Sulitkah untuk membuat keputusan?

Malam itu cuaca agak dingin karena sejak sore hujan turun dengan lebatnya di Jakarta. Bau tanah yang tersiram air hujan terasa segar, membuat rasanya nikmat duduk-duduk di teras rumah menikmati kesegaran alam, yang akhir-akhir makin terasa jarang bisa dinikmati di ibu kota ini. Kesibukan uusan keluarga, urusan pekerjaan, dan jalanan yang makin macet, membuat waktu 24 jam terasa tak cukup untuk melakukan semua aktivitas sehari-hari.  Terdengar dering hape, saya melihat jam, tak terasa sudah jam 20.35 wib, dan dari nomor yang tak kukenal,  saya menjawab sambil masih menduga-duga dari siapa yang menelpon malam-malam seperti ini.

Tak lama kemudian kami mengobrol lama, suara diujung sana menunjukkan perasaan yang resah, tidak ceria seperti biasanya. Mungkin kita semua sudah lelah, menghadapi situasi akhir-akhir ini, sehingga terkadang tanpa disadari akan terbawa dalam percakapan. Rasanya baru seminggu yang lalu saya mengobrol dengan teman, yang juga sedang dilanda keresahan, dan merasa situasi stagnan. Pada seusia nya saya juga sering mengalami masa-masa yang membingungkan, entah banyak sekali rasanya ketidak pastian langkah yang akan diambil, atau banyak sekali alternatif yang harus dipilih sehingga membebani pikiran. Jika banyak alternatif yang harus diambil, lebih mudah memberikan penyelesaian dengan menggunakan matriks  (SWOT analysis) kemudian diberi bobot, mana nilai yang paling besar itulah alternatif yang akan diambil. Namun putusan yang menyangkut kehidupan tak semudah itu, ada emosi yang menyertai nya, ada pertimbangan-pertimbangan lain yang saling terkait, sehingga tak bisa semua dinilai seperti hitungan pada matematika.

Apalagi jika jalan ini menyangkut hubungan antara orang dengan seseorang lainnya, kita tak semudah itu melupakan ada unsur emosional, unsur kenangan pahit dan manis yang pernah dilalui. Namun pada akhirnya, putusan harus tetap diambil,  jadi saya menyarankan, untuk mengendapkan dulu, kemudian buat pilihan-pilihan, dan pada saat memilih harus memberi jarak terhadap ruang dan waktu, sehingga pilihan akan lebih banyak menggunakan logika. Dan apapun pilihan yang kita ambil, pasti ada kelemahan dan kelebihannya, namun kita harus berani untuk maju terus dan tidak terpaku pada kenangan ataupun hal emosional lainnya.

Saya merenungkan masa-masa lampau, saat masih muda, apakah setiap perubahan dalam pilihan hidup selalu membuatku bingung. Walau banyak teman mengatakan, saya termasuk orang yang rasional, tetap saja saat sudah memilih ada rasa menyesal, ada rasa sedih….dan hal ini wajar saja, yang akan segera bisa diatasi dengan berlalunya waktu dan kesibukan yang baru. Pindah dari sekolah satu ke sekolah lain, berpisah dengan teman dekat atau sahabat dekat, pindah ke kota lain, merupakan hal-hal yang memang menguras emosi. Saya menyadari bahwa sepanjang pengamatan saya, yang saya ajak mengobrol nun jauh disana, walau dikatakan banyak kemiripan sifatnya dengan saya, namun tetap individu yang berbeda,  dan karena usianya masih muda memerlukan banyak penguatan atau dorongan dari orang disekitarnya. Kembali saya mengingat-ingat, kapan saya berhenti memerlukan dorongan untuk melakukan sesuatu? Kapan saya mulai mengejar impian tanpa didorong siapapun? Kapan saya berani memutuskan untuk mengucapkan “selamat tinggal” bagi seseorang yang memang tak mungkin lagi berjalan seiring? Dan kapan saya berani mengatakan “tidak” pada teman baik, karena saya tak berminat untuk diajak mengerjakan sesuatu hal yang kurang saya suka?

