Sumur

Saat masa kecilku, masing-masing rumah mempunyai sumur kerekan untuk mengambil air, bahkan di kampung nenekku, tak semua rumah punya sumur dan jamban (untuk mandi). Jadi, bagi penduduk yang tak punya sumur sendiri, maka desa menyediakan sumur bor, dilengkapi dengan kamar mandi, di kampung nenekku ada dua kamar mandi yang digunakan bersama-sama untuk warga kampung. Jangan dibayangkan kamar mandinya pakai pintu, namun semua orang tahu, bahkan tak berani mendekati pintu kamar mandi ataupun mengintip orang yang sedang mandi. Tanda bahwa kamar mandi tadi sedang digunakan adalah baju yang disampirkan di tembok kamar mandi tersebut.

Kerekan sumur (gambar diambil dari http://www.gebyok.com)

Saat masih kecil, ayah ibu mengontrak rumah di pinggiran kota. Rumah tersebut dilengkapi dengan sumur kerekan, yang terletak di luar rumah. Kakus (WC) diletakkan jauh terpisah, tanpa ada air …bisa dibayangkan jika orang habis buang air besar, akan jalan pelan-pelan dengan kaki lebar, karena untuk membersihkan badan harus ke kamar mandi yang terletak persis di samping sumur, dengan jarak lebih dari 5 meter. Pagar rumahpun nyaris tak ada, sehingga kalau malam hari agak rawan, oleh sebab itu, kami punya pispot yang digunakan untuk keperluan buang air kecil. Setiap kami mau tidur, ibu akan bikin pengumuman…”Siapa mau ke kamar kecil?” Dan tangan-tangan kecil akan angkat tangan… mengintil ibu pergi ke kamar kecil.

Syukurlah, saat saya kelas IV, ayah ibu bisa mempunyai rumah sendiri, walau belum selesai dibangun, untuk kebutuhan dasar bisa tercukupi. Kami punya sumur kerekan, serta kamar mandi dan WC terpisah. Untuk mengisi bak mandi, menggunakan saluran air yang dibuat dari bambu besar dan panjang, sehingga tak perlu mengangkat ember dari sumur ke kamar mandi atau WC. Kenyataannya, setelah bambu tadi lapuk, kami lebih memilih untuk mengisi air melalui ember, dan  membawanya bolak balik ke kamar mandi dari sumur….mungkin karena ini ya, saya dan adik-adik badannya mungil, karena keberatan mengangkat ember sejak kecil? Di rumah selalu ada orang yang “ngenger” sehingga saya hanya membantu melakukan pekerjaan rumah tangga yang tak berat, seperti menyapu…..Untuk mengisi bak air mandi maupun menyiram air, dilakukan oleh mas atau mbak yang sedang ngenger di rumah ibu. Tugas saya ikut mengisi bak mandi, seingat saya baru saya lakukan menjelang masuk SMA, kebetulan yang ngenger makin berkurang, dan tinggal keponakan ibu yang sedang kuliah di IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan).

Bagaimana cara menyiram tanaman? Biasanya kami menggunakan gembor, yaitu ember yang mempunyai lubang panjang dan berlubang-lubang tutupnya, kalau disiramkan seperti air mancur dan tak merusak tanaman yang disiram.

Gembor (gambar diambil dari http://www.bigstock.com)

Di sekolah yang baru (dulu namanya Sekolah Rakyat, sekarang SD), anak-anak dibagi dalam kelompok beranggotakan  8-10 orang, diberi sepetak kecil tanah ukuran 2×2 meter, yang bisa ditanami apa saja sesuai selera kelompok tersebut. Anggota kelompok dibagi kapan waktu menyiram tanaman, yang dilakukan bergiliran oleh setiap anggota kelompok. Dan,seperti apa sumur kerekan yang akan digunakan untuk mengambil air?  Pagar yang mengelilingi sumur cukup tinggi buat ukuran anak usia 9  tahun, tapi pagi itu saya bertugas menyiram bunga untuk petak tanaman kelompokku. Embernya bukan dari plastik, namun dari seng yang sudah bocor dipinggirnya, sehingga sampai ke petak tanaman isinya tinggal separuh. Itupun belum cukup, baju sayapun basah kuyup, tapi saya tak boleh mengeluh, karena setiap anak punya tugas sama secara bergiliran.

