Beberapa hari ini saya benar-benar bad mood, mau ngapa-ngapain nggak ada yang beres rasanya. Banyak pekerjaan yang menunggu untuk dikerjakan, tapi entah kenapa kepala ini tak bisa diajak mikir, maklum pekerjaanku sebagian besar menggunakan pikiran. Ya, udah daripada kesel, akhirnya saya ambil gunting, pisau, sapu dan pengky….dan mulailah bekerja mencabuti rumput. Biasanya, jika sudah selesai mencabuti rumput (mungkin agar hal-hal yang mengesalkan dan membuat bad mood ikut tercabut), badan lelah, tapi perasaan menjadi segar. Urusan mencabut rumput, menyiangi tanaman, menyapu, diteruskan dengan memberi pupuk…duhh rasanya legaa…dan tanaman rupanya juga menunjukkan kebaikannya karena terlihat lebih segar.
Tapi, terus selanjutnya apa?? Karena badan kotor, tentu saja mandi, keramas…..dan sudah itu ngantuuuk…. Akhirnya hari Sabtu Minggu di rumah saja. Seninnya sudah niat mesti meneruskan pekerjaan, pagi-pagi ingin ke kantor Bank terdekat rumah. Biasanya jika masih pagi saya jalan kaki, sekalian olahraga, tapi risikonya, jika urusan Bank selesai, toko masih tutup, padahal rencananya, setelah urusan ke Bank, ke tukang fotokopi, kemudian pijat refleksi..dan dilanjutkan belanja beberapa kebutuhan. Ternyata antrian di Bank cukup panjang, males rasanya menunggu 20 orang lagi, yang kalau rata-rata 2 menit masih perlu waktu lebih dari setengah jam. Akhirnya saya ambil uang di ATM, kemudian ke fotokopi. Panas Jakarta jam 10.30 am terasa menyengat, akhirnya saya memilih naik bis dengan bayar Rp.2000,- untuk sampai ke fotokopi Subur, yang hanya berjarak 100 meter. Selesai dari sini naik bis lagi, karena selain panas, trotoarnya bergelombang (kalau bagus malah dipake oleh pengendara sepeda motor), juga mesti menyeberang. Nahh urusan menyeberang ini merupakan hal yang kalau bisa saya hindari, entah kenapa saya paling serem menyeberang. Dan karena takut ini, saya sering naik bajaj, hanya agar tak perlu menyeberang. Benar-benar payah deh.
Di Fr refleksi, pemijatnya cewek, tangannya lebih kuat dan pijatannya lebih terasa dibanding tukang pijat yang biasanya memijat saya. Pusing dan pegal terasa berkurang, saya kemudian berjalan kaki ke DBest yang hanya melewati 3 (tiga)gedung. Sempat telepon ke ART, perlu titip apa, karena ibu mau mampir supermarket. ART saya bilang, semuanya sudah ada, jadi saya hanya beli beberapa obat flu, dan vitamin untuk persediaan di rumah. Mampir di Gramedia, dan ini yang tak bisa dihindari, selalu ada buku yang bisa dibawa pulang.
Akhirnya, kembali di rumah, waktunya melanjutkan membaca lagi. Dan sebenarnya buku yang sedang saya baca ini, yaitu “Envy” karangan Sandra Brown, pernah saya baca sebelumnya. Tapi membaca pertama dan kedua kali terasa berbeda, maklum saya suka baca sambil melirik dulu ke halaman belakang, biar nggak deg2an, kemudian balik lagi ke depan. Dan, mungkin kebiasaan, saya mementingkan jalan ceritanya. Membaca kedua kali, membuat lebih teliti dalam memahami tujuan penulis menuliskan cerita.
Ceritanya tetang nama seorang tokoh (Maris) yang berprofesi sebagai editor buku terkenal dan putri pengusaha penerbit besar. Suatu ketika, Maris membaca ulang dari beberapa kiriman tulisan yang sebetulnya sudah dianggap tidak layak cetak. Entah kenapa, Maris yang juga salah seorang Direktur di perusahaan keluarga tadi, sangat senang membaca ulang, karangan-karangan yang sudah termasuk ditolak, dan tinggal dibuat surat penolakannya. Disitu dia menemukan sebuah prolog dari naskah “Envy” yang membuatnya penasaran, merenungkannya dan kemudian mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada diri sendiri, atas kemungkinan plot yang akan dibuat oleh pengarangnya.
