Membaca beberapa tulisan tentang kasus Prita, juga mendengarkan dan melihat para pakar berdebat di Televisi, jujur saja membuat hati sedih, kepala pusing dan kawatir. Awal mula mengetahui kasus Prita, juga kasus Fifi Tanang dkk, berawal pada saat saya menghadiri undangan komunitas blogger untuk membahas UUITE.
Pada saat itu, sebenarnya saya nyaris batal datang ke acara, karena kondisi fisik lagi kurang sehat, namun kemudian saya berpikir, akan lebih baik datang karena diskusi itu akan dipandu oleh para pakar hukum, yang juga menjadi blogger, daripada harus baca UUITE sendiri, yang belum tentu saya bisa memahami sejelas jika diskusi bersama teman. Saya mengajak si sulung, karena umurnya masih muda, terkadang saya kawatir juga kalau-kalau si sulung ini berbuat kesalahan, yang bisa bersinggungan dengan masalah hukum.
Malam itu, saya masih tidak terlalu menyadari betapa tinggi risiko UUITE jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan risiko ini mengejutkan saya, setelah akhirnya saya tahu bahwa gara-gara menulis di email, Prita langsung terkena pasal-pasal pencemaran nama baik, yang diambil dari KUHP maupun UUITE. Andaikata, pemberitaan dan kasus itu tak membuat Prita dipenjara, mungkin sebetulnya saya masih cuek atas email yang diributkan itu. Betapa banyaknya email yang telah beredar di internet, tanpa mengganggu para pengguna internet, karena banyak yang menganggap bahwa sebuah email atau cerita di milis tak harus ditanggapi secara berlebihan, karena masih harus dilihat lebih dulu kebenarannya. Banyaknya surat pembaca yang memprotes tentang pelayanan suatu instansi, malah terkadang Kompas memfasilitasi dengan mengumpulkan hari tertentu memuat khusus keluhan melalui surat pembaca untuk PLN, Telkom, Bank dll. Namun, saya melihat, bahwa instansi tersebut merasakan keluhan tersebut merupakan feed back, untuk memperbaiki pelayanan, berusaha mengajak diskusi pengirim surat pembaca, atau paling tidak Humas atau Corporate Secretary akan memberikan tanggapannya secara tertulis.
Saya sendiri dalam mengajarkan kepada para yunior (saya pernah memimpin Divisi Pelatihan suatu Lembaga Keuangan, dan sekarang bergabung dengan Lembaga Pelatihan sebagai instruktur), ajaran yang harus selalu ditekankan kepada para petugas/Staf yang bergerak di bidang pelayanan, jika mendapatkan kritik dari pelanggan, hanya dua hal: “Maaf……dan terimakasih” serta dilakukan dengan senyum. Betapapun hati ini panas, namun kepala tetap dingin, karena mereka adalah pelanggan. Saya dan suami akan selalu datang pada toko atau penjual jasa, yang mau menanggapi keluhan kami dengan baik, bahkan kami akhirnya menjadi pelanggan utamanya.
Saya tidak mengatakan bahwa pelayanan jasa di Tanah Air sudah bagus, namun juga tidak jelek. Saya sendiri tak pernah merasakan seperti apa yang dirasakan oleh Prita. Saya dan keluarga pernah sakit, dan pernah di rawat di rumah sakit, maka dokter maupun staf (perawat, petugas kebersihan) melayani dengan baik, padahal jelas-jelas suami saya menggunakan ASKES. Kami bisa berdiskusi dengan dokter, dan dokterpun menjelaskan sejak pre diagnosanya (karena saat awal masuk rumah sakit dengan gejala panas tinggi, belum dapat ditentukan sakitnya apa), terus langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya. Dokterpun menanyakan apa kami punya riwayat tidak kuat terhadap obat tertentu. Juga pada awal bulan Mei 2009 lalu, saat suami dirawat 3 (tiga) hari di suatu Rumah Sakit Swasta di Bandung, dan ini kedua kalinya, saya sangat berterima kasih pada Rumah Sakit tersebut beserta dokternya. Betapa tidak? Rumah Sakit tersebut tak meminta uang muka, coba bayangkan jika mesti harus menyetor uang muka lebih dahulu sebelum mendapat perawatan, karena saat itu yang mengantar ke Rumah Sakit adalah anak saya, yang masih kuliah, dan saya sendiri sedang berada di Jakarta.
