Pagi masih gelap gulita, namun ayam di kandang telah ramai berkotek, minta dikeluarkan dari kandangnya. Beberapa ayam yang tidur di pepohonan, mulai meneriakkan suaranya. Saya masih malas bangun, hawa yang sejuk, membuat ingin kembali menarik selimut.
“Ayo Nduk, bangun,” suara lembut ibu membangunkanku. Ibu membiasakan kami belajar pagi-pagi, karena saat pagi hari suasana yang tenang dan segar, membuat apa yang dibaca lebih mudah dipahami. Setelah belajar, sebagai anak sulung, saya mendapat tugas membeli lauk untuk makan pagi. Lauk yang disukai antara lain adalah tempe “cemindil” yaitu tempe yang belum rekat benar (belum jadi), dibungkus daun pisang dan daun jati, enak sekali dimakan hangat-hangat, ditemani nasi putih hangat dan sambal kecap. Jenis sarapan lain yang disenangi keluargaku adalah nasi pecel, yang juga dibungkus daun jati beserta daun pisang.
Penjual tempe bungkus dan nasi pecel ini adalah para tetanggaku di kampung, di kota kecil, tempat saya dan adik-adik saya menghabiskan masa sekolah sejak SD s/d SMA. Merupakan pemandangan biasa, melihat suami isteri saling bahu membahu, untuk menyiapkan barang dagangan nasi pecel. Isteri bertugas memasak, dan suami yang membantu menggotong barang dagangan ke meja yang diletakkan di pojok jalan kampungku. Pembeli kadang sudah menunggu sejak barang dagangan belum ada di atas meja. Dan, karena saat itu saya masih kecil, saya sering diminta untuk membantu membawa barang dagangan dari dapur ke meja di luar.
Dipojokan jalan terdapat warung yang menjual kebutuhan sehari-hari yang dikelola oleh bu Amat. Pak Amat sendiri mempunyai kereta kuda (andong atau dokar), setiap hari membawa para pedagang yang membawa barang dagangan di kampungku ke Pasar Besar di yang terletak di kota. Siangnya pak Amat akan membeli barang kulakan *, yang akan dijual oleh isterinya di warung. Warung bu Amat ini laku sekali, dan bu Amat juga memperbolehkan orang mengambil barang dagangan tanpa membayar lebih dahulu, yang nanti akan dibayar saat para pegawai negeri menerima gaji. Disinilah keluargaku berbelanja, kadang menitip barang dagangan tertentu, jika tak sempat ke pasar sendiri, maklum Pasar Besar cukup jauh. Kadang-kadang jika hari Minggu, ibu menyuruhku berbelanja ke pasar, biasanya saya pergi bersama teman-teman anak tetangga, yang juga disuruh orang tuanya berbelanja ke pasar. Seiring dengan pertumbuhan usia, saya bisa naik sepeda, sehingga jarang belanja di warung bu Amat, hanya kalau melewati warungnya saya mengangguk untuk menyapanya. Saya biasanya mampir ke Pasar Besar, setelah kegiatan sore hari, dan belanja untuk diolah keesokan harinya, maklum ibu juga bekerja di luar rumah, sehingga pada siang hari rumah dalam keadaan kosong.
Kadang-kadang pada musim libur sekolah, ayah mengajak kami mengunjungi nenek di Randublatung, kota kecil dipinggir hutan jati, di dekat kota Cepu. Rute yang ditempuh, selepas kota Ngawi adalah memasuki hutan jati yang berkelok-kelok, yang nantinya akan langsung mencapai kota Randublatung. Jika pagi Subuh, berderet-deret orang menggendong bakul yang berisi barang dagangan, seperti daun jati, dan lain-lainnya. Mereka berangkat dari rumah sejak pagi masih gelap, dengan harapan nanti dapat mencapai pasar pada pagi harinya, dan hasil penjualan barang dagangan dibelanjakan kembali untuk bahan pangan di rumahnya.
