Berkunjung ke Kampung Baduy Dalam

Sudah lama saya punya keinginan mengunjungi kampung Baduy Dalam, dan keinginan tersebut semakin kuat setelah mendengar cerita seorang teman yang pernah pergi ke sana. Dan akhirnya saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke kampung Cibeo, salah satu dari kampung di Baduy Dalam.

Sebetulnya dalam hati agak kawatir juga, kuatkah saya untuk berjalan kaki menaiki bukit dan menuruni lembah dalam usia sekarang? Syukurlah temanku, yang usianya cocok untuk menjadi anakku, menguatkan saya bahwa nanti akan dipilihkan jalan yang paling mudah, serta ada porter yang membawa barang-barang kita ke sana.

Pemandangan indah di kiri kanan jalan setapak menuju kampung Cibeo.
Pemandangan indah di kiri kanan jalan setapak menuju kampung Cibeo.

Hari Sabtu tanggal 28 Mei 2016, kami janji bertemu di Citos jam 5.30 wib agar paling lambat sudah bisa berangkat jam 6 pagi. Yang saya kawatirkan adalah hujan, apalagi di Jakarta hujan nyaris turun setiap sore. Perjalanan menuju Serang Timur berjalan lancar, dari pintu Tol Serang Timur, kami belok kekiri menuju Rangkas Bitung, kemudian menuju desa Cijahe. Karena jalan sedang diperbaiki, kendaraan hanya bisa berhenti di desa Kadu Hejo, kemudian kami naik Ojek ke desa Cijahe.

Registrasi dulu di desa Kanekes sebelum menuju Cibeo
Registrasi dulu di desa Kanekes sebelum menuju Cibeo

Dari desa Cijahe ini perjalanan dimulai, sebelumnya salah satu teman mengisi buku registrasi apa keperluan kami berkunjung ke Cibeo. Saya didampingi porter yang membawa ransel dan sleeping bag, selain membantu membawa barang, fungsi lainnya adalah memegang tangan saya jika mau jatuh. Perjalanan yang lumayan sulit untuk usia saya yang sudah lewat kepala enam, tiga kali saya sukses terpeleset di jalan setapak yang licin setelah hujan. Namun perjalanan menaiki bukit dan menuruni lembah ini mendapat bonus pemandangan alam yang indah sekali, dan masih asli.

Makan siang yang nikmat dengan alas daun pisang.
Makan siang yang nikmat dengan alas daun pisang.

Mendekati jembatan yang merupakan perbatasan antara kampung Baduy Luar dan Baduy Dalam, kami istirahat sambil memakan bekal makanan. Jembatan ini merupakan batas kami boleh ambil foto.

Jembatan bambu batas desa Baduy Luar dan Baduy Dalam, batas akhir boleh mengambil foto.
Jembatan bambu batas desa Baduy Luar dan Baduy Dalam, batas akhir boleh mengambil foto.

Setelah makan, kami melanjutkan perjalanan menaiki jembatan bambu dan terus mendaki melalui jalan setapak. Di antara pepohonan terlihat tempat istirahat jika lelah di ladang.

Orang Baduy Dalam mengatakan ini termasuk rumahnya karena sering tidur di rumah di dalam ladang ini. Setelah melewati jembatan bambu ketiga, tak lama kemudian terlihat kampung Cikatawarna, yang merupakan salah satu kampung Baduy Dalam.

Saya memperhatikan, di Cikatawarna ini, di sekeliling tiap rumah panggung yang atapnya dari pohon enau dikeringkan, dibuat aliran selokan mengelilingi rumah, dan diujungnya dibatasi dengan bebatuan yang berfungsi agar kalau hujan, aliran air bisa melalui selokan-selokan ini dan tidak langsung menggelontor ke bawah bukit.