Perdebatan antara para pakar Hukum di televisi semakin membingungkan saya, sebagai orang awam. Jika para pakar hukum saja, bisa menafsirkan bahwa seharusnya Prita tak dipenjara, bagaimana kami yang orang awam? Bagaimana mungkin, suatu pasal-pasal yang dapat merampas hak seseorang warga negara, bisa ditafsirkan sedemikian luas, bahkan oleh para ahlinya? Hal ini membuka pikiran saya, apakah tak sebaiknya para penegak hukum juga perlu diberikan sosialisasi, agar bisa menfsirkan pasal-pasal tersebut, dan membuat keputusan yang tak saling bertentangan.
Saya tahu, membuat kebijakan tidak mudah, betapapun kebijakan tadi telah di godok berbulan-bulan, dan mungkin sebelum diimplementasikan telah diuji coba dulu, tapi dilapangan tetap bisa membuat penafsiran yang berbeda diantara para pelaku. Disinilah perlunya diadakan suatu check dan re check pada setiap periode tertentu oleh para pembuat kebijakan, dan bilamana dirasa perlu maka aturan tersebut dapat dievaluasi kembali. Evaluasi aturan mestinya juga bukan merupakan hal yang tabu, jika demi kepentingan orang banyak, dan penegakan hukum yang lebih baik.
Saya mungkin bodoh, tapi saya betul-betul kawatir sekali, apalagi saya juga seorang ibu rumah tangga biasa, seorang pensiunan, serta bukan “seorang jelita” (menurut kata petinggi yang dikutip dalam detik.com), namun hanya seorang “jelata“……bagaimana saya menyikapi hal tersebut? Bisa saja terjadi suatu ketika ada orang yang nggak senang, langsung menggugat dan menggunakan pasal pencemaran nama baik, yang membuat kebebasan terampas. Apakah kita sudah tak ada lagi suatu musyawarah? Apakah kita bukan bangsa yang menurut hasil polling suatu negara, juga merupakan bangsa yang paling banyak tersenyum? Mengapa kita jadi dibutakan oleh hati nurani? Jadi apakah sebaiknya email hanya digunakan untuk surat resmi saja, yang telah ditulis dengan sangat berhati-hati agar setiap kalimat tak ada satupun celah yang dapat terjerat oleh hukum? Padahal pekerjaan saya setelah pensiun saat ini lebih banyak menggunakan internet. Bahkan tagihan kartu kredit, First Media juga dikirim melalui email? Bagaimana dengan anak-anak yang baru belajar menggunakan internet? Perlukah kita mengatakan…”Hati-hati nak, jangan main internet, pelajari dulu secara teliti pasal-pasal dalam KUH Perdata, KUH Pidana, UUITE dan lain-lain?”
Adakah yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ku di atas? Dan juga memberikan saran agar saya tak perlu kawatir? Kasus Prita hanyalah merupakan awal, jika kita tak menyikapi aturan secara hati-hati dan para pakar hukum tak memperbaiki aturan-aturan itu. Akan ada Prita-Prita yang lain….maukah kita seperti itu? Mudah2an para pembuat aturan dapat menyikapi hal ini dengan baik, agar tak terjadi kasus Prita-Prita yang lain, biarlah kasus Prita merupakan yang pertama dan terakhir. Dan semoga Prita dan keluarganya mendapat kekuatan dan ketabahan dari Allah swt.