Lingkungan kampungku, terbagi dua, daerah Ngrowo yang masih di dalam, penduduk pada umumnya bekerja di sawah, berdagang, dan beternak. Sedang yang dekat rumahku, disebut Ngrowo baru, penduduknya berasal dari pendatang, atau kalau sekarang disebut keluarga muda, yang rata-rata bekerja sebagai pendidik (guru, dosen dll), polisi, tentara, dokter dan lain-lain. Adalah hal yang biasa melihat suami isteri bekerja di luar rumah, andaikata isteri tak bekerja di luar rumah, rata-rata mereka juga dapat menambah penghasilan keluarga sebagai penjahit, menjual makanan jadi (seperti abon, rempeyek, tempe kripik dll). Orangtuaku, yang keduanya bekerja di luar rumah, selalu menekankan agar anak perempuannya harus mempunyai penghasilan sendiri agar mandiri. Hal ini penting karena kehidupan pernikahan merupakan perjalanan yang panjang, dan banyak kerikil tajam yang harus dilalui. Dengan ibu yang bisa mendapatkan penghasilan sendiri, walau sedikit, akan memudahkan kelangsungan pendidikan anak-anak jika terjadi apa-apa di kemudian hari. Perempuan berpenghasilan ini tak harus bekerja di luar rumah, karena banyak cara untuk mendapatkan penghasilan, apalagi pada masa sekarang yang semakin mudah dengan adanya komunikasi yang makin canggih.
Kampungku saat ini sudah sangat berubah, sawah ladang telah hilang dan sebagai gantinya telah berdiri rumah-rumah, anak-anak para petani pada umumnya telah bekerja ke luar kota dan hanya sewaktu-waktu pulang ke kampung. Andong atau dokar telah lama digantikan dengan angkot, bahkan di kotaku terakhir kalinya saya mendengar telah di buka Carrefour di lokasi bekas terminal bis. Saya beserta adik-adik juga telah berladang di luar kota, jauh dari kampungku, namun hasil didikan ibu masih terngiang di telinga, bahwa sebagai perempuan tetap harus bisa mandiri, tanpa mengabaikan tugas dan kewajiban kita sebagai ibu yang bertanggung jawab mendidik anak-anaknya dan kelangsungan hidup keluarga.
Catatan:
*kulakan= membeli barang dagangan, yang nanti akan diperdagangkan kembali
waaahhh pecel ituh, jadi kangen makan pecel. Di sini jarang sekali ditemui. Waktu kecil dulu saya sarapan beli pecer seharga Rp. 100 perak.
Adipati Kademangan,
Hmm kalau di Jakarta dimana ya makan pecel pincuk yang enak? Pake daun pisang dan daun jati?
Dan anehnya tak pernah bosen makan tempe goreng dan pecel…dulu suka diledeki tante kost saat di Bogor, karena suka mencari tempe, walau ada makanan lain.
minggu kemarin saya bawa banyak banget bumbu pecel buat di bawa ke kamboja, biar bisa bikin sendiri disini.
Boyin,
Sambel pecel memang enak dimakan sama apa aja…..dan bisa tahan lama..
Dulu waktu tinggal di Jogja, aku suka banget tempe cemindil itu lho bu,… rasanya lain dari tempe biasa.
Kangen juga nih, makan tempe itu lagi..
Puak,
Iya nih, sekarang susah cari tempe cemindil…malah adanya tempe yang udah kematangan (tempe bosok), yang enak dibikin sambel tumpang (tapi saya tetap belum bisa menikmati enaknya sambel tumpang).
Satu hal yang tak berubah di dunia ini adalah perubahan itu sendiri ya Bu.
Rafki RS,
Yup….betul…
bangun pagi-pagi memang menyegarkan, merangsang untuk bekerja dengan optimal
Sunarnosahlan,
Yup setuju…sampai sekarang jadi terbiasa bangun pagi…kalau kesiangan malah pusing
Wah Carrefour rupanya sudah merambah kota kecil ya Bu…
Istri harus punya penghasilan memang nasihat yang baik Bu. Ini sekaligus untuk tindakan preventif jika terjadi apa2 dnegan perkawinan maupun jika terjadi apa2 dengan suami. Meski demikian, tak jarang ketika penghasilan istri akhirnya lebih besar dari suami,konflik bisa muncul jika suami merasa minder ataupun istri merasa jumawa. Intinya, hubungan keduanya harus berdasar asas saling menghargai.
