Nostalgia perjalanan Jakarta-Bandung

LDR (Long Distance Relationship) merupakan hal biasa bagi saya, karena suami bekerja di Bandung sedang saya dan anak-anak di Jakarta. Saat anak-anak masih kecil, suami terbiasa menyetir sendiri dari Bandung ke Jakarta melalui Cianjur-Puncak-Ciawi-Jakarta. Saat itu Puncak di akhir pekan sudah macet, kadang suami terpaksa tidur di mobil menunggu jalan di ujung Ciawi ke arah Bandung dibuka, saat hari Minggu sore. Lama-lama lebih baik pergi pagi-pagi saat harus kembali ke Bandung. Inipun juga ada risikonya, suami dan anak-anak saat mau berlibur ke Bandung, sempat mobilnya ditabrak dari arah berlawanan oleh mobil box gara-gara sopirnya ngantuk. Semakin tambah usia, perjalanan dengan kendaraan sendiri, dirasakan makin capek, sehingga akhirnya berlangganan kereta api Parahyangan. Untuk memudahkan, suami membeli kursi kecil yang bisa dilipat seperti payung, untuk berjaga-jaga jika tak kebagian tempat duduk.

Jika kebetulan bagian saya yang harus ke Bandung, saya membeli karcis KA Jakarta-Bandung seminggu sebelumnya, sekaligus kereta untuk pulangnya. Jika kebetulan ada acara mendadak, dan suami ke Jakarta, terpaksa mesti merelakan tiketnya hangus….yahh ini risiko yang harus ditanggung karena berjauhan. Kemudian jalan tol Cipularang dibuka pada tahun 2004….betapa senangnya, karena perjalanan Jakarta-Bandung makin lancar. Apalagi sejak banyak travel beroperasi, saya cukup pesan lewat telepon ke CitiTrans, dan bayarnya saat mau berangkat. Kalau nggak jadi berangkat tidak rugi, karena akan ada penumpang lain yang menggantikan tempat duduk kita. Sepanjang perjalanan, kalau tidak membaca, saya menikmati pemandangan Jakarta-Bandung terutama setelah memasuki Tol Cipularang, yang kanan kirinya masih hijau.

Jadi, saat suami mengajak menghadiri pernikahan anak buahnya di Cibadak, saya sudah pesan sama suami, agar tak memasang target, karena perjalanan dengan kendaraan roda empat dari Jakarta-Sukabumi terkenal macet. Kami sepakat pergi pagi-pagi sekali, syukurlah jalan Tol Jagorawi masih lancar, kemacetan di mulai di pertigaan Ciawi…..namun benar-benar berhenti di daerah Cijeruk. Setelah itu perjalanan lancar, apalagi setelah berbelok ke jalan ke arah Nagrak….saya terpesona dengan pemandangannya, masih hijau, jalan diapit oleh lembah dan bukit. Sampai di tempat kondangan (yang menikah asisten suami), senang melihat masyarakat masih guyub. Teman-teman dan dosen Suci ikut menyumbang menari jaipongan dan menembang Sunda. Makanan nya khas Sunda, pepesnya enak…. saya baru melihat cara membuat cakwee…..mula-mula tidak tahu jenis makanan apa, yang memanjang kemudian di potong-potong sekitar 15 cm dan digoreng…makannya pakai sambal seperti pada empek-empek Palembang. Setelah saya coba…sedaaap… ini pertama kalinya saya makan cakwee yang renyah sekali.

Sayang kami tak bisa lama-lama di Nagrak, setelah berpamitan pada kedua pengantin, kami melanjutkan perjalanan ke Bandung lewat Sukabumi. Jika waktu longgar, sebetulnya senang jalan-jalan menggunakan kendaraan roda empat, menikmati perjalanan, dan melihat keadaan budaya masyarakat. Saya melewati jalan Cagak ke arah Sukabumi, melihat tanda plang ke kiri ke arah Situgunung, jadi terkenang jalan-jalan ke danau Situgunung bersama teman-teman. Setelah melewati jembatan Cipayung, kami terus menyusuri pinggiran kota Sukabumi menuju Cianjur. Beberapa kali mesti bertanya pada orang, karena suasana nya sudah berbeda. Saat melewati jalan Warungkondang, di kanan jalan ada tanda ke arah Situs Gunung Padang…waduhh pengin banget mampir dan melihat situs tersbut. Namun kami harus realistis, saat itu hujan mengguyur sepanjang perjalanan kami, dan kami menggunakan sedan, sedang kalau ke situs gunung Padang, seharusnya pada saat bukan musim hujan.