Ternyata saya juga melalui proses, diawali dengan perasaan bersalah jika menolak ajakan seseorang, atau juga merasa tidak nyaman untuk bepergian sendiri karena tidak yakin mampu mengatasi semuanya. Ada proses, ada keragu-raguan, namun selangkah demi selangkah, kemandirian, keberanian, serta ketegasan akan muncul. Dibanding teman lain,  saya termasuk orang yang suka melakukan hal-hal sendiri, seperti jalan-jalan ke mal, ke toko buku, dan saat lapar mendera, dengan tenang mampir ke kedai atau cafe untuk makan dan minum, sendirian. Sekarang hal-hal seperti ini sangat biasa, tapi dimasa itu, dianggap hal yang “agak aneh.”  Jika kita melihat sekeliling, semakin banyak menemukan orang seperti saya, melakukan perjalanan sendiri, piknik sendiri, bahkan nonton film sendiri….walau tetap merasa lebih nyaman jika ada teman yang menemani, asalkan teman itu memang sesuai dengan karakter kita. Mungkin  ini didorong oleh kondisi, karena saya dan suami sama-sama sibuk, agar semua berjalan lancar, anak-anak tetap mendapat perhatian yang cukup, kami menyepakati berbagai pembagian tugas. Dan pekerjaan juga mendorong saya banyak melakukan perjalanan sendiri, kalaupun didampingi staf lain, tujuannya tak selalu sama, sehingga ada waktu harus pergi dan pulang duluan, karena ada tugas lagi ditempat lain dengan staf yang berbeda.

Mencari teman satu kost juga bisa menjadi masalah, jika terjadi ketidak cocokan. Setelah lelah sepulang kerja, atau kuliah, tentu kita ingin beristirahat dengan nyaman, entah membaca buku, menonton TV atau bahkan mengerjakan pekerjaan kantor. Bagaimana rasanya jika kita punya teman yang mendominasi, selalu ingin mengajak kita ke acara yang dia suka, atau bahkan mengajak mengobrol terus? Dan saat itu, kost satu kamar sendiri merupakan hal yang sangat mewah dan orang tua saya tak  mampu untuk membiayai. Sesudah bekerja, saya masih sekamar bersama teman lain, yang  berbeda jenis pekerjaan dan berbeda karakternya. Hanya dengan ketegasan, aturan main yang jelas, maka kita bisa merasa nyaman.

Saya meneruskan percakapan, tak terasa percakapan makin lancar, memang suaranya belum terdengar ceria, namun tak resah seperti sebelumnya. Memang diperlukan waktu, ada proses menuju kedewasaan, dan itu harus dilalui. Yang penting diperhatikan adalah, beranikan membuat keputusan, namun sebelumnya harus dipastikan selalu ada jalan keluar jika terjadi kesulitan. Misalkan keputusan tentang membeli atau menyewa sebuah rumah untuk tinggal. Saat itu saya memilih rumah dinas di Jakarta Selatan, dengan pertimbangan air lancar, sekolah anak-anak dari TK sampai SMA dekat, sedang untuk ke Kantor bisa ikut jemputan, dan kalau harus lembur bisa naik taksi dengan biaya memadai. Ada banyak teman yang memilih membeli rumah agak di luar kota, yang hawanya masih segar, serta berhalaman luas, risikonya harus berangkat pagi-pagi ke kantor. Masing-masing orang punya pertimbangan sendiri, yang berbeda antara satu dan lainnya. Saat waktunya harus punya rumah sendiri, saya dan suami sepakat membeli rumah kecil, namun masih di daerah DKI Jakarta, agar dekat kemana-mana. Tentu saja pertimbangan berkebun,  serta lahan luas harus dicoret dari daftar. Pertimbangan yang penting adalah, mudah mendapatkan kendaraan umum (bis, angkot, taksi), maklum tak berani nyopir, dan kerja tiga kali seminggu tak sesuai jika harus mempekerjakan sopir. Bagi teman lain, rumah saya terasa kecil, apalagi masing-masing tetangga berpagar tertutup, namun bagi saya rumah terasa nyaman, karena dikelilingi tetangga yang masih saling kenal, walau mereka masing-masing  sibuk. Jadi, pengambilan keputusan setidaknya didasarkan pada beberapa hal penting, sesuai dengan karakter kita, dan mempertimbangkan seberapa besar risiko yang bisa kita ambil.

Iklan

17 pemikiran pada “Sulitkah untuk membuat keputusan?

  1. Mungkin sejak saya pindah ke Jepang, saya berani memutuskan sendiri apa yang baik bagi diri sendiri, termasuk memutuskan pacar, mencari kursus, bekerja segala macam pekerjaan yang ditawarkan sampai akhirnya memutuskan untuk tetap tinggal di Tokyo setelah lulus S2. Tentu dengan pertimbangan dan cadangan tindakan “as if” …

    EM

    Betul Imel, belajar untuk memutus juga melalui proses. Ide tulisan ini gara-gara obrolan dengan si bungsu….
    Banyak sekali keadaan disekeliling kita yang sebetulnya bisa menjadi ide tulisan….dan bukankah sebetulnya setiap saat kita dihadapkan pada putusan-putusan yang harus dilakukan? Bisa berupa putusan yang sederhana, seperti mau masak apa hari ini, sampai keputusan yang harus dipikir matang-matang, karena akibatnya saling berkaitan dan mempengaruhi sendi kehidupan, seperti keputusan untuk pensiun dini.