Hery Azwan,
Carrefour memang sudah ada dimana-mana…saya berpikirnya kasihan untuk para pedagang tradisional. Untuk konsumen sih jelas senang dengan adanya berbagai pilihan untuk belanja.
Bang Hery, sebetulnya semua tergantung dari pasangan itu, saya punya banyak teman yang gajinya jauuuh lebih tinggi dari suami, bahkan kedudukannya juga, namun hubungannya tetap baik-baik aja. Memang juga dibutuhkan suami yang kuat mental, yang tetap pede jika isterinya bekerja dan berkarir. Dan saya bersyukur telah memperoleh suami seperti ini, yang selalu mendukungku.
“perempuan-perempuan luar biasa” sebutan bagi mereka yang berkarier juga pandai menjaga keutuhan rumah tangga dan berhasil mengantarkan putra-putrinya menjemput kehidupannya di masa depan ……
selamat hari kartini ya bu, berkat jasanya kita dapat exist seperti sekarang.
Tini,
Perempuan terlihat sebagai makhluk yang lemah, namun juga kuat. Setelah lelah bekerja, entah kenapa, begitu sampai dirumah dan ketemu anak-anak rasa lelah itu hilang, bahkan terkadang lupa permasalahan yang berat di kantor.
Ya, sekarang bagaimana Kartini masa kini menyesuaikan dirinya, melangkah bersama mitranya (kaum laki-laki) untuk meuju hari esok yang lebih baik.
maksudnya “jasanya”
Tini,
sudah dibetulkan
Hufth… suasana desa yang damai
Ierone,
Hmm…iya
walaupun saya belum pernah kesana,… tapi cerita ibu seakan saya sedang disana menikmati mentari pagi,…..
Avartara,
Betulkah?
Sambil membayangkan anakku saat masih kecil, yang merem melek kalau aku mendongeng sebelum tidur…hehehe
perempuan (sangat) luar biasa
selamat hari kartini bu
desaku kini telah berubah menjadi lautan perumahan, tak ada lagi sawah yang terbentang luas, tak ada lagi sarana tempat bermain layang-layang, tak ada lagi dokar melintas dan tak ada lagi burung berkicau di atas dahan
kini semua telah berubah
Dafhy,
Itulah, mungkin karena manusia semakin beranak pinak, jadi butuh rumah untuk tempat tinggal. Jadi sawah dan ladang terpaksa dikalahkan.
Ini cerita tentang para ibu yang ikut membanting tulang menafkahi keluarga ya?? Memperingati hari Kartini? Saya hampir lupa nih kalau tanggal 21 April adalah hari Kartini. Huehehe…..
Memang, apalagi zaman sekarang, ibu2/perempuan yang ikut menafkahi keluarga sudah sangat lazim sekali. Jikalau mereka bisa ikut mensejahterakan keluarga. Why not? Namun tentu saja keluarga terutama anak2nya jangan ditelantarkan. Walaupun zaman modern juga, peran bapak2 juga tak kalah besar dalam mendidik anak2 di rumah. Namun saya paling geli jika ada wanita yang ‘bangga’ tidak bisa memasak karena beralasan mengejar karir di luar. Sebenarnya jikalau si wanita tidak bisa memasak karena tidak suka ya tidak mengapa. Sama saja seperti tidak semua pria yang suka dengan pekerjaan2 pria ataupun suka sepakbola misalnya. Namun kalau ketidakbisaan memasak tersebut ditutupi dengan alasan mengejar karir di luar, itulah yang terlihat sangat
bodohmenggelikan. Lha, wong, bapak2 karir aja banyak yang bisa masak kok. Kan, wanita karir yang bisa masak (dan mendidik anak tentu saja) masih jauh lebih baik dibandingkan yang hanya sekedar wanita karir saja. Raihlah yang terbaik bagi diri sendiri dan keluarga. Begitu kan?dah lama gak makan pecel bu, nopo melih tempe sing rung dadi…
tempe sing dibungkus godong pun dah jarang
wahhh senang sekali bacanya bun…nostalgia lama…
Perempuan itu makhluk yang sangat kuat menurut saya. Ketika secara ekonomis keluarga membutuhkan, maka mereka terjun langsung untuk memenuhinya, beban ganda sebagai ibu sekaligus tulang punggung ekonomi ini yang tidak pernah (jarang) dirasakan oleh laki-laki. Semoga dunia ini selalu memberikan tempat yang seimbang bagi perempuan. BUkankah kedamaian tersebut tercipta jika keseimbangan tumbuh ?