Disini saya baru memahami bahwa seorang editor tak hanya sekedar mengedit, namun juga berdiskusi dengan penulis, untuk membantu mengembangkan karakter para tokoh di tulisannya. Editor juga menunjukkan kelemahan penulis dalam menulis plotnya. Editor juga mempunyai suatu feeling, apakah sebuah tulisan mempunyai kedalaman tertentu, yang nantinya kan menjadi best seller. Membaca buku ini, mengingatkanku pada tulisan DM pada blognya yang sedang sekarat itu, bahwa begitu banyak peran seorang editor untuk mengangkat seorang penulis. Dan saya melihat, peran editor selama ini masih tertutupi oleh kehebatan si penulis, jika bukunya telah laku dan sukses diterbitkan. Yahh, editor adalah peran dibelakang layar, namun sangat penting dalam membuat buku seorang penulis akan sukses dipasaran.
Jadi, dari sebuah bacaan, banyak hal yang dapat kita peroleh, jadi membaca cerita fiksi ataupun novel tetap berguna kan? Ahh…pekerjaan sudah menunggu, mesti segera diselesaikan, adakah yang bisa kasih saran bagaimana membuang bad mood ini?
Ah diskusi tentang editor yang waktu itu tak pernah tuntas ya Bu. Tapi saya masih ingat dengan penjelasan DM waktu kita kopdar dulu, meski belumlah sampai ke esensi. Pikir-pikir kalau dibahas tuntas mungkin butuh 3 sks sendiri. 🙂
Sekarang saya sedang “mumet” dengan tugas yang bejibun, tapi saya senang dan menikmati. Kalau mendekati deadline, rasanya adrenalin saya terpacu. Minggu lalu, saya harus “mengajar” dua kali dan menyenangkan saya menemukan hal-hal baru yang bisa saya pelajari dari interaksi dengan “audience” saya yang segelintir dan beragam latar belakangnya. Lantas ada beberapa kegiatan remeh temah yang juga memberi pelajaran berharga.
Hal-hal ini mengingatkan saya, bahwasanya saya tak bisa serta merta membuat prasangka bahwa hal-hal yang menurut saya remeh temeh seperti remah-remah yang tercecer tidak memiliki value dan pembelajaran. Bahkan mungkin dari sinetron Indonesia yang sudah saya judge, buruk, barangkali masih menyisakan sedikit pembelajaran, meski terus terang sampai saat ini saya belum bergeming untuk mulai menontonnya.
Yoga,
Saya belajar banyak tentang editor seperti yang diceritakan di novel itu, dan kayaknya pekerjaan yang menarik…pantesan teman kita sering terserap jika ada proyek penerbitan buku.
Jadi mnegajar, seperti yang diceritakan itu ya? Sukses ya Yoga…dengan mengajar, kita dipaksa untuk belajar lagi, mempersiapkan bahan ajar, karena kita tak ingin kelihatan konyol di depan kelas. Senang mendengar kegiatanmu, Yoga
Kalau di Jepang, nama editor pasti ditulis sejajar dengan pengarangnya bu.
wahhh ingin sekali saya mulai membaca buku-buku yang seabrek ini, termasuk yang diberi Ibu, twilight saga…. tapi belum ada waktu yang pas sih. Kegiatan PTA ternyata banyak menyita waktu saya juga.
EM
Ikkyu_san,
Tenang Imel..bukunya tak lari kok..
Buku2 tsb biasanya saya baca jika sedang lelah, dan sebagai pengantar tidur.
Atau kalau lagi bad mood kayak beberapa hari kemarin……
Gimana kalau ke “TIMEZONE” aja, bun?..
Pokoknya nge-game aja.. heheheh
Puak,
Saya lebih suka ke suasana sepi…seperti baca buku, atau nonton film yang sesuai.
Kalau bad mood ke mal, malah kacau, kecuali cuma jalan-jalan ke toko buku (dan malah uang habis banyak, karena tergoda beli buku), makan dan nonton
Eks pelatih Belanda, Rinus Mitchell pernah berujar, konsep dasar Total Football adalah “Menyerang adalah pola bertahan yang terbaik”… Diterapkan dalam konteks Bad Mood vs Good Mood, maka “Bagaimana cara menghilangkan Bad Mood” adalah dengan jalan menggantinya dengan serbuan Good Mood, Bu
Hahaha, semoga nyambung! 🙂
DV,
Hehehe…akhirnya saya pijet refleksi…..tidur dan baca buku ringan selama dua hari…dan sekarang kembali semangat lagi….
