Berkali-kali saya ingin menulis tentang soal pelayanan pelanggan, yang masih sering diabaikan, entah kenapa masih ada rasa tak pas…betulkah? Atau hanya perasaan saya? Di satu sisi saya juga melihat upaya-upaya perbaikan dari beberapa instansi atau perusahaan untuk mengedepankan pelayanan pada pelanggan, tapi saya melihat masalah sebetulnya bukan pada strategi, tetapi pada implementasinya yang kurang mendapatkan pemantauan, sehingga terkesan kurang koordinasi, kalau tak dibilang amburadul. Tulisan ini akhirnya saya posting juga setelah mas yang saya datangi kemarin, mengatakan…”Bu, mohon ditulis saja, kami capek dengan omelan pelanggan, padahal kami tak tahu apa-apa.” Dan saya jawab, …”Mas, saya tak ngmel lho, hanya menyerahkan surat agar ada perbaikan, serta pembebanan pembayaran kembali seperti semula, karena saya tak pernah memberikan konfirmasi secara tertulis, dan tak pernah mengatakan setuju.”
Saya akan memberikan contoh pada dua hal, yang kebetulan saya alami:
a. Penawaran Kartu Kredit yang tanpa pandang bulu, dan tanpa melihat situasi.
1. Penawaran di Mal, di supermarket, tanpa memperhatikan bahwa calon konsumen sedang membayar di kasir…dan membayarnya pakai kartu kredit. Tentu, bagi pemasar, nasabah yang membayar di kasir menggunakan KK dengan belanjaan cukup besar dianggap potensial, tapi berpikirkah mereka bahwa pembeli ini sedang sibuk melihat kasir sedang menghitung barang yang dibeli…dan perhatian tercurah ke sana? Pertama kali terjadi, saya meminta dipanggilkan manajer Ca***r, saya protes, mengatakan tidak akan pernah datang ke lokasi ini lagi, selama mereka belum membersihkan para penawar KK di area pembayaran. Saya bisa memahami, mereka mendapatkan target, tapi mestinya sopan santun tetap harus diperhatikan. Setidaknya, tunggu sampai pembeli sudah selesai transaksi di kasir, dan sudah mendorong kereta belanjaan nya, baru bisa ditawari…lha ini menyodok saat kasir sedang menghitung belanjaan, dan konsumen sedang serius memperhatikan. Tentu saja, saya akhirnya mencoret lokasi pembelanjaan ini dari daftar saya untuk belanja.
Kedua kali, saya ditawari kartu L** M**….mereka mengatakan penawaran Kartu L** M**, yang saya pikir sama dengan kartu Metro atau kartu Century, dimana setiap pembelian mendapat diskon langsung atau point. Dan rupanya, ini kartu kredit…ya ampun, benar-benar deh, dan saya terpaksa “agak marah”, karena mereka seperti memaksa…duhh pas puasa lagi. Apa boleh buat saya mesti mikir-mikir lagi untuk datang ke L*** M*** di lokasi ini….akhirnya saya hanya belanja di daerah tertentu, yang memang lokasinya terjaga dari unsur pemasaran yang ngotot ini ya….mudah2an hal ini dibaca oleh pengelola hipermarket tersebut, sehingga bisa dibenahi.
2. Konfirmasi lewat telepon rumah.
Saya pernah menulis di sini dan di sini, betapa penawaran kartu kredit, yang kemudian menggunakan referensi dengan cara menghubungi saudara sangat menyebalkan. Bagaimana pula sebuah Bank menawarkan kartu kredit, dengan referensi saudaranya, yang berarti Bank tersebut hendaknya juga menilai kemampuan bayar saudaranya. Bukankah petugas Bank telah di didik untuk menilai kelayakan usaha berdasarkan Five C’s of Credit? Yang artinya Bank menilai berdasar kelayakan usaha atau kemampuan bayar nasabah…lha apa hubungannya dengan saudara, apalagi jika saudara atau temannya seperti saya yang sudah pensiun? Jika saya yang terima telepon tak masalah, namun ini yang terima telepon pembantu, dan hanya konfirmasi apa betul rumah saya…dan yang tanya petugas Bank dari sebuah Bank yang assetnya terbesar di Indonesia? Saya betul-betul tak habis pikir…apa mereka tak tahu apa yang dimaksud dengan referensi tersebut?