Imoe,
Ya, nostalgia lama…yang sebetulnya sejak dulu antara perempuan dan laki-laki saling mendukung.
Dan tidak ada perbedaan apa yang harus dikerjakan oleh laki-laki…saat kami masih kecil, ayah sering membuat kejutan… menyuruh orang memanggil ibu mendadak dari sekolah (alm ibu Kepala SD Negeri), dikira ibu ada apa…ternyata ayah sedang memasak nasi goreng.
Sekarang, kadang peringatan Kartini diributkan untuk kesetaraan gender, bukankah dari dulu sudah bisa dilakukan? Asalkan kaum perempuan memang mampu menunjukkan kemampuannya….di kantor saya juga tak ada masalah ini. Gajipun sama pada jabatan dan posisi yang sama. Kalau anak sakit dan dirawat di rumah sakit, boleh memilih dibiayai ibu atau ayahnya….jika gaji ayah lebih kecil, atau ayah bekerja di swasta yang tak mengcover biaya pengobatan, maka anak ditanggung ibu.
Waduh Bu Ratna … bagusnya … mempertebal keingatan sama Ibu, Bapak … dan kampungku yang cantik nian, Muaralabuh, Solok Selatan, Sumatera Barat … Ibu menulis dengan ‘persaan’ kayaknya. Selamat.
Ersis Warmansyah Abbas,
Iya pak, juga mengingatkan bahwa pada dasarnya kaum laki-laki dan perempuan harus saling mendukung, agar anak-anak tumbuh bahagia dirumah dengan ayah ibu yang menyayanginya. Dan tak perlu meributkan masalah gender, karena jika ibu sibuk, ayah akan membantu meringankan beban ibu.
Selamat Hari Kartini Bunda…
aku jadi kangen sama papa mamaku di jakarta baca postingan yang ini…hiks 😦 aku inget banget dulu waktu kami masih kecil2 mama gak pernah mau ngambil pembantu alasannya “anak mama cewek semua, mau sekolahnya sampe ujung dunia dan setinggi lagit…tentu saja harus pandai mengurus rumah” jadilah semua tugas di bagi2 ke 4 anaknya yang perempuan…
dan aku suka sekali pesan yang bunda tulis di akhir postingan ini
“bahwa sebagai perempuan tetap harus bisa mandiri, tanpa mengabaikan tugas dan kewajiban kita sebagai ibu yang bertanggung jawab mendidik anak-anaknya dan kelangsungan hidup keluarga”
Ria,
Setelah saya lulus SD, adik-adikku masih TK dan kelas 2 SD, semua pembantu dipulangkan, karena alm ibu juga berprinsip seperti mama nya Ria. Tapi hal tsb tak mungkin saya lakukan, karena saya sering dinas ke luar kota dan meninggalkan anak-anak sendiri, jadi di rumah tetap ada si mbak yang sudah dianggap keluarga (mereka ikut saya sejak si bungsu SD sampai sekarang…rata2 di atas 10 tahun). Untungnya kami tinggal di kompleks rumah dinas, yang semua tetangganya adalah teman-teman di kantor, sehingga anak-anak bisa saling dititipkan.