Catatan:
Posting ini saya tulis karena keprihatinan saya sebagai orang awam dan bukan ahli hukum. Dan buat yang akan memberi komentar, saya mohon agar komentarnya merupakan hal yang bersifat positif, sehingga dapat bermanfaat bagi orang lain.
UU ITE banyak disalahgunakan
semoga segera direvisi..
dan selamatkan ibu prita..
Demikian juga yang saya rasakan bu,
ketika undang-undang itu langsung dijeratkan tanpa menilik dahulu asal usul kenapa masalah itu ada dan terlebih ketika hak hidup itu langsung diambil begitu saja (dalam kasus ini bu prita langsung dipenjarakan), jelas saya sangat miris bu.
Bagaimana yaa … namanya juga dipenjara .. setidaknya kan bisa menimbulkan trauma.
Bagaimana kalau pada saat demikian kita sedang lemah iman?
Mudah-mudahan para penegak hukum tetap menggunakan hati nurani, begitu juga kita tentunya.
Saya rasa banyak juga yang harus memikirkan dampaknya jika menulis email/blog. Semisal nama jangan memakai nama asli, pakailah singkatan atau samaran. Kalau mau memuat foto blur kan wajah yang belum mendapat ijin. Saya banyak belajar dari UU Privacy di Jepang. Seperti Ibu kan selalu memakai nama samaran dalam menulis, itu saja sudah bagus kok.
Soal UU ITE, saya tidak mau membacanya, kecuali itu juga berlaku bagi warga Indonesia yang tinggal di luar negeri. Kalau memang berlaku, maka saya akan pelajari benar-benar. (Jangan-jangan saya nanti di blacklist ngga boleh mudik ke kampung halaman…pusing deh saya)
EM
Usaha untuk merevisi UU ITE memang masih harus dilakukan. Tapi sementara itu mari kita berdayakan diri dulu sebagai pengguna internet. Ketahui cara-cara penyampaian pendapat yang benar dan santun agar tak tergigit ancaman UU ITE.
Jangan sampai berniat curhat, selanjutnya malah digugat
sepertinya permasalahan ada pada definisi apa yang dimaksud dengan mencemarkan nama baik. Karena yang bersalah bisa bersembunyi dengan alasan nama baiknya dicemarkan
Menurut saya, mungkin penempatan komplain saja yang perlu dicermati. Kasus Prita menjadi pembelajaran juga untuk lebih hati-hati dengan undang2 yang sedang di perbincangkan akan berubah.
Dan, bagi pihak2 yang merasa takut dirugikan, baiknya juga punya etika untuk menyelesaikan komplain dari pelanggannya.
padahal surat yang ditulis Ibu Prita sekedar menceritakan apa yang dialami secara detil. Hal itu justru menunjukkan bahwa yang dialami memang betul-betul terjadi dan bukan sekedar rekaan. Harusnya itu justru menjadi bahan introspeksi untuk memperbaiki layanan di masa mendatang
Semoga kita makin pandai mencari kata yang lebih bijak namun tetap mengena
Tanpa menurunkan sikap kekritisan 🙂
Kasus Prita ini bikin saya deg2an juga Bun..
Bunda tahu sendiri khayalan saya kan berlebihan.
Masalahnya beda persepsi itu bisa berakibat fatal. Buat saya email bu Prita itu biasa saja, tapi buat si RS beda. Lagi2 buat saya, buah pikir saya yg kadang menjurus2 itu adl art, tapi mungkin org lain melihatnya tidak begitu.
Saya mesti byk belajar lagi nich. Termasuk berhati – hati dlm menulis bahkan di blog saya sendiri.
Salam, EKA
Saya juga prihatin mas akan kasus ibu prita.. kok ada ya kasus seperti ini..