Maklum lokasi Cikatawarna ini  terletak di atas bukit dan tanahnya tidak datar. Rumah panggung untuk menyimpan padi terpisah dengan rumah penduduk, hal yang sama dengan kampung Cibeo nanti, untuk menghindari kebakaran, dan lumbung ini cukup untuk persediaan satu tahun buat seluruh penduduk. Setelah melalui jembatan kayu yang tak terlalu lebar, saya sampai di kampung Cibeo. Ayah Karmain, yang akan menerima kami sebagai tamu, menyambut saya yang datang belakangan dengan gembira, juga para tetangga lainnya. Setelah melepas lelah, kami berjalan-jalan mengelilingi kampung Cibeo, yang terdiri atas 98 rumah panggung, yang rata-rata ditempati oleh dua keluarga. Rumahnya dibuat dari kayu dan bambu, berupa panggung, diikat dengan rotan dan pasak kayu, tanpa paku, atap rumah dibuat dari daun enau. Di bawah rumah panggung ditempatkan kayu bakar untuk persediaan memasak.

Orang Baduy Dalam sangat menjaga kelestarian alam nya, tidak diperkenankan menggunakan sabun, pasta gigi dan shampo. Kami mandi di sungai yang berbatu-batu, atau di pancuran yang melalui jembatan kayu tinggi di atas sungai dan cukup licin sehingga harus berhati-hati. Seperti halnya di kampung Cikatawarna, di Cibeo ini di kiri kanan rumah panggung dibuat selokan air yang dipagari dengan batu-batu besar. Saat saya datang kemarin beberapa selokan nyaris kering, namun jika musim hujan, selokan ini akan penuh berisi air.

Setelah membersihkan badan dan sholat, kami mengobrol sambil minum air putih yang dimasak dan diberi daun dari tanaman yang konon untuk penguat tulang, pantas saja orang Baduy Dalam sangat kuat, dan kemana-mana berjalan kaki tanpa alas kaki. Sapri, putra pemilik rumah yang akan menikah bulan puasa nanti (orang Baduy Dalam mempunyai penanggalan yang berbeda dengan masyarakat umum), memamerkan hasil tenun dan kerajinan Baduy Dalam,  kami membeli beberapa barang yang sesuai keinginan. Ternyata tenun Baduy bagus-bagus, juga batiknya. Saya membeli tas kulit pohon, sarung untuk sholat, syal hasil tenun serta ikat kepala.

Malam itu kami makan malam dengan ayam goreng, tahu tempe bacem yang dibawa mbak Lies dari Jakarta, ikan asin goreng, dan sambal kecombrang yang lezat sekali. Kami makan ngariung (rame-rame melingkar), makan nya pakai alas daun patat, dan lalapan nya daun pacing yang rasanya asam sehingga cocok dicocol dengan sambal kecombrang. Baru kali ini saya merasakan kelezatan makanan, apalagi sambil mengobrol ke sana kemari. Sayang sekali di kampung Baduy Dalam tak boleh mengambil foto, tapi justru itu yang membuat saya jadi lebih meresapi suasana sekitar.

Malam semakin larut, kami bersiap tidur, api yang minyak nya dari minyak goreng lama-lama meredup, dan tak terasa kami semua lelap. Benar-benar gelap gulita, merem atau melek sama saja. Udara tidak dingin, namun saya tetap masuk ke dalam sleeping bag kawatir malamnya kedinginan. Suasana yang sepi, gelap dan tanpa suara membuat saya tidur nyenyak.

Entah berapa jam saya tertidur, Iting membangunkan saya mengajak buang air kecil. Diluar terang bulan, suasana sungguh magis sekali. Saya melanjutkan tidur, terbangun lagi karena ada teman yang merasakan ada kucing lewat. Saat ayam berkokok, saya kaget … waduhh sudah lewat Subuh, tapi diluar masih gelap. Saya dan Yoga kemudian wudu menggunakan air yang sudah disediakan di bambu yang diletakkan di teras, dan mulai sholat Subuh.