Kemandirian anak tak hanya diukur dari dia bisa melakukan pekerjaan rumah tangga, tapi juga dari dia mempunyai berbagai ketrampilan, agar siapapun suaminya nanti, dia tetap bisa mandiri, entah bekerja di luar rumah, atau bisa juga bekerja di rumah.
kangen desa neh
Warzs,
Hmm…sama
jadi keinget balik ke jaman masih kecil, saat kampung masih “ndeso”…
v(^_^)
selamat hari kartini (bagi yang merayakannya), bu. hwehe…
Farijs van Java,
Hehehe….saya tak merayakannya…tapi mengingat inti sari pesannya. Karena semangat Kartini untuk membuat perempuan mandiri ini yang penting, untuk menjaga agar perekonomian keluarga tak tumbang, di saat kepala keluarga mengalami gangguan (bisa sakit lama, kena PHK, selingkuh yang tak mengingat anak isteri, meninggal dsb nya), sehingga anak-anak tak terlantar pendidikannya
didikan dalam lingkungan keluarga memang sangat besar pengaruhnya dalam memberikan pilihan2 hidup, bu. saya salut dengan suasana lingkungan keluarga ibu yang demikian egaliter dalam memperlakukan anak laki2 dan perempuan.
Sawali Tuhusetya,
Entahlah pak, karena alm ibu saya dulu ikut berjuang melawan penjajah, terus menikah umur 24 tahun (ukuran saat itu lho), setelah bersahabat dengan ayah yang teman sekolahnya selama 10 tahun. Kondisi ini, dan juga lingkungan kami, yang tak membedakan dalam memperlakukan anak laki-laki dan perempuan, membuat kami berkembang seperti ini. Guru2 di sekolah pun mendorong saya dan teman2 untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi, walau untuk itu banyak yang kuliah sambil bekerja karena keterbatasan keuangan.
Hasilnya, kami semua menjadi perempuan mandiri, walau tak semua bekerja di luar rumah. Dan yang penting, bahwa kesibukan itu tak membuat anak-anak pendidikannya terbengkalai, karena entah kenapa, perempuan seperti diberi kekuatan ganda, sepulang dari kantor, masih bisa bermain dengan anak-anaknya, membantu mengulang pelajaran di sekolah, mendongeng dan kegiatan lain. Memang capek, karena saat anak-anak s/d umur 5 tahun, saya rata-rata hanya tidur 2-3 jam setiap malam, kecuali hari Sabtu dan Minggu.
naratif bgt ceritanya…
Okta Sihotang,
saya malah nggak ngerti…naratif atau tidak…yang penting menulis untuk berbagi, buat yang mau membacanya
Selamat hari Kartini Ibu 🙂
Dan kenangan ini, membawaku ingat dengan Mama,, ah.. sudah lama Mama menyuruhku pulang,, tapi belum juga kusempatkan
🙂
Muzda,
Sebetulnya yang penting adalah bagaimana kita mendapatkan inti sari semangat Kartini tadi, untuk kemajuan kaum perempuan dan anak-anak di Indonesia.
Pulanglah, selagi masih ada papa dan mamamu…..karena merekalah yang membuatmu menjadi seperti sekarang. Dan doa ibu sangat penting artinya.
Saya bisa “membaui” suasananya, Bu!
Tulisan seperti ini membuat saya berpikir kemana lagi saya harus pulang? 🙂
DV,
Padahal saya sudah bertahun-tahun tak pulang karena ayah ibu sudah tiada. Namun kenangan sungguh membuat hati ini teringat terus, jadi buatlah anakmu nanti punya kenangan manis dengan ortunya, serta lingkungan hidupnya Donny
Bunda besasal dari Blora?