Kisah bu prita ini terus terang membuat saya agak sedikit takut untuk menuliskan kritik. Duh, sampai saat ini masih mencari apa batasan dari UUITE pasal karet tersebut. Moga segera ada kejelasan akan batasannya, biar bisa menulis dengan lepas kembali.
hak-hak pasien (dari penjelasan dr. kartono, ditelevisi) :
1. mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
2. meminta pendapat dokter lain (second opinion)
3. mendapat pelayanan sesuai kebutuhan medis
4. menolak tindakan medis
5. mendapatkan isi rekam medis
Catat, jangan sampai hak kita sebagai pasien dilanggar…..seperti yang dialami bu prita (pihak RS menolak memberikan hasil lab yang pertama kali…)
Entah apa maunya mereka dan dimana mereka meletakan Nurani nya?
kasian mba prita… harus menerima hukuman yg seharusnya tidak.. apalagi sampai meninggalkan anaknya yg masih kecil…
ko bisa ya mereka dengan tutup mata dan telingan memenjarakan seorang ibu yg ta berdaya hanya karena kritikan di email…
saya sering memberikan kritikan tp ga pernah sampai spt itu (kalo bs jangan deh) dan saya tidak merasakan takut… krn saat ini pun saya bekerja di bidang jasa, caci maki dan komplain sering saya terima, tp saya ambil positif nya.. dan alhamdulilah saat ini kami leading terus untuk revenue.. saya hanya khawatir jgn2 pihak RS melakukan hal tersebut untuk menutupi kebusukan yg ada di dalamnya…. dan saya berdoa semoga kebusukan tersebut akan terbongkar.
salam kenal, saya setuju kasus ini yang pertama dan terakhir. Kita cinta negeri ini bagaimanapun kita masih tetap berharap keadilan tetap berpihak pada kebenaran.
bu enny, UU ITE memang masih mengandung banyak kelemahan. ada beberapa pasal karet yang dinlai rawan salah tafsir. tapi kalau dirunut pembentukan UU ini, dasarnya tetep mengacu pada UUD 45 yang telah diamandemen yang memberikan kebebasan berpendapat bagi setiap warga negara di depan publik. bu prita sepertinya memang menjadi salah satu kornban salah penafsiran UU ITE yang jelas2 bertentangan dg UUD 45 itu sendiri. PP-nya juga belum ada. berita yang terakhir, aparat yang menjerat bu prita dg UU ITE sedang diteliti. mudah2an saja kasus ini tdk sampai berdampak pada upaya mengekang kebebasan berpendapat, termasuk dalam blog.
Dari email yg sempat saya baca itu sih, seharusnya yg nuntut itu ibu Prita, eh ini kok malah kebalik. Puyeng aku ngikuti.
Sebenarnya UU (apapun) yang baik tidak boleh memasung kekritisan masyarakatnya. Dan seharusnya memang kita tidak perlu kehilangan kekritisan kita walaupun dengan UU ITE tersebut. Karena kritik (yang membangun dan positif apalagi jikalau dibarengi dengan feedback yang baik) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kemajuan suatu masyarakat.
Pasalnya seringkali kita kalau mengkritik sesuatu sering tidak proporsional, menjurus pada subyek pelaku dan tidak fokus. Pada saat kita komplain karena keluhan RS atau seorang dokter misalnya, seharusnya kita fokus untuk berdebat dan mengkritik pada pelayanan RS atau dokter tersebut sesuai dengan apa yang kita alami, tidak perlu merambat kepada ketidakprofesionalan dokter tersebut secara umum ataupun RS tersebut seolah2 seluruh pelayanan RS itu buruk atau salah semua. Kecuali kita punya bukti yang kuat kalau memang dokter tersebut memang seringkali bertindak tidak profesional kepada pasien2 lainnya atau RS tersebut memang seringkali melakukan prosedur2 yang tidak profesional kepada banyak pasiennya.