yup, editor itu bagaikan pondasi, tanpa pondasi rumah pasti tak akan kuat.
bad mood?
minum cokelat aja
cokelat dipercaya mampu membuat rasa gembira 🙂
Ierone,
Minum coklat? Hmm boleh juga dicoba…
kalau ditulisan ilmiah, editor harus dicantumkan, dan bila kita mengutip dari buku itu, maka di footnote nama editor juga harus dicantumkan… gak tau kala ditulisan populer seperti novel atau semacamnya…
bad mood?
makan kacang kulit bu…
gak percaya? coba aja… hehehe… 🙂
Vizon,
Iya Uda, kalau tulisan ilmiah, aturan sudah jelas.
Yang saya tak tahu sebelumnya, ternyata dalam proses pembuatan novel, editor peranannya bisa besar sekali….
Makan kacang? hehehe
saya kalau badmood biasanya istirahat sebentar bu. tapi parahnya kalau mau istirahat tetap aja yang dihadapi komputer
doh 😀
Antown,
memang harus istirahat dulu kok kayaknya….
Gimana kalau refreshing jalan jalan sambil diskusi hehehe
Ajengkol,
Kalau bad mood, saya malah males jalan-jalan, nanti bawaannya malah membuat keputusan (beli barang, atau apa) yang tak berguna.
Biasanya istirahat di rumah…kecuali jalan-jalannya ke gunung, yang sepi dan tenang…
saya kalo lagi ndak konsen, biasanya sya tolong dengan minum kopi. bukan kopi item, sih. hanya kopi instan yg bisa dibeli di circle-k deket kantor. kalo masih bludrek ya leren, ambil folding bike dan ngepit ke Taman Langsat dan mengikuti trek jogging yang kalo dikelilingi mencapai 700 meteran. 😀
Zam,
Ya …lari…ini malah menyenangkan…
Tapi untuk usia ku hanya boleh jalan cepat, tak boleh lari2 seperti dulu lagi…
Selalu ada yg bisa kita pelajari dr membaca gak hanya buku, tp juga majalah, tabloid,koran, komik bahkan buku pelajaran anak SD xixixi..
Kalo bd mood lakuin aja hobi kesukaan bunda..
Ato jalan2 cari tempat makan yg mak nyuss.. 😉
AtA,
Paling nyaman memang hanya baca buku sambil bermalasan dulu….
Atau bersih-bersih rumah….
bad mood?
setelah dituliskan dan publikasi di blog, sepertinya mood jeleknya reda, bu.
coba deh ibu perhatikan sekarang. hehe…
mumpung besok hari libur (yang saya baru aja tau tadi di kantor, bikin girang banget. haha!), maka aktivitas yang menyenangkannya bisa dilanjut tuh, bu.
selamat berlibur. 😉
Marsmallow,
hahaha…kau berbakat jadi psikolog juga…
Bener juga, setelah selesai baca satu novel, semangatnya muncul lagi…dan udah bisa membuat 50 slide dari bacaan 3 buku (referensi)…hehehe…
Dan siap jalan-jalan sama si sulung….nonton A & D, dan ke Gramed
Termasuk membaca blog bunda 🙂 berguna juga !
apalagi blog bunda ini, sarat kebijkasanaan dan pengetahuan.
Bunda kalo bad mood coba susu coklat bunda
(ekaaa koq kamu menggurui sich :p)
ato ya baca blog ku aja bun 😀 ahahhaha
Eka,
Hehehe…baca blog banyak gunanya…terutama jika blognya lucu, dan bikin tersenyum sendiri…
Happy weekend..
Septarius,
Makasih…
Belajar dari orang lain, dari perilakunya, dari tulisannya … Itu juga belajar Bu. Mari kita belajar (lagi) …
Oemar Bakrie,
Yup…betul..
Kita tak boleh berhenti belajar…
Saya setuju bu. Membaca novel atau cerita fiksi tetap ada gunanya. Dan juga benar apa kata mbak Yoga di atas bahwasannya menonton sinetronpun pasti ada gunanya sesedikit apapun.
Namun, masalahnya menjadi berbeda jika kita sudah senang dengan sesuatu yang sedikit berguna hingga melupakan sesuatu yang lebih banyak berguna. Menyenangi sinetron tentu sah2 saja, namun sebaiknya bahkan seharusnya kita juga menyenangi program2 lain di televisi yang jauh lebih berguna. Dan tentu saja menyenangi novel (bahkan komikpun) juga baik, asal kita jangan lupa dengan buku2 lain yang juga atau bahkan lebih bermanfaat daripada membaca novel…..