Aku juga suka banget ma SGPC (sego pecel) itu istilah di jogja. Kalau lagi pulang Semarang atau Jogja langsung deh beli nasi pecel
dalam keluarga memang harus saling membantu, mengatur tugas juga. Rasanya enak banget ya kalau punya banyak saudara. Kalau aku dari kecil sudah mandiri karena sering ditinggal sendirian
Bunda, met hari Kartini…
Radesya,
Saya dari Madiun….Randublatung itu nenek angkat dari pihak ayah, saat kecil, ayah pernah “nderek” nenek dan kakek di Randublatung ini. Orangtua ayah aslinya di Dagangan (kira2 6 km dari kota kecamatan Pagotan, diantara Madiun Ponorogo), di lereng gunung Wilis.
Waktu kecil kalau liburan saya sering main ke hutan jati tapi yg di Saradan Bu … Waktu itu pohon jati-nya masih gede-gede katanya sih umurnya sekitar 100an tahun (peninggalan belanda). Sekarang pohn jati-nya kecil-kecil dan kebanyakan hanya di pinggir hutan, di tengah kosong karena sudah dijarah …
Oemar Bakrie,
Iya, kalau kita bepergian naik bis ke luar kota Madiun, selalu melewati hutan jati yang luas, kalau ke arah Solo melalui hutan jati di barat kota Ngawi, kalau ke timur melalui Saradan.
Sayang sekali penjarahan makin banyak pak…padahal daerah Jawa Timur terkenal dengan hutan jatinya, yang berada di lereng pegunungan Kendeng.
Wew..
Kehidupan memang trus berjalan..
Tak pernah berhenti sedetik pun..
Apalagi mundur..
Semoga kita bisa..
Memanfaatkan kemajuan jaman..
Tanpa kehilangan jati diri..
Ato malah menyakiti alam sekitar..
Semoga tidak..
..
Met kenal ya kk.. 😉
News online,
Salam kenal juga…
ingatan sy tentang masa kecil itu sebuah pemandangan yg ngak bisa hilang hilang saat berdiri diatas sana puncak gunung melihat kota ku dikelilingi lautan hindia.
hmm jadi nostalgia (saat orang jadi sendu, lupa umur, dan ingin pulang )
btw, berladang ? typo bu hehehhe
Uwiuw,
Benar…rasanya nyaman kalau melihat kehijauan……
Rasa yang sudah jarang bisa kita nikmati…
sepakat bu,
setidaknya seorang perempuan punya bekal kemampuan untuk mampu mandiri.
oya, dusun bapak saya di Boyolali masih menyisakan suasana yang alami, saya senang kalau pulang ke boyolali 🙂
Mascayo,
Betul, perempuan harus bisa mandiri…
Dan harus kuat, karena akan menjadi tempat bersandar bagi keluarganya
Bersyukurlah, kalau pulang kampung masih melihat desa yang hijau mas….
kampung halaman, ibarat sebuah jangkar bagi penghuninya yang sewaktu-waktu berlabuh mudik dan membongkar sauhnya sebelum mengembara dilautan luas lagi.. kadang perlu upaya dari penduduk kampung halaman agar bisa melestarikan warisan dan situasi ala tempoe doeloe.. saya pun merasa demikian.. tiap kali mudik, bertambahlah itu ruko2 dan karfur dimana-mana..
Penjual tempe bungkus dan nasi pecel.. dimanapun mereka ditemukan, seyogyanya kita bantu agar mereka bisa sustainable terus berjualan, kemudian memberikan kita secercah rasa akan waktu silam indahnya di kampung 😀
Domba Garut,
Walau termasuk sangat jarang pulang kampung (karena sudah nggak ada siapa-siapa di sana), namun saya bersyukur bahwa di dekat tempat tinggalku di daerah Cipete-Cilandak, masih ada dua pasar tradisional yang menjual pecel, tempe, rempeyek, dan makanan jadul (bubur candil, getuk, tiwul dan lain-lain). Dan anak-anakku juga masih suka makanan seperti ini.
Kalau di Bandung, pecel di pasar Simpang (Dago) sangat enak…dan belinya mesti pagi-pagi…kalau kesiangan udah habis.
