

Pagi masih berkabut, ketika kami semua sudah bangun dari tenda, yang berada di lokasi camping ground Tanakita. Saya mencoba menggerak-gerak kan badan dengan pelan-pelan, agar rasa sakit di pinggang kiri bawah agak reda (maklum kondisi saya pas jalan-jalan ini bukan kondisi terbaik), saya mulai melangkah pelan menuju ruangan yang menyediakan teh hangat atau kopi, yang bisa dipilih sesuai selera. Syukurlah badan menjadi hangat setelah minum teh hangat dan singkong goreng khas Tanakita yang renyah. Singkong di rebus dulu bersama irisan kunyit, garam, salam dan bawang putih, baru digoreng.
Tak lama teman-teman sudah berkumpul, setelah semua mandi dan makan pagi, kami bersiap berjalan kaki menuju ke curug Sawer. Pemandu, Akung yang setia menemani para penjelajah yang berusia rata-rata di atas 50 tahun, bahkan ada yang mendekati 70 tahun, memperkirakan perjalanan akan ditempuh 1,5 jam pulang pergi, padahal akhirnya molor menjadi 2,5 jam. Tak apa-apa yang penting bisa mencapai curug Sawer dan semua dalam keadaan sehat. Tak lama angkot merah yang akan mengantar kami sampai ke perbatasan dekat pos perkemahan Cinumpang telah datang, kami rame-rame menuju angkot.

Curug Sawer memiliki ketinggian sekitar 25-30 meter dan berada di dalam di Kawasan Wisata Situ Gunung, Taman Nasional Gede-Pangrango (TNGP). Curug ini masuk dalam wilayah pengelolaan hutan termasuk RPH Cipaku BKPH Gede Barat KPH Sukabumi. Ada dua jalur (jalan kaki) menuju air terjun, yaitu dari perkemahan Situ Gunung dan dari perkemahan Cinumpang.
Jalur dari Situgunung menurut pemandu kami cukup menantang, karena turun naik di pinggir jurang. Sementara jalur lewat perkemahan Cinumpang sedikit lebih ringan, sehingga kami memilih jalur ini. Kami naik angkot sampai di pintu pos jaga perkemahan Cinumpang. Dari pintu masuk gerbang perkemahan Cinumpang, kami berbelok ke kanan, melewati jembatan yang berada di atas sungai Cinumpang, kemudian berjalan kaki lurus naik ke atas melewati jalan setapak, naik menuju Curug Sawer, yang diperkirakan berjarak 1 (satu) km yang menanjak terus.

Perjalanan menuju curug Sawer cukup sulit bagi saya, terutama karena pinggang saya masih terasa sakit, kondisi jalan yang dari tanah dan licin, serta di sana-sini berkerikil dengan lebar jalan 1,5 meter, kiri jalan berupa jurang dan kanan berupa bukit curam, membuat harus berhati-hati setiap menapakkan kaki agar tidak tergelincir.
Di beberapa tempat terdapat tangga naik dan turun yang licin setelah kena hujan, hebatnya masih ada ojek yang lalu lalang membawa berbagai barang. Kami tak ada yang berani naik ojek dengan kondisi jalan seperti ini.
Yang menyenangkan, pemandangan sungguh indah, sesemakan kaliandra (yang disangka teman perjalanan saya putri malu), dan rumpun supplier berbagai jenis menyejukkan mata. Bunyi binatang tonggeret ikut menghangatkan hati kami, yang harus berjalan pelan-pelan agar tidak terpeleset.
Jalan makin menanjak, syukurlah di beberapa tempat ada area untuk berhenti sejenak, meluruskan pinggang dan mengambil nafas. Syukurlah Anto (putra temanku semasa mahasiswa) setia mendampingi dan berjalan di belakangku, berjaga jika ada yang terpeleset, sedang Akung memandu di depan. Tak terasa akhirnya kami sampai di jembatan yang jika dilalui bergoyang, dan tak lama kemudian suara curug Sawer yang bergemuruh terdengar di telinga.

Betapa indahnya, rasa lelah langsung menguap, sayang kami tak bisa menyeka muka dengan air dari curug Sawer, apalagi tiga minggu sebelumnya ada yang terjatuh di curug ini saat mengambil foto dan tak tertolong. Saat itu kami bersamaan dengan anak-anak SMA yang sedang berdarmawisata dengan didampingi gurunya…sedihnya, bungkus pop mie dan plastik bertebaran di area sekitar curug Sawer. Ahh kenapa kita tak bisa menjaga kebersihan ya, mestinya guru yang mendampingi meminta anak-anak membawa kantong plastik sebagai tempat sampah yang akan dibawa turun, bersamaan mereka turun dari air terjun nantinya.
Tentu saja kami mengambil berbagai foto sebagai kenangan, karena perjalanan kesini belum tentu terulang kembali. Sepulangnya dari curug Sawer kami mampir di perkemahan Cinumpang, teman-teman saya sibuk mengabadikan pemandangan yang indah disini. Kebetulan tiga minggu sebelumnya, saya sudah kesini, bersama grup yang lain, yang telah saya tulis disini.
bukan main semangatnya ibu-ibu ini, harus dicontoh banget, apalagi ibu masih sakit pinggang tapi mampu mendaki ke curug
ke Tanakita baru sebatas niat aja sih.
Saya sejak dulu suka jalan-jalan mbak Monda…setelah berkeluarga dan bekerja waktunya terbatas….setelah anak-anak besar, ketemu teman-teman yang hobby nya sama…jadilah sering jalan-jalan, mumpung masih diberi kesehatan.
Syukurlah rasa sakit di pinggang masih bisa ditoleransi…begitu sampai Jakarta langsung ke dokter rehabilitasi medik.
emang seneng ya bu ngeliatin air terjun.. seger banget rasanya…
Betul Arman, rasanya tenang dan damai…cuma nggak boleh mendekat ke air terjun nya karena berisiko.
Perjalanan melelahkan berbayar kebugaran dan kepuasan menikmati keelokan alam ya Ibu. Curugnya terasa menyegarkan, percikan kabut airnya terekam indah dalam foto.
Selamat terus jalan-jalan ya Ibu Enny. Salam hangat.
Salam hangat kembali mbak Prih….senang membagi pengalaman …karena Indonesia indah sekali dan banyak wisata alam yang terjangkau.
saya hanya sempat ke danau nya…
Kapan-kapan naik ke Curugnya…agak sulit medannya, tapi masih memadai kok…karena seumuran sayapun masih bisa mencapai, walau jalannya pelan-pelan.
senangnya… jadi makin ingin ke sana juga. 🙂
Mechta, ajak teman-teman seperti om NH….
Ayoo kapan? mau lagi kok….tapi nunggu pas nggak musim hujan.
Saya sekitar yiga bulan lalu juga ke sini Mbak Ratna. Jalan pelan-pelan, ngos2an, eh akhirnya sampai juga… Yah kondisi curug sawer yg penuh sampah pabrik itu memprihatinkan. Tak hanya anak sekolah, pengunjung umum kelakuannya juga sama 😦
Sampah ini yang bikin sedih, kenapa sih naik ke curug aja kok bawa sampah?