Deg-deg an

Suatu sore yang cerah, saya duduk-duduk di teras rumah temanku. Kami mengobrol ngalor ngidul, apalagi kami berteman sejak akhir tahun 70 an, walau tak selalu terus menerus ketemu karena kesibukan masing-masing. Untuk angkatan temanku, rata-rata memang telah mempunyai anak dewasa, banyak yang sudah punya cucu, paling tidak anaknya rata-rata pada tingkat mahasiswa.

Temanku lagi gundah, karena tahun ini adalah tahun yang menentukan, anaknya akan meneruskan kuliah dimana. Dan tentu saja, walau si anak sendiri sebetulnya telah mempersiapkan dirinya dengan baik, tapi bagi si ibu masih tidak cukup. Saya jadi ingat, bahkan sejak masuk SMP pun, saya selalu menyiapkan rencana cadangan buat anak-anakku, jika tak diterima di sekolah yang dituju. Apalagi saat lulus SMA, yang tentu persaingan masuk ke Perguruan Tinggi Negeri papan atas akan lebih heboh.

“Mbak, dulu anakmu bagaimana, saat mau masuk ke PTN?” tanyanya

“Ya, mereka mempersiapkan sejak kelas I, dan semakin ditingkatkan saat sudah kelas III SMA, ikut bimbingan di sekolah, maupun di luar sekolah, ikut try out dsb nya, ” jawabku. Dari hasil try out beberapa kali itu, kita bisa melihat grafiknya, kira-kira anak cocok nya masuk ke mana.

“Hmm, begitu ya, anakku kok masih tenang-tenang aja,” katanya

“Mungkin hanya terlihat tenang, agar ibunya tak kawatir, saya yakin kok, kalau anakmu juga sebetulnya mempersiapkan dirinya,” jawabku

Dari obrolan ini, saya jadi mengingat masa lampau, memang bagi seorang ibu, kadang kekawatiran berlebihan, selalu menginginkan yang terbaik bagi putra putrinya. Namun di satu sisi, yang harus berusaha keras adalah anaknya, dan ibu hanya tinggal mengarahkan dari belakang, serta mendoakan agar cita-cita anaknya berhasil.

“Mbak, kok anakku kalau belajar nggak seperti aku dulu ya,” kata temanku lagi.

“Lha memang situasinya berbeda,” jawabku.

Saya memahami kekawatiran temanku, yang dulu juga saya rasakan saat anak-anak mau memasuki Perguruan Tinggi, bahkan setelah diterima di PTN, saya berusaha mengikuti jadual kuliah anak-anakku, kapan masa ujian dan sebagainya. Bukan apa-apa, karena pada saat-saat seperti itu, saya bisa membantu dengan doa, sholat malam dan puasa.

Di satu sisi ada juga orang yang tenang-tenang saja, dan berserah diri, dalam arti kata jika anaknya tak bisa masuk PTN, berarti memang nasib. Saya terkadang ingin seperti ini, kenyataannya hati ini tak mungkin ditipu, jadi tetap saja senewen. Saya masih ingat, saat-saat menerima kabar bahwa si sulung maupun bungsu di terima di PTN yang diinginkannya. Saya langsung sujud syukur, bersyukur kepada Allah swt yang memperkenankan anakku diterima di PT yang diinginkannya. Betapa rasanya semua kelelahan selama setahun terakhir langsung sirna. Saya memahami temanku, betapapun terlihat tegar, dalam hati kecilnya pasti deg-deg an seperti saya dulu. Semoga putra temanku mendapatkan jalan yang terbaik.

Mungkin kita semua, sebagai orangtua merasakan seperti itu, ikut harap-harap cemas menunggu datangnya pengumuman apakah putra putri kita termasuk yang beruntung.