Pagi hari memang nyaman untuk beraktivitas apapun. Untuk belajar, berolahraga, jalan-jalan, hingga ngeblog tetap nyaman dilakukan. Apalagi di daerah pedesaan, pegunungan atau pantai yang masih banyak pepohonannya. Suasana seperti itu memang sering membuat saya kangen untuk menikmatinya.
Mufti AM,
Memang bangun pagi selalu nyaman, badan segar, cuaca juga masih sejuk…..
Kampung halaman seperti jangkar, benar kata Kang Luigi. Membaca postingan Ibu, hati ini terasa tentram.
Yoga,
Hanya ini kenangan yang tersisa dari kampungku. Dulunya, saya bisa bermain bebas di ladang, sungai kecil yang mengalir dipinggir kampungku. Pagar rumah berupa tanaman hidup dan terbuka, sekarang rata-rata sudah berpagar tembok atau besi. Lebih rapih tapi tidak hijau.
Saat pindah ke Jakarta, di daerah Cipete tahun 1983, lingkunganku juga masih banyak area terbuka, malah setiap kali ada pertandingan sepak bola antar kampung, anak-anakku bebas berlarian….bahkan si sulung suka tiduran di tengah jalan Cipete Raya yang masih sepi.
Setiap kali ortu kirim bekal tak lupa sambal pecel ma kering (maklum .
Kangen aku ma kampung aku…
Palagi klo pagi hari waktu subuh, beh… Udara segarnya, abis subuh tu jalan dah rame orang jalan kaki ma naik ontel buat kesawah…
Dan di pertigaan pedagang sayur dan nasi pecel dah merapat…
Moga Liburan semester bisa Pulkam…
Trinil,
Wahh jadi kangen…saat almarhum ibu masih ada, saya sering dikirimi sambal pecel, abon, dan kering tempe…dan ini sangat menyenangkan bagi anak kost.
Aih, indah sekali, Ibu.
Aku tak pernah punya kampung halaman. Pengertian kampung halaman tak terdefinisikan dalam kamus hidupku. Itulah mengapa aku kerap merindukan sesuatu yang sebetulnya tak pernah kupunya.
Daniel Mahendra,
Ingatan anakku tentang kampung halaman mungkin juga seperti Daniel, karena sejak lahir sampai remaja hidup di Jakarta. Saat masih SD, memang di tempat tinggalku masih banyak area terbuka, tapi tetap beda dengan kampung halaman yang masih desa…..yang jalannya dari tanah, kalau ketemu saling tersenyum walau tak kenal….ahh kehidupan yang begitu damai.
Hhh…Dunia sudah berubah dengan begitu pesatnya ya Bunda…
Bocah bancar,
Yup…betul….
Bentar Bunda, reti komennya bentar lagi ya, masih bayangin makan pecel nich sama tempe….
yam yam yam enak tenan……
Retie,
Tenang……..komentar boleh kapan aja
weee balik lagi ahhh, udah kenyang nich bunda tadi bayangin makan pecel waduhhh ceritanya Bunda membuat aku jadi lapar trus pengen makan pecel…
Jadi kangen surabaya nich, trus makan pecel 😀
Saya Inget dulu waktu SMA pernah ada acara dimana kita ikut merasakan kehidupan di desa. Waktu itu ide iseng saya mengajukan ke guru agama saya yang orang jogja, bagaimana kalau tugas agama rutin di ganti dengan rekreasi ke Jogja sambil ikut tinggal di rumah warga… ehhh ternyata ide iseng itu di setujui Suster Kepala Sekolah, akhirnya murid2 kelas 2 (angkatan saya) semuanya ke jogja, beberapa km dari kaki gunung merapi (saya lupa nama desa nya) pada umumnya mereka petani salak pondoh dan ada beberapa yang petani sawah gitu…. mmmm tentram banget gitu hidup di desa, pada umumnya mereka naik sepeda kalau kemana-mana. Sekarang masih ada ngga ya Bund,desa gitu yang suasananya itu bener2 kerasa desanya gitu, masih ada suara jangkrik kalo malam…..
