Komentar Anderson pada tulisan saya sebelumnya, tentang Reuni Keluarga, sangat bagus dan membuatku ingin menulis tentang bagaimana kita menjaga keseimbangan dalam kehidupan kita. Komentar Anderson, secara garis besar (telah saya edit, yang asli pada komentar di tulisan saya), sebagai berikut: “Saya percaya hidup itu akan menemukan keseimbangan. Saya dan 3 orang kakak dan adik adalah 4 bersaudara yang memiliki hubungan sangat dekat dan akur. Ketika 3 diantaranya menikah (termasuk saya), mulai lah kami menyesuaikan dengan kehidupan baru dan jadi agak jarang bertemu satu sama lain. Namun saya percaya, hidup akan menemukan keseimbangannya, dimana hubungan keluarga-keluarga baru ini mulai berjalan mapan sementara sesama saudara tidak merasa terabaikan. Semoga…”
Ya, hidup ini memerlukan keseimbangan terus menerus, baik dalam lingkungan pekerjaan, lingkungan tempat kita pergi dan pulang kantor, serta juga kondisi di rumah. Bahkan kondisi rumah yang aman tenteram, akan berubah jika ada teman atau saudara datang, walau perubahan itu pada umumnya menyenangkan, jika memang saudara tersebut merupakan orang yang berhubungan baik dengan kita. Kadangkala kita merasakan kejenuhan, merasa stagnan, yang kalau dilanjutkan bisa tak menghasilkan karya apa-apa, jika sudah demikian, kita perlu melangkah keluar untuk melihat suasana baru. Apa yang membuat keseimbangan berubah? Keseimbangan berubah, antara lain disebabkan oleh:
1. Pernikahan
Pernikahan merupakan perubahan yang sangat besar, karena disinilah kita benar-benar memulai hidup baru, yang merupakan awal dari segalanya. Walaupun dalam budaya kita, pernikahan tetap masih berhubungan dekat dengan orangtua dan saudara, tapi berbeda sekali. Kalau dulu, kita meminta ijin dengan orangtua yang terasa lebih mudah karena telah kita kenal sepanjang umur kita, sekarang kita harus bisa mengenal dan menyesuaikan dengan suami/isteri. Hubungan antara saudara juga akan berubah, karena tak akan bisa punya waktu bebas seperti dulu, demikian juga hubungan dengan teman sepermainan.
Ada hal yang lucu saat awal saya menikah, karena saya menikah pada usia yang saat itu dianggap nyaris terlambat, karena mendekati usia 30 tahun. Saya sudah bekerja, sudah menjadi pegawai sementara. Karena terbiasa bebas dalam mengambil keputusan, suatu ketika, sepulang kantor (saat itu jam kantor dari jam 8.00 sampai dengan jam 16.00 wib dan Sabtu masuk sampai jam 13.00 wib) saya mampir ke pertokoan di daerah Rawamangun, dekat tempat rumah kontrakan. Ternyata saya keasyikan sehingga pulang setelah Magrib, dan suami sudah begitu kawatir kalau terjadi apa-apa di jalan. Saat itu juga belum ada yang namanya Handphone, bahkan tak semua orang punya telepon di rumah.
Selera terhadap makanan antara suami dan saya berbeda, di awal pernikahan memang sering terjadi hal-hal yang lucu. Suami sangat suka sambal tumpang, yang dibuat dari tempe bosok, dan walaupun berusaha menyesuaikan, sampai saat ini saya belum bisa menikmati enaknya sambal tumpang. Namun terhadap terasi, rawon, sambal petis, saya sudah bisa menikmati. Setiap saat memang terjadi perubahan keseimbangan, dan untuk menjaga agar keseimbangan bisa selalu terbentuk, harus ada komunikasi dua pihak. Saya akui, komunikasi tak selalu mulus, kadang berbeda persepsi, namun keinginan untuk tetap menuju tujuan yang sama, membuat kami setiap kali saling menyesuaikan. Yang penting adalah komunikasi suami isteri, karena disinilah kunci utama, karena hal lainnya menjadi lebih mudah jika komunikasi antara suami isteri lancar. Jangan kawatir terjadi pertentangan atau perdebatan pada saat diskusi, karena dengan melatih diskusi, berdebat, maka nantinya akan diperoleh titik temu yang disepakati kedua belah pihak.