Iklan

30 pemikiran pada “Deg-deg an

  1. Zaman sekarang ini justru banyak anak SMA yang nggak gitu mikir soal kuliah di PTN atau nggak, Bu…

    Masalahnya Ujian Nasional. UN itu jadi seolah-olah momok yang mengerikan sehingga akhirnya konsentrasi anak sekolah jadi tercurah sepenuhnya ke sana… Sehingga persiapan ke perguruan tinggi jadi kurang diprioritaskan. Yang penting lulus UN dulu, kata beberapa teman saya. 😦

    Goen,
    Kadang saya bingung, apa betul sih UN itu momok? Baru sekarang ini, atau sejak dulu?
    Soalnya kok UN, lha saya tuh nyaris setiap anak ulangan umum triwulanan (sebelum per semester), doanya udah ndremimil. Pernah si sulung sakit, (Tapi dia kalau sakit malah tenang), saya gantian sama si mbak membacakan bahan pelajarannya…tapi memang saat itu masih SD-SMP.
    Saat SMA, senewennya lebih panjang, si ibu ini cerewet nya sejak kelas 1 SMA…… dan doanya juga makin kenceng. Mungkin anaknya tenang, tapi ibunya senewen terus-menerus. Dan hal biasa di kantorku, kaum ibu cuti menjelang anak-anaknya ujian, baik ulangan umum atau ujian kelas terakhir. Sejak anak saya SD, saya tahu, belajar dari sekolah saja tidak cukup, karena saat ulangan umum (bahan dari Depdiknas), banyak materi yang tak sempat diajarkan. Saat anak di SMA, saya kadang masih mengajari anak-anak….dan selain ikut bimbel, suami belum puas, jadi minta temannya (yang dia tahu persis kekuatannya), untuk ikut mengajar anaknya.

    Si bungsu cerita, begitu dia mulai pelajaran kelas 3 SMA, di hari pertama masuk sekolah langsung syok…teman2nya nyaris udah datang semua, padahal jam pelajaran masih cukup lama…semua sepiii….karena masing-masing membaca buku pelajaran. Disitu saya belajar, bahwa jika anak telah mendapat lingkungan yang baik, anak tumbuh sendiri, dan berkompetisi dengan teman-teman nya.

  2. doa ibu biasanya lebih istimewa buk, disamping itu kita sebagai anak anak juga harus berusaha.

    Sopyanetawa,
    Kuncinya pada anaknya sendiri, doa ibu hanya untuk melengkapi. Tak mungkin doa berhasil tanpa adanya usaha kan?

  3. salam, ibu…
    udah lama nggak blogwallking, sepertinya saya ketinggalan banyak cerita nih.
    masa-masa akhir sekolah memang mendebarkan dan bikin deg-degan, terutama bagi para ortu yang ingin sekali anaknya bisa lulus PTN. karena konon bagi kebanyakan orang, masa depan seseorang itu ditentukan oleh PTN dan jurusan yang dipilih dan berhasil dimasukinya. tak heran bila belum tercapai pada kali pertama, masih diupayakan untuk memenangkan sebuah kursi pada tahun berikutnya.

    tulisan ibu mengingatkan saya pada salah satu kuotasi mario teguh mengenai pilihan karir (mohon maaf bila keliru): jadilah seseorang yang membuatmu mencintai dirimu…

    Marsmallow,
    Pilihan kuliah akan menentukan karir selanjutnya….ini rasanya hanya terjadi zaman dulu, saat pilihan karir tidak banyak. Dengan pilihan karir seperti sekarang, kesempatan banyak terbuka, tapi di satu sisi yang memperebutkan juga banyak. Hal yang saya lihat (saya ikut tim pewawancara), banyak anak yang pandai, tapi itu tak cukup bagi perusahaan…jadi memang sering nggak match antara pendidikan dan kebutuhan perusahaan.

    Dan jika kita kuliah sesuai apa yang kita senangi, saat kuliah tentu menyenangkan…tapi apakah itu nanti memudahkan mencari kerja? Karena jika bukan berwirausaha, kita harus melihat, pekerjaan apa yang paling dibutuhkan saat ini, dan dari jurusan yang mana? Dan terkadang, anak SMA pemahamannya belum luas dalam hal memilih bidang kuliah yang nantinya mengarah ke pekerjaan, atau terkadang ikutan teman…disini dibutuhkan bimbingan orangtua, juga hasil test dari psikolog, bidang apa yang paling sesuai untuk yang bersangkutan.

