BELAJAR DARI PENGALAMAN

Seorang filsuf Yunani mengatakan,

orang pandai belajar dari pengalamannya dan orang bijak belajar dari pengalaman orang lain, tetapi orang bodoh tidak belajar apapun.”

Saat James Lam memulai program manajemen risiko di Fidelity Investment tahun 1997, konsep penting yang diangkatnya adalah mengembangkan kesadaran akan arti penting manajemen risiko didasarkan “pembelajaran dari pengalaman” dan “praktek bisnis.” Pertemuan rutin yang diadakan oleh pimpinan perusahaan, pimpinan Departemen, senior manager, dan manager, membahas pembelajaran dan pengalaman buruk perusahaan yang bergerak di industri keuangan seperti Barings Bank dan Kidder, Peabody. Para peserta mengkaji rangkaian peristiwa, akar permasalahan serta dampak finansial dan bisnis yang terjadi. Fokus pembahasan yang paling penting adalah bagaimana perusahaan (Fidelity Investment)  dapat menghindari permasalahan yang sama.

Pembelajaran lainnya adalah serangkaian kunjungan yang dilakukan ke berbagai institusi keuangan untuk melaksanakan benchmark dalam praktik terbaik, antara lain ke Brown Brothers, Chase, GE Capital dan State Street Bank. Pembelajaran yang penting dari kunjungan ini adalah memberikan proses pembelajaran yang tinggi. State Street Bank memiliki “program pengenalan” enam minggu untuk para staf baru, yang melatih mereka untuk mengenal proses bisnis dan manajemen risiko, sedang Brown Brothers memiliki program “kesalahan dan kelalaian” yang melatih karyawan mengenai permasalahan yang sering terjadi pada operasi perusahaan mereka dan bagaimana menghindari ini semua.

Pembelajaran dari kasus yang terjadi ini juga biasa dilakukan pada sekolah bisnis terkemuka di dunia, misal Harvard Business School, menggunakan studi kasus nyata sebagai salah satu metodologi pembelajaran yang utama. Kasus yang ditulis dari pengalaman berbagai perusahaan dipandang sebagai sarana pembelajaran yang efektif, karena menghadirkan situasi nyata ke dalam ruang kelas dan sisi benak para siswa.

Bagaimana di Indonesia?

Saya ingat cerita seorang teman, beberapa kali dalam setahun, diadakan pertemuan antar para  Bankir  di Eropa, para bankir bebas membahas kasus yang menimpa perusahaannya, dan yang lain belajar dari pengalaman rekannya. Di Indonesia  hal ini sulit terjadi, karena masing-masing perusahaan kawatir bila membuka kasus yang pernah terjadi di perusahaannya, kawatir citra perusahaan menjadi negatif.  Saat membuat tugas akhir sekolah di magister manajemen, saya mengambil kasus nyata tentang perusahaan yang sedang melakukan restrukturisasi besar-besaran di perusahaannya. Saya sebelumnya harus menandatangani pernyataan, bahwa saya tak boleh membocorkan data yang diberikan oleh perusahaan, walau Direksi perusahaan berterima kasih atas saran yang saya lakukan, dan dari beberapa diskusi aktif ada beberapa yang menghasilkan perbaikan terhadap kemajuan bisnisnya.

Namun dalam suatu seminar, atau workshop, dengan peserta terbatas, kasus nyata dapat dibicarakan dengan bebas, dalam bentuk studi kasus, namun nama perusahaan diganti sehingga tak terlihat lagi secara jelas jika orang tak ikut dalam diskusi dalam workshop. Oleh sebab itu, jika seorang teman menanyakan apakah boleh meminta bahan atau materi yang dibahas dalam workshop, yang saya merupakan salah satu pembicara nya, saya mengatakan bahannya tidak jauh berbeda dengan workshop yang diadakan provider lain. Yang membedakan adalah para pembicara nya merupakan praktisi, dan beberapa menjadi konsultan serta mengalami sendiri atas kasus yang dibahas.

Goestiandi, dalam bahasannya di Kontan, mengatakan, bahwa ada dua alasan utama ketidak sediaan seseorang menjadikan pengalamannya sebagai bahan studi kasus. Jika pengalaman tersebut adalah cerita keberhasilan, mereka kawatir akan dianggap sombong dan tinggi hati oleh orang yang membacanya. Namun, jika pengalaman tersebut sebagai kisah kegagalan, mereka merasa malu dan membuka borok sendiri kepada publik luas. Studi kasus tentang pengalaman sebenarnya merupakan “pembelajaran”, sebagaimana yang dikatakan filsuf Yunani diatas, bahwa “orang bijak akan belajar dari pengalaman orang lain”. Pengalaman kegagalan orang lain, dapat dipelajari, agar kita tak terperosok oleh kesalahan yang sama.

