Saya merupakan ibu dari dua orang anak, yang sulung laki-laki dan yang bungsu perempuan. Keduanya sudah menikah, dan saya punya satu cucu perempuan yang lagi lucu-lucu nya dan ceriwis. Anak kedua saya tinggal di Jepang bersama suaminya. Agar pengasuhan si kecil aman karena si mbak di rumah telah ikut selama 17 tahun, maka anak pertama bersama isteri dan anaknya menemani saya, apalagi suami lebih banyak berada di luar kota. Walau serumah, ternyata tetap jarang ketemu, karena sama-sama sibuk. Anak dan menantu saya, sama-sama bekerja di luar rumah. Syukurlah karena sudah pensiun, saya hanya bekerja paruh waktu, sehingga pada sore hari bisa ikut terlibat dalam memantau pengasuhan si kecil. Disini peran Eyang bukan sebagai baby sitter, namun menemani cucu belajar, bermain dengan didampingi yang momong.

Saya melihat bagaimana si kecil belajar memasang balok-balok untuk menjadi aneka ragam bangunan, menggambar dengan krayon, menggunting kertas (yang ini masih harus ditemani), maupun meminta eyang mendongeng. Ternyata untuk usia tiga tahun, si kecil baru bisa menyerap cerita dongeng dalam 5 halaman, karena si kecil banyak sekali pertanyaan nya, mengapa begini, mengapa begitu. Rasanya dulu anak-anak saya tak sebanyak itu pertanyaan nya. Dengan cucu ini benar-benar saya harus bisa memberikan jawaban yang sesuai dengan umurnya. Dan dia termasuk hafal apa yang didongengkan, jadi jangan coba-coba mendongeng secara lisan dan “agak” mengarang, karena akan diperbandingkan dengan dongeng yang diceritakan oleh babe dan bunda nya.
Sebagai Eyang, saya harus mengikuti aturan yang ditetapkan oleh menantu dan anak saya, apalagi sejak si kecil sekolah, aturan yang diterapkan di sekolah ternyata sangat membantu pertumbuhan disiplin si kecil. Bagaimanapun Eyang hanya bisa membantu, yang bertanggung jawab sepenuhnya dan mendapat risikonya adalah orang tua si anak.


Si kecil saat ini telah sekolah di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang dikelola oleh alumni Planologi ITB. Beliau menerapkan disiplin yang ketat, namun tetap memberi ruang yang cukup bagi anak-anak untuk ber eksplorasi. Setiap hari anak-anak belajar dimulai dengan bermain terlebih dahulu, kemudian menggambar. Hasil gambar anak-anak, menunjukkan suasana hati anak yang menggambarnya. Jika anak sedang ceria, maka si anak akan menggambar dengan warna-warni ceria. Sebaliknya, jika ada masalah, si anak akan memilih warna-warna gelap.
Anak-anak diajarkan pula makan bersama, dengan mengambil makanan sendiri. Anak harus bertanggung jawab menghabiskan makanan yang telah diambilnya, bahkan ada anak yang sampai menangis karena tak bisa menghabiskan makanan tersebut. Kondisi itu akan membuat si anak kapok, dan besoknya hanya akan mengambil makanan secukupnya.
Anak dibiasakan menaruh segala sesuatu ditempatnya, dan setelah bermain harus mengembalikan barang mainan ke tempatnya. Hal ini berakibat si kecil menjadi pembersih, segala sesuatu ditaruh ditempatnya. Dan si kecil hanya bermain dengan salah satu mainan, tetap fokus pada mainannya, setelah selesai dikembalikan ke tempatnya. Jika ingin berganti mainan, mainan sebelumnya dirapihkan, dan dikembalikan dulu ke tempatnya, baru ambil mainan yang lain. Yang saya perhatikan, si kecil senang menggunting, melipat… dan menggambarpun sudah tidak melewati garis saat memberi warna. Saya termenung, mengingat masa lalu, dulu si sulung sulit mengerjakan pekerjaan yang memerlukan ketelitian saat masih di TK, berbeda dengan adiknya. Entah apa karena anak perempuan lebih teliti, atau bagaimana.
Kepala Sekolah juga meminta orangtua mentaati apa yang diajarkan di sekolah, menerapkan nya di rumah, sehingga tak ada perbedaan antara pola pengasuhan di sekolah dan di rumah. Si kecil juga diajarkan untuk sholat berjamaah, dan hal ini diterapkan di rumah. Suatu ketika Eyang Kakung (kakek) datang dari luar kota, si kecil mengajak Yang Kung menjadi imam saat sholat Magrib. Entah kenapa, mungkin karena kelelahan, Yang Kung lupa berdoa dan doanya terlalu cepat seusai sholat Magrib. Dan nyeletuklah si kecil..”Yang Kung, habis sholat berdoa dulu.” Eyang Kakung menyahut…”Wah iya, Yang Kung lupa, ayo kita berdoa dulu.” Si kecil langsung menengadahkan tangannya dan berdoa dengan suara keras.
Nikmati saja bu…. Banyak loh nenek di sini yang mau ikut dalam pendidikan dan kehidupan seharian cucunya tapi tidak bisa bahkan dilarang oleh ibunya. Saya baru tahu waktu ibu mertua saya cerita bahwa teman-temannya bahkan tidak diperbolehkan menemui cucu-cucunya… ampuuun deh
Nggak boleh ketemu cucu? waduhh sedihnya…
Saya nikmati Imelda, justru kayaknya saya lebih mengamati perkembangan si kecil ini, dibanding dengan anak sendiri…maklum dulu saat anak-anak masih kecil, berangkat pagi pulang malam. Sedihnya……….., justru itulah, anak-anakku menjadi ingin bekerja yang tak terlalu dihantui jam kerja seperti dulu.
seneng ya bu bisa deketan dan ngeliat perkembangan cucu… 🙂
Iya seneng Arman, tanggung jawabnya juga beda.
Anak-anak sekarang pinter2 ya buu 😀
Karena rangsangannya juga banyak, TV juga bervariasi.
Saling memancarkan kebahagiaan ya Ibu, sang cucu cantik jadi sahabat Eyang. Pun di saat purna tugas Ibu tetap berbagi ilmu selaku pengajar maupun konsultan di bidang yang ibu tekuni, jadi patron pola sang cucu bahwa belajar itu sepanjang hayat.
Apresiasi untuk pola asuh didik di sekolahan sang cucu.
Salam
Alhamdulillah Ibu… nikmat sekali yaa… Semoga ibu selalu dapat mendampingi cucu2 meraih kesuksesan mereka.. Aamiin…
Mengamati perkembangan si kecil merupakan hal yang istimewa dan anugerah menurut saya. ditengah2 banyak kondisi orang tua sibuk kerja sehingga si kecil lebih banyak bersama babby sitternya
anak saya waktu pertama kali masuk PAUD juga dianter neneknya Bu…
dan neneknya sampai sekarang juga ikut memantau perkembangan serta pendidikan anak2 saya, seminggu sekali pasti nelpon sudah belajar apa saja, sudah hapal doa apa saja 🙂
Sepertinya adanya figur eyang bisa membantu menjembatani gap antar generasi, bekal berharga bagi si kecil kelak jika sudah besar. 🙂
Makasih telah mampir….
Eyang bisa berperan serta, namun harus komunikasi dengan ayah bunda si kecil agar tak salah langkah.