  4. deg-deg-an dan kelegaan silih berganti sebagai tanda perhatian dan kasih sayang orang tua khususnya ibu terhadap anak-anak ya Bu. Intensitasnya pun kayaknya makin meningkat seiring usia sang anak …

    Oemar Bakrie
    ,
    Hehehe…betul pak…lega sebentar, deg-deg an lagi…dan ini terus menerus sampai si anak lulus S1…kemudian deg2an lagi dalam hal mencari pekerjaan. Dan karena kedua anak saya masih lanjut kuliah, hal ini belum terlalu terasa…si bungsu masih magang dengan gaji kecil, karena masih sambil menulis tugas akhir (thesis)

  5. Wah bun,.. aku juga pengen sih seperti bunda. Tidak memaksakan kehendak pada anak, melainkan mensupportnya untuk meraih cita2nya..
    Ah, pokoknya aku akan curhat sama bunda deh, kalau soal ini.. boleh ya?.. 😀

    Puak,
    Hehehe…ingat lho, aku bukan seorang psikolog, karena setiap anak punya kompetensi yang berbeda-beda.
    Sebetulnya banyak kok seminar-seminar yang diadakan setiap hari Sabtu, kalau mau memperluas wawasan. Yang lebih penting adalah melakukan pengamatan sehari-hari, untuk memahami anak kita arah nya kemana.

  6. Menjadi seolah-olah mengerikan karena standar kelulusan minimalnya yang katanya lumayan tinggi sekarang, Bu. Dari 6 pelajaran yang diujiankan sekarang, kalau nggak salah rata-rata minimal 5,5 dan per mata pelajaran minimal 5 sekian gitu… (lupa).

    Kalau dari cerita [alm] ayah saya, standar ujian akhir (EBTANAS? Atau apapun namanya dulu) nggak setinggi sekarang. Bisa jadi tingginya standar kelulusan sekarang karena kualitas pendidikan sudah meningkat… atau entahlah, saya nggak bisa membandingkan kualitas pendidikan itu. 😛

    Tapi dari yang saya alami dua tahun lalu, mayoritas siswa SMA di sekolah saya mati-matian demi ujian nasional, masalah perguruan tinggi kurang begitu diperhatikan. “Yang penting lulus dulu…” katanya.

    Sekarang kata adik saya pun masih begitu. Malah makin para paranoidnya terhadap ujian nasional, katanya. 😦

    Goen,
    Mungkin yang membuatku bingung, saya membaca kekawatiran tentang UN ini di blogsphere…tapi dari teman-temanku yang putra-putrinya sekarang kelas 3 SMA tak terlihat kekawatiran sedikitpun. Yang dikawatirkan adalah jika anaknya nggak bisa masuk PTN. Dan ada juga yang bingung, jika putranya memilih jurusan yang aneh-aneh dimata ortunya, seperti FSRD, IKJ dll (padahal ini ga aneh…tapi memang saya juga bingung…karena kebetulan tak punya saudara yang memilih jurusan itu).

  7. pada bagian akhir.. “menunggu untung”
    wah ini mengahuskan saya untuk setuju
    UAN bermakna keberuntungan, tidak mencerminkan keberhasilan
    karena faktor untung-untungannya memang besar

    Budi,
    Waduhh…sudah sebegitukah?
    Seperti komentarku pada Goen, mungkin karena sampai saat ini saya melihat lingkunganku, teman2ku yang putra-putrinya mau ujian SMA, tak terlihat kekawatiran…kawatirnya adalah diterima atau tidak di PTN yang diinginkan.

  8. lebih merana lagi mungkin, Bu … untuk anak yang sudah kelas III SMA, tetapi orang tuanya tak punya daya (walaupun ingin sekali) untuk menyekolahkan anaknya sampai ke PT ..

    Muzda,
    Ini memang masalah umum…tapi kalau anaknya pandai, di beberapa PTN tertentu, ada dana beasiswa yang dikumpulkan dari orangtua mahasiswa (saya anggota IOM ITB). Dan saya melihat banyak sekali anak orang nggak punya yang bisa kuliah…pada saat tingkat 2, mereka sudah bisa menambah penghasilan…anakkupun, sejak tahun ke-2 menambah uang saku dengan menyambi kerjaan.

  9. Salam Bu,
    Ada beberapa hal yang mungkin menjadi kendala.UAN lebih menguras energi daripada sekedar masuk PTN (analisa ngawur saya).jika tidak Lulus UAN harus ngulang 1 thn lagi,tapi jika tidak lulus PTN masih banyak PTS berkualitas yg menunggu.Sehingga menjelang UAN energi benar2 dikuras.
    Semoga saja Semua berjalan lancar.

