
Acara blusukan A678 ke daerah Pecinan dan Kota Tua di Bogor ini telah diagendakan sejak 3 (tiga) minggu lalu. Awalnya yang ikut lumayan banyak, namun pada detik terakhir beberapa mengundurkan diri karena ada tugas mendadak, jatuh sakit dll. Apa boleh buat, akhirnya hanya 5 orang yang bisa, itupun Iswandi cuma ikut di awal acara, karena harus pergi ke daerah Jasinga.

Acara blusukan ini sebetulnya merupakan survei untuk acara puncak peringatan 50 tahun A7 masuk IPB pertama kalinya. Rencana nya, sebelum acara puncak yang akan diadakan di Kuntum Fairfield, kami akan jalan-jalan pagi dulu sambil nostalgia mengenang saat kuliah di kota Bogor. Mengingat kami semua sudah menjelang 70 tahun, perlu diadakan survei, betulkah kami masih kuat berjalan?
Rute Bogor Heritage Trail adalah: Warung Bogor-Klenteng Ho Tek Bio (Vihara Dhanagun) -Soerjakancana-Perajin Barongsai-Situs Pulau Geulis-Klenteng Phan Kho Bio (Vihara Maha Brahma)-Kampung Babakan Peundeuy-Tepas Lawang Salapan.
Cerita perjalanan ini dibagi 5 (lima):
- Klenteng Ho Tek Bio atau sekarang dikenal dengan nama Vihara Dhanagun.
- Kang Lili Hambali, perajin barongsai di Bogor.
- Pulo Geulis, pulau di tengah sungai Ciliwung.
- Klenteng Phan Kho Bio (sekarang namanya Vihara Maha Brahma), yang merupakan klenteng tertua di Bogor.
- Jalan-jalan di Tepas Lawang Salapan.

Kami janjian ketemu di depan Warung Bogor jam 7 pagi, agar saat berjalan-jalan suasana nya masih lumayan sepi dan tidak panas. Kami bertiga bertempat tinggal di Jakarta, saya dan bunda Rini janji ketemu di Citos jam 6 pagi, sedangkan Martha langsung naik kereta api dari stasiun Manggarai dan janji ketemu di depan klenteng Ho Tek Bio.

Sempat bingung juga lokasi warung Bogor dimana, walau Tinoek sudah memberi ancer-ancer. Syukurlah setelah saya saling menelepon dengan Tinoek, di kejauhan terlihat gadis manis remaja tahun 70 an pakai jeans dan blouse putih. Kami bertiga langsung menuju klenteng Ho Tek Bio. Kami menunggu waktu sambil berfoto bergantian di depan gapura “Lawang Suryakancana: Buitenzorg, Bogor”. Tak lama Iswandi datang, yang kemudian disusul oleh Martha.

Kami mulai memasuki Vihara Dhanagun, sebelumnya asyik mengambil foto di depan Vihara yang dihiasi lukisan di dinding yang menarik mata memandangnya. Tak lama kang Mardi Liem datang. Kang Mardi ini seorang arsitek, pengamat budaya di Bogor, kenal baik dengan Tinoek karena sesama grup Pusaka Bogor. Kang Mardi akan menyertai perjalanan kami blusukan di kawasan Pecinan dan Kota Tua.

Saat orde baru, klenteng Ho Tek Bio ini tertutup oleh pedagang kaki lima, dan saat itu memang dilarang kegiatan di klenteng. Kemudian klenteng beralih fungsi menjadi Vihara karena Vihara diperbolehkan oleh pemerintah Orde Baru, namanya berubah menjadi Vihara Dhanagun, yang harus tetap eksis untuk melayani umat. Di bagian sebelah kanan Vihara ada pengobatan dengan biaya murah, yaitu Rp.15.000,- per orang lengkap dengan obatnya. Saya melihat banyak orang yang antri di depan klinik ini.