Saya akan mengutip kembali arti referensi seperti yang pernah saya tulis di blog saya:
Referensi menurut KBBI adalah: 1) sumber acuan (rujukan, petunjuk). 2)buku-buku yang dianjurkan oleh dosen kepada mahasiswanya untuk dibaca. 3)buku-buku perpustakaan yang tidak boleh dibawa keluar, harus dibaca di tempat yang disediakan.
Referensi atau reference sesuai hukum adalah:
1.a) The act of referring a case to a referee, auditor, master to find facts and submit report to the court. b) The document by which the reference is made, Fed R. Civil P.53. c) In contracts, an agreement to submit to arbitration: the act of parties in submitting their controversy to chosen referees or arbitrors. d) A person who will provide information for you about your character, credit etc. e) The act of sending or directing one person to another, for information or advice as to the character, solvency, standing, etc., of a third person who desires open business relation with the first, or to obtain credit with him. (Black’s Law Dictionary by Henry Campbell Black,MA. Abridged Sixth Edition by The publisher’s Editorial Staff, West Group, St.Paul, MN, page 886).
2. Sedangkan referensi tidak diatur secara khusus dalam hukum di Indonesia. Referensi lazimnya untuk past performance, dan bukan untuk menjamin ke depan. Dalam hukum pidana, seperti pemalsuan, keterangan palsu, apa yang kita sampaikan (dhi referensi) secara lisan atau tertulis akan mengikat, sehingga jangan sampai salah memberikan pernyataan. Oleh karena itu agar aman, dalam referensi harus memuat klausula pembebasan tanggung jawab.
Dalam kehidupan sehari-hari, referensi sering dipergunakan apabila seseorang ingin pindah pekerjaan agar mendapat peluang yang lebih banyak. Yang ditulis dalam referensi adalah bagaimana past performance (kinerja) orang tsb selama bekerja diperusahaan yang lama, dan ditanda tangani oleh atasan. Dengan demikian, mirip seperti arti pada kamus KBBI, pemberi referensi hanya menjelaskan past performance seseorang pada saat masih bekerja di bawah tanggung jawabnya, serta tidak dapat dituntut untuk bertanggung jawab terhadap performance yang akan datang.
Masalahnya, kita tak selalu bicara dengan orang yang mengerti hukum. Si petugas Bank penerbit kartu kredit yang menelpon (sering tak menyebutkan nama, dan apa jabatannya), akan dengan mudah memasukkan nama seseorang sebagai pemberi referensi tanpa izin yang bersangkutan, yang nanti akan jadi pegangan debt collector untuk menteror/menagih dengan paksa jika orang yang diberi referensi tidak membayar atau terlambat membayar. Bayangkan, apakah mungkin seseorang menjamin untuk hal-hal yang tak terbatas? Jika referensi tersebut dipergunakan untuk suami/isteri atau anak yang masih di bawah tanggungannya adalah hal yang wajar, namun tidak demikian halnya jika itu untuk orang lain dan tidak tinggal serumah.
Namun kondisi yang aneh tersebut kenyataannya bisa terjadi di Indonesia, sebagai halnya petugas Bank terkenal tersebut menelpon rumah, yang diterima oleh pembantu saya…jika dalam kondisi ini apakah saya harus ikut bertanggung jawab? Dari sisi hukum jelas tidak, karena saya tak pernah menyatakan secara tertulis, melalui telpon juga tidak…Mudah-mudah an Bank Indonesia memberikan aturan tertulis mengenai penerbitan Kartu Kredit ini, karena sesuai Kontan Edisi 22-28 Agustus 2011 halaman 34, saat ini Bank kembali gencar melakukan perburuan nasabah Kartu Kredit….sehingga jika tidak hati-hati, beberapa tahun ke depan kemungkinan akan ada korban lagi dari Debt Collector.
b. Penawaran dari Telkom, yang mengabaikan kenyamanan pelanggan.
Entah sudah berpuluh kali saya terus mengatakan “TIDAK”, saat mendapat penawaran telepon untuk memasang Speedy, anehnya penawaran terus berlanjut…apakah mereka tak ada koordinasi atau pencatatan? Padahal saya jelas mengatakan, bahwa saya telah berlangganan internet melalui provider lain, yang telah lahir jauh sebelum speedy lahir. Jadi, bagaimanapun saya tak akan pindah ke speedy, selain repot, juga saya telah nyaman dengan provider yang sekarang saya pakai, karena setiap kali ada gangguan saya mudah sekali komplain kepada provider tersebut melalui telepon dan masalah segera terselesaikan.
