Walau sudah mendapat pelajaran ilmu manajemen, ternyata menerapkan dilapangan memerlukan banyak ketrampilan dan seni, maklum yang diatur adalah manusia, yang pada dasarnya masing-masing makhluk yang bernama manusia ini punya sifat yang “unik” yang berbeda antara satu dan lainnya. Walau kelihatannya sepele, manajemen rumah tangga membutuhkan kemauan dari kedua belah pihak, komunikasi dua arah antara suami dan isteri.
Pada awal memasuki rumah tangga, pasangan sebaiknya mau membagi tugas, apa yang menjadi tugas suami, tugas isteri, dan keputusan apa yang harus didiskusikan berdua, atau bisa diputus sendiri. Ini hal yang terlihat sepele, namun jika tidak dibicarakan secara tuntas, bisa menimbulkan kesalah pahaman. Terkadang, perempuan menganggap bahwa pasangan kita mengerti apa yang kita inginkan, namun siapa sih yang bisa mengerti keinginan orang lain, kalau tidak diutarakan secara terbuka. Mungkin saja kita memahami keinginan pasangan, jika kita mengenal pasangan sudah lama, namun pacaran lama tidak menjamin kita sudah mengenal karakter suami atau isteri, bahkan terkadang yang terlihat hanya kebaikannya saja, sehingga saat dijumpai kelemahan pasangan, maka kita bisa terkaget-kaget.
Budaya yang berbeda
Masing-masing rumah tangga, mempunyai budaya rumah tangga sendiri, kebiasaan-kebiasaan yang berbeda. Bagi anak yang dilahirkan dari satu ayah ibu saja, bisa berbeda karakternya, apalagi pasangan yang berasal dari orangtua yang berbeda, hal ini perlu penyesuaian. Ada kata kunci dari para orangtua yang penting kita ingat….”agar kita lebih ingin membahagiakan pasangan, daripada kita ingin dibahagiakan.” Dan bahagia itu tidak dicari, namun harus dibuat, masing-masing pasangan masih mempunyai hobi yang positif, dan masih bisa bergerak fleksibel. Pasangan yang membatasi gerakan pasangannya, akan mengikat pasangannya dalam ketidakbahagiaan.
Jadi, jangan membandingkan rumah tangga kita dengan rumah tangga orang lain, karena apa yang kita sepakati dengan pasangan, itulah kuncinya. Mungkin kita melihat ada pasangan yang terlihat rukun, setiap hari pergi pulang kantor selalu berdua, dan kita ingin hal seperti itu juga berlaku pada diri rumah tangga kita. Tentu saja, kita mesti melihat karakter pasangan, karena orang yang terlihat selalu bersama-sama juga mempunyai kesulitan sendiri dan harus saling bertenggang rasa. Untuk pergi bersama-sama ke kantor tak ada masalah jika lokasi kantor se arah, namun jika arahnya berlawanan akan memunculkan masalah karena harus berangkat lebih pagi. Pada saat suami menjemput, ternyata isteri masih harus rapat dengan atasan sampai malam, padahal suami juga ada pekerjaan yang harus segera dikerjakan. Beruntung jika di dekat kantor isteri ada cafe, dimana suami bisa menunggu sambil mengerjakan pekerjaan rumahnya. Namun, kebersamaan ini juga penting, hanya perlu disepakati kedua belah pihak, dan dinilai plus minusnya.
Saya dulu lebih memilih ikut mobil jemputan ke kantor, sehingga lebih bebas, apalagi pulang kantor tak bisa tepat sesuai jam kantor. Pernah terjadi, rencananya hari itu mau mengantar si kecil ke dokter, ternyata bos mengajak rapat mendadak, yang baru selesai malam hari. Suami dan anak saya sudah menunggu di lobby (saat itu belum ada hape), jadi saya pura-pura ke belakang, turun ke lobi dan memberitahu suami, bahwa saya tak ikut ke dokter. Ternyata rapat baru selesai jam 10 malam, mengharuskan saya besok pagi berangkat jam 4 pagi karena harus terbang dengan pesawat jam 6 pagi ke Padang. Syukurlah saya dan suami sudah sepakat, sehingga hal-hal seperti ini tak menimbulkan masalah, saya bersyukur mendapatkan pasangan yang penuh pengertian, dan mendukung karir saya.