    Jamal el Ahdi,
    Wahh mas, itu analisa nya memang ngawur. Saya tak tahu persisnya, tapi lingkungan sekelilingku, para yuniorku, temanku yang masih punya anak mau ujian SMA, tenang-tenang aja soal UAN..yang dikawatiran jika tak masuk PTN (bukan PTS).
    Lha kalau masuk PTS kan biayanya mahal…kalau PTN, selain murah, juga tahun ke dua, ada banyak kesempatan mendapat uang tambahan, asal mau kerja keras (kedua anakku nyambi untuk mendapatkan uang saku setelah tahun ke-2)
    Anakku kalau cerita lucu2, temannya ada yang nyambi katering, saat dosen selesai memberi kuliah, dengan tenangnya dia menghampiri….dan menawarkan katering makan siang. Dosen kaget, tapi ga tega…jadi anak-anak seperti ini dihormati teman2nya, jadi teman2 yang mampu berusaha langganan katering pada dia. Dan banyak lagi cerita lainnya…kebetulan saya juga dekat dengan teman2 anakku.

  10. Saya.. punya 3 anak… beda type… yang mau belajar keras.. saya berdoa agar.. setiap usahanya mendatangkan barokah… yang malaaaasss buka buku… saya berdoa.. Ya Allah jadikan apa yang ia lakukan adalah yang terbaik baginya…

    Biarpun.. hati cemot-cemot… saya yakin.. Semua ini pasti telah diatur…

    Yanti,
    Anakku dua orang sifatnya juga berbeda sekali. Yang kecil mirip saya, semua direncanakan, kalau tak masuk dalam rencana sebelumnya pusing.
    Yang besar sifatnya lain lagi…tapi justru karena perbedaan itu yang membuat suasana rumah menjadi meriah. Benar bukan?

  11. Hiks..hiks..Saya jadi bisa merasakan kebahagiaan Ibu saya Bunda saat keinginan saya untuk bisa kuliah dapat tercapai, krena Ibu saya sudah tahu bahwa beliau tidak sanggup untuk membiayai kuliah saya..

    Namun saya yakin bahwa keberhasilan saya ini juga karena atas doa-doa Ibu saya yang tak pernah kenal lelah untuk mendoakan anak-anaknya…

    Allahummagfirlii wa liwaa lidaiya warhamhumaa kamaa robbayaa nii shogiiro…

    Bocahbancar,
    Semangat dan kerja keras…itu yang harus ada. Jika kita diberi kemampuan, dengan semangat dan kerja keras, maka kita bisa berhasil. Saya melihat sendiri dari lingkungan terdekatku, biaya sekolah yang mahal bisa disiasati dengan bekerja paruh waktu. Saya punya teman, yang sambil sekolah dia membawa kue2 ke sekolah, uangnya cukup untuk membayar biaya sekolah…kemudian saat mahasiswa dia melakukan hal yang sama.
    Pada saat orang lain setelah selesai masih bingung cari kerja, teman tadi telah menjadi pengusaha.

    Teman-teman anakku, termasuk anakku juga, pada tahun ke 2 sudah bisa mempunyai uang saku dari keringat sendiri…yang penting mau capek…

  12. pengalaman degdegan bagi 3 anak saya (semua sudah berkeluarga) ketika mau masuk sekolah mulai dari tingkat sd sampai perguruan tinggi sudah menjadi milik masa lalu…..nah justru ternyata degdegan masih saja terjadi pada saya ketika para cucu (7 orang) juga mau mencari sekolah yang cocok alias bermutu….walau mungkin tidak seberat degdegan ibu bapaknya….so saya pikir degdegan itu merupakan fenomena alami dan manusiawi ketika ada ekspektasi yang dinanti….antara khawatir dan kegembiraan….nurani tiap orang tampaknya seperti itu…..tak pernah pupus…..

    Syafri Mangkuprawira,
    Iya betul pak…bahwa orangtua tak pernah berhenti memikirkan anak-anaknya. Jika mereka sudah selesai kuliah, dan berjauhan dari orangtua, maka orangtua tetap berdoa untuk mereka dan keluarganya.
    Nanti jika punya cucu, pasti juga ikut memikirkan pula.
    Sekolah bermutu ini sangat penting, karena saya melihat sendiri perbedaannya, dengan sekolah di tempat yang mutunya bagus, anak akan terdorong masuk dalam kompetisi yang sehat…sehingga dia akan makin banyak wawasan dan pengalamannya. Namun yang perlu dilatih lagi adalah kemandiriannya, saya melatih anak-anak mandiri, naik kendaraan umum, dan setelah kuliah tahun ke-2 mulai mencoba mencari tambahan uang saku dengan bekerja.