Saat melewati daerah Ciranjang, saya kaget karena sudah dipenuhi bangunan rumah, dan pabrik di kiri jalannya…betapa cepatnya berubah. Setelah melewati jembatan Rajamandala, kami mampir membeli bensin,  sekligus sholat di mushola yang ada di belakang SPBU Ciranjang tersebut. Air yang mengucur deras, bersih, dan musholanya bersih, membuat kami bisa menghadap Tuhan dengan tenang. Setelah ini perjalanan betul-betul melelahkan, daerah Citatah macet parah dan sudah mulai gelap, selain hujan, juga sudah mendekati Magrib. Syukurlah kami tak ada target apa-apa, sehingga bisa menikmati perjalanan walau terkadang macet dan merambat di sana-sini. Memasuki Tol Padalarang ke arah Buah Batu, jalan lancar, dan kami mampir dulu di “Pak Botak Seng” (entah kenapa namanya seperti ini) untuk membeli capjay, agar sampai rumah tinggal istirahat karena besoknya masih ada kondangan lagi.

 

Iklan

6 pemikiran pada “Nostalgia perjalanan Jakarta-Bandung

  1. kalau saya menantikan perjalanan kereta Bandung-Jakarta yang lewat Bogor-Sukabumi-Cianjur dihidupkan lagi Bu…
    terbayang kerennya seperti apa nanti, ya walau pastinya makan waktu lebih lama sih

    Aldi,
    Kereta api Jakarta-Bogor-Sukabumi-Cianjur sudah ada. Makanya sama teman2 berniat mau wisata naik KA, mau lihat wisata alam di Sukabumi dan situs Gunung Padang di Cianjur….semoga diridhoi Allah swt.
    Kalau Cianjur-Bandung kayaknya akan dihidupkan lagi….semoga…yang jelas pemandangan dari jendela kereta indah sekali.

  2. Iya sebenernya road trip emang menyenangkan… Asal gak macet ya bu.. 🙂

    Supaya menikmati, nggah usah memasang target, jadi kalau macetpun dinikmati…malah bisa jadi cerita.

  3. Selama perjalanan dinikmati dan tidak ‘ngoyo’ pasang target ketat jadi nostalgia indah ya Ibu. Kini aneka pilihan moda transportasi Jakarta-Bandung siap memanjakan penumpang.

    Betul mbak Prih..harus santai, menikmati perjalanan.

  4. Bu Enny, sampai sekarang kalau ke Bandung saya lebih suka naik kereta. Pernah juga sih naik travel.

    LDR memang punya seni tersendiri ya untuk mempertahankan relasi, ya.

    Iya Krismariana… masing-masing pasangan harus kuat dan punya tujuan yang memang disepakati bersama.

  5. Selamat Sore ibu Ratna. Salam kenal dari saya yang juga alumni IPB. Saya juga memulai karir ni bu dalam dunia perbankan. Saya awali karir sebagai Account Officer Commercial Banking di PaninBank. Mohon masukan dan sarannya bu. Saya masih bingung, apakah level seorang AO merupakan level karir terendah? Atau seperti apa? Kalau dilihat dari salary sepertinya tidak, tapi jenjang karirnya seperti apakah seorang AO ke depannya bu?

    Terima kasi ibu Ratna. Jayalah IPB kita! Kalau ada waktu, silahkan datang kembali ke kampus kita bu di Darmaga.

    Setiap Bank punya kebijakan sendiri.
    Saya pernah mengajar in house training di Bank Panin…tapi berkaitan dengan risk management.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s