Memberikan ruang pada pasangan
Sebaiknya tetap memberikan ruang pada pasangan untuk menyalurkan hobi, untuk meniti karirnya. Pasangan yang berkualitas dan bertahan lama, jika masing-masing pasangan punya ruang untuk tetap membina hubungan sosialisasi, entah dengan sahabat lama, maupun teman-teman kantor. Hubungan antara pasangan dapat bertahan lama, jika pasangan dapat menjaga keseimbangan hubungan, kapan bersikap sebagai kami, dan kapan bersifat sebagai aku atau individu. Pada saat berstatus sebagai pekerja di perusahaan maka menuntut perasaan sebagai “aku” karena kinerja tergantung dari kemampuan “aku” ini, dan kemampuan “aku” ini yang dinilai oleh perusahaan. Contohnya, untuk seseorang yang berkarir di perusahaan, ada etika untuk menjaga rahasia perusahaan, maka dia tak bisa menceritakan masalah yang ada di perusahaan bahkan pada pasangannya sendiri. Di sisi lain, pasangan bisa bersikap sebagai “kami” saat melakukan kunjungan kekeluargaan ataupun sosialisasi di masyarakat.
Sawitri S.S. (Kompas, 22 Nop 2010), menjelaskan, pada satu sisi kita ingin menjadi individu yang terpisah, berdiri sendiri, artinya menjadi seseorang yang mampu memperoleh kepuasan atas upaya diri sendiri, tetapi di sisi lain kita mencari keterikatan dan keintiman dengan orang lain, seperti halnya perasaan memiliki dan dimiliki dalam ikatan perkawinan, keluarga, atau kelompok. Hal yang perlu kita cermati adalah apabila pasangan perkawinan berada dalam rentang ketidakseimbangan perpisahan dan kebersamaan, maka pasangan tersebut menghadapi masalah yang cukup serius.
Teman saya menggambarkan, perkawinan yang langgeng adalah jika masing-masing pasangan berbahagia, masih punya ruang untuk diri sendiri, dan merasakan kebersamaan bersama keluarga.
Masalah keuangan bisa menjadi ganjalan
Kalau sudah “cinta” maka apapun bisa dilakukan berdua, ini kata orang-orang yang sedang jatuh cinta. Dalam perjalanannya, segala sesuatu membutuhkan dana. Perkawinan, yang merupakan kesepakatan kedua belah pihak, tentunya harus memperhitungkan segala hal, termasuk cara pandang dalam mengelola keuangan. Jika salah satu pasangan bersifat “boros” sedang satunya ”hemat”, akan dapat menimbulkan masalah serius. Dan pada awal perkawinan, masing-masing pihak saling toleransi dan sering tak berani membicarakan masalah keuangan secara terbuka, karena kawatir menyinggung perasaan pasangannya, padahal justru pasangan sejak sedini mungkin harus saling terbuka untuk menentukan prioritas dalam pengeluaran keuangan.
Perlu waktu untuk duduk berdua, berdiskusi, untuk membahas rencana keuangan keluarga. Hal-hal yang sudah disepakati, dalam perjalanannya dapat menimbulkan masalah. Alm ibu mempunyai cara sederhana, mengajarkan pada anak-anaknya untuk mencatat pengeluaran pada buku register, yang dapat dibaca oleh pasangannya. Dengan pengelolaan secara transparan, kita dapat belajar, bagaimana pengelolaan keuangan bulan lalu, apa yang masih bisa di hemat, dan berapa kita dapat mencadangkan untuk tabungan pada akhir bulan. Dengan register atau catatan keuangan kita bisa belajar banyak, dan menentukan prioritas untuk kedepannya.
Karena saya dan suami bekerja di luar rumah, maka saya memerlukan garis belakang yang kuat. Pekerjaan yang kadang mengharuskan dinas ke luar kota, memaksaku untuk mempunyai berbagai catatan. Untuk keuangan, saya setiap minggu memberikan uang sejumlah tertentu untuk belanja mingguan pada si mbak, dan mbak akan menuliskannya pada register yang khusus diberikan padanya. Nanti, saat uang menipis, si mbak akan menyerahkan register dan bukti kas, sehingga saya dapat mengontrol, dengan cara seperti ini, si mbak terlatih untuk mencatat dan saya mempunyai waktu luang untuk mengerjakan hal lain, yang lebih penting untuk keluarga.