2. Mempunyai anak
Mempunyai anak membuat kehidupan suami isteri yang telah bisa saling menyesuaikan, menjadi berubah. Banyak acara yang dulunya bisa dilakukan dengan mudah, sekarang harus memperhatikan kondisi anak, apalagi jika tak ada pembantu atau baby sitter yang momong bayi. Pada saat seperti ini diperlukan kedewasaan antara suami dan isteri, agar bisa saling mendukung. Repotnya, masalah budaya kita, dimana pada umumnya anak laki-laki tak terbiasa dididik untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, atau terbiasa dilakukan oleh pembantu, hal-hal seperti ini bisa mempersulit keadaan. Namun dengan pemahaman, dan komunikasi yang baik, biasanya masalah-masalah seperti ini bisa diatasi dengan cepat.
Saat ini kami sedang mempunyai masalah seperti ini, karena anak saya yang sudah menikah belum memperoleh pengasuh bayi, dan ternyata sulit sekali untuk mendapatkannya, walau setiap lini pertemanan dan persaudaraan telah dimintai tolong. Hal ini juga merubah keseimbangan dalam keluarga kami, karena semua kebagian untuk ikut momong, agar si ibu bisa istirahat dan tak terlalu lelah. Namun cepat atau lambat hal ini harus segera diatasi, agar kemampuan ibu dapat digunakan secara optimal, apalagi si kecil makin besar, dan makin lincah, makin lasak, yang memerlukan pengasuh agar bisa berbagi.
3. Pindah Pekerjaan
Pindah pekerjaan jika dapat diantisipasi sebelumnya tak akan terlalu membebani, namun ada kalanya karena sesuatu hal, kita dipaksa untuk segera pindah pekerjaan. Jika masih bujangan, walaupun berat, maka penyesuaian akan lebih mudah, dibanding jika sudah berkeluarga. Bahkan pindah karena mutasi, walau masih di perusahaan yang sama, memerlukan persiapan yang matang, karena akan menyangkut berbagai perubahan, terutama jika anak-anak telah mulai bersekolah.
Saya akui, walau masih satu perusahaan, setiap kali pindah, selalu ada masa penyesuaian, karena saya harus belajar lagi mengenai masalah yang dihadapi di tempat baru, juga orang-orang yang dipimpin atau teman kerja adalah orang yang baru, dalam arti baru dalam bekerja sama dalam satu bidang, walau pada umumnya telah sering ketemu dalam berbagai acara di kantor.
Bagi saya, yang paling sulit adalah saat menghadapi masa pensiun, apalagi sebelumnya saya sering mendengar beragam cerita dari teman-teman yang telah melalui masa ini, dan sebagian besar bukan hal yang menggembirakan, terutama dari sisi keuangan. Namun dengan persiapan yang matang, serta semua pihak dalam keluarga menyesuaikan dengan kondisi yang baru, semua bisa diatasi, bahkan saya menikmati masa pensiun saya, karena tak harus setiap hari keluar rumah dan terjebak pada kemacetan di jalan yang menurut saya makin membuat stres orang di jalan. Dan karena aktifitas kita menurun, tentu saja penghasilan yang menurun bisa tetap dinikmati, bukankah usia yang makin merambat juga membuat kita tak bebas lagi menikmati berbagai makanan, karena harus diet?
4. Pergantian Pimpinan
Pergantian Pimpinan, bisa menyebabkan perubahan kebijakan, ini juga akan mempengaruhi keseimbangan yang ada di suatu perusahaan. Apalagi pada dasarnya, manusia tidak terlalu menyukai perubahan. Di negara ini, pemimpin masih menentukan apakah kondisi lingkungan yang dipimpinnya akan membuat manusia didalam nya bahagia atau tidak. Walaupun begitu, kita tak bisa memilih Pemimpin, atau kita juga tak bisa memilih siapa saja bawahan kita, jadi mau tak mau harus menyesuaikan. Saya bersyukur, selama bekerja sampai lebih 26 tahun di perusahaan yang sama, saya telah mengalami berbagai pergantian Pemimpin, dan syukurlah saya tetap bisa mengambil hikmahnya, karena pada dasarnya kita harus selalu beradaptasi pada lingkungan yang ada.
