Rencana perjalanan ke Semarang telah dibuat seminggu sebelumnya, tiket pesawat sudah ditangan, dengan rute Jakarta-Semarang, kemudian Semarang-Yogya jalan darat, terus ke Solo. Kembali ke Jakarta melalui bandara Adisumarmo, Solo. Namun ternyata gunung Merapi masih terus menerus ingin menyapa penduduk di sekitarnya, membuat rute harus disesuaikan, tiket pesawat diganti melalui bandara A. Yani, Semarang. Beberapa teman mulai menanyakan kepergian saya, apakah tak bisa ditunda, apakah memang mendesak? Semua berpesan agar berhati-hati, karena pada tanggal 4-5 Nopember, kembali Merapi memuntahkan isi perutnya, dan mengobrak abrik lingkungan sekitarnya. Dusun si mbak, yang terletak di Muntilan, terkena imbasnya, hujan debu dan pasir merontokkan tanaman, dan banyak rumah tetangganya yang roboh karena genteng tak kuat menyangga hujan pasir ini. Si sulung mewanti-wanti agar saya jangan melewati Muntilan saat ke Yogya, karena abu Merapi banyak mengarah ke barat daya, yaitu kearah Muntilan. Saya hanya menjawab, bahwa ibu akan berhubungan dan dipandu oleh teman-teman yang berada di jalur perjalanan ibu dari Semarang ke Yogya.
Saya dan teman berangkat hari Sabtu pagi tanggal 6 Nopember 2010, naik pesawat jam 11.10 wib tujuan Semarang, sebelumnya menelpon teman yang kebetulan bekerja di Muntilan, menanyakan kabar terakhir. Teman saya bilang, kalau saat ini Muntilan aman untuk dilewati, hanya perjalanan harus dilakukan dengan hati-hati karena debu yang terkena air hujan menjadi licin. Dari Semarang kami berangkat sekitar jam 15.30 wib setelah mengunjungi rumah teman yang sakit. Sebelumnya mengisi bensin dulu, agar di perjalanan, yang kita tak tahu situasi nya, tak terganggu. Jalan dari Semarang ke Magelang lancar, hanya terasa cuaca tak seperti biasanya rasanya ada perasaan aneh, apalagi hujan gerimis yang turun sejak memasuki kota Magelang membuat hati makin tertekan. Si sulung sangat kawatir ketika tahu kami akan melewati Muntilan, karena kota Muntilan masih termasuk dalam area 20 km dari puncak Merapi. Saya menenangkannya, bahwa teman di Muntilan menjamin kalau saat ini kota Muntilan aman untuk dilalui. Memasuki kota Muntilan, yang saat itu menjelang Magrib, suasana makin tintrim, sepi, apalagi seluruh kota gelap gulita karena lampu mati. Mobil berjalan merambat, di kiri kanan jalan terdapat gundukan pohon yang runtuh/patah diterjang debu dan pasir Merapi. Mobil terasa agak oleng karena jalan licin disebabkan debu Merapi yang terkena hujan menjadi seperti lumpur dan lengket, kecepatan hanya 20 km/jam, yang membuat agak tenang, banyak sekali mobil yang melintasi jalan ini. Hanya lampu berkedip-kedip mobil yang berderet di depan kami yang menjadi petunjuk jalan. Saya agak bingung, rasanya dulu jalan melewati Muntilan dari Semarang tak sekecil ini, atau karena banyak pohon bertumbangan. Begitu mendekati jembatan kali Krasak, hati menjadi lebih lega, karena terlihat lampu jalan menyala terang. Akhirnya kami memasuki kota Yogya, dan langsung masuk Novotel, yang telah dipesankan teman di Yogya. Malam itu kami hanya makan malam di hotel dan langsung tidur, masih terbayang bagaimana keadaan pengungsi, kami saja merasakan lelah lahir batin.
Besok paginya, teman saya mengajak ke Carefour untuk belanja, ternyata barang-barang yang ingin dibeli seperti selimut dan handuk, telah habis. Apa boleh buat, syukurlah teman lain, yang akan datang beberapa hari kemudian, telah memesan selimut langsung ke pabriknya, karena di Yogya sendiri sudah habis diborong untuk diberikan pada pengungsi. Kami membagi barang bantuan menjadi dua, kemudian pergi ke posko pengungsi di Maguwoharjo. Jalan masuk ke posko Maguwoharjo macet, mobil yang mengantar bantuan harus antri. Disini saya terharu melihat kesigapan para relawan dari berbagai unsur masyarakat dan TNI/ABRI (termasuk adik-adik mahasiswa), bahu membahu menolong pengungsi. Rasanya bantuan yang kami bawa tak ada artinya, melihat banyaknya pengungsi saat itu, yang mencapai sekitar 40.000 orang di posko stadion Maguwoharjo. Tentu saja, kesulitan MCK dapat dimaklumi, karena tak pernah terjadi pengungsian besar-besaran seperti ini.