Jadi saya setuju kalau ada gerakan “Bebaskan Ibu Prita” karena memang hal tersebut merupakan gerakan yang obyektif karena menurut saya pribadi memang sangat tidak tepat kalau hanya dengan mengeluh/curhat bisa berakhir di tahanan. Namun saya tidak setuju dengan gerakan “Say No to OMNI Hospital” seperti yang ada di Facebook, karena gerakan tersebut sudah menjurus kepada hal2 yang subyektif…..
Wah sepertinya komen saya tertahan akismet lagi nih.
wah saya hanya bisa ikut mbrebes mili membaca kasus Prita….rasanya saya jadi begitu beruntung hidup di “negara” ini walau saya masih tetap WN Indonesia…
Mungkin mbak Eny klo mbuka blog saya yg lama bisa ngelus dada…..disitu saya menulis ttg “Freedom of speech” yg saya anggap kebablasen…tapi orang2 disini menganggap sebagai “joke”…… http://amethys.blogspot.com/2008/02/freedom-of-speech.html
makanya saya segitu bingung mengikuti kasus jeng Prita ini…koq segitu mudah dipenjara hanya karena soal e mail…..
tapi sekarang Bu Prita sudah mulai menemukan titik terang..,
janagan ada permasalahan di dunia maya di kait-kait kan dengan dunia yang sebenarnya atau nyata. Dunia internet merupakan dunia imajinasi bagi seseorang dalam mengekspresikan kreatifitasnya. Perbandingan kebenaran dunia maya dan dunia nyata di lapangan adalah 0 : 100 %. Kebenaran fakta di dunia maya tidaklah musti kita jadikan sebuah kebenaran yang sesungguhnya. Jangan lah media di dunia maya seperti internet ini sebagai media yang dianggap benar 100%. Janganlah kita terkecoh oleh sistem yang ada dalam dunia maya ini. Media Internet adalah salah satu media yang mampu mengsalah artikan kebebasan berpendapat dalam mengisi dunia yang sesungguhnya. Oleh sebab itu perilaku atau tindakan Ibu Prita merupakan salah satu individu yang benar-benar ingin membuktikan bahwa ada sesuatu yang kurang adil dalam kehidupan yang nyata di lapangan. Khususnya untuk OMNI Hospital dalam hal ini sebagai objek sasaran yang dianggap kurang responsible dalam menalayani para pasien. Hukum yang diberikan terhadap Ibu Prita oleh majelis hukum sangatlah tidak adil. Kalau boleh tau kenapa orang-orang yang membuat situs porno, atau orang -orang yang melakukan hecker pembobolan kartu kredit, tidak di berikan hukum yang berat, padahal jelas-jelas mereka merugikan para korban, dan menjatuhkan harkat serta derajat orang-orang yang terlibat. Kenapa hanya karena kasus pembuatan E-Mail mengenai tulisan yang dinyatakan merusak nama baik perusahaan lembaga hukum memberikan sangsi hukum yang benar-benar memberatkan tersangka. Hal ini jelas-jelas sangat tidak adil. Hukum di Indonesia memang harus di tegakkan, akan tetapi penegakan hukum ini harus berdasarkan fakta dan data yang rasional dan dapat di pertanggung jawabkan. lembaga-lemabaga hukum di Indonesia musti banyak belajar kepada lembag-lebaga hukum negara lain. Jangan sampai individu yang lemah di jadikan sasaran empuk pemberian hukum oleh individu-individu yang kuat dan berkuasa. Marilah kita jadikan kerjadian ini menjadikan cermin betapa boboroknya lembaga hukum di Indonesia. Saya pribadi tidak setuju dengan pemberian hukum oleh lembaga hukum di Propinsi Banten yang memberikan hukuman kepada Ibu Prita gara-gara tulisan E-Mail di Internet. Ada yang lebih parah dari tulisan Ibu Prita. akan tetapi publik meresponya bahwa itu sesuatu yang wajar dan tidak di ungkit-ungkitkan ke meja hijau. Yang ada kita hanya bisa instropeksi terhadap apa yang telah kita lakukan di dalam mengembangkan kehidupan kita ini untuk kemajuan keluarga, bangsa, negara, dan agama. Akhir kata saya ucapkan terimakasih. Merdeka.