Setelah Presiden nya gus Dur, aktivitas budaya Tionghoa diperkenankan lagi, hal ini membuat semangat kaum peranakan Tionghoa. Kaki lima juga mulai dibersihkan, saya yang kuliah dan tinggal di Bogor selama 7 (tujuh) tahun baru tahu, bahwa di sebelah Pasar Bogor (sekarang namanya Plaza Bogor) ada klenteng yang lumayan besar dan indah.
Acara paling ramai saat perayaan Cap Go Meh, yang merupakan pesta rakyat berupa karnaval, antara lain acara gotong Toa Pek Khong dan kolam jodoh. Hal ini melahirkan barongsai Bogor dan Liong yang terbanyak di Indonesia, sampai tercatat di MURI.
Namun saat ini kalah dengan perayaan Cap Go Meh di Singkawang.Pada saat perayaan Cap Go Meh, siapa saja bisa hadir dan ikut makan-makan tanpa biaya di Vihara Dhanagun ini. Yang unik, pembuat barongsai adalah kang Lili Hambali, yang asli suku Sunda (cerita tentang kang Lili Hambali di tulisan berikutnya).

Klenteng pada umumnya menghadap selatan, didirikan di dekat pasar, karena pendirinya adalah kaum saudagar, yang menginginkan usahanya maju serta keluarga bahagia. Vihara Dhanagun dipercaya dibangun pada tahun 1672, saat etnis Tionghoa pertama kali mulai mendiami Kota Bogor.

Kaum Tionghoa membuat rumahnya di sekitar Lawang Seketeng dan Jalan Suryakencana. Jalan Suryakencana merupakan etalase dan merupakan toko tempat kaum etnis Tionghoa berdagang, bentuk rumahnya memanjang sampai jalan Roda, sehingga pintu rumah untuk keluarga berlokasi di jalan Roda, sedang di jalan SuryaKencana adalah tokonya. Sampai sekarang bisa dilihat sisa-sisa peninggalan ini.

Selanjutnya setelah menikah dengan penduduk lokal menurunkan kaum peranakan. Namun kaum peranakan ini, yang kemudian bersekolah di sekolah Belanda, saat membangun rumah tidak ingin rumah khas Tionghoa, namun berupa rumah art de co yang diilhami rumah bangsa Eropa.

Bangunan Vihara umumnya mempunyai paviliun di kiri kanannya. Pintu masuk terdiri atas tiga pintu, serta di bagian bawah diberi tutup berupa kayu besi setinggi sekitar 20-30 cm, ini dimaksudkan agar orang yang memasuki Vihara menunduk agar kakinya tak tertabrak hambatan kayu ini. Ini merupakan penghormatan dan tata cara bertamu, yang harus menghormati tuan rumah.
Di depan pintu tengah ada tempat peribadatan, agar yang mau masuk bisa berdoa dulu di depan tempat peribadatan. Jika memasuki Vihara melalui pintu kanan, dan keluarnya melalui pintu kiri (jika dilihat dari depan). Vihara Hok Tek Bio ini menjadi pusat kegiatan keagamaan 3 kepercayaan sekaligus, yaitu Taoisme, Konghucu (konfusianisme), serta Buddha. Vihara seluas 635 meter persegi ini menjadi potret nyata kerukunan umat beragama di Kota Bogor.

Bangunan atap Vihara yang kokok terdiri dari kayu besi dan tanpa paku. Terlihat indah dan kokoh.
Patung yang ada di Vihara ini, selain merupakan budaya Tionghoa juga ada simbol budaya lokal, yaitu mbah Bogor dan prabu Suryakencana yang merupakan Raja Pajajaran terakhir.

Yang menarik, dinding di Vihara ini dihiasi lukisan perjalanan Sun Go Kong ke dunia Barat, atau dikenal dengan “Journey to the west“. Setelah puas mendengar cerita tentang Vihara ini, sayang nya walau saya mencatat tapi nggak bisa mengikuti penjelasan kang Mardi yang cepat, ditambah saya banyak terkesima mendengar ceritanya.

Di belakang Vihara ini, masih di dalam pagar terdapat pohon mangga yang besar dan tinggi, serta buahnya banyak. Umur pohomn mangga ini sudah ratusan tahun. Saat kami memotret dari depan Vihara, terlihat pohon mangga ini melebar dan nyaris melindungi lebar atap Vihara. Saat Kebun Raya Bogor masih banyak dihuni monyet, banyak monyet yang bertandang ke pohon mangga ini untuk makan buahnya.
Tentang pembuatan barongsai, akan diceritakan di tulisan selanjutnya.