Dari posko Maguwoharjo, kami menuju posko Gelanggang Mahasiswa UGM, karena putra temanku menjadi relawan di sini. Dan sekarang bersama teman-teman nya sesama mahasiswa UGM, mereka mulai menyusur ke kampung-kampung yang belum tersentuh relawan, dimana masyarakat mengungsi di rumah tetangga, saling membantu secara mandiri. Dan yang seperti ini ternyata banyak sekali, penduduk yang mengungsi di tetangganya, tidak ikut di posko pengungsi, namun mereka sudah tak punya apa-apa. Di Gelanggang Mahasiswa UGM ini, kami sempat ketemu pak Andi Malarangeng, yang rupanya juga sedang meninjau posko Gelanggang Mahasiswa UGM. Setelah menyerahkan bantuan, kami mencari makan, mencoba soto pak Soleh yang terletak di Tegalrejo. Saat ingin menambah, soto sudah habis diborong pembeli, bahkan ada pembeli mau hanya makan kuah dan nasi saja. Sulit mencari makan saat itu, Yogya masih dipenuhi debu yang mengambang, walau katanya tak setebal saat hari Jumat. Tenggorokan terasa perih dan mata berair, sungguh saya merasakan betapa sulitnya jadi pengungsi, kami yang masih menginap di hotel saja merasakan seperti ini.
Sebelum meneruskan perjalanan ke Solo (kami mendapat undangan untuk ceramah di Fak Ekonomi UNS), saya mampir ke saudara nya teman yang tinggal di Sambilegi, depan bandara Adisucipto. Saudara teman ini rumahnya di Kaliurang, saat pertama kali Merapi erupsi tanggal 26 Oktober 10, bersama keluarga nya mengungsi ke Pakem. Tengah malam tanggal 4 Oktober 10, setelah mendengar gemuruh Merapi yang terus menerus dan makin kencang, keluarga teman saya membawa lari keluarganya, untuk mengungsi di rumah menantu nya di Sambilegi. Saat esoknya kembali ke Pakem, air dan listrik mati, dan masakan telah menjadi basi semua. Apa boleh buat, makanan tsb terpaksa dibuang, dan dia kembali bersama keluarga di Sambilegi, menunggu Merapi reda. Saya melihat sepeda motor sudah siap di ruang tamu, mengarah kepintu jika sewaktu-waktu harus mengungsi lagi, mobilpun siap di parkir ke arah pintu pagar. Di rumah, mereka memilih tidur di ruang tengah dengan baju yang siap dalam ransel dan travel bag. Kami melihat si bayi yang tertidur nyenyak, tanpa merasakan kegundahan orangtua dan nenek kakeknya. Ini dari keluarga mampu, betapa banyak yang tak punya saudara, atau saudaranya satu kampung, yang bisa kena risiko muntahan lahar dan abu Merapi, pilihan satu-satunya hanya di posko pengungsian. Atau seperti keluarga si mbak, yang tak bisa kemana-mana, rumahnya masih selamat, namun rumah tetangganya beberapa ada yang ambruk tak dapat menahan debu dan pasir Merapi.
Hari Selasa malam, selesai acara di UNS Solo, saya kembali ke Jakarta, dalam perjalanan Semarang-Jakarta hujan seperti dicurahkan dari langit. Lampu untuk tetap mengenakan sabuk pengaman hanya sempat dipadamkan sebentar, dan hampir sepanjang perjalanan pesawat terasa berguncang-guncang. Saya berdoa, semoga selamat sampai rumah. Si mbak hari Sabtu pamit ke Muntilan, untuk mengirim bantuan makanan dari kami dan teman-teman, untuk dapat menyambung hidup keluarganya. Sampai kapan? Semoga Merapi kembali tenang, dan penduduk di sekitarnya dapat memulai hidup kembali……
ah ibu aku menitikkan airmata membaca cerita ibu. Bisa membayangkan perjalanan ibu, dan memang kalau yang nginap di hotel saja capek dan sengsara, bagaimana mereka yang di pengungsian. Saya salut ibu masih mau pergi ke sana. Juga teman-teman relawan yang mau menyumbangkan tenaganya ke sana. Tuhan berkati semuanya.