Masalah lain, adalah masalah cara pembayaran. Telkom menawarkan cara pembayaran fixed rate, para marketing gencar sekali menelpon tanpa melihat waktu, dan kembali saya mengatakan “TIDAK” dan “TIDAK.” Anehnya tiga bulan ini cara pembayaran telepon di rumah saya berubah menjadi fixed rate, dan karena saya tak punya waktu untuk mengurusnya, cara paling aman adalah telepon saya kunci, biar nggak ada yang pakai. Pertugas marketing jika ditanyakan apa perbedaan cara pembayaran sistem abonemen dan cara fized rate, hanya menjelaskan keuntungan fized rate...dengan jawaban yang seperti membaca panduan. Kenyataannya mereka tak bisa menjawab pertanyaan diluar hal tersebut, seperti apa plus minusnya…lha bagaimana konsumen tertarik, jika mereka tak bisa menjawabnya? Apalagi saya membaca keluhan surat pembaca yang harus membayar jauh lebih banyak di surat pembaca Kompas.
Dan akhirnya, saya kemarin datang ke kantor Telkom yang terletak di jalan F***, saya sudah membawa surat tertulis, yang saya tujukan kepada Kandatel Jakarta ****…semoga surat saya sampai. Mas yang melayani mohon maaf dan seperti yang saya sampaikan pada tulisan di awal, dia mengatakan bahwa teman-teman nya mendapat banyak komplain dari nasabah, tanpa mengetahui masalahnya dan mengapa Telkom merubah aturan pembayaran seperti itu. Dalam surat saya, saya tulis…. Selanjutnya kami minta, agar Telekom mendapatkan konfirmasi terlebih dahulu secara tertulis dari pelanggan sesuai nama yang terdaftar, sebelum melakukan perubahan, dan tidak melakukan segala sesuatu secara sepihak. Ya, apa boleh buat, bukankah setiap perubahan seharusnya disetujui oleh kedua belah pihak. Mudah-mudah an Telkom memperbaiki masalah ini ….. saya ingin menunggu apakah akan ada perbaikan, atau sebetulnya yang jadi pertanyaan utama, masih perlukah kita berlangganan telepon kabel, setelah ada telepon seluler? Bagaimanapun saya ingin tetap ada hubungan baik dengan Telkom, karena saya juga mendapat manfaat banyak melalui telepon sebelum adanya telepon seluler.
Saat ini ada lagi yang membuat saya kawatir, setelah membaca di media, ada penawaran pembayaran listrik pra bayar…semoga PLN tidak asal mengalihkan cara pembayaran, karena setiap konsumen berhak memilih mana yang dirasanya cocok, dengan kondisi keuangan maupun aktivitasnya. Saya memahami, perusahaan tersebut mempunyai strategi yang bisa merupakan alternatif pada pelanggan, namun pertama-tama perubahan strategi tersebut hendaknya dipahami dulu oleh seluruh jajaranannya sebelum dijual pada konsumen. Dan jika telah dilaksanakan, harus diadakan monitoring secara ketat, sehingga tidak terjadi ketidak nyamanan bagi konsumen.
Sepertinya banyak yang semacam itu di Indonesia ini, Bu. Konsumen sering sekali dirugikan, dan naifnya banyak konsumen yang tidak menyadarinya.
Pernah tuh saya dapat bonus RBT apa gitu dari operator kartu seluler saya. Gratis sih, tapi sampai jangka waktu tertentu. Selebihnya, apabila kita tidak meng-UNREG, kena potong pulsa terus tanpa pemberitahuan yang wajar.
Tidak terpotong pulsa pun, misalnya setelah jangka waktu tertentu tersebut layanan bonus yang gratis dihentikan otomatis, seharusnya tidak bisa asal ngasih bonus RBT tersebut. Selera orang kan lain-lain. Misalnya dikasih RBT lagu yang konsumen tidak suka, bisa jadi cenderung anti lagu tersebut, ya operator berarti telah berbuat zalim.