Kemudian saya mulai mengenal sumur pompa, saat kelas satu SMP. Kebetulan letak SMP ku di tengah kota, disebelah kantor Residen, air yang digunakan di SMP berasal dari sumur pompa. Di SMP ini giliran anak sekolah hanyalah mengelola kebersihan kelas, menyiapkan kapur, memastikan ada penghapus, sehingga lebih ringan dibanding saat masih di Sekolah Dasar. Karena lahan di SMP terbatas, setiap ada pelajaran olahraga, kami diminta berkumpul di stadion yang lokasinya lebih dekat dengan rumah tinggalku. Sepulang olahraga, kami biasa mampir ke rumah teman, yang rumahnya dilewati jika kami kembali ke sekolah. Saat mampir di rumah teman ini, saya baru menyadari bahwa air dirumahnya menggunakan PAM, karena rumah teman ini memang di kota. Saya sempat berpikir, betapa enaknya hanya tinggal membuka kran,  air langsung mengalir.

Sumur kerekan ini masih saya temui saat saya ditempatkan di kantor cabang perusahaan yang terletak di jalan Katamso, Yogya. Rata-rata penduduk sekitar kantor, menggunakan sumur kerekan ataupun sumur pompa untuk mendapatan air bersih. Dan ini memang lebih mudah, terutama bagi yang menyewakan kamar untuk anak kost, lebih ngirit, dan tak tergantung pada PLN yang saat itu sering giliran mati. Tempat kost saya, yang kebetulan dekat kantor menggunakan sumur pompa listrik, namun ibu kost sangat ketat, sehingga setiap hari hanya dua kali pompa listrik dinyalakan untuk memenuhi kebutuhan kamar mandi, serta kebutuhan lainnya. Dan di tempat kost ini saya baru tahu, bahwa ibu kost lebih memilih pesan makanan rantangan dibanding memasak sendiri, karena menurut beliau hasil akhirnya lebih murah jika makan secara rantangan serta tak repot mencuci perlengkapan dapur….padahal ibu ini mempunyai tiga anak remaja. Untuk cucian juga tidak mencuci sendiri, tapi ada orang yang setiap hari mengambil cucian dan dihitunga nya kiloan….jadi pada tahun 1980 an di Yogya telah ada jasa laundry kilo an.

Saat melanjutkan kuliah, saya masih menemukan sumur bor ini. Pada waktu tinggal di asrama, air asrama diperoleh dari Universitas, sehingga kalau hari libur jelas airnya ikut libur. Akibatnya, setiap Sabtu sore, penghuni asrama harus menyiapkan ember-ember untuk menampung air. Kami akhirnya sering mandi di kampung yang letaknya di bawah asrama, yang ada sumur bor nya, dengan air yang dialirkan melalui bambu ke kamar mandi setengah terbuka. Tentu saja kami, para cewek mandi ramai-ramai dengan menggunakan sarung atau kain panjang, agar jika ada yang mengintip atau melihat dari atas, tidak malu. Syukurlah, asrama akhirnya mendapatkan aliran air dari PAM dan sejak itu penghuni asrama bisa menggunakan air dengan tenang.

Saat ini kemungkinan sumur bor hanya tinggal berada di desa terpencil, untuk mengaliri air di persawahan. Saat saya dkk penelitian sekitar tahun 1974  di daerah Sukaratu (6 km dari puncak Galunggung), air yang ditampung di bak mandi berasal dari air hujan. Dan airnya berwarna hijau, jadi kalau mau mandi, jangan dilihat warnanya. Teman saya yang lain lebih sulit lagi, karena tinggal di desa yang lebih  ke atas, mendekati puncak Galunggung, kalau mau mandi harus berjalan jauh, atau kesawah…dan saat mencuci kaos…warna putih itu sudah berubah menjadi warna coklat kotor.

Sekarang, rasanya hampir setiap rumah mempunyai sumur pompa listrik, sehingga tak perlu memompa untuk mendapatkan air. Risikonya, jika listrik padam, air ikutan mati…..jadi rata-rata mempunyai bak penampungan air.

Iklan

35 pemikiran pada “Sumur

  1. ahsanfile

    Wakakaaaa aku kalo liat gambar gantungan timba itu jadi inget masa kecil..

    dulu kalo mau ambil air kudu nimba dulu…
    nice ….

    Ya seperti itulah zaman dulu

  2. disini jelas bahwa manusia juga bertumbuh ya bu..dari kerekan jadi sumur pompa..saya juga dulu gitu…makanya kalo ada soudara2 kita masih hidup dengan memakai hal2 yang sudah dilakukan 25 tahun yang lampau..salah siapa ya bu?

