Melintas batas propinsi: mudik, jalan-jalan, nyadran, menemani tugas suami

Sebagian besar dari kita pasti mengenal istilah nyadran. Nyadran adalah istilah yang digunakan jika kita mengunjungi dan membersihkan makam leluhur, berdoa untuk yang mendahului kita, sebelum memasuki bulan puasa. Anehnya saya mengenal istilah ini setelah tinggal di Jakarta, gara-gara banyak karyawan yang mengajukan cuti untuk nyadran. Saat masih tinggal di kota kecilku, keluarga saya tak mengharuskan acara nyadran ini, bahkan saat Lebaran saja, ayah ibu tak mengharapkan anak-anak datang untuk sungkem jika masih ada kesibukan yang padat. Tentu saja, kami tetap berusaha untuk pulang kampung, karena Lebaran bersama keluarga besar merupakan acara yang ditunggu.

Setelah ayah ibu almarhum,  dan anak-anak telah berkeluarga, kesibukan kerja tak memungkinkan untuk setiap kali pamit untuk nyadran, apalagi jarak Jakarta dan kota kecil kami cukup jauh, kalaupun naik pesawat harus diteruskan dengan naik bis atau sewa kendaraan untuk mencapai rumah keluarga. Memasuki liburan puasa kali ini, kebetulan suami ada acara untuk memberikan seminar di Solo, jadi saya menemani pulang, sekaligus bisa nyadran. Karena tujuan pulang ke berbagai tempat, kami memilih menggunakan kendaraan sendiri, dan tentu bisa dibayangkan berapa lama jarak yang akan di tempuh. Kami berangkat selepas Subuh, jalanan masih lancar, namun jalan mulai tersendat saat memasuki Lohbener, kemudian Indramayu (Patrol). Jalan sebagian mengelupas, dan ada kesibukan kerja untuk membetulkan jalan, sehingga bis, truk gandeng, mobil pribadi sempat terhenti, semoga perbaikan ini akan selesai sebelum orang mudik. Selepas kemacetan yang cukup parah, kami memasuki tol Pejagan, merupakan tol yang baru…..namun rasanya bukan seperti memasuki jalan Tol yang mulus. Jalanan sepi, namun mobil tak bisa berjalan cepat,  karena aspal jalan masih sangat buruk (atau sepertinya Tol ini masih dalam proses penyelesaian ya?), mengakibatkan  kami terlonjak-lonjak, bahkan tas di bagasi terlempar dan saat sampai di tujuan isinya tumpah…..Saya anjurkan jangan melalui Tol  (sebelum jalannya mulus) ini jika hamil muda, kecuali jalan pelan saja (mana mungkin di Tol jalan pelan?).

Beberapa tahun lalu, ada perbedaan jelas antara jalan di Jawa Barat dan Jawa Tengah serta jalan di Jawa Timur. Jalan Jawa Barat gronjal-gronjal, banyak lubangnya, sehingga saat melewati Losari dan memasuki kota Batang kami senang sekali karena jalan mulus. Namun kali ini harapan kami pudar, karena jalan di Jawa Tengah sama-sama bergelombang dan berlubang. Memasuki kota Tegal,  jalan mulai macet, karena jalan yang mendekati pantai benar-benar rusak parah…kami memerlukan satu jam hanya untuk melewati kota Tegal.

Alas Roban, di pagi hari...sudah tak terlihat seram

Alas Roban yang dulu menyeramkan (konon merupakan tempat tinggalnya buto cakil) saat ini tak terlihat menyeramkan, karena telah dibangun jalan yang lebar dan terang….jadi kesan alas Roban yang menyeramkan sudah hilang. Saat pulang kembali ke Jakarta, kami salah pilih jalan, akibatnya melalui jalur Alas Roban yang lama, dan sepanjang jalan yang berkelak kelok itu ada garis lurus ditengahnya sehingga kendaraan tak bisa menyalip. Berbeda dengan sopir yang menggerutu, saya menikmati pemandangan alas Roban yang saya kenal selama ini, sejak saya kuliah di Bogor dan melalui jalan ini jika setiap kali pulang kampung naik bis. Sampai Semarang sudah jam 17.15 wib…berarti kami dua belas jam mencapai jarak kota Jakarta-Semarang.