Itulah Farisj, banyak para petugas yang tak dibekali ilmu sebelum diterjunkan untuk marketing…
Juga janji tak ditepati
Suka sekali dengan tulisan Bu Enny ini. 🙂 Memang konsumen rasa2nya sekarang hanya dimanfaatkan. Pokoknya kalau kita bisa dimanfaatkan, ya oke2 saja. Dan rasanya komplain dari konsumen agak jarang ditanggapi.
Bbrp waktu lalu saya sempat bermasalah dengan sebuah apartemen. Sebenarnya yg bermasalah langsung sepupu saya, tapi karena saya diminta jd wakil sepupu saya itu, saya jadi merasakan betul bagaimana konsumen sama sekali tidak dihargai. Wah, jadi pengen posting masalah tsb deh. Hehe
Hahaha…sebetulnya saya kesal, tapi disatu sisi kasihan sama para petugas marketing itu, yang terjun bebas tanpa pengarahan yang tepat. Hasilnya diomeli pelanggan.
kalo masalahnya udah kartu kredit q gag ikut” bu.. katanya mudah tapi kok di orang seperti aku ini ribetnya minta ampun.. hihi 🙂
Kan nggak hanya KK..coba baca lagi
Artikel yang menarik, saya juga pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan terkait pelayanan. 2 minggu lalu, ketika saya jalan2 di mall dan merasakan haus, saya berniat membeli minuman Teh (G***k) yang letak stan minuman tersebut di lantai 4, lokasinya pun jauh dari tangga berjalan sehingga harus memutar jauh. bagiku tidak masalah krn saya memang menyukai rasa Teh tersebut. Namun, saya kecewa ketika membayar dengan uang Rp 5.000, petugas menjawab dengan ketus, “gag ada uang kembalian”. saya yang cukup lelah terbawa suasana menjawab ” Jadi saya tidak bisa membeli teh ini? uang saya termasuk kecil.” lagi2 petugas menjawab ” tidak ada kembalian”. Saya benar2 kecewa, petugas tidak peduli dengan saya yang masih bertanya2, dan akhirnya saya tidak mendapat Teh kesukaan saya. ya itu salah satu pengalaman saya, Bu.. 🙂 maaf sekalian saya ingin bertanya mengenai hal yang tidak berkaitan langsung dengan artikel diatas, terkait dengan marketing di bank, saya jujur bingung ketika membaca lowongan pekerjaan dengan berbagai istilah AO, ARO, RM, PBO dan SSO. yang ingin saya tanyakan apa perbedaan mendasar kelima job tersebut? mohon pencerahannya Bu.. 🙂 Terimakasih.
Untuk menghindari hal tsb saya selalu sedia uang receh.
yang jadi utama adalah untungnya dulu… Hmm,.
Bukan untung…petugas marketing tak bisa melihat untung rugi…namun hanya bagaimana agar mencapai target yang dibebankan.
para sales kk emang kadang terlalu maksa bikin kesel ya bu.
tapi dulu saya seringnya sih kalo udah kelar bayar dari kasir, baru diserbu para sales kk. belum pernah kalo pas masih di kasir udah ditawar2in kayak ibu gitu. itu mah kebangetan ya…
Saya dua kali seperti ini…kalau nggak begitu saya nggak menulis…
Dan kelihatannya, pemasaran KK makin gencar, setelah kasus Citibank reda, dan orang butuh belanja untuk Lebaran.
Sebenarnya cara penawaran gitu di sini juga buanyak tapi orang cuekin, kalau merasa terganggu ya paling tinggal dibawa ke pengadilan 🙂
Yg saya persoalkan sebenarnya justru layanan ke pelanggan tetapnya, seolah mereka tak peduli bagaimana memelihara ‘uang’ yang sudah masuk. Konsumen seolah dianaktirikan, dikecewakan karena pada awal perjanjian tampak semuanya indah….
Postingan yg menarik, Bu!
Hmm itulah Don..ada namanya uu konsumen, namun antara undang-undang dan penerapannya jauh berbeda…ngelus dada:((
Sungguh menarik … sebuah pencerahan … nice
sampai saat ini mungkin saya yg tidak punya Kartu Kredit … ada yg bilang kampungan or ketinggalan zaman … terserah lah – yg pasti saya takut ‘berhutang!