Untuk belanja bulanan jika memungkinkan masih bisa saya lakukan sendiri, namun setelah si mbak bekerja lebih dari 10 tahun (yang satunya 17 tahun), maka saya memilih untuk menyerahkan uang beserta barang yang akan dibeli pada si mbak. Si mbak hanya akan membeli yang diperlukan sebagaimana tertulis dalam catatan, sedang jika saya sendiri yang pergi berbelanja, bisa lapar mata dan segala macam dibeli….. adanya kartu kredit, kalau tidak hati-hati kita akan pusing saat jatuh tempo membayar tagihannya. Usahakan membayar penuh tagihan dari kartu kredit, belanja melalui kartu kredit hanya karena kebutuhan, dan sebetulnya telah ada uang cadangan untuk membayar seluruh tagihan kartu kredit tersebut. Jadi kartu kredit hanya sebagai pengganti uang tunai, jangan sampai kita terlibat dalam hutang kartu kredit yang membuat pusing kepala.
Catatan;
Tulisan ini dipersembahkan untuk anak-anakku, keponakanku, juga teman anakku yang menginginkan sharing bagaimana mengelola rumah tangga
kenapa ya bu, yang ngurus keuangan mesti yang perempuan. Pengen deh yang urus keuangan tuh pihak suami. hehehhe. Tapi ya aku dan gen sama-sama ngga bisa ngurus duit, payah nih…apalagi sejak saya sudah tidak begitu banyak bekerja lagi.
terima kasih sharingnya bu
EM
Mungkin karena perempuan dianggap lebih teliti dan lebih tegas (karena takut jika uang habis). Tapi ada juga yang isterinya tak bisa mengelola uang, tapi suaminya yang pandai mengelola…jadi sebetulnya hanya anggapan umum, perempuan lebih baik dalam masalah keuangan.
Awalnya saya juga tertatih-tatih, tapi lama-lama pandai juga menyiasati.
Saya ingat pesan bude, tempat saya ngekos dulu..”Jeng, kalau dikasih uang suami, seberapapun harus di cukup-cukupkan, jangan minta tambah lagi. Walaupun hanya makan sama tempe tahu, tapi jangan minta lagi, apalagi jika gaji suami hanya diterima sebulan sekali….karena hal ini bisa mendorong suami korupsi...” Dan saya ingat pesan itu sampai sekarang.
Suami saya membebaskan saya utk membeli apapun yg diperlukan dlm rumah tangga kami tanpa harus selalu minta ijin/persetujuannya. Kesepakatan kami bersama,setiap membeli barang di atas jumlah rupiah tertentu, harus dibicarakan terlebih dahulu. Sampai skrg tidak pernah ada ribut2 masalah keuangan.
kadangkala ada selisih pendapat di antara kami, tapi hal tsb tidak berlanjut ke pertengkaran, semoga akan terus begitu..
Sedangkan manajemen waktu, kami upayakan kebersamaan yg berkualitas karena suami lumayan sering keluar kota. Dalam hal ini kami masih hrs terus belajar bagaimana meluangkan waktu bersama dgn betul2 berkualitas..
Terima kasih telah berbagi ya Bu..
Pengelolaan yang bagus Nana, dan kitapun dengan pasangan belajar bersama-sama. Tak ada rumusan yang tepat, tapi kita bisa belajar dan setiap kali bisa direview.
Suami saya juga bekerja di kota yang berbeda, alhamdulillah sampai pernikahan kami jalan 30 tahun ini, tak ada masalah yang berarti. Anak-anakpun tumbuh besar dengan menghormati orangtuanya.
Resepnya, jika ada masalah, kita berdoa bersama, dan saling mengingatkan bahwa kita harus ikhlas menghadapi semua cobaan dan memohon ampunan Nya
Soal uang saya percayakan pada Joyce karena saya bahkan tak percaya pada diri sendiri untuk me manage, Bu 🙂
Tapi benar kata Ibu, rumah tangga memang bukan perkara manajerial yang mudah 🙂
Iya Don..bukan perkara gampang dan tak bisa dibandingkan.
Dan kita semua, baik aku yang sudah berumah tangga hampir 30 tahun, sampai sekarang tetap belajar, karena tak ada resep yang pas
Saya setuju dengan pembagian tugas di awal rumah tangga. Komunikasi jadi hal kunci yang penting dalam berumah tangga, dan harus intens. Karena kadang saya menyangkanya “a” ternyata maksud istri bukan itu, begitupun sebaliknya.