    Menurutku sumur kerekan ini asyik juga kok….
    Memang menjadi sulit jika usia makin bertambah karena mengandalkan kekuatan fiksi..bukankan sumur pompa juga begitu.

  3. Sewaktu kecil saya ga pernah liat sumur di kalimantan, baru waktu liburan ke jawa saya tau bentuk sumur itu kayak gimana. Di tempat saya sana lebih suka pake Pompa Dragon, yg diengkol itu lho.

    Sebenernya klo punya sumur kita uda ga perlu fitnes lagi lho, tangan kita lama2 otomatis jadi berotot, ahhahaah!

    Sebetulnya tak masalah kok pakai sumur kerekan atau pakai pompa tangan…tapi kalau musim kemarau memang menjadi lebih berat

  4. omiyan

    padahal lebih aman buat lingkungan ya sumur seperti jaman dulu, dibanding menggunakan jetpump ……

    selain itu bisa buat olahraga tangan terutama otot lengan hehehhe

    salam

    Dan rasanya dulu tak mengeluh ya…mungkin karena memang nggak ada pilihan lain

  5. Betapa menyenangkan menjadi anak zaman sekarang ya bun? 🙂 alhamdulillah sudah tidak mengalami apa yg bunda alami, aku bayangin pas dalam WC trus gag air, dah gt
    hrs jalan :D, pasti lengket ya :mrgreen:

    Hahaha…..ya itulah…
    Tapi kalau Desya nanti ada KKN yang ke kampung terpencil, situasi seperti itu masih banyak..malah mungkin harus ke kali dulu untuk buang air…

  6. sampai detik inipun rumah ibu saya belum ada sumurnya, memang rata-rata sumurnya cukup dalam. namun atas bantuan pemerintah dibangun penampungan air yang dialirkan dari sumber mata air di luar kampung dan penampungan utama terletak di pekarangan rumah jadi, jadi tak kepikiran lagi untuk buat sumur

    Berarti rumah ibu mas Narno di daerah pegunungan ya, sehingga kalaupun dibuat sumur, sangat dalam dan tangan bisa capek untuk memompa.

  7. waaah..
    ngebayangin bunda pas kecil.. malem2 ke kamar mandi di luar rumah…

    baca cerita ini, saya jadi semakin bersyukur dengan kemudahan yg kita punya sekarang ini. 🙂

    Iya, tapi setelah pagar rumah ditembok tinggi, nggak kawatir lagi…
    Dulu kan rata-rata pagar rumah dari tanaman, dan rendah sehingga antar tetangga nyaris tak berpagar…naun jika malam seram juga, apalagi melihat pepohonan rimbun itu…serta belum ada listrik

  8. tambahan info: Pulau maitara (yang ada dalam uang seribu) penduduknya juga kesulitan air bersih. Sumur disana selalu saja airnya berasa asin. Sumur hanya untuk keperluan mandi dan mencuci sedang untuk memasak menggunakan air hujan yang di tadah. Tapi saya tidak tahu kenapa itu di publikasikan (ditampilkan dalam uang) dan hingga sekarang pun masih kesulitan air bersih. Saya pikir agar orang simpati atau pemerintah simpati tetapi kok sampe sekarang nggak berubah-berubah…

    Wahh saya juga tak ngerti jawabannya mas
    Yang jelas, di daerah Surabaya, Sidoarjo…sumurnya juga asin, jadi hanya untuk mandi, untuk mencuci baju terasa licin. Sedangkan air pam, mengalirnya kecil sekali.
    Jadi, hal seperti ini tak hanya masalah di kepulauan…di Jakartapun di daerah dekat laut juga seperti ini

  9. di rumah opung di kampung dulu juga gitu bu,
    tp tetanga yg sodara semua itu mandinya di mesjid pakai kain basahan, ada kamar mandi dan sumur umum

    tp skrg udah masuk pam ke kampung

    Iya…dulu hal seperti itu umum terjadi.
    Setelah ada listrik, rata-rata menggunakan pompa listrik

  10. jadi inget rumah ibuku yg saat masa kecilku dulu sumurnya pake kerekan kek gitu tuh, skarang sih dah dipasangin pompa

    Iya…sekarang sudah umum sumur tsb diganti dengan pompa

  11. Sewaktu kecil, saya sering menyiram tanaman cengkeh (kecil) dengan menimba air dulu dari sumur secara kerekan. Hanya, ember yang digunakan mengangkat air dari dalam sumur ada dua: masing-masing diikatkan di ujung tali. Jadi, setiap menarik pasti berat karena di ujung tali selalu terikat ember terisi air.