Justru berbagai karakter Pemimpin yang berbeda ini, membuat kita bisa belajar, seperti apakah nanti cara kita memimpin, jika pada saatnya kita telah mencapai tahap untuk dipercaya memimpin suatu unit kerja. Karena pada kenyataannya, memimpin itu tidak mudah, karena setiap orang mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda-beda, serta kita harus bisa memimpin dengan gaya yang berbeda dan situasional, agar terjadi keseimbangan. Memimpin pada situasi perusahaan tenang lebih mudah, dibanding memimpin pada saat kondisi lingkungan kritis, yang jika terjadi kesalahan bisa membuat perusahaan bangkrut. Menurut saya, yang lebih penting adalah bagaimana menyiapkan regenerasi, sehingga pada saat kita tak memimpin lagi, atau dipindahkan dari tempat semula, maka kondisi unit yang pernah kita pimpin tetap berjalan lancar, bahkan diharapkan bisa lebih baik lagi.
5. Lain-lain
Pada dasarnya manusia tak menyukai perubahan, namun kondisi lingkungan terus berubah. Kita bisa melihat, jika kita membaca berita, betapa kondisi lingkungan di tempat kita tinggal, maupun lingkungan luar selalu berubah. Cuaca yang ekstrim juga merupakan suatu kondisi adanya perubahan itu, dan kita akan selalu dihadapkan pada perubahan tersebut. Dan perubahan yang terjadi di lingkungan kita akan semakin sering dan semakin cepat, bisakah kita selalu menyesuaikan diri?
Bagi orangtua, yang penting adalah bagaimana mendidik anak-anak kita agar bisa beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang selalu berubah, karena jika tak bisa mengatasinya, bisa membuat terkena penyakit, dan yang lebih parah bisa terkena gangguan jiwa (Kompas, 11 Feb 2012). Kehidupan sekarang memang berbeda dibanding kehidupan di masa orangtua kita dahulu, tantangan nya berbeda, perubahan lingkungan berbeda, namun sebagai manusia kita dianugerahi kemampuan untuk bisa menyesuaikan diri, pada setiap perubahan yang terjadi.
Betul bu, kemampuan untuk adaptasi itu yang perlu dipersiapkan pada anak-anak.
Saya menikah dengan Gen yang orang Jepang, dengan pikiran dia akan suka masakan Jepang..ehhh tau taunya dia tidak suka masakan Jepang, sehingga saya kalau mau masakan Jepang tradisional harus beli (dan tidak mempunyai kesempatan masak, karena dia tidak suka :D)
Saya baru mengalami yang pernikahan Bu, minta ampun deh perubahannya… Saya yang biasanya selalu mandiri tiba-tiba punya suami yang selalu kontrol pergerakan saya kemana pun, hehehe, senang sih tapi agak risih. Tapi lama-lama juga bisa dan sekarang kalo ga diperhatikan rasanya nelangsa :p
iya namanya kehidupan emang dinamis ya bu. selalu ada perubahan.
kalo gak ada perubahan, berarti gak hidup. hehehe.
dan emang salah satu basic instict manusia ya kemampuannya beradaptasi itu ya…
Setiap perubahan membutuhkan proses menuju ke keseimbangan baru ya bu En, ketrampilan adaptasi membuat proses tersebut terasa lebih nyaman hingga agak menantang. Saat melepas anak2 ke alam kedewasaannya juga memerlukan keseimbangan baru. Salam
Menarik.. saya setuju sekali… saya tergelitik soal ngurus anak. Di sini saya belajar keras untuk dapat akrab dengan pekerjaan2 dapur karena di Indonesia saya dimanjakan dengan pembantu dan di sini tidak model pake pembantu di rumah tangga.
