Kapankah kita merasakan damai di hati? Sering, atau nyaris tidak pernah? Pertanyaan tentang perasaan damai ini seperti pertanyaan tentang bahagia. Apakah kita telah merasa bahagia? Banyak dari kita berpikir bahwa kedamaian, kebahagiaan baru akan tercapai jika keinginan dan standard hidup kita terpenuhi. Kenyataannya, keinginan manusia bergerak naik tanpa ada batasannya, jika yang satu terpenuhi, ada keinginan lain yang ingin dicapainya. Justru disinilah letak daya tariknya, keinginan yang terus meningkat menyebabkan manusia terus berusaha meningkatkan prestasi dan kinerjanya untuk mencapai keinginan tersebut. Di satu sisi, karena keinginan manusia tak ada batasnya, kita bisa menjadi stress, yang bisa pula berakibat apatis.
Saya menyukai tulisan atau ceramah dari Gede Prama, yang selalu membawa angin kesejukan, Selain Gede Prama, saya juga menyukai Mario Teguh, hal-hal yang sederhana namun bisa dikupas dengan baik, membawa dan mengajak kita untuk terus bersyukur dan ikhlas menjalani kehidupan ini. Mari kita mencoba menggali pertanyaan sejak bangun tidur sampai dengan malam hari. Ini hal yang pernah saya diskusikan dengan seorang psikolog, bahwa jika kita mau introspeksi setiap malam menjelang tidur, apa yang telah kita lakukan hari ini, apakah kita telah berbuat kebaikan, atau justru kita melakukan kesalahan, marah-marah pada orang lain, anak buah? Dengan introspeksi semacam ini, membuat kita bisa menilai diri kita, agar esoknya jika kita masih dikaruniai kehidupan, kita bisa berbuat lebih baik lagi.
Bersyukur, akan membuat kebahagian dan kedamaian di hati kita, dibanding jika kita hanya menyalahkan atau menghujat atas segala hal yang tidak nyaman di sekeliling kita. Jika kita merasa banyak hal yang perlu diperbaiki, marilah kita mencoba membetulkan dari diri kita sendiri, hal-hal yang ada di bawah tanggung jawab kita, sebelum kita hanya bisa menyalahkan orang lain.
Di satu sisi, saya masih menemukan orang-orang baik di sekitar saya. Dalam setiap perjalanan ke kantor, entah dalam busway, atau saat naik taksi, banyak sekali orang baik, yang saling menolong sesamanya. Dalam suatu perjalanan naik busway, saya sedang berdiri karena tak mendapat tempat duduk. Saya naik dari Benhil ke arah Blok M, mendekati halte di depan Komdak, saya di jawil bapak-bapak yang memberikan kode agar saya duduk. Betapa bersyukurnya saya, ternyata bapak tadi, yang seharusnya bisa menempati tempat duduk, memberikan tempat duduknya pada saya.
Saat mau ke Malang, saya pesan tiket melalui travel di daerah Semanggi, karena saya tidak tahu penerbangan apa saja yang melayani Jakarta-Malang. Akhirnya pilihan saya menggunakan Garuda, karena kondisi badan saya agak kurang fit, dan di penerbangan Garuda masih ada minuman panas, walau tiketnya memang lebih mahal. Saat itu melalui telepon saya dikasih tahu, bahwa biayanya Rp.2.536.000,- untuk dua orang, penerbangan Jakarta-Malang pp. Dua hari kemudian, setelah tiket di issue, saya mendapat telepon dari pegawai travel, minta nomor rekening saya di Bank, karena dia mau membayar kelebihan uang tiket yang sudah dibayar, sebab saya mendapatkan harga promosi. Betapa senangnya saya, walau tanpa diberi tahu, saya juga tak tahu kalau saya mendapatkan harga lebih murah. Disini saya melihat, bahwa bagi suatu perusahaan, dia harus menjalin hubungan dengan pelanggan, membuat perbedaan antara perusahaan satu dan lainnya. Dengan pelayanan seperti ini, tak dipungkiri, saya akan menjadi pelanggan travel tersebut, karena mereka melayani saya dengan jujur.