Di Semarang (rumah adik kandung saya, yang juga ikut ke Madiun) kami segera sholat, kemudian makan dulu, supaya perjalanan ke Madiun bisa langsung tanpa berhenti di jalan untuk makan. Jarak Semarang-Solo yang dulu bisa ditempuh 1,5 jam perjalanan, sekarang rata-rata ditempuh dalam waktu 2,5 sampai 3 jam, bahkan adik saya sempat mengalami jarak Semarang Solo ditempuh dalam waktu 4 (empat) jam. Adik bungsu saya pesan agar sebaiknya kami melalui jalan kecil  setelah melalui kota Salatiga, belok kiri ke arah Tingkir-Suruh-Karang Gede-Klego-Andong-Gemolong-Sumberlawang-Tanon-Sidoharjo- langsung ketemu jalan raya yang menghubungkan Solo-Sragen di kabupaten Sragen. Jalannya kecil, masih banyak sawah dan ladang disekelilingnya, sayang saat itu sudah malam. Kondisi jalan lumayan bagus, hanya mendekati jembatan dan sesudahnya jalan bergelombang…..dan tahu-tahu kami sudah sampai ke jalan raya Solo Sragen.

Perjalanan kami dilanjutkan melalui kota Sragen, kemudian melewati batas Kabupaten Madiun, melalui hutan jati dengan jalan yang berkelak-kelok. Jika tak hati-hati pengemudi sering kena tilang disini, karena sepanjang jalan yang berkelok-kelok itu kendaraan tak boleh menyalip, pengendara sering tak sabar, apalagi jika kendaraan didepannya berjalan lambat. Namun sebetulnya kita bisa menikmati pemandangan hutan jati yang sejuk, jadi tak perlu ngebut, bukankah hidup di Jakarta semakin sulit melihat pemandangan hijau. Kami sampai rumah Madiun jam 22.30 wib, syukurlah mbak T yang menunggu rumah kami belum tidur. Setelah membersihkan badan, mengobrol sebentar, sholat, kami segera jatuh tertidur kelelahan, apalagi sebelumnya saya kurang istirahat sejak sepulang dari Samarinda, karena paginya langsung berangkat ke Jawa Timur.

Mbak T yang menyewa rumah kami mempunyai kisah yang unik. Rumah kami selama ini kosong, pernah dibuat kontrakan untuk anak-anak sekolah, namun rumah menjadi kotor. Rumah mau dijual terasa sayang, setiap kali mengingat ayah ibu mengumpulkan uang rupiah demi rupiah untuk bisa membangun rumah ini. Jadi saat mbak T bilang mau ngontrak rumah, adik bungsuku (yang kami serahi mengatur urusan rumah ini) setuju, mbak T tak perlu bayar sewa tapi ikut membantu menjaga dan membersihkan rumah. Suami mbak T sudah almarhum, untuk kebutuhan sehari-hari mbak T berjualan keripik usus, rengginang, madumongso (makanan yang dibuat dari tape ketan hitam). Setiap jam 3 pagi, mbak T berkeliling pasar di daerah Madiun dengan sepeda motornya, untuk membeli usus, kemudian usus dicuci, dibersihkan dan di goreng. Ternyata jualan mbak T disukai orang, saat ini mbak T tak perlu lagi bangun pagi buta, karena dia sudah bisa membayar uang muka pada para pemasok usus ayam ini…..dan bayangkan, dari hasil penjualan usus goreng, madumongso dan rengginang ini, mbak T bisa membeli rumah persis di depan rumah kami, dan sekarang rumah tersebut dikontrak orang,  mbak T tetap mau tinggal di rumah kami. Kami dibekali barang dagangan mbak T yang sudah di pak dalam kotak-kotak ini, dan karena saya mengurangi makanan berlemak, hasil produksi mbak T ini saya kirimkan kepada si sulung di Bali.