Defrizan Adventuri, ST.
Bu Prita yang sabar ya….
sepertinya kita para blogger bisa diberikan peluang juga untuk mendiskusikan berbagai hal kebijakan menyangkut ITE tersebut untuk masa yang akan datang, atau kalau mungkin kita mengajukan judicial review bagi UUITE tersebut…supaya kebebasan berpendapat tidak di kekang dengan kesalahan interpretasi UU dan sebaliknya muncul penghormatan terhadap orang lain juga…
Saya juga mendukung untuk dikaji ulang UUITE itu. Kasus bu Prita sampai disidang spt itu menunjukkan betapa bahaya dan lemahnya UU tsb.
Di sisi lain, kesembronoan RS Omni harusnya ada peran pemerintah dalam menangani kejadian tsb. Tapi anehnya, hingga kini kok nggak ada ya… Dan RS Omni yg antikritik ciri khas RS yg tak membuka diri dg kemajuan.
Betul bu. Apa salahnya sih si PR rumash sakit bilang “Maaf sebelumnya. Terima kasih sudah mau memberikan masukan kepada rumah sakit kami. Moga2 di masa yang akan datang tidak terjadi lagi hal2 seperti ini. Terima kasih.” UDah gitu aja dulu.. pasti juga kalo org kesel ama si RS gak sebanyak sekarang kuantitasnya.. dibandingin grup say no to RS omni di FB jumlahnya udah 30.000 orang. Ckckckckckck…
sepertinya kita harus berdiskusi soal ini Bun, kayaknya saya nda paham, dan mungkin banyak juga yang tidak paham UU ITE itu seperti apa
kalo dibuat forum diskusi bagus juga ya bun?
wah… jadi banyak yang bingung yah.. dengan kasus ibu prita…., kalo hanya karena e-mail aja bisa dipenjara bagaimana dengan yang lainnya yah ?
******
Kunjungan perdana neh… bu
salam shilaturrahmi dari Kota Hujan
Simple saja…ini pendapat kami sebagai generasi segar : tensi kebebasan menyampaikan pendapat gak boleh dikurangi. Apapun yang terjadi adalah resiko bersuara. Ketika korban berjatuhan selayaknya kita bela bersama. Mari merdekakan diri dan kritisi selalu apa yang terjadi. Pikir panjang boleh, tapi jangan pernah kapok menulis. Kran demokrasi 98 terlanjur memakan banyak nyawa untuk kemerdekaan bersuara. Jangan biarkan semuanya mundur kembali. Jangan biarkan kekuatan uang dan perkoncoan menindas suara kita kembali. Mari kita pertahankan kemerdekaan bersuara kita.
sebuah aturan yang mungkin kelak akan jadi senjata buat para konsumen yang komplain….ah negeri ini aneh aneh aja
Jadikan buat pengalaman dan pembelajaran, kedepannya harus lebih baek…
Mudah-mudahan benangnya bisa diluruskan dalam waktu cepat. Saya berdo’a supaya orang jahatnya segera ketemu dan diberi hukuman setimpal.
Terimakasih atas tanggapan teman-teman semua, mohon maaf saya tak bisa menanggapi komentar satu persatu, karena masalahnya memasuki ranah hukum, yang di luar bidang kompetensi saya.
Namun saya berharap agar kasus Prita ini mendapatkan keadilan yang sebaik-baiknya, dan juga menyadarkan semua pihak, bahwa masalah itu jika tak diselesaikan dengan baik, akan dapat menimpa orang-orang lain.
Dari wawancara TV (kalau tak salah dari JakTV), yang mencoba memawancarai orang2 yang berjalan sepanjang jalan Sudirman Thamrin, juga di daerah Blok M, terlihat bahwa tak semua dari kita telah memahami uu dan hukum secara keseluruhan.
