
Dari Vihara Dhanagun, perjalanan kami dilanjutkan dengan menyusuri jl. Suryakancana, melewati Plaza Bogor. Bunda Rini berhenti sebentar di depan Plaza untuk membeli Pocari Sweat, agar kami kuat berjalan.
Kami harus hati-hati menyusuri trotoar yang sedang dalam proses pembangunan, karena masih banyak lubang yang belum ditutup. Kami berjalan santai sambil mendengarkan cerita kang Mardi, yang sangat mengenal riwayat kaum peranakan di Bogor.

Jl.Suryakancana ini merupakan etalase para pedagang Tionghoa, rumahnya memanjang…jalan Roda merupakan tempat tinggal yang bersambung dengan toko di jl. Suryakancana. Sayangnya rumah khas Tionghoa ini sekarang sudah sangat jarang.
Orang Tionghoa yang kemudian menikah dengan orang lokal menurunkan Tionghoa peranakan, anak-anak Tionghoa totok ini sekolah di sekolah Belanda, akibatnya saat membangun rumah tinggalnya, lebih cenderung mengikuti rumah orang Eropa yang arsitekturnya art de co.

Dari jalan Suryakancana kami berbelok menyusuri jalan, yang telah diberi keramik bagus, sayang kurang bersih dan bau pesing. Di kiri kanan gang ini ada sisa tembok rumah orang Tionghoa.
Memasuki jalan Roda, kembali kami harus berhati-hati, jalanan padat penuh orang lalu lalang, ditambah mobil, sepeda motor, gerobak dorong yang membawa sayur mayur. Jalan Roda ini memang tempat pasar sayuran di Bogor.

Kang Mardi bertanya, mau turun tangga pemandangannya bagus, atau jalan memutar tapi lebih jauh. Bunda Rini menjawab, lewat tangga saja, kita jalan pelan-pelan. Kebetulan rumah kang Lili Hambali, perajin barongsai searah dengan jalan menuju Pulo Geulis. Sampai gang Angbun di Lebak Pasar, kami belok ke kiri, menyusuri jalan kecil berbelok-belok dan melalui tangga yang terus menurun.
Ternyata tangganya tak terlalu berat, ada 4-5 tangga menurun, kemudian mendatar dan baru ada tangga menurun lagi. Setiap kali menemukan lokasi yang cocok untuk foto, kang Mardi mengambil foto para remaja tahun 70 an yang masih suka bergaya ini.
Kami juga setiap kali minum pocari sweat, bahkan tak terasa saat difoto, bunda Rini dan Tinoek masih memegang botol pocari sweat…jadi kayak iklan pocari sweat deh. Mendekati jembatan ke arah Pulo Geulis, kami belok ke kiri dan sampailah ke rumah kang Lili Hambali.
Kang Lili Hambali menerima kami dengan senang hati, padahal sedang sibuk membuat pesanan barongsai.

Kang Lili Hambali, menjelaskan bahwa bahan baku membuat barongsai, kerangka nya berasal dari rotan kecil, yang diikat dengan ukuran yang pas, agar saat dipakai tidak miring.
Selanjutnya dibuat bentuknya dari bubur kertas dengan dasar kain kasa agar tak mudah robek. Warna liong dan atau barongsai disesuaikan dengan keinginan pelanggan.

Pembeli barongsai antara lain, berasal dari Sumatra, Samarinda, Singkawang, Jawa, Papua bahkan dari Saudi Arabia, dan lain-lain. Kami heran…kang Lili menerangkan, ternyata Raja Saudi Arabia membolehkan rakyat bermain barongsai dengan catatan tak boleh diisi trance... jadi harus murni latihan. Wahh hebat ya…dan hebatnya pembuat barongsai ternyata dari suku Sunda asli.

Kami asyik mewawancarai kang Lili Hambali, yang dengan senangnya menceritakan proses pembuatan barongsai, bahan baku rotan dibeli dari Jambi, serta bagaimana cara marketingnya.

Sesekali kang Mardi ikut menimpali, pertemuan yang penuh dengan senda gurau dan keakraban.
Kami sibuk mengambil foto, dan setelah dirasa cukup, kami pamit sambil berterima kasih pada kang Lili Hambali, yang telah mau berbagi cerita proses pembuatan barongsai dan menerima kami dengan ramah.
Semoga budaya aktivitas barongsai ini tetap didukung pemerintah, agar dapat terus berkembang.
Ada kontaknya Lili Barong? Saya mau liput dalam rangka Imlek. Terima kasih
Wahh sayang saya juga nggak punya kontaknya. Ditelusuri saja melalui cerita saya, mudah kok cari rumahnya.
Ok. Kira2 dari organizer walking tournya ada kontaknya?