Pilkada DKI: Kabar untuk si Bungsu

Pagi ini warga Jakarta siap mencoblos di TPS (Tempat Pemungutan Suara) di wilayahnya masing-masing. Si sulung pagi-pagi sudah mandi, saya kira karena selesai mencoblos dia masih harus berangkat lagi ke kantor, karena kantor nya tidak libur. Ini adalah pertama kalinya saya ikut pilkada DKI, lima tahun yang lalu saya terpaksa tidak  bisa ikut memeriahkan Pilkada DKI, karena ada tugas ke Jayapura. Kali ini, giliran si bungsu tidak bisa mencoblos karena sedang melanjutkan kuliah di luar negeri. Persiapan untuk memilih calon gubernur, dipermudah oleh adanya analisis dari Kompas, yang menceritakan kegiatan masing-masing Calon Gubernur, kemudian dibuat kesimpulan kekuatan dan kelemahan masing-masing calon Gubernur tersebut. Sayangnya, tak ada analisis tentang kekuatan dan kelemahan calon Wakil Gubernur, karena para wakil Gubernur ini menurut saya ikut menentukan, karena kekuatan nya akan menutupi kelemahan calon Gubernur.

Tidak apa-apa, walau telah berbekal pengetahuan itu,  saya masih ragu … hal yang wajar karena setiap pilihan punya kelemahan, dan tak ada yang bisa menjamin bahwa pilihan kita tepat. Namun jika tak ikut mencoblos, sungguh sayang, karena setiap satu suara jika dikumpulkan akan berpengaruh banyak dalam penentuan keputusan. Jadi, saya mengirim email kepada si bungsu:

Nduk, ibu masih bingung nih. Karena kamu nggak bisa ikut mencoblos, maka ibu akan mencoblos sesuai pilihanmu.

Tak lama, si bungsu menjawab lewat email…… ” si Aaaaaaaaa,” dengan berbagai alasan. Ternyata, besoknya si bungsu menjadi ragu, karena membaca berbagai kabar tentang si A,  yang telah dipesankan untuk dicoblos. “Ya, sudah, pikirkan dulu, tapi pagi hari sebelum pencoblosan, kirim kabar ya,” jawab saya lewat email. Ternyata pada akhirnya si bungsu tetap memilih si A.

TPS 24, tempat saya memilih

Saya berangkat ke TPS 24, yang berdekatan dengan TPS 25, sekitar jam 8 lewat sedikit. Di TPS sudah ramai, tapi pemilih duduk tenang menunggu giliran. Para pemilih setia menunggu di kursi yang disediakan panitia, jarak TPS dari rumah saya sekitar 100 meter. Saya memperhatikan sekeliling, banyak opa dan oma yang hadir, betul juga, lingkungan tempat tinggal saya penghuninya sebagian besar adalah para pensiunan. Saya mulai dipanggil masuk ke area dekat tempat mencoblos, setelah para calon pemilih memenuhi dua baris kursi, maka panitia memberikan penjelasan secara pelan-pelan, maklum telinga para pinisepuh sudah mulai berkurang. “Jika mencoblosnya masih mendekati garis, tapi belum off the lines, maka hasilnya masih diterima“…kata panitia untuk kedua oma. Rupanya oma tersebut lebih memahami bahasa Belanda, syukurlah panitia juga pandai bahasa Belanda, sehingga penjelasan juga disampaikan dalam bahasa Belanda. Waduhh, saya nggak ngerti sama sekali.

Panitia sibuk mempersiapkan acara

Kemudian panitia bergeser kepada ibu yang sudah sepuh, yang rupanya kurang bisa mendengar, serta rabun, disini panitia menjelaskan menggunakan bahasa Jawa halus. Namun akhirnya dia menyerah, dan menitipkan kepada yang namanya pak Edi, untuk menemani ibu ini ke tempat pencoblosan agar tak keliru berjalan ke arah lain. Hiburan yang menarik, saya membayangkan jika umur panjang dan setua beliau itu.

Jika para oma yang aslinya dari Manado tadi masih tangkas beradu argumen  menggunakan bahasa Belanda dengan panitia, ibu sepuh yang dari Jawa ini  menggunakan bahasa Jawa halus. Betapa beragamnya  warga sekitar tempat tinggal saya, dan saya salut dengan panitia yang juga mempersiapkan panitia yang bisa menjelaskan dengan berbagai bahasa.

Akhirnya giliran saya datang….saya memasuki area pencoblosan, dan mencoblos sesuai pesan si bungsu. Setelah itu, jari kelingking dicelupkan dalam tinta, sebagai tanda telah mencoblos. Siapapun yang menang nantinya, semoga akan membawa lingkungan Jakarta menjadi lebih baik, lebih sehat, serta menyenangkan hati para warganya. Bagaimanapun sebagai warga negara yang baik, kita harus menggunakan hak pilih untuk memilih sesuai hati nurani kita.

Saya ingat awal tahun 70 an, saat masih menjadi mahasiswa di Bogor tahun pertama. Betapa irinya pada rekan yang berasal dari Jakarta. Dalam percakapan sehari-hari, mereka bisa membanggakan…”Gini-gini gue punya Bang Ali.” Gubernur yang tak pernah tergantikan, karena cinta rakyatnya tak lekang sampai Bang Ali meninggalkan kita semua. Dan kita hanya bisa bermimpi, kapan Jakarta punya seperti Bang Ali, sehingga anak atau cucu saya bisa membanggakan Gubernur nya kepada para teman-teman nya.

Iklan

11 pemikiran pada “Pilkada DKI: Kabar untuk si Bungsu

  1. Unik juga, ada oma-oma dan pinisepuh. Di lingkungan tempat saya tadi cenderung sepi. Sampai jam 11.30 baru 50% warga terdaftar yang menggunakan hak pilihnya. Sayang sekali 😦

  2. semoga gubernur yang terpilih nantinya bisa dicintai rakyat, ya Bu. kemarin suami saya nggak bisa ikut nyoblos. di DPS namanya ada, tapi ternyata dia nggak dapat undangan. ya, sudah. batal deh. sayang sekali…

  3. Agak sulit memang mencari sosok Gubernur seperti Ali Sadikin. Bukan karena tidak ada orang berkepribadian dan pemikiran seperti beliau, namun karena iklim politik yang sudah berbeda. Menurut saya, ketokohan dan iklim politik sangat berpengaruh pada kepemimpinan seseorang.. Semoga iklim politik Indonesia bisa semakin kondusif, sehingga tokoh-tokoh pemimoinan yang cakap di negeri ini dapat berperan dengan baik dan semestinya

  4. mechtadeera

    semoga gubernur yang terpilih mendapat dukungan penuh untuk bisa bertugas dengan sebaik-baiknya ya bu…

  5. Zee

    Hehehee…
    Saya juga ragu Bu saat harus memilih, ya habis gimana namanya juga gak kenal langsung. Tapi kemudian ya ditekadkan saja mana yang saya rasa nyaman di hati…. 🙂

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s