Yari NK,
Yang penting memang keseimbangan.
Saya biasanya baca novel saat mau tidur, atau di sela2 mengerjakan kerjaan yang “agak menggunakan pikiran”…supaya pikiran agak enteng, jadi baca majalah ringan, atau bacaan ringan..ini juga menstimulus untuk cepat tidur.
Kalau sinetron TV di Indonesia, entah kenapa saya belum bisa melihat sari pati yang bisa dipelajari…dan pada dasanya saya malas nonton TV. Tahu alasannya? karena mesti pake kacamata…hahaha…
Kalau baca buku, tak perlu pake kaca mata, bisa sambil tiduran…
Bunda, badmood? kalo aku window shopping aja…ngopi ngopi di kedai kopi itu..dan bertemu teman lama 🙂 biasanya sudah cukup membuang badmoodku…atau…nyalon! hihihi
Yessymuchtar,
Ternyata biar udah berusaha, tetap aja kena bad mood…hehehe…tapi udah hilang kok setelah menulis di blog.
Mbak,
Kata orang sih kalau lagi bad mood, segera jalankan meditasi. Dijamin semangat akan segera bangkit dan berkreasi seperti biasanya.
Salam kenal.
Lambang,
Meditasi? Saya mengenal meditasi untuk melatih ketenangan jiwa, juga untuk meningkatkan konsentrasi.
Ternyata pekerjaan editor ngga sesederhana yang kita lihat ya, padahal aku dulu pernah kerja di tv, ngeliat editor kayaknya kerjanya nyante nyante aja
Raffael,
Jangan-jangan yang dimaksud beda…editor kan bisa bermacam-macam..jika untuk penulisan kreatif, editor terlibat langsung dalam diskusi yang intens dengan pengarangnya.
hmmm… baca tulisan bu enny ini membuat saya jadi pengen komentar macem-macem. hehe. pertama, soal naik bus untuk mencapai tujuan yg cuma 100meter. aduuuh… itu beda banget sama saya. gara2 punya suami yg tukang jalan, saya jadi biasa jalan kaki di jkt ini. jarak 500meter-1km, bisa jalani dg jalan kaki–biar tengah hari bolong! panas? pakai payung. hehe. rasanya saya terlalu sayang utk memberikan uang Rp 2000 ke tukang angkot. soalnya kalau menuruti “kemanjaan” saya, bisa boros nih. lebih baik uang kecil itu dikumpulkan untuk … beli makanan!! :p
kedua soal editor. ya begitulah pekerjaan editor, bu. saya 6 th sbg editor kantoran dan skrg rasanya jabatan editor masih nempel saja di “bathuk”. jd kalau ditanya orang, “apa kerjaanmu?” saya seringnya menyebut diri editor. padahal skrg stlh jd freelancer, saya nggak cuma mengedit naskah. bgmnpun menjadi editor itu menyenangkan. bisa baca naskah orang yg blm jadi, bisa kasih masukan ini dan itu. tp sayangnya, penulis indonesia masih kurang banyak yg memang bisa menulis. malah yg miris, kebanyakan orang bahasa indonesianya pas2an…
wuah… udah panjang komentar saya, bu. serasa di blog sendiri saja hehehe 🙂
Krismariana,
Saat saya semuda Kris, saya suka menyusuri trotoar Jakarta, apalagi jika ada temannya. Lha sekarang, selain trotoarnya ga bagus (kecuali di jalan Sudirman-Thamrin, Senayan dll yang selain lebar juga ga ada sepeda motor berani melalui trotoar), maka polusi yang besar membuat terasa semakin panas, dan sesak nafas karena bau knalpot bercampur aduk. Bahkan kalau naik bajaj, saya selalu tutup mulut dan hidung.
Iya, saya pikir dulunya pengarang kalau menulis sudah jadi, jadi editor tinggal mengedit saja..ternyata editor kadang terlibat sejak awal, bahkan ikut serta untuk mengatur plot, dan sarannya sangat berguna bagi hasil penulisan buku tsb.
Aku malah setuju dengan nyabutin rumput itu Bun, untuk buang bad mood sekalian halaman jadi bersih. Kalo untuk males2an di rumah atau baca juga nggak konsen.
