi udah “awang-awangen” dulu.
Waah ,,,mbak,,,kok ikutan pada pose yang under pressure ???
Saya ngiri banget…mbak eni bisa santai menikmati suasana Salihara..kapan ya..saya bisa kesana ?? 🙂
Dyahsuminar,
Wahh mbak Dyah hebat…selain teman yang diajak menemani jalan-jalan ke Salihara, tak ada lho yang tahu bahwa foto under pressure ada tambahan nya…..hehehe
Nanti kalau mbak Dyah ke Jakarta, dan semoga saya ada waktu (nggak ada tugas mengajar atau ke luar kota), saya temani ke Salihara…dekat kok dari Cipete Raya.
wah,, jadi pengen kesana..
kapan ya? 😀
Billy Koesoemadinata,
Kapan aja bisa kok..dan kayaknya semakin sore makin banyak yang datang
Film jadul favorit saya: Miyamoto Musashi. Nontonnya di Liga Film Mahasiswa. Tiketnya 1000 rupiah saja, tiga malam berturut-turut. Kalo di bioskop kayaknya ngga bakalan ada lagi ya film jadul yang diputar?
Iwan Awaludin,
Wahh saya belum pernah nonton pak…tapi buku Mushasi nya punya, awalnya baca cerben nya di Kompas, kemudian beli saat ada di Gramedia.
Kalau yang ditonton kemarin memang untuk Film Nasional, selama bulan Maret 09, dan di tempat khusus (bukan di bioskop twenty one atau Blitz Megaplex)…jadi nggak ada film asing. Bukankah kita harus mendukung majunya perfilm an nasional (buat saya selain film horor masih bisa dinikmati)
wah kapan ya saya bisa merasakannya
seru deh kayaknya 🙂
Achoey,
Kapan kalau ada waktu, lokasinya mudah dijangkau kok
Ping-balik: Jangan Tidur « Amalia (On Earth)
Salihara … ?
Jakarta selatan … ?
Ah aku ketinggalan ini …
(cari aaahhh)
NH18,
Kalau mau nonton film Nasional 09 yang diadakan selama bulan Maret ini, hanya hari Minggu, mulai jam 14.30 wib….
Tapi disana selalu ada pameran dan banyak acara kesenian lainnya.
asyiknya menghabiskan liburan dengan aktivitas yang bervitamin, bu enny.
dan menonton film jadul itu… hihi… kadang aneh membayangkan bahwa kota jakarta pernah selengang itu, atau orang-orangnya pernah berbicara dengan gaya aneh begitu, atau berdandan senorak itu ya, bu? bagi ibu pribadi, bagaimana film jadul dibandingkan dengan film sekarang ditilik dari kedalaman temanya?
(ah, pertanyaan yang nggak penting banget deh, marshmallow)
Marsmallow,
Itulah yang menarik…saat itu pergaulan masih sangat sederhana, jadi orangtua membelikan anaknya berbagai fasilitas di rumah, agar anak bisa belajar dan santai, tapi lupa anak juga perlu bergaul dengan teman-teman. Film yang saya tonton kemarin, hanyalah menceritakan keluarga yang ayahnya disiplin pada aturan, namun ibunya longgar.
Saya terkikik terus sama teman, membayangkan dulu betapa nyamannya hidup, dan betapa sederdana permasalahan yang dihadapi.
Beneran Bu Enny yg ikutan pose?
*mbolak-mbalik ngeliatin gambar Under Pressure*
whoala Bu.. Bu.. rileks sekali keliatannya.. jd pingin ke Salihara hehehe
Idawy,
Ternyata Ida teliti …banyak yang nggak menyadari,,,,
Saya merasa agak aneh melihat lukisan Tiga Serangkai yang dipenuhi dengan bunga-bunga. Bukannya Tiga Serangkai itu tokoh perjuangan nasional, dengan gelora semangatnya menentang penjajahan? Kok diberi nuansa bunga-bunga yang romantis? Sepertinya nggak klop, aneh gitu …. (maaf kalau saya yang salah 😀 )
Lah, itu yang tidur ‘njingkrung’ pakai baju hitam-hitam, itu Mbak Enny to? Ealaaah …. saya kira bagian dari seni instalasinya je … wakaka 😀
Saya pernah nonton film lama (dan nontonnya juga sudah lama, kira-kira 20 tahun lalu), “Tiga Dara” kalau nggak salah karya Usmar Ismail, wah … bagus juga …
Tutinonka,
Entahlah mbak Tuti, saya tak terlalu memahami seni lukis…mungkin buat pelukisnya bunga2an tadi sebagai latar belakang, agar terasa menyegarkan, mnunjukkan ada kedekatan antara sesama tiga serangkai tadi.
Hehehe…mbak Tuti awas juga….
Saya sebetulnya pengin nonton “Tiga Dara”, sayang waktunya tak sesuai dengan waktuku.
Sodara saya pernah cerita ini, beda dikit…pemaparan bahas mulut dengan postingan ini lain, apa karena sodara saya nggak ngubek semua tempat ini ya….?
Filmnya manna bun?
Pakde,
Saya nggak mudeng soal “bahas mulut”..maksudnya percakapan?
Maksudnya gambar film nya? Kan dilarang memfoto pakde…
aduh bunda…aku ngiri bener deh sama Bunda, udah menyempatkan baca2 buku keuangan dan perbankan masih pula meyempatkan menonton film-film itu..padahal kan bunda maish sering ngasih training dan pelatihan…
bunda hebat!
Ria,
Itu justru untuk memberikan keseimbangan
saya baru sekali berkunjung ke blog ini, sangat mengesankan. salam kenal dari blogger baru di jakarta.
Jobinfocareer,
Salam kenal juga, makasih telah berkunjung
WA!!! Saya juga abis dari Salihara mbak! Pengen foto sama Goenawan Mohamad tapi malu mintanya.. yang aku tonton waktu itu.. Ambisi-nya Bing Slamet.. eh emang taman yang di atas itu teater juga ya mbak..? Hem..
Titiw,
Di atas memang ada teater terbuka, berupa halaman rumput, dengan bangku mengelilinginya.
Kenapa malu? Kemarin kami ketemu pelukis Hanafi, langsung minta agar beliau mau berfoto bersama.