Tentang keuangan saya jadi ingat di awal pernikahan, ketika membuat budget pasti selalu terhenyak, karena kebutuhan begitu banyak. Kadang berpikir: Cukup enggak ya? 😀 Namun ternyata selalu bisa tercukupi, atau bahkan lebih. Kami menamakan istilah tersebut dengan: “matematika langit”
Hehehe…saat masih lajang, rasanya hidup kok ngepas, sempat kawatir juga kalau menikah bagaimana?
Awal menikah, stres mengelola keuangan…syukurlah akhirnya bisa juga mencukupi kebutuhan rumah tangga dengan pendapatan yang ada.
terima kasih tipsnya bu… pasti bermanfaat buat saya nantinya…
Sama-sama Itik Kecil…
Yang jelas jangan pernah berhenti belajar, dan jangan patah semangat jika awalnya “agak berantakan” (pengalaman pribadi)
Setuju banget soal memberikan ruang bun!
Aku and Adrian kebetulan selalu berusaha untuk berangkat dan pulang bareng2, kebetulan searah walopun kantor Adr lebih jauh lagi siy…
Selepas di rumah kami langsung punya waktu untuk sendiri2.. biasanya Adr nonton DVD ato main gitarnya, aku baca2 🙂
Abis itu seger lagi deh… semua kan butuh banget “me” time 🙂
Ruang ini sangat perlu…karena kalau pasangan bahagia, dia juga akan berusaha membahagiakan kita.
Tipe seperti Eka, saya…membutuhkan ruang untuk diri sendiri, setelah bekerja keras untuk keluarga…memastikan kebutuhan keluarga (makanan sehat dll) terpenuhi.
..
memangnya yang mau berumahtangga si Sulung apa si Bungsu buk..
hihi.. 🙂
..
ngikut belajar juga ah…
boleh kan Buk..? 😉
..
banyak temen saya yang bilang, kalau saya ini gak pinter ngatur keuangan dan gak bakat dagang..
soalnya suka gak tega’aan ngambil untung..
tapi saya percaya rejeki sudah diatur sama yang di atas, so just do it..
lakukan dengan terbaik.. ^^
..
Waduhh…kalau itu sih tanya dulu sama anaknya Septa, kan orangtua sekarang tinggal; merestui pilihan anaknya.
Kalau udah pinter mengatur uang, artinya sudah mudah untuk langkah selanjutnya. Ambil untung jangan banyak-banyak, yang penting perputaran cepat, pembeli senang dan akan datang kembali.
couldn’t agree more!!! setuju banget dah bu! 🙂
1. emang betul tuh gak boleh bandingin ama RT orang lain. karena emang tiap RT ya pasti berbeda2 ya… yang penting emang kesepakatan suami istri. mana yang terbaik buat keluarga orang lain belum tentu terbaik buat keluarga kita kan… 🙂
2. setuju juga. suami istri namanya juga 2 orang berbeda, pasti bisa punya hobby/keinginan yang berbeda. penting banget untuk saling mendukung keinginan masing2 asalkan gak merugikan buat keluarga. karena kadang ya perlu ada keinginan pribadi yang gak bisa dilakukan kalo emang gak memungkinkan karena kondisi keluarga. misalnya walaupun hobi, tapi gak bijaksana kalo penghasilan pas2an tapi tetep maksa mau pergi surfing ke luar negeri karena hobi, sementara anak istri terlantar gak bisa beli makan. hehehe.
3. itu juga yang diajarkan dari mama saya. pengeluaran itu harus dicatat rinci (Sampe yang terkecil pun) setiap hari. supaya kita bisa tau income kita itu larinya kemana. dan tentu perlu dibahas bersama suami istri untuk ngeliat pos2 mana yang sebenernya bisa di cut.
Hehehe…setuju Arman, walau awalnya tak mudah kan? Menyatukan dua pendapat dan kepribadian yang berbeda, namun dengan cinta, mau berkorban..akhirnya akan mudah. Dan kita harus selalu berpikir, tak ada manusia yang sempurna, sehingga kita selalu bisa memberikan maaf pada kelemahan pasangan kita, demikian pula sebaliknya.
Dan jika semua bisa saling memahami, maka hasilnya akan indah dan membahagiakan.
Pas banget artikel ini untuk saya. Secara saya baru mau 6 bulan menikah. Dalam 6 bulan itu, saya selalu berusaha untuk menjadi suami yang baik. Meski tentu saja saya masih harus terus belajar.