    Dan lagi, seputar lubang sumur tak ada pengaman yang permanen, cukup dari bambu yang diikat-ikat seputar mulut sumur. Jadi, harus ekstra hati-hati saat menimba.

    Wah, wah… tulisan Ibu ini akhirnya membawa pikiran saya ke masa lampau, indah, lucu, sederhana, dan menyenangkan.

    Salam kekerabatan.

    Iya pak….dan anak-anak sayapun sudah tak mengalami kenangan yang indah, walau saat itu sulit, tapi terasa menyenangkan…karena semua merasakan hal sama

  12. seumur2 belum pernah saya ngeliat langsung sumur yang dikerek gitu.
    dulu pas masih di sby, di rumah saya pake sumur juga, tapi pake pompa. walaupun ada pam. tapi kadang perlu juga ya ngambil air sumur. seneng aja mainin pompanya. hahaha.

    Berarti Arman hidupnya di kota…..
    Jika agak ke daerah pinggiran, sumur kerekan ini masih ada..sekarang makin tergerus dengan diganti sumur pompa..dan jika telah ada listrik, menjadi pompa listrik. Terus terang, keberadaan sumur kerekan juga memerlukan areal yang lebih luas dibanding menggunakan pompa

  13. ..
    “saya dan adik-adik badannya mungil, karena keberatan mengangkat ember sejak kecil? ”
    ..
    kayaknya belom ada penelitiannya Buk.. hi..hi..
    ..

    Hahaha…itu juga kira-kira kok

  14. “saat itu sering giliran mati”
    kurang kata “sejak” di depannya bu.
    padahal kayaknya di masa depan kita akan lebih bergantung pada listrik, mulai dari peralatan rumah tangga, transportasi, bahkan perangkat kerja.
    mudah-mudahan PLN semakin maju ya, bisa mendukung kemajuan Indonesia.

    Saya berharap demikian pak, PLN makin maju
    Karena keluarga di Indonesia makin mandiri, anak sedikit, sehingga perangkat rumah tangga makin banyak tergantung pada listrik

  15. Saya juga masih mengalami sumur pake kerekan seperti ini Bu. Sumur tempat simbah tergolong sumur tua, belum pake bis sumur. Hanya batu putih yang ditata ditempelkan di pinggirannya. Tapi sekarang, rata2 rumah baru sumurnya sudah tak kelihatan lagi alias ditutup karena pake pompa untuk sedot airnya.

    Sumur kerekan memang lebih riskan, jadi mesti sekelilingnya diberi pengaman (biasanya ditembok min 50 cm)…juga memerlukan area yang lebih luas. Dengan makin sempitnya lahan ntuk rumah, sumur pompa memang lebih praktis, karena tak makan tempat

  16. Si Paijah

    jadi eling rumah embah di Madiun juga ada sumur pompa *yang masih tradisional yang pake tangan mompanya, suka sekali mandi di sana meski simbah juga punya sumur kerekan di belakang rumah

    Iya, hal seperti ini memang masih umum di kota kecil

  17. Rumah saya di Klaten masih pake sumur tanah Bu.
    Airnya kok ya puji TUhan nggak pernah habis dan di dalamnya sengaja kami pelihara ikan-ikan.
    Untuk kebutuhan sehari-hari kami pakai PAM tapi ketika PAM nya bermasalah, air sumur lah andalannya..

    Iya, di Cipete dulu, wlu ada air PAM, penghuni kompleks masih tetap pakai sumur tanah…karena PAM nya bau kaporit.
    Di kampung air tanah masih bagus…mungkin karena belum banyak polusi

  18. Seingat saya …
    kami sempat merasakan sumur dengan kerekan tersebut … ketika saya kelas 1 – 3 SD ..

    tetapi setelah itu berganti menjadi Pompa Dragon … (yang di engkol itu)

    Lalu beberapa tahun kemudian ke Pompa Listrik

    anak-anak kota sekarang mungkin sudah jarang melihat kerekan ya Bu …

    Salam saya Bu EDRatna

    Jadi kayaknya merupakan metamorfase dari pengambilan air ya….
    Dan sekarang, sumur bulat dengan kerekan ini sudah langka…terutama di kota besar, karena memerlukan tempat yang lebih luas, juga risiko pencemaran lebih tinggi

  19. Kerekan timba di rumah saya masih tergantung di atas sumur meski gak lagi dipakai karena sudah ada aliran PDAM. Biar saja nggantung untuk kenang2an. he he he!