Saya mengingat apa yang ditulis oleh Gede Prama. Bagaimana kita menemukan kedamaian? Sebagian orang belajar menemukan kedamaian dengan “berhenti”, yang artinya menemukan wajah kedamaian dari dari setiap pengalaman kekinian. Bangun tidur, sebagai contoh, membawa kedamaian, jika kehidupan di pagi hari diisi dengan memberikan pelayanan. Melayani keluarga dengan menyiapkan makan pagi, betapa hati ini terasa sejuk melihat anak-anak yang makan pagi dengan lahap, dan berangkat sekolah dengan ceria. Sore hari, sepulang kantor, lelah, capek di perjalanan terasa hilang begitu ketemu buah hati, dan mendengarkan celotehannya. Mendongeng, kelihatannya pekerjaan menjemukan, namun betapa indahnya jika ibu mendongeng dan melihat putra putrinya mendengarkan dengan mata membulat, sampai akhirnya tertidur. Hal-hal kecil, terlihat sepele, namun membahagiakan.
Kita tak jarang ketemu teman yang suka mengeluh di kantor, mengomentari pekerjaan yang tak ada habis-habis nya, atasan yang dirasakan tidak adil. Bayangkan jika pekerjaan selesai dan tak ada lagi yang dikerjakan, apakah kita tak bingung? Justru yang diharapkan adalah pekerjaan yang tak pernah habis, karena begitu mau habis, kita bisa menciptakan pekerjaan lagi, yang lebih menantang, dan jika kita mengerjakan pekerjaan dengan semangat, maka bekerja tak terasa capek. Yang ada adalah semangat untuk menyelesaikan pekerjaan, memberikan yang terbaik, dan nilai positif ini akan memancar dari diri kita, sehingga atasan atau lingkungan akan terkena imbasnya. Dan jika kita mendapatkan pekerjaan yang lebih banyak dibanding teman lain, pada pangkat dan jabatan yang sama, bersyukurlah, karena sebetulnya atasan menyukai dan mempercayai kita.
Kemarahan atau keluhan atasan, dapat dianggap sebagai kritik yang membangun. Bayangkan jika kita tak pernah dikritik saat berbuat kesalahan, kita tak pernah tahu apa kesalahan kita. Kadang kita terlalu memikirkan besarnya gaji dan bonus, membandingkan dengan pekerjaan di kantor lain. Daripada membandingkan, mengapa kita tak bekerja lebih keras, sehingga perusahaan di tempat kita bekerja bisa lebih cepat maju. Atau, kita bisa mencoba melamar pada kantor yang kita anggap memberikan gaji lebih besar, mampukah kita memenuhi persyaratan dan diterima? Jika belum diterima, bersyukurlah pada apa yang telah ada, dengan bersyukur kita akan bekerja dengan baik, tak terasa keahlian kita akan meningkat. Jika hanya mengeluh, sebetulnya kita akan mendapatkan kerugian, karena kita tak bekerja dengan baik, yang berakibat pula tak dapat diterima di perusahaan manapun seperti yang kita inginkan.
Pernahkah kita memperhatikan, mengapa asisten Rumah Tangga (ART) di rumah keluarga A lebih awet dibanding dengan ART di rumah B? Perbedaan nya adalah karena di rumah A, orang mendapatkan kedamaian, merasa diperlakukan sebagai manusia, walau mungkin gajinya tak sebesar bekerja di rumah B. Begitu pula kehidupan kita, bagaimana menciptakan rumah tangga yang damai, yang membuat setiap orang yang berada atau tinggal di rumah tersebut merasa nyaman, merasa “pomah”, melalui hal-hal yang sangat sederhana, saling menghargai masing-masing anggota keluarga.
Sebetulnya, dalam setiap langkah kita ada peluang untuk mendapatkan kedamaian. Kedamaian akan menghampiri, bila kita rajin melatih diri untuk memandang melalui hati, hal-hal positif yang ada disekeliling kita.
Sumber Inspirasi:
- Ceramah Mario Teguh, setiap Minggu malam di Metro TV, jam 19.00-20.00 wib
- Gede Prama. Melangkah Penuh Kedamaian. Infobank No.382, Januari 2011, hal 96.
setuju banget bu.
yah emang namanya manusia gak pernah bisa merasa puas ya. selalu rasanya ada aja yang kurang atau ada yang salah atau ada yang gak pas. semua itu bikin jadi masalah, jadi problem, dan akhirnya jadi stres sendiri.
padahal kalo udah stres, ntar malah sakit, ntar jadi susah sendiri… 😛
emang bener itu, ada waktunya kita harus ‘berhenti’. menerima dan mesnyukuri keadaan kita. gak take it for granted apa yang kita udah punya. itu perlu banget. dengan begitu, kita bisa merasa damai dan bahagia.
saya juga masih berusaha untuk selalu ngingetin diri sendiri untuk bisa begitu. soalnya seringnya masih suka stress sendiri. hahahaha.
selamat berakhir pekan ya bu!