Dan yg paling membahagiakan adalah, aku bisa mengerjakan kerjaan2 itu, dan semakin komplitlah hidupku 🙂
Alam memang selalu berubah tetaoi selalu mencari keseimbangan baru. Semoga kita semua bisa hidup selaras dengan alam ya mbak Enny…
tanpa keseimbangan, maka akan sangat berbahaya kehidupan ini, sehingga dalam banyak hal menuju keseimbangan itu memang perlu diupayakan, suka tidak suka mau ataupun tidak mau
Saya setuju sekali dengan Bu Ratna. Betapa hidup ini kan menjadi galau dan menjauh dari kebahagiaan bila tak terjadi keseimbangan. Makasih banyak ya, Bu Ratna, telah berbagi hal yang penting seperti ini.
selama kita hidup, maka perubahan itu selalu ada ya Bu Enny
kalau dah gak ada perubahan, maka berakhir jugalah kehidupan itu
salam
kadang karena terlalu banyak yang akan diseimbangkan jadinya suka bingung dan mengambil keputusan berdasarkan emosi dan intuisi yang salah…
menjaga keseimbangan diantara begitu banyak hal yg bisa menimbulkan goncangan…sebuah tantangan yg harus dijalani ya bu… terima kasih atas tulisan ini, bu…
bu buat saya pernikahan ini membawa banyak perubahan pada saya. saya pindah ke kota yang baru. saya keluar dari tempat kerja yang lama. jadi butuh adaptasi. awalnya sulit, tapi seiring berjalannya waktu, ya bisa juga. bu, kalau soal makanan, saya dan suami seleranya hampir sama. jadi tidak masalah. 🙂 cuma, dia masih suka masakan dari kampung halamannya. di sana makanannya enak-enak sih. tapi saya masih belum bisa masak menu makanan tersebut.
ibu untuk adapatasi karena menikah, saya juga mengalaminya tuh bu 🙂 suami tidak suka ikan padahal ikan adalah makanan kesukaan saya, dulu jalan tengahnya adalah saya akan beli ikan yang sudah digoreng/dibakar untuk saya dan ayam goreng/bakar untuk suami. alhamdulillah selama 4 thn ini suami akhirnya menyenangi ikan 3 S : salmon, saba, dan sarden. jadi hanya tiga menu itu untuk ikan yang biasanya saya masak. juga dengan perbedaan2 yang lain. alhamdulillah waktu yang mengajarkan untuk beradaptasi 🙂
perubahan itu adalah sesuatu yang pasti ya bu
dan saya, baru menapak di 1 anak tangga, yaitu pernikahan. blum ada anak pula. tapi tentu saja banyak prahara hahaha …
untungnya bisa diselesaikan dengan manis
apalagi kami yang berbeda suku,
bayangkan saja kerasnya orang Medan ketemu halusnya orang Sunda hehehe bohong saya kalau bilang tak pernah ada prahara ‘kan 😀
klo makanan sih alhamdulillah banyak kesamaan
hobipun tak jauh2lah
sama2 cinta buku dan nonton hehehe
ujian terbesar kami, selalu ada di pekerjaan.
tidak mudah menyelaraskan isi 2 kepala untuk 1 urusan 😀
tapi yaaa … harus ada saling-saling klo ga mau dahi berkerut terus hehehe
Banyak belajar dari artikel ini,kehidupan yang terus berubah terkadang mau tidak mau harus bisa menyesuaikan dengan lingkungan yang ada.
hmm, bisa dijadikan bahan referensi bagi saya yg masih bujang 🙂
Wah, senang rasanya komen saya jadi inspirasi tulisan Bu Enny…
Untuk perubahan no. 1 dan 2, meskipun saya udah menjalaninya selama beberapa tahun, tetap saja proses penyesuaiannya terus berjalan. Titik keseimbangan hidup untuk pernikahan dan mempunyai anak selalu bergeser, karena kehidupan itu memang dinamis. Jadi, enjoy aja… 🙂
Untuk no. 3 dan 4, kadang berhasil menyesuaikan diri, kadang sangat sulit. Tapi perubahan no. 3 akan menyebabkan kita juga harus beradaptasi dengan perubahan no. 4. Makanya saya hati-hati sekali kalau mau melakukan perubahan no. 3, hehehe
Have a nice weekend, Bu..
bagus banget nih artikelnya…makasih lho ya udah share…salam kenal slalu