Kartu Kredit sebetulnya bermanfaat sebagai pengganti uang tunai, juga jika keadaan darurat dan kita tak sempat ambil uang di Bank (ada dua postingan saya sebelumnya).
Yang jadi masalah, seperti saya ungkapkan dalam tulisan saya adalah cara menawarkannya, yang tak kenal waktu dan sering melanggar etika.
Wow… saya hanya manggut-manggut baca ini, Bu. 😐
Perihal penawaran Speedy, saya pun pernah mendapatkannya. 😀
Saya ladeni aja, sekalian menghabiskan waktu.
Speedy sebetulnya cukup bagus….tapi jika pernah menawarkan sekali dan ternyata di rumah tsb telah dipasang provider internet lain, mestinya tak perlu banyak orang nelpon….kayaknya tak ada koordinasi, akibatnya konsumen malah jadi sebal.
Ternyata yang menjadi korban penawaran speedy banyak juga ya.
Kakak & ibu saya, juga kena. Lucunya, setelah tak lama menerima tawaran speedy, ibu saya kembali menerima telepon tawaran speedy ini. Hanya berselang 3 menit 🙂
Ya, itulah…mestinya dikoordinasi, wilayah A berapa orang yang bertugas dan jika sebuah rumah sudah pernah ditelpon ya jangan ditelpon terus….akhirnya kan jadi nggak enak, yang menolak halus akhirnya mencabut telepon..hahaha
padahal pelanggan adalah pembeli dan pembeli adalah raja. tapi kenyataannya? (jadinya hanya bisa ngelus dada, bu…)
Itulah Uda…atau mungkin makin banyak orang yang kepepet, atau memang etika kita sudah menurun ya….
Runtun banget ceritanya Bu Edratna. Ttg telkom, untunglah sejak saya SD hingga sekarang sudah tidak pernah lagi menggunakan telepon rumah 🙂 tapi kalau kondisi seperti yang dialami Ibu, eugh itu bikin kesel. Dan memang sudah sepantasnya untuk marah. Indonesia masih perlu belajar dalam hal pelayanan dan harus training kepada setiap salesnya agar bisa bekerja dengan baik, bukan dengan cara yang terkesan menodong.
Dan saya menduga, yang melakukan marketing jangan-jangan bukan karyawan organik, namun outsourcing yang dikejar target. Karena kalau kita tanya , jawabnya hanya seperti membaca panduan…bagaimana pula orang bisa tertarik?
Bu Enny, saya suka sekali dgn tulisan ibu ini,
dgn runtun menceritakan apa dan bagaimana nya dgn jelas,
sehingga kami pun yg merasa diperlakukan sama seperti demikian, merasa terwakili melalui tulisan ini .
kadang , saya juga berpiir, mereka2 ini harus mengejar target,
namun begitu seharusnya tetap pd koridor yg benar dan menghormati calon nasabahnya, kalau kayak gini, yg ada si calon malah kabur ya Bu 🙂
salam
Betul bunda, pada umumnya mereka bukan karyawan organik….tapi kan jadi menyebalkan.
Begitu saya protes ke kantor Telkom, malah masnya ganti curhat, dia juga nggak enak diomeli pelanggan padahal nggak tahu apa-apa. Nah lho!
sepertinya Undang-undang perlindungan konsumen masih belum diberlakukan yah bu…
beberapa kali kejadian yang sama dialami, entah oleh marketing atau apapun namanya, mereka berkilah bahwa hanya melaksanakan tugas dan perintah dari atasan,,lah kalau begini semua, sebagai konsumen kita harus bagaimana …
-salam-
Petugas marketingnya kurang terdidik, jawaban hanya sesuai perintah atasan…mungkin karena tak bisa menjawab yang lain.
UU konsumen sudah diberlakukan, namun sangsi nya yang kurang keras.
Seharusnnya pelanggan di prioritaskan.
Teorinya seperti itu..prakteknya? Sangat berbeda
saya setuju dengan artikel yg di tulis bu edratna kalau pelayanan ke nasabah belum memuaskan, saya sendiri pernah mengalaminya di salah satu unit pembantu yang ada di cirebon. saran saya : tolong sering sering pantau kinerja karyawan karyawan di unit pembantu biar tidak ada nasabah lain yang komplen lagi. terima kasih