Wahh Arman…kaget saya, baru muncul di posting, kok langsung Arman komentar.
Saya menulis karena tiap hari kok ketemu orang yang stres, jalanan macet, harga bahan pangan mahal karena inflasi.
Keluhan ini dari penjual sayur, tukang bajaj, sopir taksi…
Namun banyak diantara mereka yang ikhlas menjalani kehidupan ini, dan jumlah yang ikhlas ini jauh lebih banyak dibanding yang mengeluh, jadi saya berharap, kita masih bisa menyongsong kehidupan yang lebih baik ke depan nya.
pomah itu apa yah artinya?
Perasaan lebih suka di rumah daripada ngeluyur, atau melakukan hal lain di luar rumah.
Jadi, buatlah rumah yang menyenangkan untuk semua anggota keluarga, rumah yang “adem” sehingga anggota keluarga lebih menikmati ada di rumah.
Pomahkah rumah kita di Cipete, terus Cilandak?
berhenti, menikmati apa yang ada ya bu…
kalau mau pikiran masa depan terus juga pusing terus heheheh
sakit juga musti dinikmati….kapan lagi bisa tidur seharian 😀
EM
Betul Imel…..sakitpun sebetulnya merupakan hal baik, memaksa kita untuk istirahat di rumah dan tidur, hal yang mungkin kurang kita lakukan.
Kadang, saya ngebut menyelesaikan kerjaan di akhir pekan, rumah yang sunyi membuat ide mengalir deras. Namun kadang badan meriang, mau flu..nahh kalau udah begini, artinya kita disuruh istirahat. Semoga keluarga Gen Miyashita kembali sehat dan flunya terbang di langit ya?
“Kedamaian akan menghampiri, jika kita rajin melatih diri untuk memandang melalui hati, hal-hal positif yg ada disekeliling kita ” Sungguh kalimat indah yg patut dicatat dan diterapkan! Membaca posting ini saya malu akan keluhan2 yg sempat terlontar dari bibir / tersirat dihati selama ini. Terima kasih sudah mengingatkan melalui tulisan ini….
Saya juga merasakan aura yang sama di tempat kerja, semua selalu mengeluh. Sampai masalah makan siang bisa jadi permasalahan yang serius. Aku berusaha tidak ikut-ikutan dengan arus kumpulan orang kecewa, meski badang sering terasa capek dengan beban pekerjaan yang menerpa namun aku berusaha mensyukuri nya.
Karena bagiku unsur kebahagiaan yang paling penting adalah bisa mensyukuri dengan apa yang diberikan oleh Allah SWT kepada kita.
Makasih bu telah berbagi motivasi 😉
Salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan
Mudah2an kita bukan termasuk yang mengeluh ya..tapi orang yang suka bekerja keras. Dengan kerja keras, kita akan menikmati hasilnya, dan setiap pencapaian harus bisa bersyukur.
Tulisan ini menampar saya, Bu.. sangat!
Terimakasih karena saya seperti disadarkan betapa rutinitas, keberhasilan dan semuanya itu telah membenamkan saya dan lupa untuk menempatkan damai di atas segalanya…
Syukurlah Don..kadang kita terlena pada kesuksesan, dan lupa mengucapkan rasa syukur pada Sang Pencipta.
Rutinitas, kadang membuat kita menganggap sapaan pada isteri/suami, anak merupakan hal rutin, padahal dari obrolan itu kita memberikan tambahan rasa pada keluarga kita, tanpa kita sadari.
saya sebisa mungkin tidak pernah mengeluh dengan orang lain… karena siapa tahu hidup mereka lebih susah daripada saya… tapi memang bu, adalah hal yang sulit untuk bisa berdamai dengan diri sendiri tapi kalau ingin menemukan kedamaian di dalam hidup itu adalah hal yang harusnya kita lakukan.
Betul Ira….
Kalau kita mau mengeluh, hendaknya kita melihat ke bawah, kemudian kita akan menyadari betapa kita masih termasuk orang yang beruntung.
..
Jika mengeluh itu dibayar,
pasti akan banyak sekali orang yang
menjadi kaya tanpa harus menjadi orang
yang berguna bagi sesama…
-pak Mario-
manteb itu Buk.. ^^
..
menurut saya mengeluh itu ungkapan ketidak mampuan dan penolakan terhadap realitas..
jujur saya juga sering mengeluh Buk, tapi gak parah-parah banget lah.. 🙂
..
Sesekali mengeluh ke teman dekat boleh kok..kalau terlalu sering orang juga bosen mendengar keluhan kita.
