Bagi para ibu, adalah hal yang biasa pergi berbelanja ke pasar, karena jarang seorang perempuan yang tidak pernah pergi ke pasar. Seiring dengan kemajuan zaman, banyak dari kaum perempuan yang tak pernah menginjak lagi pasar tradisional, namun berbelanja di supermarket, karena alasaan waktu, juga belanja ke supermarket yang semuanya sudah tertata rapih serta harga tak perlu menawar, lebih memudahkan tanpa proses tawar menawar yang alot. Namun belanja di pasar tradisionil, tetap menyisakan sensasi tersendiri, karena kita bisa berdiskusi dengan penjual, bahkan kalau sudah akrab bisa menjadi pelanggan, karena dia berani mengeluhkan masalahnya kepada kita.
Selain jalan-jalan menikmati kuliner, wisata budaya dan lingkungan setempat, saya dan teman menikmati belanja di pasar tradisionil, merasakan betapa kaum perempuan (rata-rata pedagang di pasar tradisionil adalah kaum perempuan) bergelut dalam usahanya, untuk meningkatkan taraf hidup keluarga.

Di pasar pagi Samarinda, yang sebagian besar adalah para pedagang kain (konveksi) dan emas, saya mampir ke kios penjual pakaian jadi, terutama dari bahan batik. Percaya apa tidak, harga sebuah daster di pasar pagi ini, tak banyak selisihnya dibanding jika saya belanja di Pasar Tanah Abang, maupun di Pasar Baru kota Bandung. Juga di toko “Griya” yang berlokasi dekat rumah saya di Bandung, yang terkenal cukup murah harganya. Dari pembicaraan dengan ibu yang mengelolanya, kios yang ditempati merupakan milik om nya, yang cukup terkenal punya beberapa kios di berbagai pasar tradisionil di kota Samarinda, ibu itu juga cerita bahwa barang dagangan diambil dari pasar tanah Abang. Saya memperhitungkan, margin yang diperolehnya sangat tipis, namun dia mengharapkan omzet penjualan bisa meningkat banyak, sehingga tetap bisa menguntungkan. Memang toko ini relatif lebih murah dengan toko pakaian yang saya datangi sebelumnya. Dan sebagai biaya obrolan ini, tentu saja saya memborong berbagi daster batik…lucu juga kalau dipikirkan, membeli baju batik di Samarinda, yang pemasoknya berasal dari pasar tanah Abang di Jakarta.

Di pasar Segiri, di sebuah kios berukuran 1 x 2 meter persegi, ada pedagang kopi yang berasal dari Madura. Harga kopi per bungkusnya sangat murah, bapak ini menggiling sendiri kopinya, mencampurnya dengan jagung sesuai pesanan masing-masing pembeli. Jika dilihat sepintas, pembeli tak banyak, namun dengan berjualan di sini, suami isteri tadi (pak Haji Sawali) telah bisa naik haji, kelima anaknya telah bisa mandiri, sebagian menikah dengan masyarakat setempat. Betapa dari penjualan yang terlihat kecil, jika ditekuni bisa menghasilkan keuntungan yang memadai, yang dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Yang lucu, saya memperoleh oleh-oleh krupuk “Kenny” yang dibeli di pasar Pagi Samarinda. Sampai di rumah, krupuk tadi saya berikan pada asisten rumah tangga. Saat menantu saya melihat krupuk Kenny teronggok di dapur, dia bertanya…” Ibu waktu di Malang mampir ke rumah mas Onny?” Saya bilang tidak, sambil bertanya dalam hati, mengapa dia bertanya seperti itu, karena sebulan yang lalu saya memang menghadiri acara keluarga di Malang. Rupanya krupuk yang dijual di pasar Pagi, Samarinda tersebut, di pesan dari Surabaya, dan oleh pedagang di Surabaya sebetulnya diperolehnya dari Malang, yaitu dari produksi Onny, yang merupakan keponakan saya…hahaha.
Di Kebun Sayur (nama pasar di Balikpapan), terkenal dengan berbagai barang kerajinan dari batu, berupa gelang, kalung dan berbagai barang perhiasan lainnya. Selain itu juga dijual berbagai sarung Samarinda, kain khas industri Kalimantan (Banjar, Samarinda, dan lain-lain). Setelah mendatangi toko, yang beberapa bulan lalu pernah saya sambangi, saya meneruskan perjalanan ke berbagai toko lainnya. Rata-rata pedagang membeli barang dagangan langsung dari berbagai industri rumah yang memproduksi berbagai barang etnik tersebut. Teman saya mengajak pergi ke toko “U” yang terlihat berbeda, tokonya tak besar, namun diberi karpet dan ber AC. Sebelumnya saya malas ke toko ini, lha kita harus melepas alas kaki di depan toko, nanti kalau hilang, kan kita bisa nyeker pergi ke bandara. Ternyata ibu penjualnya tahu keresahan kami, mengatakan punya kamera CCTV, serta persis di depan toko ada anaknya, yang sedang merakit berbagai kalung dan gelang.