  13. Bu, beberapa ORTU yg memiliki anak di penghujung jenjang level sekolah konsul padaku. Mereka menumpahkan kegelisahannya. Dan aku berusaha membuat mereka lebih tenang.

    Adikku kls 9, dan aku sangat yakin padanya. Dia pasti lulus.

    Achoey,
    Walau yakin lulus, deg2an nya adalah berapa nilai yang diperoleh, karena ini menentukan pada kemungkinan untuk melanjutkan ke sekolah yang bermutu (dari SMP ke SMA)
    Jika dari SMA, adalah keinginan untuk masuk PTN yang bagus….dan harapan biaya kuliah murah…(dibanding swasta)

  14. semangat…berusaha dan berdoa ,,apapun yg terjadi itulah yg terbaik buat mbak dan putra putrinya…

    Mel,
    Iya…hehehe….itu tadi cerita temanku.
    Anak-anakku sendiri udah lulus S1 semua

  15. Anak saya yang gede besok UN SMP, cukup deg degan juga.

    Ubadmarko,
    Hmm iya…saat saya masih sekolah dulu, ibu juga paling rajin tirakat, demikian juga ayah, agar anak-anaknya berhasil…

  16. saya dulu menjelang ujian UMPTN tetep nyantai, tetep keluyuran, tapi diimbangi dengan ikutan bimbingan belajar dan berdoa. ibu saya yang khwatir hanya bisa berdoa.. heheh.. alhamdulillah berkat doa ibu saya, saya mejadi seperti sekarang.. 🙂

    Zam,
    Saya selalu mengajarkan untuk membuat perencanaan jauh hari…jadi anak-annak sudah dipersiapkan sejak kelas 1 SMA.
    Saat menjelang ujian, mereka malah nonton TV…karena sebelumnya sudah siap.
    Dan tinggal berdoa, serta berjuang agar berhasil
    Yang saya kawatirkan adalah si sulung, karena dia sleeping disorder (narcolepsy)…jadi saya hanya pesan ke guru2nya, agar membangunkan kalau tidur. Saat ujian SMP, si sulung tertidur…demikian juga saat ujian SMA, malah dikira pingsan saking nyenyaknya tidur…jadi teman2 stres buat ujian, dia dikasih minum teh hangat….hahaha…
    Jadi kekawatiranku adalah kalau dia tertidur sebelum semua soal selesai dikerjakan

  17. Kalau dulu ibu saya, menekan kekhawatiran beliau dengan berdoa dan puasa. Lha saya yang dikhawatirkan biasa-biasa saja hahaha nggaya.com. Sekarang, siap2 khawatir, saat Dita menjalani UN atau masuk PTN nanti (walah…masih lama atuuuh) 🙂

    Bundanya Dita,
    Biasanya anak-anak memang kurang peka terhadap kekawatiran orangtua. Tapi kedua anakku termasuk sensitif, mereka bisa memahami kekawatiran orangtuanya, karena saya sejak dulu selalu diskusi….sekarangpun masih sering chating dengan mereka, karena tinggalnya berjauhan

  18. saya juga sedang mikir juga nih, bu, meski anak saya belum mau kuliah. sekadar menghadapi ujian saja, saya juga deg2an. aneh, ya, bu, padahal saya ini seorang guru, setiap hari bisa memberikan nasihat utk siswa. tapi menghadapi anak sendiri, ternyata tak semudah ketika menghadapi siswa, hehe ….