Iya Bu. Kadangkala beratnya tuntutan hidup membuat sebagian orang spt kehilangan cara berdamai dgn dirinya. Saya pribadi termasuk sering menemukan orang yg suka stress & bicara negatif, mengeluhkan hidup ini, seiring pula dgn menemukan org2 yg tetap fun mjalani hidup ini. Orang2 yg tulus dgn kebaikan2 kecil mereka, sungguh suatu hadiah2 kecil yg kita dapatkan sewaktu2. Hidup lgsg terasa lbh ringan stlh bertemu dgn orang2 spt itu, damai. 🙂
Zee, memang semakin banyak orang yang suka mengeluh, stres melihat dan merasakan situasi sekeliling. Namun jika mengeluh terus, kita tak melihat tantangan untuk menyelesaikan persoalan, akibatnya ya kacau terus..mengeluh terus, akhirnya ke badan dan sakit.
Mudah2an kita termasuk orang yang ikhlas menjalani dan selalu berusaha untuk lebih baik.
mudah2an saya bisa termasuk orang yang bisa berdamai dengan diri,
karena dengar yang mengeluh saja sabel,
makanya saya jadi jalani saja hidup ini, pasang target tapi nggak mau ngoyo
Betul mbak Monda, kita bersyukur atas karunia yang kita terima…tak perlu melihat ke atas.
Setuju banget, Bu. Sepertinya memang masih banyak orang2 baik dan selalu bersyukur dalam kehidupannya. Misalnya saja masih ada orang yang menolong korban kecelakaan, menunggui, menelpon sana-sini hingga keluarga korban datang. 🙂
Iya, kalau melihat sekitar, walau dikatakan bahwa ibukota Jakarta lebih kejam dari ibu tiri, saya melihat masih banyak orang baik.
Hati-hati lho Bu dengan orang yang sering mengeluh. Karena dari keluhannya terkandung energi negatif yang menyebar dan dapat menular kepada kita.
Berdamai dengan diri sendiri: bersyukur, berpikiran positif, selalu tersenyum. 🙂
Hehehe…betul….makanya orang yang suka mengeluh akan dijauhi orang karena membawa energi negatif, dan juga orang capek mendengar mengeluh terus.
dua2nya adalah guru favorit saya bu, saya terasa tersejukkan oleh ajaran dan nasihat dari beliau2 itu, sungguh universal dan tidak terkotak kotak.
Sepakat kang Boyin, keduanya memang guru yang hebat dan motivator yang baik.
Pelayanan memang menjadi modal utama untuk sukses ya Bu,…salam dari pekalonngan.
Betul mas, salam juga dari Jakarta
ibu, saya ndapet PR dari blog sebelah…Mohon berkenan buat ikutan award disini ibu http://blognyandaru.blogspot.com/2011/02/press-release.html..terima kasih sebelonnya
Saya pernah menulis permintaan seperti itu, lupa postingannya kapan, kayaknya waktu awal-awal ngeblog. Makasih kepercayaannya, cuma nggak janji ya.
Berdamai dengan diri sendiri itu tidak selalu mudah, dan biasanya hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah matang, sudah kaya pengalaman hidup. Berdamai dengan diri sendiri juga harus dipelajari dan dilatih, tidak bisa muncul begitu saja. Masalahnya, bagaimana kalau kita berada dalam situasi yang benar-benar tidak kita sukai? Benar-benar tidak sesuai dengan jiwa dan suara hati kita? Berdamai sungguh sulit, karena itu seperti memaksakan sesuatu yang memang ‘bukan kita’.
Saya kenal beberapa orang yang selalu mengeluh dan menyalahkan kiri kanan. Karyawan2nya yang bodohlah, pemerintah yang tidak becuslah, segala macamlah … Rasanya capek dan bosan. Akhirnya saya diam saja, tidak berkomentar … 🙂
Jika saya berada pada situasi yang tak kita sukai, kadang saya mengeluh, dan teman yang terima keluhan ini biasanya teman dekat. Jadi saya punya geng yang setiap kali mau mengeluh kita janji makan siang bersama, yang traktir yang mengeluh. Jadi sepanjang makan yang traktir boleh mengomel, marah, curhat dll..lha yang lain mendengarkan sambil makan. Kadang tak perlu ada komentar…namun setelah mengomel, udah tenang…dan kami kembali ke kantor…hahaha
Mungkin karena harus mentraktir akhirnya mencoba untuk tidak mengeluh….