Pagi itu, kami sarapan nasi pecel dengan pincuk…rasanya sedaap….lama sekali tak makan nasi pincuk, sayang pincuknya  hanya pakai daun pisang,  dulu kami terbiasa makan nasi pincuk daun pisang dirangkapi daun jati, mungkin daun jati saat ini makin sulit diperoleh. Selesai makan, kami ke makam berdoa agar ayah ibu diampuni dosa-dosanya, diringankan siksa kuburnya danamal baiknya diterima oleh Allah swt. Amien

Rumah tua, masih digunakan sebagai kegiatan PKK seperti saat ibu masih ada

Saya sempat memotret rumah kami yang tak sempat di renovasi, dan jalan di depan rumah kami. Melihat jalan ini dan suasananya, mengingatkanku, mengapa pada akhirnya saya memutuskan membeli rumah yang saya tempati sekarang di Jakarta dibanding beberapa rumah alternatif lainnya.

Jalan depan rumah kami masa kecil

Jalan depan rumah kami di Madiun sangat mirip suasananya dengan jalan depan rumah kami sekarang, lebar jalan nya, juga situasi rumah disekelilingnya. Perjalanan pulang lebih mudah, dan kami sengaja berhenti untuk makan serta membeli makan an untuk di bawa pulang di warung bu Endang persis setelah melalui kota Sragen. Rumah makan bu Endang ini, walaupun sederhana  pengunjungnya selalu penuh, bahkan setiap kali adik bungsuku bertugas ke PT INKA di Madiun, temannya yang mengantar pulang melalui bandara Solo, selalu mengajak mampir makan disini. Saya suka dengan garang asemnya…kami membeli banyak untuk dibawa ke Semarang, agar sampai Semarang tak repot memasak, maklum pembantu adikku hanya bertugas beberes rumah, sorenya pulang ke rumahnya sendiri.

Kali ini suami ingin menghafalkan jalan dari Solo-ke Semarang karena besoknya dia akan kembali ke Solo. Jadi kami tak melalui jalan desa Tingkir lagi, namun meneruskan perjalanan ke Solo, melalui jembatan yang melintasi bengawan Solo, melihat lokasi ISI Solo tempat suami akan memberikan ceramah, kemudian baru pulang ke Semarang. Kami mengambil jalan tanpa melalui Kartasura namun dari Manahan langsung ke arah lanuma Adisumarmo yang nantinya tembus di daerah Ngasem-Boyolali. Besoknya saat suami ke Solo, saya jalan-jalan dengan adik di kota Semarang, yang terasa panas menyengat. Dan karena sudah mulai puasa, kami tak berani memaksakan diri, kawatir puasanya batal. Ini kesempatan saya mengobrol dan menginap agak lama di rumah adikku, karena selama masih aktif bekerja, setiap kali ada tugas ke Semarang, saya hanya sempat mengobrol pada malam hari saja.

Kembali ke Jakarta di hari kedua puasa, jalanan lumayan lancar, entah kenapa, mungkin orang lebih suka di rumah dulu. Bahkan menurutku, bis dan truk tak sebanyak biasanya. Jalan yang lancar ini memudahkan kami, walau panas semakin terasa menyengat, AC mobilpun tak terasa, syukurlah kami bertiga masih bisa bertahan untuk tetap puasa. Kali ini kami dapat menempuh perjalanan Semarang Jakarta selama 9 (sembilan) jam, lumayan cepat dibanding saat perginya.

Iklan

15 pemikiran pada “Melintas batas propinsi: mudik, jalan-jalan, nyadran, menemani tugas suami

  1. hmm saya malah belum pernah denger istilah nyadran bu. taunya istilahnya nyekar. 😀

    btw mbak T enak juga tuh ya bu.. tinggalnya gak perlu bayar, malah rumahnya dikontrakin. hehehe. 😀

    Kami bersaudara juga enak Arman, bingung juga rumah mau diapakan..kalau di kota besar bisa dikontrakkan.
    Dan keluarga yang baru nikah kan butuhnya rumah kecil, bukan rumah besar

  2. Wah, rumah orang tua Mbak Enny masih terawat dengan baik ya. Memang, meskipun orang tua sudah tidak ada lagi, pulang ke rumah tempat kita dilahirkan selalu memberikan ketenangan hati. Mungkin karena rumah dan suasananya sudah melekat erat dalam memori kenangan kita yang manis.

