Apa peran “Culture Capital” dalam meningkatkan Corporate Culture? (bag.2)

Apa yang dimaksud dengan budaya organisasi?

Moeljono (2005), mendefinisikan budaya organisasi sebagai sistem nilai-nilai yang diyakini semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan, serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan acuan berperilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan.

Budaya organisasi dimanakah yang dapat memberikan kontribusi?

  • Fungsi ke-1: Budaya organisasi memberikan identitas-identitas yang khas terhadap anggota organisasi. Identitas ini membuat berbeda dengan anggota organisasi yang lain, sekaligus memberi pola identifikasi pada orang dimanapun berada.
  • Fungsi ke-2: Budaya organisasi merekatkan anggota organisasi satu sama lain, kepada institusi dan sistem organisasi. Perekatan ini membangun trust dari organisasi.
  • Fungsi ke-3: Budaya organisasi memberikan standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh karyawan. Budaya organisasi merupakan nilai-nilai yang menentukan perilaku dari individu manusia dalam organisasi.

Apa yang dimaksud dengan pengejawantahan Culture Capital?

Disini budaya telah menjadi sebuah shared value yang kuat, yang ditunjukkan dalam setiap perilaku masyarakat yang tergabung dalam organisasi tersebut. Kita bisa mengambil contoh, masyarakat Bali. Yang membuat orang luar terkesan pada masyarakat Bali adalah, bagaimana mereka melakukan ritual dalam sembahyang, seni, cara berpakaian, berbahasa serta bersikap dan berperilaku, yang keramahtamahan nya telah diakui oleh semua turis, yang pernah datang ke Bali. Pada saat merasa budayanya terancam, para pecalang atau polisi adat akan berperan meluruskan kebiasaan, membela kepentingan adat, bahkan meyakinkan agar kaum muda tak terpengaruh akan derasnya budaya luar yang masuk. Dalam hal ini, masyarakat Bali, membuktikan kekuatan budayanya, yang kemudian telah menjadi kekuatan modal atau culture capital yang bisa dijual dan merupakan compettive advantage.  Budaya yang telah kuat tersebut tetap harus dikelola, dikembangkan secara berkesinambungan sehingga menjadi modal yang kuat. 

Di sebuah perusahaan, selain keramahtamahan para petugas frontliners, perusahaan menerapkan budaya cara berpakaian dan melayani pelanggan. Dari penelitian menunjukkan, pelanggan tak segan mengeluarkan biaya lebih besar untuk service yang lebih prima, terutama bagi perusahaan yang mempunyai karyawan yang ramah menghadapi pelanggan. Sering kita lupa, bahwa hubungan antara manusia, keyakinan dan persepsi sebagai aspek budaya, kerap belum diangkat ke permukaan. Pentingnya “State of Mind” dalam budaya, baru diterjemahkan dalam produk-produk bahasa, artefak, buku dan lain-lain. Jadi, budaya Indonesia bukan hanya sekedar kain batik, kain songket, namun juga harus melingkupi sikap dan perilaku yang dapat dijual. Budaya perusahaan bukan sekadar tergambar pada logo, interior, slogan, ritual briefing, tetapi juga berasal dari keyakinan akan makna dan pentingnya nilai, dibalik sikap dan perilaku manusianya.

Yang perlu diperkuat adalah bagaimana respon kita terhadap suatu situasi, mempersepsikan suatu kejadian, berkomunikasi dalam setiap situasi, senyum yang dipasang sesuai dengan jiwa. Kebiasaan ini, yang positif, harus terus dikembangkan menjadi kekuatan budaya, dan ditularkan ke lingkungan sekitar. Keramahtamahan masyarakat Indonesia harus bisa ditunjukkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari, sehingga yang dikenal di dunia tak hanya masyarakat Bali, namun juga semua masyarakat di seluruh Indonesia dikenal keramahtamahannya, disiplin, serta berperilaku sopan serta ramah, karena alam Indonesia sungguh indah, sehingga dengan potensi tersebut, banyak sekali competitive advantage Indonesia yang bisa menarik turis.

 Sumber Bacaan:

  1. Dr. Djokosantoso Moeljono. “Cultured! Budaya Organisasi Dalam Tantangan. PT Gramedia: Jakarta, 2005.
  2. Eileen Rachman dan Sylvia Savitri. “Cultured Capital”. Experd, Culture International Program. Kompas Klasika, Sabtu, 10 Maret 2012 halaman 33.

2 pemikiran pada “Apa peran “Culture Capital” dalam meningkatkan Corporate Culture? (bag.2)

Tinggalkan komentar