Membaca komentar really life, menurut saya, kita mau tak mau harus membaca peraturan2 yang ada, terutama uu konsumen, KUH Perdata, KUH Pidana, UU ITE, uu pers , sera undang-undang yang kemungkinan dapat menimpa para blogger dalam hal tulis menulis.
Sebagaimana yang pernah diadakan oleh komunitas blogger Jakarta, perlu digalakkan acara untuk membahas peraturan dengan para pakar di wilayah masing-masing, karena saya kira banyak juga para blogger yang mempunyai latar belakang sarjana hukum, bahkan berkecimpung dibidang hukum.
Saya berusaha berpikir berimbang dan tidak ikut arus, Bu.
Prita memang dirugikan terutama dengan dipisahkannya dari anak-anaknya karena mesti ditahan sambil menunggu sidang, tapi di sisi lain, pihak RS Omni juga telah melakukan hal yang menjadi haknya yaitu menuntut Prita terkait dengan emailnya.
Saya ndak berani bilang siapa yang salah dan siapa yang benar sejak saya berusaha memposisikan diri di kedua belah pihak.
Akhirul kalam, ya biar pengadilan yang menuntaskan 🙂
Satu pelajaran yang aku setuju dengan Ibu, hati-hati…. Itu saja 🙂
DV,
Betul…biarkan ditangani oleh para pakarnya
Kasus tsb membuat saya juga makin banyak belajar, dan membuka-buka buku hukum lagi, dan thanks to kang Enda cs (ndorokakung, paman Tyo, mas Iman), yang menyediakan ruang bagi para blogger untuk diskusi dengan para pakar hukum.
Saya pikir teman-teman harus memanfaatkan diskusi tersebut, sekaligus sebagai ajang pembelajaran, agar tak salah langkah.
Aku kira dikeluarkannya UUITE justru untuk mengamankan hidup masyarakat juga. Khususnya dalam bidang komunikasi dunia maya. Rasanya naif kalau media seluas internet tak ada rambu-rambunya sama sekali.
Hanya saja, hanya saja UUITE memang mesti digodok lebih jauh lagi, kendati pun sudah menjadi UU. Pada tataran prakteknya ini lah baru mulai ditemukan bolong-bolong kelemahan berupa pasal yang sangat multitafsir.
Dengan multitafsir seperti itu, orang bisa dengan mudah merasa “tergugat” atau “menggugat”. Dan di pihak pengadilan, belum tentu semua hakim paham teori Jurnalistik.
Bukankah undang-undang sejatinya justru menyamankan kehidupan bermasyarakat. Tidak lantas membebani dan membuat orang ciut menjadi warga negara.
Daniel Mahendra,
Hari ini ada undangan diskusi dengan pakar hukum, sayang saya lagi kondisi kurang sehat (batuk2)…tapi si sulung yang akan datang, jadi nanti saya bisa mendengar cerita dan laporannya.
Karena saya orang yang buta masalah hukum, jadi ya hanya bisa berdoa biar bi prita tabah.
Tapi saya melihatnya dari sisi positifnya saja, secara kasat mata memang bu Prita sedang menghadapi cobaan, namun pada dasarnya bu Prita sedang mengemban tugas dari Allah yang sangat penting demi kemajuan negeri kita tercinta.
Kasus bu Prita sempat mebuat tugas-tugas siswa saya yang berhubungan dengan dunia maya tersendat namun saya terus tekankan pada siswa, dibalik satu permasalahan tersimpan banyak kemudahan. jangan pernah takut berkarya.
Susah juga mau berkomentar …
Kalo aku lihat dari sisi perusahaan … sungguh amat bodohnya staff RS tersebut. Apa ngak ada PR-nya yang mampu menyejukan situasi sebelum membawanya ke Pengadilan. Kalo dipikir lebih dalam lagi (mis: pihak RS menang), merupakan publikasi yang jelek bagi RS itu sendiri.