EM
Saya tak ada artinya Imelda..bahkan merasa tak berarti saat melihat puluhan ribu pengungsi itu.
Saya salut sama relawan…dan terharu melihat semua bahu membahu tanpa diperintah. Kebersamaan inilah yang mengharu biru hati kita, ternyata di negara kita masih ada gotong royong menolong sesama
Subhanallah, Bu Enny ternyata ke Yogya toh.
Terima kasih sudah berbagi cerita, Bu.
Terharu membacanya, semoga keadaan sekarang sudah lebih baik.
Indah…makin terharu jika melihat sendiri disana…betapa beruntungnya kita yang aman-aman saja…dan merasakan betapa kecilnya kita, sebagai manusia.
Namun juga bahagia melihat masyarakat, relawat, mahasiswa, TNI ABRI yang saling bahu membahu…..
Saya bersyukur ada kesempatan kesana…melihat dari dekat, dan lebih bisa merasakan empatinya. Apalagi keluarga si mbak di rumah, juga ikut mengalami kondisi itu, walau tak termasuk dalam pengungsi, namun tak bisa kemana-mana.
terharu baca ini bunda…
kebetulan kemaren kakak juga jadi relawan di sana, semoga musibah ini segera berakhir dan semua bisa kembali normal lagi, amin….
Kita berharap, semoga makin baik….
wah bu semoga bantuan ibu mendapat pahala yg setimpal… sy sempat ke yogya seminggu sebelum yogya erupsi, blum ada tanda-tanda merapi akan seperti sekarang ini.
Arul..bantuan saya tak ada artinya…
Namun sedikit sedikit yang dikumpulkan akan sangat berarti bagi para pengungsi itu
aduh… serem juga ya bu…
gak heran kalo anak nya ibu khawatir gitu…
yah moga2 keadaan di sana segera pulih dan merapi gak meletus lagi ya…
Kadang berita di TV terlalu dibesar-besarkan, membuat para orangtua dan keluarga kawatir. Memang ada yang masuk daerah bahaya, namun juga ada yang sebetulnya kondisinya tak seseram yang diberitakan. Tapi saya bersyukur bisa kesana…melihat dari dekat…
Saya senang tadi liat di TV bahwa Merapi sudah mulai tenang dan banyak warga yang boleh kembali ke rumah…
Pertanda kehidupan harus terus digulirkan, Bu
Iya DV..semoga pengungsi telah bisa memulai kehidupan baru..dan semangat untuk berjuang kembali…
mudah mudahan situasi terkini merupakan yang terakhir, kalo meletus lagi, walah…ngelihat di internet aja udah turut prihatin banget…
Benar..kita berharap kondisinya makin mendukung dan semakin baik
Semoga keadaan disana segera membaik sehingga para korban merapi bisa kembali lagi kerumah mereka untuk melanjutkan hidup yang mungkin telah porak poranda. Semoga mereka juga diberi kesabaran dan keiklasan untuk menerima semua ini. Juga, semoga semakin banyak orang yang tergerak hatinya untuk membantu para korban ini.
Saya juga berharap seperti itu…saat ini telah dimulai program recovery
semoga dalam perjalanan ke depannya… keadaan akan semakin membaik…. sangat terasa perjalanan Semarang Yogya itu… karena jalur itu terlalu sering kulewati saat mau kuliah di Yogya…. dan terasa sekali…seperti apa sekarang ini…. walau skrg saya tak di sana….
Memang semua yang pernah tinggal di Yogya dan sekitarnya merasakan keterikatan yang erat, walau sekarang sudah tak disana
Terbayang beratnya perjalanan ibu, apalagi para pengungsi itu yang rumah dan kampung halamannya hancur total. Semoga semua tawakkal dan tak putus asa.
Iya bu Monda, semoga situasi makin baik.
Perjalanan sebetulnya tak berat, situasi menyeramkan karena banyak berita yang simpang siur.
Semoga sekarang para pengungsi mulai bisa recovery
Subhanalllah, perjalanan yang cukup melelahkan ya Bu Ratna, walaupun berat, tetap ditempuh, demi membagikan sedikit kebahagiaan utk saudara2 kita di daerah musibah.
semoga musibah ini segera berakhir ,amin
salam
Perjalanannya nggak berat, namun perasaan agak kawatir” dan banyaknya sms yang masuk, berpesan untuk hati-hati itu yang membuat serem..padahal perjalanan lancar, hanya tersendat saat melewati Muntilan karena gelap gulita dan licin. Namun cuacanya memang tak nyaman, debu yang mengambang membuat tenggorokan kering dan mata berair. Tak terbayangkan beban hati pengungsi…semoga mereka selalu dilindungi oleh Allah swt dan tabah menghadapi cobaan ini.