    Paling tidak ada yang bersih-bersih mbak….
    Mau dijual juga sayang

  3. (Maaf) izin mengamankan KETIGAX dulu. Boleh, kan?!
    Alhamdulillah perjalanannya lancar pergi pulang. Foto rumahnya asri banget, kelihatannya, Mbak.

    Rumah itu memang adem rasanya karena atapnya tinggi…model rumah zaman dulu

  4. wah disana ada tradisi nyadran juga ya?
    Sama kayak di blitar,,

    Sebetulnya saya jarang melakukannya…kemarin kebetulan ada acara lain, jadi sekaligus nyekar…
    Nyekar yang mendekati bulan puasa lebih dikenal dengan istilah nyadran

  5. Mengingatkan saya pulang ke Klaten tempo hari.
    Madu Mongso itu bu .. aduh saya suka banget. Dulu Temen kerja kalau pulang pasti bawa madu mongso buatan ibunya … apa karena saya suka yang manis-manis ya?
    Dan .. mbak T, dari jualan usus,madu mongso, dll bisa beli rumah persis di depan Rumah Ibu yg asri itu? hmm… perlu dong di share kita-kiatnya bu

    Madumongso? Memang enak, manis, gurih, legit…
    Kiat mbak T, hanya kerja keras, telaten, ramah melayani pembeli, dan hubungan dengan para pemasok usus baik.
    Dan dia sederhana, hemat, namun tak lupa menyisihkan uang untuk zakat..

  6. Wah ke Semarang ya mbak? Jajanan Semarang tuh enact looh, klo Madiun punya brem semarang punya lumpia eh nopia hehehehe

    Kayanya nyadran di Semarang kaya sedekah ndeso, Wong bawa makanan ke makam trus di domain rame2 setelah itu makanan nya di ambilin orang2 yg ikut berdoa

    Madumongso? Waaaa….jadi ingat jaman kecil, saya suka makan madumongso apalagi yg terasa benar rasa tapenya, tapi makannya dikit2 sejam kale sebungkus kertas abang ijo kuning, yg enak lagi yg ketannya ngletis hihihihi makannya bisa jam2an Wong di mut……

    Serasa ikut mudik oiii sama mbak Eny baca critanya
    Di Madiun pecel enaknya yg di dekat alun2 mbak?

    Wieda,
    Kalau jalan-jalan memang yang enak makanannya….
    Hehehe…bikin kangen pulang ya…
    Pecel Madiun? Kebetulan ada simbok jualan yang pakai tenggok lewat depan rumah, suka mampir kalau kami pulang kampung.
    Madumongso termasuk makanan kesukaanku, warna warni..kertasnya bisa buat mainan, kalau dicelupkan di air berwarna…dulu saat kecil suka mainan ini.
    Ibu alm dulu suka bikin madumongso, tape ketan hitam, kacang klici (kacang merah yang direbus, dikuliti, diberi bumbu garam dan bawang putih terus digoreng)…atau kacang bawang untuk penganan saat lebaran

  7. Wah nyadran, meski jauh saya titip nyadran untuk leluhur saya melalui Mama, Papa dan adik saya Citra, Bu…

    Sugeng siam, nggih…

    Terimakasih Donny…

  8. perjalanan yg cukup melelahkan juga ya Bu, namun tentunya terobati kerinduan pd orang tua dgn nyekar ke makam Beliau.
    Rumah Beliaupun terawat dan rapi sekali.
    salam

    Betul bunda, walau setiap habis sholat sudah berdoa untuk ayah ibu, menengok rumah, ke makam mengobati rasa kangen. Dan berdoa rasanya lebih khusyuk…

  9. Wah, saya baru tahu nih bu istilah nyadran itu. Sebenarnya tradisi itu disetiap daerah sepertinya ada. Sebelum puasa dan sebelum memasuki lebaran banyak orang yang berziarah ke makam keluarga.

    Iya, berdoa untuk orang tua yang telah mendahului kita serta para sesepuh lainnya

  10. saya gak tau istilah nyandran bu..baru sekarang mendengarnya….
    karena merantau jauh dari keluarga dan daerah asal, akhirnya saya jarang sekali melakukan ziarah ke makam leluhur…

    Istilah ini juga baru saya dengar setelah di Jakarta…..