Kalau sumpek banget…saya ke psikolog, dengan membayar kita cuhat…hahaha…..dan psikolog mengangguk-angguk..memberi saran, yang belum tentu kita jalankan. Uang keluar tapi hati lapang. Tapi..kalau kita bergaul dengan orang yang terus mengeluh….memang jadi membosankan…
Ada tiga hal yang saya tahu untuk bisa berdamai dengan diri dan sekitar kita, Bu. Pertama stay still, berhenti sejenak. Kedua, kita harus memastikan tidak menyimpan amarah dalam hati sama sekali. Ketiga ikhlas dan menerima apa pun yang ada pada diri kita saat ini, sebab apa pun yang ada pada kita saat ini adalaah yang terbaik bagi kita.
Masih sibuk ya, Bu? 🙂
Masukan yang bagus Yog…saya sependapat.
Sibuk? Entahlah, mau dibilang nggak sibuk, ya nyaris setiap hari emsti keluar rumah…mau dibilang sibuk, sebenarnya ya jelas tak sesibuk dulu lagi.
Minggu-minggu ini memang lebih sibuk, karena adikku jadi operasi jantung di Harkit.
Ngeblog juga bisa jadi penyaluran energi negatif kan ya, Bu.. Saya suka numpahin uneg2 di blog, sepertinya lebih baik daripada bikin orang lain tersiksa dengar curhat kita..
Betul, uneg-uneg bisa keluar, namun tentu setelah kita saring dan disesuaikan sehingga ada manfaat untuk dibaca oleh orang lain.
menarik
blue juga sedang berdamai dengan jiwa blue sendiri..heheh
salam hangat dari blue
Salam hangat juga
Salam Super Bunda 🙂
Salam juga…
Saya juga sedang berusaha damai dengan diri sendiri nih bu, biar adem
berarti ujung2nya adalah bagaimana setiap orang mau mensyukuri apa yang dia dapat; mengucapkan kalimat ini memang tak semudah mempraktekkannya ya Bu,
yang dalam prosesnya akan selalu ada pergulatan 🙂
padahal perasaan syukur pasti akan menghadirkan kedamaian.
*yang juga terus belajar berdamai dengan diri sendiri karena percaya bahwa mengeluh itu tidak memberi perubahan ke arah yang lebih baik*
Salam persohiblogan
Maaf baru nongol lagi nih di dunia penuh warna
Menjadi sahabat diri
Menjadi pembahagia hati
indah ya Bu
benar sekali Bu Ratna, ketika kita telah bisa berdamai dgn diri sendiri, kita mampu menebarkan rasa bahagia pd sekitar kita .
semoga saya telah menmukan rasa damai itu dgn selalu mensyukuri apapun yg telah saya dapatkan.
salam
Menikamati apa yang telah ada, dan bersyukur pasti kita akan mendapatkan kedamaian.. Amin, salam
hidup dalam kekinian, itu yg sering saya lupakan. kadang pikiran mengembara ke mana-mana, jadi tidak tenang deh. berefleksi setiap hari memang penting. tapi itu pula yg sering saya lupakan 🙂 terima kasih sudah mengingatkan dg tulisan ini, Bu 🙂
hal yang paling sulit kita sadari ketika kita berada dalam sebuah situasi adalah.. sulitnya kita berdamai dengan diri sendiri.. saya setuju… dengan kita berdamai dengan diri sendiri, maka kita sudah berani mengambil jarak, menyediakan ruang utk lebih bisa melihat, memilah dan memilih apa yg seharusnya dan apa yg tidak seharusnya kita lakukan 😦
tulisan ibu mengingatkan saya. agar kita terus mengevaluasi diri ya bu.
benar juga kadang masalah datang silih berganti. tapi benar sebaiknya kita nikmati. supaya hati ini juga jadi legowo dan bersyukur. terima kasih bu tulisan ibu memberikan motivasi untuk saya.
Sangat menginspirasi Bu 🙂 Saya juga masih sering bertemu orang2 baik yang seperti itu, dan kadang bikin tiba2 pengen tersenyum.. rupanya ga semua orang di Jakarta kehilangan hati nurani dan budaya welas asih.. 🙂
betul bunda..
tulisan ini juga berhasil mengingatkan saya juga..
terkadang kita terlalu fokus tentang apa yang belum tercapai, terlalu menghitung sesuatu yang belum pada tempatnya..
tapi lupa, bahwa ada banyak hal yang sudah tepat di tempatnya tapi lupa kita syukuri..
menghitung2 yang belum ada..
tapi lupa dengan yang sudah ada..
pada intinya kita memang harus senantiasa bersyukur atas segala sesuatu yang telah dikaruniakanNya
terima kasih atas pencerahannya bu…