Dan saling memahami itu terus dan harus terus dilakukan. 🙂
Dan belajar untuk saling memahami itu berlaku terus…
mengelo manajemen rumah tangga memang membutuhkan saling pengertian antara semua penghuni rumah, klo tidak, bisa-bisa perang mulu tuch 😀 hehehe….
mohon dukungannya di sini Raport Merah Komunikasi ya Bu,
terima kasih 🙂
Kedua belah pihak harus bisa saling menerima kelemahannya…
blue jadi ingin berumah tangga nich,kawan.eheh
p cabar
salam persahabatan
Salam, juga
Mbak aku dirumah jarang sekali mengurus semua managemat rumah karena aku sudah punya asisten, menteri perdagangan, menteri keuangan, menteri sumber daya manuisa dan menteri2 yang lain. Aku juga hampir tidak pernah ikut cawe-cawe masalah ini semuanya aku limpahkan kepada mekaniknya .
Salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan
Bersyukur punya asisten yang handal, yang pandai mengelola manajemen rumah tangga
Halo Ibu .. apa kabar? … sudah lama tidak berkunjung ke blog ini … mudah2an selalu sehat2 saja Bu … salam sukses selalu ..
Kabar baik pak Riri…..saya juga akhir2 ini sulit membagi waktu untuk BW…..
Dan ternyata kita udah lama tak ketemu ya….terakhir saat PB 07….
ikutan menyimak, bu, ilmu manajemennya.
Silahkan Fety
setuju bu, emang gak gampang dan selalu butuh penyesuaian walaupun sudah berapa lama usia perkawinan tersebut
Dan penyesuaian tersebut berlaku terus, sepanjang umur pernikahan tersebut.
dan yang dapat saya simpulkan dari pernikahan adalah jalinan yang berisi penyesuaian dan pengertian sepanjang masa,,, 🙂
dan hanya dengan kesabaran dan rasa syukur, maka segala kekurangan pada pasangan akan dapat kita terima.. 🙂
mungkin begitu ya mbak, hehe.. *sok tau*
terimakasih untuk pengalaman yang tertuang di artikel ini, sangat menginspirasi saya sebagai pasangan baru, hehehe
Bersyukur…menerima kekurangannya (kalau kelebihan pasti mau ya…)…dan ikhlas menjalaninya
Terima kasih Bu untuk sharingnya.
Seni berumah tangga itu sepertinya memang tidak semudah menulis algoritma program komputer ya (mulai ngarang 😀 ). Tidak ada resep yang ideal dan selalu jitu.
Betul Syafiq….kedua pasangan harus terbuka, dan belajar terus menerus untuk saling menyesuaikan.
Apalagi kita hidup di zaman yang perubahannya kencang…
Saya menyerahkan seluruh pengelolaan keuangan keluarga kepada Istri, karena saya tidak pandai mengelola uang dengan baik. Uang yang ada didompet bawaannya mau melarikan diri saja 😀
Ternyata uang itu licin ya..susah dipegangnya.
Dan memang harga-harga naik terus, tak seimbang dengan kenaikan pendapatan, jadi kita harus pandai menyesuaikannya.
Ya Bu, belajar memahami itu seumur hidup 🙂
Betul Achoy…kita tak pernah berhenti belajar bersama pasangan…bukankah lingkungan kita juga selalu berubah?
Bisa jadi bekal untuk saya nih, Bu… 🙂
Kalau melihat pengalaman2 orang sekitar kadang saya merasa terkagum2 akan keberhasilan rumah tangganya, tapi pernah juga saya merasa kasihan karena suami/istri yang tidak pengertian, sehingga terjadi KDRT atau menelantarkan anak.
Memulai rumah tangga memerlukan kedewasaan, dan tanggung jawab bersama. KDRT terjadi karena salah satu pihak mengalah atau pada posisi yang kalah. Dengan posisi setara, tentu tak ada yang mau ditekan……dan bagi kaum perempuan, sebaiknya tetap mandiri, sehingga tak terjadi KDRT…..
aku masih trauma melihat teman sma saya yang menikah muda, sekarang udah punya anak dua tapi malah semrawut
semoga saya besok bisa belajar dari pengalaman orang-orang
Menikah muda, apalagi tanpa persiapan, memang berisiko…
Menikah bukan hal mudah, perlu kesiapan mental, punya penghasilan yang cukup karena nanti ada anak dan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya.
wah.. tulisan ini pas sekali bunda..