    Sawali Tuhusetya,
    Saya bisa membayangkan pak..lha anak-anak yang sudah dewasa aja ortu nya masih mikir terus….
    Tapi bisa disiasati, sejak kelas 1 SMA sudah mempersiapkan diri pak (dan tentu saja tak boleh membandingkan dengan teman yang masih tenang2 aja…)….dan sudah tahu kemana kira2 arah yang diinginkannya. Bisa test psikologi, kira2 bakat anak akan kemana…biasanya ortu juga akan diajak diskusi…

  19. Saya dulu ngga ngebet harus masuk PTN.
    Pengen sih iya tapi ngga terlalu mendambakan krn waktu itu sedang bengal2nya dan ndak mikir mau sekolah kemana.
    Bagi saya yg terpenting justru sikap responsif si anak yang harus ditumbuhkan. Maksud saya, andai misalnya ga diterima di PTN, si anak tetep harus responsif terhadap “kegagalannya” dalam menggapai PTN.
    Mungkin komentar saya terdengar agak sinis, tp semata-mata ingin menggarisbawahi peran institusi sangat tidak mempengaruhi kualitas anak.

    DV,
    Sebetulnya PTS banyak yang bagus, bahkan sekolah internasional…masalahnya tujuan ke PTN agar biaya nya murah..maklum saya termasuk telat punya anak, jadi semua harus diperhitungkan.
    Saya bersyukur anak-anakku memahami kesulitan ini, bahkan srjak tahun ke-2 kuliah ikut bekerja untuk mendapatkan tambahan uang saku.

  20. Hm.. sepertinya kalau musim ujian anak sekolah orang2 tua jaman sekarang cenderung lebih stress ketimbang anaknya yaa.. ?? Udah naluri orang tua kali yaa..? AKu juga mengalaminya sendiri.. 😉

    Nug,
    Yup betul…
    Dan bisa memahami betapa kondisi orangtua kita dahulu ya…
    Ingat disiplin ibu yang ketat, kecuali hari libur, setiap hari harus belajar…agar tak mendadak baru belajar saat mau ujian saja.

  21. Kalau orangtuaku termasuk yang membebaskan pilihan anaknya, Bu. Mau sekolah di mana. Dulu, duku sekali, pernah juga almarhum bapak menginginkan aku masuk Akabri. Kubilang: ada-ada saja. Hihi.

    Semua anaknya sekolahnya aneh-aneh. Tapi dari yang aneh-aneh itu, bapak tetap ingin anak-anaknya jadi PNS, seperti bapaknya. Masa’ kuliah di IKJ kalau lulus disuruh kerja di Deppen. Hihihi.

    Tapi yah, namanya orangtua, pasti menginginkan yang terbaik buat anaknya. Meski kadang yang kerap dipakai adalah parameternya.

    Daniel Mahendra,
    Kalau diskusi dengan guru dan psikolog, sarannya, anak-anak tetap perlu diarahkan, karena kadang mereka ikut teman, yang sama-sama tidak paham peta universitas, daya tampung dan juga peluang kerja setelah lulus.. Namun pengarahan ini harus diskusi dua arah, karena yang akan meneruskan kuliah adalah anaknya.

    Saya menjelaskan pada anak-anak, pemilihan ke PTN karena agar mereka bisa menyelesaikan S1 dengan longgar, dan syukur karena biaya memadai, bila masih ada sisa tabungan, mereka dapat melanjutkan S2. Jika masuk swasta, mungkin bapak ibu bisa membiayai, walau pun kondisi harus di tata kembali, ada beberapa hal kegiatan yang harus dicoret, agar biaya terpenuhi. Kesadaran ini yang perlu disampaikan pada mereka, sehingga walau akhirnya diterima di PTN, mereka tetap berusaha menambah uang saku, setelah tahun ke-2 masa kuliah.

  22. akhirnya setiap orang bawa nasib masing-masing ya Bu. Mudah-mudahan saja anak-anak menjadi orang yang beruntung, sehat, dilindungi Allah, dan bahagia dengan apapun yang didapat dari yang diusahakannya.

    Iwan Awaludin,
    Iya pak, setiap orang membawa nasibnya sendiri-sendiri…walau tetap harus berusaha mendapatkan yang lebih baik.

  23. Ibu saya dulu punya cara yang khas untuk memberikan dukungan pada kami, anak-anak yang sedang tekun belajar menghadapi ujian. Malam-malam, jika ada salah satu atau salah beberapa (maklum anak ibu saya ada tujuh) yang masih belajar, ibu suka memberikan makanan yang sepanjang hari itu disembunyikannya entah dimana. Ya, harus disembunyikan, soalnya anaknya banyak dan semua masih dalam masa ‘doyan makan’, jadi disediakan makanan berapa pun pasti langsung amblas … 😀

    Tutinonka,
    Ibu2 zaman dulu berpikirnya seperti itu ya…ibu saya juga suka menyediakan makanan, agar anak-anaknya tak kelaparan saat belajar.
    Dan karena dirumah ada pohon kelapa, kalau malam2 teman adik bungsuku suka memanjat kelapa, bikin minuman kelapa muda…dan mie rebus…..