  2. kakak saya mengajari saya membuat keputusan. caranya dengan menuliskan pilihan-pilihan yg ada plus dampak positif dan negatifnya. dg menuliskannya, semua jadi lebih jelas.

    kalau soal teman kos yg berbeda dg kita, memang repot ya bu. kalau dulu di asrama, kami sejak awal rapat dan membuat kesepakatan bersama. jadi lebih enak menegurnya kalau ada yg melanggar kesepakatan.

    Itu juga yang saya ajarkan pada anak-anak…walaupun selalu ada unsur emosional yang menyertai disitu.
    Tulisan ini justru muncul diawali diskusi soal teman kost, teman kuliah, dan segala pertemanan lain. Dan membuat keputusan ternyata juga tak sekedar membuat matriks atau list….karena unsur emosional nya tinggi….hehehe….tapi sekarang yang mengajak saya diskusi sudah mulai bisa melihat dengan jernih, kalau masih ragu diendapkan dulu..walau akhirnya tetap harus berani memutus..

  3. aku juga tipe loner daripada gangsta, dan cenderung cuek walaupun kadang mikirin juga apa yang diomongin orang lain, kuanggap mereka begitu karena mereka tidak kenal aku.

    Namun dalam kehidupan bermasyarakat, kita juga harus memberikan persepsi sesuai dengan kondisi kita, serta kebaikan yang ada, jangan sampai orang luar salah persepsi, ini yang harus dijaga.

  4. sejak harus tinggal jauh dari org tua, saya ‘terpaksa’ harus belajar berani membuat keputusan sendiri, dan itu sungguh keterpaksaan yg kusyukuri hingga sekarang 🙂 tapi dalam hal-hal tertentu, dukungan keluarga, sahabat atau orang terdekat tetaplah sangat berarti…

    Betul Mechta, dalam hal tertentu, kita harus mendiskusikan dengan orang-orang terdekat, jika keputusan itu akan banyak pengaruhnya pada kehidupan kita selanjutnya.

  5. namanya manusia ya bu. setiap saat pasti ada keputusan yang harus diambil. dan rasanya semakin tambah umur, semakin tambah banyak keputusan yang harus diambil. hehe.
    dan lagi2 karena kita manusia, dengan penuh keterbatasan, gak pernah bisa tau persis mana keputusan yang lebih baik. makanya kadang bisa berakhir dengan penyesalan. tapi ya balik lagi, emang wajar begitu ya.

    yang penting tiap kali mau ngambil keputusan harus dipertimbangkan masak2 aja dulu. untuk meminimalisir resiko walaupun gak bisa menghilangkan resiko itu sama sekali.

    Setuju Arman….kita selalu dihadapkan pada keputusan-keputusan, baik keputusan sederhana maupun berat, juga ada penyesalan. Namun dengan adanya pertimbangan risiko yang kita ambil, kita berharap keputusan seberat apapun, masih bisa kita cover….

  6. Mengambil keputusan yg ada kaitannya dgn orang lain memang tak mudah ya Bu, hrs baik buruknya benar2. Skrg byk org yg gampang bgt sakit hati, takut aja jdnya mau langsung saklek dgn keputusan.
    Aku sih blom pernah kost ya Bu, tp klo boleh milih ya lebih enak sendirian. Pernah saya sekamar dgn teman di hotel, maunya ngobrol terus,pdhl sy sdh kasih kode bilang mau istirahat. Hahaha…

    Justru itulah pentingnya mempertimbangkan dari segala segi, kita juga harus melihat risikonya terhadap orang lain, jika keputusan kita mempengaruhi kehidupan orang lain.
    Memang sebaiknya kost sekamar sendiri….jika memungkinkan

  7. Saya juga terbiasa melakukan apa-apa sendiri, makan sendiri, jalan sendiri, nonton sendiri.. dan kebanyakan teman2 saya mengerti itu karena saya juga mengatakannya terang-terang dari awal..

    saya juga menikmati jalan beramai2 untuk momen2 tertentu tapi ‘me time’ buat saya penting sekali, karena saya punya target2 yang juga harus saya capai yang mungkin berbeda dengan yang dimiliki teman2 saya.. jadi tidak bisa juga apa2 selalu dilakukan bersama 🙂

    Kadang perlu juga kok jalan-jalan sendiri, walau enaknya sih sama teman yang cocok. Tapi kalau nggak ada yang cocok ya mendingan jalan sendiri.