belum lama ini, saya dan suami bercerita panjang lebar ttg salah seorang teman kantor suami saya… (laki2)
dia sering banget minjem uang ke suami saya (minjem hanya untuk sekedar bayar taksi, ato hal2 kecil lainnya) uangnya kemudian dikembalikan…
suami dan temennya ini udah deket banget.. sampe suatu saat suami saya bilang sambil becanda.. “perasaan minjem terus.. gak bawa duit kecil kah?”
trus temennya itu cerita.. ternyata.. semua duit dipegang ama istri. dia dijatah tiap harinya. kayak uang saku gitu.. nah, kadang2 pas kurang.. minjem ke suami saya…
hm… kalo kayak begitu.. agak keterlaluan gak sih Bunda?
Memang ada yang seperti itu Anna, saya punya pengalaman serupa.
Ini lebih konyol, teman sekantor, sesama manager (saat itu) suatu ketika pinjam uang. Ternyata dia dijatah, saya pinjami tapi dengan pesan “Seharusnya bapak punya uang sendiri, uang gaji boleh diberikan isteri, tapi kan ada uang lainnya, seperti SPJ saat dinas keluar kota dsb nya yang bisa dimanfaatkan sebagai tabungan jika ada sisanya, juga cadangan untuk keperluan bapak sendiri. Apalagi isteri bapak tidak bekerja….”
Entahlah, sejak itu teman tadi tak pernah pinjam uang lagi….saya sendiri, walau kerja di Bank, sangat anti pinjam meminjam, jadi rasanya risih aja..padahal beliau seniorku, uangnya lebih banyak, baju isterinya (yang tak kerja) lebih mahal dan gaya….. Kalau ketemu dengan saya, si isteri menceritakan kehebatan suaminya. Saya hanya senyum kecut..hahaha….
Sebagai kaum perempuan, sebaiknya kita memberikan keleluasaan buat suami, kasihan kan kalau suami kita diketawain teman-teman nya.
kata salah seorang ustad yg juga psikolog, perkawinan bukan 2 orang yg saling bergantung,tapi 2 orang mandiri yg menciptakan kesalingtergantungan. (bahasanya ribet ya bu?? 😀 )
Bahasa ribet tapi betul…
Justru disitulah uniknya sebuah pernikahan, karena kedua orang yang mandiri bisa hidup bersama dan melebur menjadi satu, namun masing-masing pihak tetap punya ruang bebas untuk melanjutkan hobinya dll.
Ibu Edratna, bagus sekali tulisan2 ibu. Yang ini juga sangat bermanfaat buat saya, terutama ketika ibu katakan :
“Dan belajar untuk saling memahami itu berlaku terus…” dan
“Betul Achoy…kita tak pernah berhenti belajar bersama pasangan…bukankah lingkungan kita juga selalu berubah?”
Terima kasih ibu, ini memotivasi saya untuk selalu terus belajar, terutama dalam memahami pasangan hidup. [ o ya saya mohon ijin menaut blog ibu di blog saya di bawah judul “Guru Itu”]
Wahh saya merasa mendapat kehormatan nih..
Tulisan saya biasa saja, memang saya selipkan pelajaran atau pengalaman daam tulisan, yang siapa tahu bermanfaat. Apalagi banyak teman anakku yang menginginkan cerita ringan seperti ini.
Selahkan kalau menaut blog ini
Benar banget bu. Uang kadang bisa menjadi ganjalan dalam kehidupan rumah tangga. Harus ada saling keterbukaan dan manajemen yang baik untuk mengaturnya.
Yup…betul sekali…
Lihat qoute Mario Teguh di bawah ini:
Ooh … jatuh cinta itu indah sekali …
Karena,
Belum ada keharusan untuk
…bayar sewa rumah, rekening listrik,
perbaiki pompa air yang rusak,
mertua yang turut campur,
istri boros, suami kasar,
tak suka kesukaan masing-masing,
dan saling merahasiakan sms dan bbm.
Itu sebabnya, bila Anda jatuh cinta,
pastikanlah Anda jatuh cinta
kepada orang yang akan tetap
mencintai Anda,
dan yang akan tetap Anda cintai.
sangat mencerahkan bu, terimakasih postingannya 🙂
Syukurlah kalau bisa bermanfaat bagi Vivink
nice post,, salam kenal…
Salam kenal juga
Subhanallah … terima kasih atas tulisan Ibu yang mencerahkan.