Kami mulai kuliah di awal tahun 70 an, saat itu hubungan dosen dan mahasiswa sangat akrab, rasio dosen dibanding mahasiswa adalah 1:7. Sebagian dosen kami berasal dari warganegara asing. Kedekatan hubungan dosen dan mahasiswa ini, membuat kami merasa seperti berhubungan dengan ayah atau kakak sendiri. Apalagi setiap tahun mahasiswa yang diterima hanya 300 orang untuk 6 (enam) fakultas, itupun jika sudah mulai masuk departemen perbandingan dosen dibanding mahasiswa hanya 1:3.
Namun setelah kami lulus dan berpencar sesuai nasib masing-masing, saya sendiri jarang ketemu para dosen ini. Kemudian sejak mulai mendekati pensiun, kami mulai mencari teman-teman satu angkatan dulu, yang rata-rata sudah mulai mendekati pensiun jika bekerja di BUMN, namun masih berlanjut jika menjadi dosen, apalagi jika telah mencapai jenjang Guru Besar, yang pensiunnya mencapai usia 70 tahun. Dari obrolan saat reuni, kami merencanakan menemui para bapak ibu Guru saat kami kuliah dulu. Waktu yang sesuai adalah saat hari Guru tanggal 25 Nopember 2013, yang juga bertepatan dengan ulang tahun Meity, yang telah menjadi Guru Besar IPB. Sayangnya hari itu Meity sibuk mengajar dan menguji, sehingga kami menyepakati agar pertemuan diadakan pada tanggal 26 Nopember 2013 pada hari Selasa.

Rupanya pak G.A. Watimena yang mendengar kabar ini, telah datang ke Departemen Agronomi dan Hortikultura pagi-pagi sekali, maklum kami adalah murid-muridnya yang bandel. Betapa bahagianya kami saat ketemu pak Watimena yang usianya sudah di atas 80 tahun dan masih segar bugar.
Beliau menceritakan kenangannya atas kehebohan kami semua, rupanya beliau menjadi tempat curhatan teman-teman saat mau ketemu dosen killer. Banyak yang setelah ketemu dosen pembimbing menangisnya di ruangan pak Watimena, juga ada yang hanya berputar-putar sampai sepuluh kali, karena tak berani masuk ke ruangan dosen pembimbing.
Disini pak Watimena, selain sebagai pembimbing, berfungsi untuk mendorong mahasiswa nya agar berani menemui pembimbing …. dan sekarang para mahasiswa tersebut telah berperan dan mempunyai jabatan yang tinggi di pekerjaan masing-masing, bahkan yang dulu sering berputar-putar setiap kali mau ketemu pembimbing sekarang telah menjadi Guru Besar.
Saat itu, untuk lulus ujian S1, kami harus melakukan penelitian sekitar 1,5 tahun, sehingga rata-rata lulus setelah 6-7 tahun. Pembimbing ada 3 (tiga) orang, pembimbing utama dan 2 (dua) anggota pembimbing. Itupun masih ada Komite atau Panitia Tingkat Sarjana yang dipimpin Guru Besar, bertugas mengawasi jalan nya penelitian dan penulisan thesis, sehingga jika ada yang terlambat dari jadual akan diketahui akar permasalahan nya.
Betapa cepatnya waktu berlalu. Kami mengobrol kesana kemari, terlihat betapa senangnya pak Watimena ketemu kami semua, dan saya juga merasakan, kenapa ya kami dulu tak pernah terpikir untuk menyempatkan diri menemui mantan dosen kami. Banyak dari beliau yang telah berpulang, semoga beliau yang telah mendahului kita mendapatkan tempat yang layak disisi Nya.

Dari pak Watimena kami menuju rumah pak Fred Rumawas yang letaknya persis di sebelah kiri Guest House IPB. Betapa senangnya pak Fred ketemu kami, sampai lama kami disana tak boleh pulang, kata beliau …”Baru duduk kok sudah mau pulang” , padahal sudah satu jam lebih. Pak Fred yang usianya sudah di atas 80 tahun terlihat sehat, beliau malah asyik membahas penelitian beliau tentang iles-iles. Saat kami mendekati pulang, ibu Fred yang agak kurang sehat keluar dari kamar, dan kami menyempatkan diri foto bersama bapak dan ibu Fred Rumawas. Waktu jua yang memaksa kami untuk pulang, apalagi acara masih banyak.
Kami menuju Bogor sekitar jam 15.00 wib, jalan ke arah Bogor seperti biasa macet, akibatnya kami memutuskan tak ke rumah bapak ibu Haryadi, apalagi kami baru saja ketemu beliau pada saat Tinoek mantu dan sempat foto bersama.