  11. wah hebat euy jalan darat
    ahh postingan ibu beberapa kali ini sepert de javu bagiku
    setelah postingan borneo..
    ini alas roban, saya sempat 2 tahun dipekalongan, dan sering sekali melintasi alas roban…wuihh jadi kangen pulau jawa

    Kalau waktu longgar…
    Jalan darat sungguh indah, menyenangkan, melihat situasi di kanan kiri jalan..
    Bisa istirahat di kala capek….
    Lagi pingin ke Bali jalan darat…tapi mesti badan fit dulu…dan waktunya longgar, jadi bisa berhenti beberapa kali

  12. Subhanallah… Mbak T keren, akhirnya bisa punya rumah sendiri dari usaha bikin snack 😀

    Akin..
    Saya banyak belajar dari para pengusaha kecil ini…
    Pekerjaan yang kelihatannya sepele…keuntungan kecil, namun kecil-kecil jika ditabung dan hemat, bisa menghasilkan keuntungan yang besar…
    Dan rumah mbak T bagus, seperti rumah saya hanya dengan skala lebih kecil, luas tanah seperti rumah saya di Jakarta..keren kan?

  13. Di kampung saya juga ada istilah nyadran… biasanya dilakukan di hari Minggu terakhir sebelum puasa. Orang-orang datang ziarah ke makam, sambil membawa berbagai makanan. (makanan khas nyadran di daerah saya adalah ketan dan kolak).
    Karena makam di pojok desa dan rumah saya di jalan utama, otomatis semua orang lewat depan rumah saya.
    Saya sering melihat orang-orang berseliweran di depan rumah sambil membawa bungkusan makanan. Teman-teman saya pasti ikut ke makam dan ikut menikmati makanan yang dibagikan para peziarah. Mama saya selalu melarang saya ikut ke makam saat orang-orang nyadran, mama kuatir saya dianggap meminta-minta makanan, seperti teman-teman sepermainan saya..

    Agak aneh juga, nyadran bawa makanan ke makam…
    Setahu saya, nyadran adalah untuk berdoa bagi para leluhur yang mendahului kita, sekaligus membersihkan makamnya.
    Tapi di Jawa, ada istilah megengan, yaitu selamatan sehari sebelum puasa, kalau ini adalah untuk saling berbagi dan sosialisasi dengan tetangga.
    Kalau udah lewat 20 hari puasa, ada acara selametan lagi, namanya maleman..bisa malem selikur, malem telulikur (yang penting ganjil)..kemudian selametan menjelang Lebaran. Dan kemudian selamatan seminggu setelah lebaran..istilahnya bakda kupat.
    Jadi kalau dikampung biaya jadi mahal, karena sering selamatan…namun saat ini sudah dikoordinir di RT, sehingga warga hanya menyerahkan atau iuran takir atau berkat dikumpulkan di pak RT.
    Kalau di Jakarta, malah nggak ada apa-apa…lha kerja aja sampai rumah udah malam, bukanya di jalan gara-gara macet.

  14. Asri

    Wah membaca tulisan Ibu jadi inget pulang kampung yang selalu ditunggu- tunggu. Apalagi rute Gemolong- Tingkir itu lo yang bikin kangen… Cuma kami dari arah Jatim ke Jateng, Bu. Wah…. jadi dah ikut nyicil pulang ni Bu…..

    Rute itu indah karena masih merupakan perkampungan, saya benar-benar menikmatinya

  15. Krismariana

    Wah habis dr Madiun ya Bu? Saya sudah tau istilah nyadran dr kecil. Kalau liat foto rumah Ibu itu, rasanya adem ya. Saya pikir beruntung keluarga ibu kenal dg Mbak T karena dipasrahi rumah dg baik.

    Sebetulnya saya dan adik deg2an, kalau mbak T mau tinggal dirumahnya..lha ntar nggak ada yang ngurus rumahku…hehehe
    Rumahku memang adem, langit-langitnya tinggi, khas rumah zaman dulu

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s