Toko ini memang “agak spesial”, barang yang dijual sebagian besar merupakan desain ibu pemilik toko itu sendiri, yang nanti langsung diperbanyak oleh anaknya dan anak buahnya. Terlihat berbagai kalung dari batu-batuan yang menarik, harganya dari murah sampai ratusan ribu rupiah. Ibu-ibu bergerombol memilih barang yang semuanya telah diberi label harga, sehingga kita tak perlu menawar lagi. Saya cukup banyak membeli barang di sini, titipan adik dan keponakan, juga titipan teman….tentu saja kesempatan ini saya pergunakan juga untuk mengobrol. Teman saya yang berbakat bisnis, menanyakan apakah ibu ini telah mempunyai web site, sehingga nanti bisa tambah luas pasarnya. Putri ibu pemilik toko menjelaskan, kalau dia baru mulai membuat web site nya….saya kira ide yang menarik, dan siapa tahu teman saya bisa menjadi rekanannya untuk memperluas pasar.
Di toko kain, yang menjual berbagai batik khas Samarinda, sarung, serta berbagai hal lainnya, kami mengobrol sangat lama, sekaligus menunggu teman dan sopir yang sedang sholat Jumat, sebelum kami menuju ke bandara untuk pulang ke Jakarta. Dalam obrolan ini, ibu Adi (bukan nama sebenarnya), menceritakan kalau sebelumnya toko ini merupakan usaha suaminya yang meninggal setahun yang lalu. Ibu Adi juga cerita bahwa suaminya merupakan nasabah pinjaman di bank X, pinjamannya menjadi bermasalah karena suami meninggal setelah menderita sakit. Sebelum di toko ini, pak Adi almarhum punya empat toko lain, yang terbakar, sayang karena pengetahuannya terbatas, uang asuransi tak digunakan untuk menurunkan pokok pinjaman, sehingga saat pak Adi meninggal, mewarisan hutang pada Bank. Di sini saya juga berpikir, namun tak bisa menyelidik lebih jauh, karena jika seseorang punya pinjaman berupa kredit modal kerja, maka piutang dan persediaan merupakan jaminan (First Way Out), oleh karena itu persyaratannya adalah diasuransikan dengan banker’s clause untuk dan atas nama Bank tersebut. Dengan demikian, jika terjadi musibah kebakaran, uang hasil klaim asuransi untuk menutup pokok pinjamannya.
Saya dan teman menjelaskan, bahwa sebaiknya ibu Adi menghubungi Pimpinan Cabang Bank tersebut, menjelaskan kalau akan menyelesaikan kewajiban hutang suaminya, karena bagaimanapun yang namanya hutang harus dibayar. Karena pernah menangani bidang restrukturisasi, saya tahu, bahwa ada berbagai keringanan sesuai aturan bank Indonesia, yang meringankan debitur, sehingga sebetulnya ibu Adi dapat menyelesaikan kewajibannya sesuai cash flow, yang diperoleh dari hasil penjualan barang dagangan di toko nya, digabung dengan penjulan aset yang idle. Menurut pengamatan saya, dengan penjualan rata-rata yang diperoleh per hari antara Rp.3 juta sampai dengan Rp.5 juta per hari, apalagi semua anak nya telah berkeluarga dan punya usaha sendiri, maka sebetulnya ibu Adi dapat menyelesaikan kewajibannya dengan mencicil. Sayang, banyak hal yang bisa diselesaikan, namun para pedagang kecil pada umumnya tak mampu untuk berdiskusi dengan Bank, disinilah sebetulnya peranan para Account Officer Bank untuk menangani berbagai masalah yang dihadapi oleh para peminjam nya.
Sopir dan teman saya telah selesai sholat Jumat, kami bergegas menuju RM Sederhana yang berlokasi dekat bandara Sepinggan, untuk makan siang dan sholat, setelah itu menuju bandara. Ternyata pesawat GA 519 delay 40 menit, syukurlah kami bisa duduk-duduk di Blue Sky sambil menunggu pesawat datang. Pulang Jumat sore dari luar kota sungguh melelahkan, perjalanan dari bandara Soetta ke kota macet sekali, sampai satu jam, kendaraan belum sampai Grogol….apa boleh buat, saya hanya bisa menikmati jalan yang macet, sambil dalam hati berkata….”inilah Jakarta.”