  8. ibu, sayapun suka apa2 sendiri, mungkin karena selama ini tak banyak teman yang sehobby,
    tetapi setelah berkeluarga keputusan terutama yang menyangkut anak-anak tetap harus dipertimbangkan berdua,

    Betul mbak Monda, dulu..prioritas saya nomor satu kebersamaan dengan anak-anak…setelah anak-anak mandiri, hidup terpisah dengan orangtua, barulah merasakan menikmati jalan sendiri. Kalau diitanya, ya pasti lebih suka jalan sama anak….

  9. saya jarang sekali meminta pendapat orang lain untuk mengambil keputusan, mungkin ini sudah menjadi kebiasaan bagi saya…

    Namun kadang pendapat orang lain diperlukan, terutama untuk keputusan yang komplke, walau belum tentu keputusan kita sesuai saran teman tsb.

  10. sebuah keputusan harus dipertimbangkan matang sebelum bertindak. saya pernah salah mengambil keputusan awal untuk meninggalkan pekerjaan sebelumnya dikarenakan tergiur dg pekerjaan yang saya pikir lebih besar masalah financialnya. tapii…ya sudahlah. harus dijalani dengan tegar dan telaten

    Kita memang tak boleh menyesali keputusan yang telah diambil, kalau ada kesalahan itu dianggap sebagai pembelajaran

  11. Baru kemarin saya baca satu tulisan bahwa kesulitan merupakan bayi2 kesabaran, dan jika seseorang mampu mengatasi kesulitan demi kesulitan yang datang, maka menjadi lebih bijaklah ia. Dengan begitu, dalam pengambilan keputusan pun pastinya akan lebih mengandalkan logika. Buat saya itu masih sebatas teori, Bu 😀
    Karena pada prakteknya, seperti ibu bilang PERASAAN selalu mendominasi, tidak mudah mengenyampingkan perasaan.

    Tapi saya juga selalu ingat apa yang dikatakan Bapak, bahwa jika keputusan sudah diambil, jangan ragu lagi, dan apapun hasilnya ya harus bisa terima, belajar untuk tidak menyesali keputusan.

    Sepertinya lebih mudah bagi seseorang untuk berlatih mengambil keputusan ketika jauh dari orang tua, itu yang saya alami, tapi menurut Ibu, betul tidak seperti itu ya? 🙂

    Betul….berani mengambil keputusan merupakan hasil latihan.
    Orangtua harus melatih anaknya sejak dini, tak menyalahkan jika anak mengambil keputusan yang salah, anggap itu sebagai pembelajaran, agar nanti lebih baik lagi.
    Dan jauh dari orangtua, mau tak mau memang dipaksa mandiri untuk mengambil keputusan, terutama yang perlu keputusan cepat.

  12. Saya juga sering melakukan berbagai hal sendiri, karena memang masih sendiri 😀

    Betul Akin…dan kalau beruda, nanti juga akan dipertimbangkan berdua, walau ada juga yang tetap merupakan keputusan sendiri.

  13. Sampe sekarang saya terkadang sukar berkeputusan… kalau seperti itu biasanya saya nekat, Bu… saya percaya Tuhan selalu bersama saya apapun yang saya putuskan hehehe

    Walau sukar membuat keputusan, tapi tetap berani memutus kan?
    Saya sendiri sebetulnya juga ragu-ragu, seperti gambaran bintangku, tapi kita kan setiap kali harus memutus dari putusan yang sederhana sampai putusan penting. Dengan berjalannya waktu, akhirnya juga bisa membuat keputusan yang baik kemudian berserah diri pada Tuhan.

  14. tini

    Melakukan sesuatu aktifitas tidak selamanya harus bersama-sama ya bu. Namun seiring dengan bertambahnya usia, agar lebih efektif dan efisien sering kali saya melakukan sesuatu sendiri.

    Seseorang yang cepat dalam mengambil keputusan dipastikan orang tersebut tegas dan cepat dalam bertindak bu. Hal ini dapat saya amati dari berbagai karakter orang di sekeliling saya.

    Dengan latihan, belajar, juga berbuat kesalahan, orang akan bisa belajar membuat keputusan cepat dan tegas. Namun sayangnya tak semua mendapat karunia seperti ini.

  15. ivy

    Inilah salah satu masalah dalam hidup saya, seringkali saya mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan, terkadang saya merasa saya terlalu menggantungkan diri dengan orang lain, segala sesuatu yang ingin saya lakukan terbiasa untuk meminta pendapat orang lain (biasanya dengan ibu ataupun teman saya), yang akhirnya menjadi boomerang bagi diri sendiri.

    Saat ini saya selalu mencoba untuk mengambil keputusan sendiri, walaupun sangat susah dan merasa diri saya plin-plan dan terlalu lama mengambil keputusan namun saya selalu berusaha dan bertekad untuk mampu mengambil keputusan sendiri tanpa bantuan orang lain.

    Berani mengambil keputusan sendiri memang perlu latihan…

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s