Otomatis nanti banyak masyarakat yang enggan berobat di sana, dgn alasan tak percaya dengan servisnya dan ketakutan jika ada masalah, mereka tidak bisa komplain. Takut kena masalah seperti Ibu Prita.
Jika RS kalah … wah itu benar-benar bakal rugi bandar …
Di pihak Ibu Prita: kenapa dia mau masuk penjara? Ini bukan kasus kriminal yang berat. Sebelum dimasukan penjara, dia berhak di damping pengacara walaupun dia tidak mempunyai uang sekalipun. Negara wajib memberikan bantuan penyediaan pengacara.
Masalah hukum di Indonesia tidak jelas sama sekali dan aku sudah pernah mengalami semacam ini.
Jika aku sebagai ibu Prita, setelah selesai dgn kasus RS, aku bakal membuka kasus dengan kepolisian dan jajaran hukum yg telah menjebloskanku ke penjara. So pasti mereka sudah terima banyak uang dari pihak RS.
yang dibahas pasal 27 ayat 3 yah?
yang jelas ada 2 prasa di situ : dengan sengaja dan bukan haknya
itu yg menjadi catatan pembelajaran 🙂
Hm.. saya lawyer, tapi juga bukan ahli UUITE.
Menurut saya sih apapun juga bottom linenya jangan berlebihan dan gunakan norma2 etika. Apakah orang bisa mempersoalkan suatu “fakta”..? Apakah oleh bisa marah, jika fakta dikemukakan dengan santun? (Catatan: Santun tidak sama dengan TIDAK TEGAS, ya. kita tetap bisa santun dan tegas)
Saya justru cenderung, menggunakan identitas yang jelas, agar saya terbiasa untuk dan dipaksa untuk menjadi bertanggung jawab atas apa2 yg saya tulis.
Pada dasarnya norma2 hukum itu selalu telah mencoba mengatur seadil mungkin. Bahwa penerapannya dilakukan secara tebang pilih, berlebihan, ada keterlibatan “uang” dan sejenisnya, itu adalah PR besar “PENERAPAN HUKUM” dinegara tercinta ini dan bukan hukumnya sendiri.
Apa yg bisa diambil dari kasus Prita? Banyak sekali. Tapi yg terpenting menurut saya justru gak terlalu legal, yakni apapun jika berlebihan pasti gak akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Berlebihan secara faktual, maupun etika.
Terlepas, apaun yg dikemukakan Prita, sepanjang hanya mengemukakan fakta dan tak berlebihan serta santun, menurut saya harusnya tidak memberi ruang hukum untuk sampai memberi alasan penahanannya segala. Setidaknya dia akan punya dasar hukum yg kuat untuk membela diri, kalaupun dipersoalkan.
Sementara RS Omni Internasional, yg mungkin merasa kuat dan mampu “membeli” hukum, kira2 apakah mendapat manfaat lebih baik dengan langkah “berlebihan” yg diambilnya…? Orang yg semula gak tau sama sekali pun sekarang enggan melangkahkan kakinya ke RS tersebut.
So, sepanjang kita menjaga koridor itu, mestinya gak perlu takut mengemukakan pendapat dinegara merdeka ini.
ya..kita memang harus hati hati….
satu sisi,kasus Prita memberi pelajaran kepada pihak pihak yang merasa KUAT dan bisa sewenang2.sisi lain….Eh…ternyata di Indonesia…hukum belum berlaku sepenuhnya…masih pilih pilih..
kesimpulannya…pakai internet untuk tujuan yang aman aman saja…dan jang silaturahmi,serta mencari referensi untuk banyak hal yang penting.
Info yang menarik, makasih ya… 🙂
Kejadian Prita Warning Sign buat blogger..tapi teruslah menulis untuk indonesia lebih baik.