  24. dulu saya kepengen juga masuk PTN, tp kok ndilalah 2x nyoba UMPTN, nggak pernah tembus. saya yg bodoh kali hehe. tp sekarang saya bersyukur krn masuk PTS dan masuk jurusan yg membuat saya jadi spt sekarang. lagi pula, PTS tempat saya kuliah dulu perpusnya jauh lebih baik daripada PTN yg ada di Jogja. hehehe. dan itulah yang membuat saya senang!

    Krismariana,
    PTS memang banyak yang bagus..
    Pilihan ke PTN sebetulnya lebih banyak karena biaya lebih murah, terutama buat orang tua sepertiku

  25. Mmmm jadi inget sama alm ibu, duluu kalo saya mau ujian apa lagi ujian kelulusan pasti dech beberapa bulan sebelumnya Ibu udah inget saya untuk nyicil baca n ngerjakan soal trus ntar H -1 alm ibu ngajak ke toko makanan, beli snack yg di timbang jadi bisa beli sedikit tapi banyak macamnya gitu,bun 😀 inget banget tuch, lulusan SD n lulusan SMP. Dan tiap malam pasti ibu nemanin aku belajar sambil tiduran di tempat tidurku hehehehe yang ada Ibu malah ketiduran 😀 sambil sesekali liatin aku belajar, ntar kalo keasyikan makan di ingetin. atau kalo keasikan nyanyi malah diomelin 😀 hehehe soalnya saya punya hobi belajar sambil dengarkan musik n nyamil. Waktu ujian lulusan SMA Ibu udah ngga ada jadi aku sendiri dech yang nyiapin semuanya 😀 sempat nangis juga sich waktu nyiapin itu sendiri.

    Mungkin duluu alm Ibu juga begitu ya, harap – harap cemas gitu kali ya…. Ibu pandai banget menyembunyikan perasaan cemasnya itu…..

    Retie,
    Iya, orangtua tak pernah berhenti memikirkan anak-anaknya, walau anak-anaknya sudah besar sekalipun.

  26. Iya, Bu. Saya juga cemas karena Wima mo masuk TK… *heiseh, annoyed banget sih.

    “…jika anak telah mendapat lingkungan yang baik, anak tumbuh sendiri, dan berkompetisi dengan teman-temannya…”

    Kelas 3 SMA, saya juga merasakan yang diceritakan ibu tentang si bungsu. Masuk SMA favorit, kelas unggulan pula <– sayang ngga tembus TN, kurang tinggi 2 cm 😦

    Walhasil, untuk ngejar teman-teman sekelas, saya harus belajar lebih lama. Kalo mereka diterangkan sekali sudah jelas, saya harus mengulangnya beberapa kali di rumah. Pernah dalam 24 jam, belajar 11 jam (per 3 jam break).

    Jadi ingat perhatian ibu. Setiap saya belajar, biasanya sampe agak larut, ibu selalu menyediakan camilan buat cagak lek 😀

    Sanggita,
    Kita baru bisa memahami perasaan ibu, jika kita sendiri telah menjadi seorang ibu….

  27. Bu, doa, puasa dan sholat malam untuk anak2 ibu… Saya tersentuh sekali. Ibu, sungguh ibu yg penuh kasih

    Ekaria27,
    Bukankah doa ibu memang paling manjur? Tentu saja, anak-anaknya harus telah cukup berusaha…

  28. Jadi inget mamaku 😦
    dulu jaman2 sekolah kalau mau ujian pasti bilang sama mama…ma…doain ya ujianku bagus, waktu kuliah setiap UAS/UTS pasti di sempetin nelp kerumah dengan permintaan yang sama dan sampai sekarang pun begitu bunda…

    Bunda hebat ya…gak salah sekarang anak2nya Bunda Enny jadi orang2 yang sukses…HEBAT!!!
    salut buat bunda

    Ria,
    Ntar kalau Ria sudah jadi orangtua, juga akan melakukan hal yang sama

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s