Pagi hari kami ke pancuran, kemudian kembali ke rumah untuk makan pagi. Masakan nya ayah Karmain dan Sapri sungguh sedap. Kali ini kami makan pagi dengan nasi goreng, cornet beef, ikan asin….wahh sedaaap sekali. Kali ini lalapannya dari daun rendeu, yang bisa menambah sel darah merah. Setelah jam 8.30 pagi kami bersiap untuk kembali ke Cijahe. Kali ini, rupanya ayah Karmain, memberiku dua body guard yang sangat berguna, satu menarik dan satunya lagi mendorong jika saya mulai ngos-ngos an menanjak bukit. Maklum ada rombongan lain, walau masih relatif muda terpaksa ditandu karena nggak kuat lagi jalan. Saya jalan santai, yang lain-lain sudah lari di depan, maklum teman seperjalananku ini semua hobi naik gunung dan pelari 10 K.

Bersama Sapri, putra ayah Karmai, tempat kami menginap di Baduy Dalam.
Bersama Sapri, putra ayah Karmain, tempat kami menginap di Baduy Dalam.

Saya bersama Sapri dan Jali menikmati keindahan alam dan angin sepoi-sepoi yang meresap ke kulit. Banyak kupu-kupu kuning berterbangan di pinggir jalan….sayang susah memotretnya.  Betapa leganya setelah sampai jembatan, tempat perbatasan kampung Baduy Dalam dan Baduy Luar, berarti sudah setengah perjalanan. Kami bertiga berhenti dulu, saling memotret, juga bertukar alamat dan nomor telepon. Siapa tahu Jali atau Sapri ke Jakarta dan bisa mampir ke rumah. Untuk sampai Jakarta, orang Baduy Dalam memerlukan berjalan tanpa alas kaki dan tak boleh naik kendaraan, sekitar tiga hari. Dua hari sampai Bumi Serpong Damai dan Satu hari lagi sampai bunderan Hotel Indonesia. Luar Biasa ……

Sampai desa Cijahe, teman-teman sudah menunggu, saya minum teh botol dulu, sebelum semuanya kembali naik ojek menuju desa Kadu Hejo. Dari sini kami naik kendaraan untuk ke Ciboleger, kampung Luar Baduy, yang berbatasan dengan kampung Baduy Luar.

Berbagai hasil kerajinan tangan khas Baduy di desa Ciboleger.
Berbagai hasil kerajinan tangan khas Baduy di desa Ciboleger.

Di Ciboleger ini ada tempat penjualan hasil kerajinan tangan masyarakat Baduy, berbagai kalung, gelang dan tenun khas Baduy dijual di sini. Setelah makan siang, kemudian sholat di masjid, beberapa teman belanja tenun, kami semua kembali pulang ke Jakarta, lewat Leuwiliang, Jasinga, Dramaga, Sentul kemudian Jakarta. Sampai rumah jam 22.30 wib, capek dan puas…..Alhamdulillah masih diberikan kesempatan mendapat pengalaman yang luar biasa.

Iklan

3 pemikiran pada “Berkunjung ke Kampung Baduy Dalam

  1. Duh,Mbak Eny sajak masih kuat masuk ke baduy dalam lah saya kok sudah menyerah duluan ya. Soalnya saya sudah menghapus niat ingin masuk ke baduy dalam Mbak. Tapi membaca pengalaman Mbak Eni ini akan saya pertimbangkan lagi 🙂

    Ayoo mbak…pasti bisa.
    Btw, untuk barang bisa dibawakan porter…..jadi kita cuma jalan melenggang…walau setiap kali naik saya ngos2 an…berhenti dulu…tarik nafas panjang, jalan lagi. Jadi ya jalanku kayak siput. Kalau orang Baduy Dalam cukup 15 menit…saya 2 (dua) jam….hehehe.
    Dan terasa seperti refreshing otak…segar sekali dan menjadi lebih bersyukur. Alamnya sungguh indah.

  2. Hasil
    Kerajinannya itu mahal gak? Tetep belanja aja yy dipikirin haha

    Harganya bervariasi dan menurutku nggak mahal karena asli tenun dan warna serta tenunannya khas.

  3. Monda

    ibu, aku juga kepengne deh ke sini..
    hebat ibu berhasil ke kampung Baduy Dalam.

    Mbak Monda pasti kuat….hehehe.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s