Sebenarnya nyanyi/ karaoke bisa buang bad mood karena tersalur lewat teriakan2 indah…..
itu aku lakukan waktu S1 dengan ikut Paduan Suara Mahasiswa…..dan hasilnya manjur banget Bun, kuliahku T. Sipil yg full stress jadi lebih ringan setelah latihan nyanyi.
Kalo sekarang mau teriak2 dimana? jadi bingung…ntar dikira orang gila? hehehe…
mas8nur,
Menyiangi rumput, mengatur dan merawat tanaman, bersih-bersih rumah, menguras bak kamar mandi…pelerjaan domestik yang bagi saya bisa menghilangkan bad mood. Walau lelah, hati senang melihat semuanya menjadi bersih..lha tinggal capeknya, dan terus tiduran sambil baca buku.
Badmood ??
Sama kaya Bunda, buka internet, bisa langsung ketawa lagi …
Atau baca buku, hmm .. ini pamungkas, damai rasanya hanyut dalam kata-kata..
😀
Muzda,
Yup…betul….
Kalau ada waktu, minimal sebulan sekali, saya mesti menyempatkan jalan-jalan ke toko buku, jadi selalu ada persediaan buku yang bisa dibaca, jika lagi bosen
setuju banget bu dengan peran penting editor dalam penerbitan, meski nasibnya hanya berada pada bayang-bayang kesuksesan tulisan atau buku yang terbit
Zulmasri,
Padahal perannya penting ya Uda…
bahkan musibah tentu juga bisa dijadiiin pelajaran 🙂
Ian,
???
Editor juga ada yang pinter dan dan galak, ada juga yang nggak pinter-pinter amat dan lebih santai. Naskah saya pernah dikuliti habis oleh seorang editor yang pinter. Walhasil, saya pun harus banyak memperbaiki naskah, dan tak lagi berharap naskah itu diterbitkan. Begitu sang editor hengkang untuk meneruskan studi, dan diganti editor baru, ternyata naskah saya justru didesak untuk segera diselesaikan, dan akhirnya terbit. Editor baru yang jebolan luar negeri ternyata tak sepinter editor lama yang jebolan dalam negeri.
Racheedus,
Betul pak….karena manusia juga punya karakter macam-macam, sehingga pandangannya akan dipengaruhi oleh karakter dasar dan kemampuan masing-masing editor. Terkadang sudut pandangnya juga berbeda, ada orang yang bisa punya feeling sebuah buku bakal meledak kalau diterbitkan, namun sebagian lain tak berani ambil risiko.
Dan keberhasilannya hanya bisa diuji setelah di launch di pasar..
Saya setuju mencabut rumput, bersih bersih kebun, mengganti media tanaman, menangkarkan tanaman, bagi-bagi tanaman atau istilah saya mencarikan “orangtua asuh tanaman”. Atau jalan-jalan sambil melihat halaman tetangga yang masih pada kosong, kirimi dia bibit tanaman, dan masih banyak lagi. Kalau masih ada sisa energi baca buku yang ringan-ringan, yah pokoknya yang bisa buat kita happy.
Terima kasih ilmunya tentang editor.
Puspita,
Hehehe…bersih-bersih, mengurus tanaman memang menyenangkan …untuk yang hobi lho.
Wahh ilmu editornya baru kulit…banyak teman blogger yang memang pekerjaannya editor, atau pernah menjadi editor, mereka lebih paham dan lebih ahli.
Hal sekecil apapun tetap saja ada sesuatu yang bisa dipelajari dari situ. Soal bad mood itu, kalau saya rasa memang perlu mengalihkan perhatian atau mengerjakan hal lain yang tentunya juga bermanfaat agar pikiran kembali segar.
Mufti AM,
Yup betul…..begitu selesai posting di blog, mood nya langsung naik lagi.
membaca karangan fiksi juga tak jarang malah menginspirasi. apalagi kalau fiksinya religi, bener ngga bu?
*saya jadi kepingin baca lagi salah satu buku favorit saya .. hmmm
Mascayo,
Kegiatan membaca memang menyenangkan….apalagi yang sesuai minat kita
pelarian yang menyenangkan, bu?:) membaca buku dan tenggelam di dalamnya…
Fety,
Hehehe…iya…membaca dan ikut berpetualang bersama pengarangnya…..
biasanya makan coklat dengan ukuran jumbo…hehehehehehe…..sambil baca buku Bun 😀
Ria,
Wahh ketahuan nih, Ria suka coklat….hati2 jangan kebanyakan, ntar tambah “Ndut”.