<em>Retie,
Memang suasana desa yang adem ayem suka membuat nostalgia…cuma kalau biasa di kota, di desa juga nggak tahan lama-lama, apalagi kalau nggak ada yang dikerjakan.
Mbak, ibu mbak hebat ya… sukses mendidik embak !
dan ku percaya, didikan itu diturunkan ke ketiga putra – putrinya 🙂
mudiiik yuuks
Ekaria27,
Alhamdulillah……yang penting sebetulnya perhatian dan komuniasi
kalo sudah bilang kata desa pasti yang ada dalam pikiran saya adalah sawah yang terbentang luas dan para petani melakukan kegiatan nya di sawah…..okh alangkah indah nya suasana seperti itu…kapankah diriku akan merasakan suasana desa yang seutuhnya??? 😦
di tengah sawah sembari menyantap makan siang ..nasi yang hangat…sambal pecel..lalapan ketimun….ikan asin…dan segelas es-teh manis…
Basmin,
Bayangannya memang selalu sawah ladang…..memang menyenangkan…
wah, tulisan yg menarik..pesan emansipasi dan kesetaraan terbungkus cerita yang mengasyikkan..
setuju, suami-istri harus saling bekerjasama dalam mencapai tujuan hidup..
namun seringkali antara suami-istri ada perselisihan jika dua2nya tidak bisa mengukur keseimbangan antara keluarga dan pekerjaan, masing2 keukeuh dengan ego sendiri..
Rabbani,
Betul…jika pasangan bisa berkomunikasi dengan baik, situasi akan nyaman, apalagi suka duka ditanggung bersama.
“Saya beserta adik-adik juga telah berladang di luar kota, jauh dari kampungku, namun hasil didikan ibu masih terngiang di telinga, bahwa sebagai perempuan tetap harus bisa mandiri, tanpa mengabaikan tugas dan kewajiban kita sebagai ibu yang bertanggung jawab mendidik anak-anaknya dan kelangsungan hidup keluarga.”
Aku sangat setuju sekali Bunda..
Tapi ngomong2 kampungku mana ya (Keluarga berasal dari Jawa, Lahir di Jakarta, Besar di Sumatra, Kuliah di Bandung, kembali untuk kerja dan sekarang tinggal di Jakarta)..? Akh aku rasa aku paling kangen dengan masa kecilku di pinggir hutan di Sumatra. Hm.. Jadi pengen nulis tentang masa itu juga.. 🙂
Nug,
hehehe…jadi ingat komentar anak-anakku saat masih SD: “Dik, kita ga punya kampung ya?”. Padahal kampungnya ya Jakarta.
Sebagian dari kita, menganggap kampung kelahiran atau saat kita dibesarkan sejak kecil, merupakan memori yang tak terlupakan, yang ikut berperan dalam meletakkan dasar-dasar kehidupan kita selanjutnya
Cerita ini mengingatkan massa kecilku di Walikukun Ngawi dirumah nenek buyut kami, keluarga besar kami suka sekali memborong nasi pecel bungkus daun jati.
Tapi semuanya itu sudah lama sekali, hampir 30 tahun yang lalu. Tapi kalau dikenang, rasanya bahagia sekali.
Rumah ibu di Jakarta mana?.
Keluarga besar kami sekarang sudah banyak yang berkumpul di Jakarta. Semoga tahun ini ada kesempatan lagi dipanggil diklat di Jakarta. Tapi pinginnya yang manggil salah satu Enterprenuer yang telah sukses di Indonesia bukan Diknas atau berhasil menang LKTI. Amin 1.000.000X!
Andai saya bisa menulis sebagus ibu, saya yakin pasti menang LKTI, dan dapat uang saku dari Presiden.
Puspita,
Hehehe….jangan terlalu memuji, masih sangat banyak yang jauh lebih bagus dari saya, karena saya sendiri masih terus belajar.
Rumah saya di Jakarta Selatan