Goestiandi menjelaskan, bahwa PT Unilever Indonesia mempunyai program institutionalisasi pembelajaran atas kisah kegagalan yang sangat menarik, yang diberi nama IMF yaitu singkatan dari It’s My Fault. Dalam program IMF ini karyawan akan membagikan pengalaman kegagalan mereka, dengan tujuan untuk mendatangkan pembelajaran bagi karyawan lainnya. Apakah perusahaan lainnya punya program serupa? Saya yakin ada, hanya dipergunakan untuk kalangan terbatas, untuk internal perusahaan. Saya pernah mengikuti suatu workshop dari internal perusahaan, untuk mempelajari  tentang operasi perusahaan, permasalahan yang sering terjadi, apa yang harus dilakukan Pimpinan agar tak ada celah yang bisa dimasuki karyawan untuk melakukan fraud. Jika kegagalan itu berupa risiko bisnis, maka sebenarnya  hal tersebut merupakan hal yang biasa, karena perusahaan akan selalu memperbaiki sistim dari kegagalan yang pernah terjadi. Yang berbahaya, kegagalan yang disebabkan karena “fraud” atau memang disengaja oleh karyawan yang ada dalam perusahaan, dan bila perusahaan tersebut bergerak di industri jasa keuangan, maka kerugian finansial yang terjadi bisa berakibat pada sistemik. Jadi, belajar dari pengalaman kegagalan dalam tulisan ini,  adalah untuk pembelajaran,  serta budaya untuk menghargai kegagalan atau kesalahan, namun bukan karena kecurangan.

Bahan tulisan:

  1. James Lam. “Enterprise Risk Management: Belajar dari Pengalaman”.  John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Yersey. 2003
  2. Goestiandi, Ekuslie. “Belajar dari kegagalan.” Kontan, Edisi 30 Mei-5 Junai 2011, halaman 23.
  3. Pengalaman penulis bekerja di Perbankan, sebagai pengajar di Lembaga Perbankan, dan pembicara di beberapa workshop.
Iklan

19 pemikiran pada “BELAJAR DARI PENGALAMAN

  1. bagus juga tuh ya program IMF begitu, jadi saling sharing kegagalan supaya orang lain gak mengalami hal yang sama ya…

    Yup betul….tak berani melakukan kesalahan, tak pernah ada inovasi….

  2. Apakah memang budaya orang Indonesia seperti itu ya, Bu, yang kalau membicarakan keberhasilan nanti takut disangka sombong dan kalau membicarakan kegagalan akan malu? Sebenarnya kan ada banyak cara untuk menyampaikan pengalaman sendiri. Bisa saja mengganti subjek sehingga seolah-olah yang memiliki pengalaman adalah orang lain.

    Jadi ingat dulu dengan guru agama sewaktu SMA. Beliau kalau menceritakan hampir selalu mengganti subjeknya dengan “warga di kampung saya”. Dengan jurus semacam ini kita bisa menceritakan pengalaman kita sendiri tanpa takut dicap sombong atau takut karena membicarakan aib sendiri.

    Yahh, itu termasuk budaya…jadi ceritanya seperti cerita orang lain.
    Tapi saya suka, karena narablog banyak menceritakan dirinya tanpa terlihat sombong, bahkan penggalaman mereka sangat menginspirasi.

  3. Sebenernya sih kurang lebih sama aja dengan blog kali ya mba…*lho kok jadi ke blog sih?..hihihi*

    I am very open in my blog…

    Semua kesedihan, masalah, kesenangan…semuanya aku share di blog…
    resiko nya ya sama sih…apakah aku akan dituduh sombong ketika sedang posting masalah kebahagiaan, atau aku dituduh bego ketika posting tentang suatu masalah yang menimpaku?

    Dan masalahnya adalah apakah kita cukup berjiwa besar untuk menerima berbagai respon tersebut???

    Untung aku orangnya cuek sih mba…hihihi…

    Memperhatikan persepsi orang lain perlu, namun juga jangan menjadikan hambatan.
    Blognya Erie menarik, karena menceritakan cerita sehari-hari, apa adanya, dan bahkan lucu-lucu karena tingkah polah anak kecil kan memang lucu kalau kita lihat….