Mengharu-biru, bahasanya 🙂
Bagi saya perjalanan Solo-Jogja menggunakan kereta Prameks adalah salah satu perjalanan romantis.
Saya belum mencoba naik kereta ini, katanya menyenangkan ya
semoga bencana ini cepat selesai ya…
Saya juga berharap demikian
Kadangkala musibah juga menjadi perekat persaudaraan… Alhamdulillah masih ada tangan2 tulus yg terulur bagi mereka yg mendapat musibah. Semoga semua pihak mendapat balasan yg baik dari Allah SWT & semoga ujian ini segera berlalu…
Betul Mechta..semoga kebersamaan dalam menghadapi musibah juga berlaku pada kehidupan lainnya.
Semoga masyarakat di daerah-daerah yang terkena dampak langsung Letusan Merapi dapat segera bangkit dan tetap semangat melanjutkan hidup..
Saya diceritain keluarga saya tentang kondisi Muntilan dan sekitarnya jadi terharu…
Wah, Bu Enny melihat langsung ya, saya malah belum bisa mudik.. semoga akhir tahun bisa mudik…
Salut dengan usaha Ibu dan kawan-kawan dalam berpartisipasi langsung membantu para korban…
salam hangat, Bu Enny..
Semoga kejadian letusan Merapi tidak terulang kembali ya..
Saya berdoa begitu..walau Merapi memang gunung yang aktif
Sedih baca ini bunda…
Keluargaku ada di Klaten, itu aja aku udh deg2an bgt.
Smoga bunda, smoga Merapi cepat tenang yah
Semoga keluarga Eka aman-aman aja ya
Pengalaman Mbak Enny pasti sangat mencekam ya. Mengalami langsung dan hanya mendengar cerita memang sangat beda. Saya sendiri hanya mendengar cerita, membaca di koran, dan nonton teve, itupun sangat mencekam. Ya, meskipun saya di Yogya, tetapi tidak mengalami langsung dampak letusan Merapi …
Betul mbak Tuti…
Andaikan tak ada tugas di Solo, mungkin saya dan teman bisa blusukan sampai ke magelang, dan kota lain…
Terasa sekali bagaimana mereka membutuhkan bantuan kita..bersyukur relawan tak kenal lelah dan takut.
Bu….Bagaimana keadaan yogya sekarang ?
Semoga lebih aman dan nyaman
Kehadiran dan bantuan dari ibu dan masyarakat Indonesia lainnya semoga memberikan dampak psikologis yang baik untuk para pengungsi…dan
semoga para pengungsi bisa kembali ke rumah mereka masing2…
Amin
Sekarang sudah reda, semoga begitu seterusnya. Pengungsi mulai kembali ke rumah, pemerintah dan relawan mulai menyiapkan program recovery
Subhanallah… Sangat bersyukur karena banyak yang berusaha memberikan bantuan secara langsung ke tempat musibah.
Semoga kehidupan disana segera pulih ya, bu 🙂
Betul Akin, bangsa kita memang bersifat suka menolong..tanpa menunggu instruksi, semua turun tangan bahu membahu untuk membantu
Saya percaya banyak orang2 baik di dunia
dan salah satunya adalah engkau Bu
Salam ta’jim
Semoga kita semua selalu diberikan hati yang penolong ya Achoy..walau kita juga bukan orang yang berkelebihan
Bu En, sy bisa merasakan suasana saat itu krn sy juga mengalami meskipun jalurnya berbeda. Dan syukur pada Tuhan, banyak uluran tangan bagi para pengungsi, byk doa dan banyak hati yg tergerak akan bencana yg menimpa mereka, termasuk dr Bu En dan teman2.
Pj Tuhan sekarang intensitas letusan merapi makin lama makin menurun. Zona bahaya sudah diturunkan dan beberapa pengungsi sudah mulai kembali ke rumahnya. Baca di KR Minggu hari ini, akan dibangun 2526 shelter (hunian sementara) bagi warga. Semoga dapat sedikit mengurangi beban mereka yg kehilangan saudara, rumah, dan harta benda. Amin.
Saya baca tulisanmu Yustha, semoga situasi Merapi makin baik ya..kasihan para masyarakat sekitar Merapi. Di kota Yogya sendiri abunya menyesakkan, apalagi jika tak turun hujan.