Hal yang kami sesali kemudian, karena bapak Haryadi lima hari kemudian, yaitu tanggal 30 Nopember 2013 dipanggil menghadap pencipta Nya. Maafkan kami pak Haryadi, sungguh menyesal kami tak sempat ke rumah bapak ibu, semoga bapak sekarang damai di surga. Rest in Peace pak Haryadi…..
tulisan ini menjadi semacam pengingat bagi kami… trimakasih, Bu Eni… mudah2an kami juga bisa mengikuti jejak senior2 kami ini…
Iya Mechta, masih terbayang betapa bahagia nya beliau.
Dan beliau masih bersemangat, pesannya…agar kami tetap aktif beraktivitas agar tak cepat pikun.
Beliau yang secara fisik sudah berkurang masih sibuk dengan penelitian, membuat saya tertantang, bahwa kita juga masih bisa berbuat sesuatu.
Senior di kantor, bu Andini, adalah putri pak Andi Hakim Nasution, rektor IPB ya Bu kalau tak salah? Selama ini baca postingan bu Dini tentang ayahnya selalu banyak komentar manis dari mantan mahasiswanya. Jadi hubungan antara mahasiswa dengan dosen di masa lalu sepertinya memang lebih dekat ketimbang di masa ini.
Iya, pak Andi Hakim dosen kesayangan kami. Banyak sekali cerita-cerita tentang pak Andi…dimana saat beliau cerita lucu, kami ketawa karena beliau ketawa, sambil mikir…dan setelah tahu, baru ketawa ngakak beneran….hehehe, jadi ketawa nya dua kali. Pak Andi juga concern terhadap kemajuan mahasiswanya, satu kelas pernah dimarahi, gara-gara saya (saat itu kost di rumah om Hidir, dosen Hama Penyakit Tanaman, di jl. Rumah Sakit II no.1)….karena besoknya tak ada kuliah, walau bukan hari libur, teman-teman ngumpul di buk (semacam jembatan masuk ke halaman rumah), gitaran, nyanyi-nyanyi…ehh nggak tahunya ada mobil berhenti, dan pak Andi turun. Kami ditegur….termasuk om tempat saya kost. Kata beliau…”Orangtua kalian terbungkuk-bungkuk mencari dana untuk membiayai kalian kuliah, kalian kok cuma ber senang-senang.”…waduhh.
Sejak itu, jika jalan-jalan ke Panaragan, ketemu atau lihat pak Andi, pelan-pelan, satu demi satu kami kabuuur….hahaha, dasar mahasiswa bandel. Saya terakhir ketemu pak Andi Hakim di lobby gedung BRI I saat beliau menjemput Dini, kami yang alumni IPB, menghampiri dan menyalami beliau…kelihatan sekali beliau senang.
gurunya pun masih inget ya sama murid2nya bu? soalnya dulu perbandingan dosen dan mahasiswanya kecil ya jadi bisa sampe akrab dan kenal bener ya bu…
saya gak yakin kalo saya ketemu dosen2 saya apa mereka masih kenal sama saya.. hahaha
Iya, karena perbandingan yang kecil, dosen saling mengenal.
Saya kuliah hanya enam orang waktu sudah masuk jurusan….
Pak GA Watimena, beliau pernah berkunjung ke Salatiga bu Enny (Mas, bimbingan beliau), ibu juga sangat ramah.
Pak Fred Rumawas, betapa baiknya beliau menyediakan benih kedelai saat saya skripsi (padahal beda jurasan/departemen).
Dan RIP Pak Haryadi, takkan terlupa kenangan manis di lab kimia, kami asisten kimia sering dapat jatah kacang hijau.
Pak Andi Hakim, tak ada satupun murid beliau yang tak bangga akan kecintaan beliau pada pendidikan (sy simpan buku Daun-daun berserakan, kumpulan sebagian karya beliau).
Terima kasih guru….
Terima kasih bu Enny berbagi momentum indah ini. Salam
Syukurlah mbak Prih, jadi ikut mengenang masa lalu ya….
Kita tak bisa begini, tanpa bimbingan para dosen itu.
ibu mulai kuliah saya belum lahir, tentu sudah sangat lama dan dosennya sudah pensiun semua ya Bu
Iya pak, dosen-dosen saya sebagian besar sudah alm.
Teman-teman ku yang jadi dosen, sebagian besar sudah Guru Besar.