    Di rumah saya di kampung awalnya juga seperti itu…..tapi setelah ibu punya cucu jadi kawatir keselamatannya, jadi terus ditutup….sekarang pakai pompa listrik

  20. Sampai saya remaja, di rumah orang tua saya masih pakai sumur kerekan. Dulu, kalau saya merasa agak terlalu banyak makan, saya membuang kalori dengan menimba air (takut gemuk gitu lho). Bisa memenuhi bak kamar mandi lho Mbak, padahal ukurannya hampir 2×1 meter … hihihi … Yang untung kakak-kakak saya, nggak usah nimba buat mandi 😀

    Menimba air memang enak pas pagi-pagi sekali..buat olahraga….
    Cuma memang jadi masalah kalau udah usia…..rasanya nggak tega, jadi saat saya dan adik-adik sudah kuliah, maka sumurnya diganti dengan pompa listrik.

  21. Sampai sekarang pun dirumah saya masiH ada sumur dan kerekan 😀 kalu mau mandi saya jg msh menimba,

    Malah sehat kan? dan segaaar

  22. Sampai sekarang, di Kweni masih banyak kok sumur-sumur tetangga yang pakai kerekan itu Bu… dan tak jarang juga yang pakai kerekan + pompa listrik, buat jaga-jaga kalau listrik padam, tetap bisa ambil air di sumur pakai kerekan… 🙂

    Pada akhirnya kita tetap harus jaga-jaga ya Uda, saking seringnya listrik padam…..
    Kemarin pagi-pagi di jakarta listrik padam, terbayang jika mesti bangun pagi, dan tak ada persediaan air

  23. melihat gambar yang paling atas itu, aku ingat masa2 kecil sewaktu SD, di rumah ortu juga pakai sumur timba seperti itu
    salam

    Iya, dulu masih umum pakai sumur kerekan…sekarang rata-rata pakai pompa….

  24. Ternyata jaman dulu hidup penuh dengan keterbatasan ya bu. Tapi keterbatan itu ternyata mengajarkan kepada kita untuk tetap semangat dan tidak mudah menyerah dengan keadaan.

    Kalau dilihat di masa sekarang memang terlihat seperti itu, tapi dulu ya terasa nyaman saja, karena nyrais semua orang juga mengalami hal sama

  25. lagi ngebayangin bunda dan teman2nya berbondong2 mandi dirumah penduduk! hahahahaha…

    rumah kakeku masih menggunakan sumur dan gak pernah kering loh bun! di kostan yg sekarang pun kamar mandi ibu kost dibelakang masih ada sumurnya 😀

    Jangan dibayangin Ria….
    Karena tempat mandi itupun sekarang sudah hilang..jadi bangunan beton…
    Rasanya makin banyak tempat nostalgia yang hilang…:P

  26. Saya masih ngalamin menimba air sumur dengan kerekan… memang lebih banyak dilakukan oleh orang-orang dewasa sih.. saya dulu dilarang menimba karena masih kecil dan dikawatirkan nyemplung 🙂 tapi saya tetep bandel dan tetep nyoba-nyoba menimba air sendiri.

    Saya pernah pergi ke daerah Jatim, disana orang mengambil air sumur dengan genter, jadi embernya dikaitkan di ujung genter. yang model begini saya nggak berani coba…
    Waktu pasang pompa engkol juga asyik sekali, setiap sore saya dan kakak rebutan “ngengkol” untuk mandi… 🙂

    Rasanya senang mengenang masa lalu ya Nana…
    Saya pernah juga menimba pakai genter itu..tapi tetap nyaman pakai kerekan, rasanya lebih aman.

  27. menurut saya, air sumur itu rasanya lebih seger. pas ngekos di Jogja, air sumur disedot dgn pompa utk kemudian ditampung di reservoir merk Penguin yg berada di atas. nah, karena penyimpanan air berada di atas, air yg dingin dari sumur bertambah dingin (yg kalo kena panas jadi agak hangat). karena gaya gravitasi, air bisa mengalir deras melalui kran-kran. ini merupakan salah satu cara hemat air.

    di Jakarta, air sumurnya gak segar. 😀

    Di Jakarta, kalau di daerah Jakarta Selatan, airnya masih lumayan…tapi menurutku air di Cipete selatan masih lebih bagus dibanding Cilandak ini…atau karena masih banyak tempat lapang dan pepohonan ya?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s