  4. Hmm.. saya malah pernah ikut di sebuah seminar Bu.. dan saya meminta bahan seminar kepada narasumber.. tapi pesan dari yang punya acara, jangan disebarluaskan kepada orang lain.. agak lucu menurut saya, karena seakan2 narasumber takut karyanya ditiru atau takut dikritik kalau salah, padahal kan itu malah akan bagus buat dia ke depannya.. tapi mungkin ada alasan lain juga dibalik itu semua, saya juga kurang mengerti

    Kondisi kita memang seperti itu Clara, justru itu perlunya ikut seminar karena pembicara berani sharing experience yang tak mungkin dikemukakan di dalam tulisan.
    Sebab itu, nilai pembicara bukan sekedar kepandaiannya, namun juga pengalaman hidupnya, pengalaman di bidang pekerjaan nya, serta cara menyampaikannya.

  5. Pengalaman memang guru terbaik untuk belajar, Semoga kita semua bisa belajar dari pengalaman dan terus melakukan penyempurnaan terhadap apa yang akan dilakukan

    Setuju Don..dan kita juga belajar dari pengalaman orang lain agar tak ikutan tersungkur jika ada kesalahan.

  6. Saya ingat sebuah quote dengan bunyi lebih kurang begini:
    “Orang hebat adalah yang membicarakan ide, bukan orang”

    Saya kira, sah-sah saja kalau kita membicarakan keberhasilan ataupun kegagalan orang lain dan kemudian mempelajarinya untuk bisa jadi petunjuk bagi kita ke depan. Yang salah adalah, jika kita membicarakan perihal seseorang dan kemudian berhenti sampai di situ saja. Inilah yang disebut sebagai gossip 🙂

    Hehehe…betul Uda..namun budaya kita, menghalangi orang untuk berani cerita tentang keberhasilannya. Padahal justru pengalaman nya sangat penting, agar bisa menginspirasi orang lain.

  7. Wah..penjelasannya panjang lebar ya mbak, terperinci banget.
    Mulai contoh kasus dari luar negeri dan Indonesia dibahas semua 😀
    Pengalaman emang guru yang paling berharga.
    Orang yang belajar dari pengalaman adalah orang yang cerdik 🙂

    Yup…setuju

  8. tulisannya global banget, Mbak..
    pengalaman memang harus dilihat dari segala sisi

    Hmm…memang sebaiknya kita belajar pengalaman, baik dari bangsa lain atau yang ada di Indonesia ini.

  9. Mechta

    betul..saya berusaha belajar dari pengalaman pribadi ataupun orang lain, yg baik mapun yg buruk…

    Yup…karena kita bisa belajar banyak dari mereka.

  10. thanks informasinya..
    pengalaman itu guru yang paling baik,,
    semoga saja pengalaman memberikan pembelajaran kepada kita semua akan bermaknanya setiap melangkah untuk menjalani hidup,,

    Iya…semoga….

  11. Ternyata di dunia industri mengalami permasalahan yang sama dengan di dunia pendidikan. Takut membahas kegagalan. Padahal gagal itu sangat penting bagi perkembangan mental seseorang. Namun di negeri ini membahas kegagalan selalu dianggap tabu. Memprihatinkan.

    Hehehe…betul mbak.

  12. Aku tertarik dengan konsep It’s My Fault. Rasanya dengan konsep itu, karyawan menjadi terbiasa dengan pola pikir seperti itu. Di mana mereka terbiasa membagikan pengalaman kegagalan mereka, dengan tujuan untuk mendatangkan pembelajaran bagi karyawan lainnya. Itu membanung frame berpikir.

    Konsep itu menari memang, karyawan tak takut membuat kesalahan, bahkan kesalahan tsb bisa didiskusikan terbuka sebagai bahan pembelajaran gar tak terulang lagi. Ini sebenarnya yang kita perlukan…tak hanya bisa menyalahkan melulu tanpa memberikan solusinya, Atau solusi mengambang, yang tak bisa dipraktekkan dilapangan.

  13. Saya termasuk suka mengamati pengalaman2 orang lain bun..
    Bukan apa2, jika sudah ada contoh, agar jangan sampai melakukan kesalahan yang sama ya kita bisa menghindar kan dan itu di dapat dari pengalaman org lain.
    Tapi ya itu bun, sharing pengalaman ada resikonya tersendiri.

    Dulu saya sering mikir kalo sharing a,b,c nanti org2 nganggep apa ya?
    Skr aku udh cuek sih bun, yang penting sharingnya jujur, jika sharing itu bisa jd pembelajaran buat orang lain kan bagus, kalo enggak, yah yg penting udh nulis hehehe

    Memang kita perlu untuk tak perduli pada komentar yang kurang mendorong semangat kita.

  14. bagus artikelnya, memang benar kita harus belajar dari pengalaman orang lain terutama dari kegagalan yang mereka alami supaya kita dapat menghindari kegagalan tersebut.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s