Wah seru juga berbincang dengan pedagang kecil namun omsetnya ternyata lumayan hingga bisa menyekolahkan anak dan naik haji.
Btw, untuk berbicara dengan baik kepada orang yang dianggap punya jabatan memang gak semua orang bisa ya Bu.
Saya memperhatikan sebagian besar tukang bangunan yang saya temui sulit berkomunikasi. Mereka jagonya ya bekerja secara fisik.
Senang ya bu..bisa menikmati jalan2 secara santai bahkan bisa berbincang-bincang dengan pedagangnya… 🙂 sayangnya saya kurang bisa menikmati jalan2 ke pasar (modern / tradisional) yg rame…entah kenapa bawaannya lemes, pusing & berkeringat dingin… Walhasil jarang sekali saya masuk pasar2 begini 😦
Wah, sudah lama sekali Bu saya tidak berbelanja di pasar tradisional semacam itu.
Memang begitulah kenyataannya ya, Bu. Banyak masyarakat kita yang tidak paham mengenai tata cara semacam itu. Maka harus diberi bantuan, banyak sosialisasi, dsb.
Hahaha saya suka penutupnya, Bu!
Tapi pasar tradisional memang ngangenin.. Terakhir saya masuk ya ke Beringharjo (kalau masih mau dibilang tradisional) waktu pulang tahun lalu.
saya suka sekali masuk ke pasar traditional.. menarik sekali ya… banyak produk produk fresh. bisa beli ayam fresh dan ikan seger. kalau di supermarket sudah ga fresh lagi..
Wah bu En Kebun Sayur berisi kios kerajinan batu, menikmati suasana pasar yang khas ya bu. Salam
jauh 2 ke Samarinda dapat produk keponakan sendiri , dunia yang amat kecil bu
wahhh kalo saya emang dari dulu suka pasar tradisional bu, sampek deket pasar tradisional itu termasuk dalam kriteria waktu beli rumah :)) yang menarik itu, hampir semua pedagang sayur di pasar tradisional itu sudah HAJI 😀
ternyata krupuk itu berasal dari Malang ya Bu….
hmmmm…. sebuah perjalanan yang sungguh bermanfaat…
sepertinya Tanah Abang ini memasok sampai ke mana-mana ya Bu. jadi kalau dipikir-pikir, kita yang di Jakarta bisa mendapatkan barang yang sama di tempat lain yang jauh dari Jakarta. kalau misalnya ke tempat lain dan menemukan barang yang serupa dengan yang ada di tempat tinggal saya, saya biasanya tidak beli. 🙂
keakraban antra pembeli dan penjual di pasar tradisional tidaak dimiliki oleh mall. inilah yang membuat pasar tradisional tetap eksis
definisi pasar tradisional sekarang sudah berubah..
udah ga ada lagi lantai2 yg becek atau beralas tanah…
misal kayak Ps.Cicadas.. di atasnya bahkan dibangun mall, di bawahnya dibuat pasar tradisional berlantai kramik dan bersih
tadinya saya pikir konsep yang menarik utk membuat pembeli tidak melulu ke supermarket atau hyperstore, tapi lagi2 bisa membuat tidak bisa memelihara selalu terulang..
Cicadas, Kosambi, Ps.Baru dll akhirnya kembali seperti dulu lagi
Konsep pasar berlantai dan ber-AC untuk menggantikan pasar tradisional sepertinya sekarang mulai kemana-mana ya Bu. Karena pada dasarnya kita juga tentu lebih betah dgn suasana yg lebih resik dan nyaman.
Saya sudah lama banget tak ke pasar tradisional, mungkin kalau ke Siantar saja hehee….
wah menarik sekali 😀
hehe 😀 kunjungan awal ya bu 😀
suka baca tulisan ini, begitu informatif sekali Bu Enny 🙂
jadi kalau kapan2 ada kesempatan ke Samarinda , sudah tau , apa saja yg bisa dijadikan tujuan utk jalan2 sekalian belanja belenji … hehehe,.. 🙂
terimakasih Bu krn sudah berbagi 🙂
aku sampai sekarang masih suka ke pasar tradisional, lebih akrab antar penjual dan pembeli ya Bu …
itu ciri khas yg menjadikan pasar tradisional masih banyak pembelinya , kurasa 🙂
salam