Seminggu Social Distancing-Suka duka menerapkannya di lingkungan keluarga

Study at Home

Sudah seminggu penerapan social distancing (pembatasan sosial), yang merupakan cara persuasif untuk mengendalikan covid19, dilaksanakan di DKI Jaya.  Presiden juga menyerukan agar mulai belajar di rumah, bekerja di rumah dan beribadah di rumah. Saat saya menulis ini, yang positif corona (covid 19) di Indonesia telah mencapai 514 orang dan di Jakarta saja telah mencapai 307 orang. Baik pemerintah, media semua menyarankan agar melakukan pembatasan sosial, namun  apakah mudah melaksanakannya?

Work From Home & Study at Home

Saya cerita di lingkungan keluarga saja. Hari pertama dan kedua WFH (Work From Home) semua masih mudah dilakukan. Anak sulung dan menantuku bekerja dengan target yang diberikan oleh kantor. Dan mungkin karena baru awal, dan pimpinan sendiri masih bingung bagaimana cara yang pas melakukan WFH, maka bolak balik ada vidcon (video conference), untuk para staf yang kerja di rumah, dengan bos dan staf yang saat itu giliran kerja di kantor.

 

Perlu bantuan orang dewasa saat kirim laporan ke Guru

Ini tidak mudah karena internet tak selalu bisa mendukung, bahkan sering naik turun. Di satu sisi, anaknya juga mendapat tugas belajar di rumah, yang setiap kali sibuk menanyakan soal yang sulit pada bundanya.

Lengkap sudah, stres pekerjaan sendiri, ditambah pertanyaan bertubi dari anak….lha iya bunda di rumah kapan lagi bisa bolak balik tanya….akhirnya nada tinggi mulai menyeruak.

Salah satu tugas yang dikerjakan Ara

Babenya, yang juga kerja di rumah, kondisi kesehatannya juga lagi tidak “fit” terpaksa turun tangan membantu. Ini hanya anak satu dan sudah kelas 3 SD, tak terbayangkan jika punya anak lebih dari satu dan masih kecil-kecil. Lupakan rumah bersih, semua jadi arena belajar dan bekerja.

Yangti mengintip apa yang dikerjakan cucunya

Saya sendiri giliran masuk satu kali dalam seminggu, dan karena ada dua pekerjaan yang berbeda, berarti harus keluar rumah dua hari. Lokasi yang satu sama-sama di Jakarta Selatan, sehingga naik taksi tak sampai 30 menit. Namun, dalam hati berpikir juga, apakah aman? Siapa saja penumpang yang naik taksi tersebut sebelumnya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menggerogoti pikiran, karena pernah baca, bahwa di Aichi, perfektur tempat anak bungsuku tinggal di Jepang bersama suami dan putra kecilnya, penularan terjadi pada sopir taksi, karena penumpang sebelumnya  pernah pergi ke Wuhan. Jadi, naik taksipun ada risikonya.

Saat mesti pergi ke lokasi berikutnya, yang letaknya di dekat Pecenongan, saya mulai memikirkan enaknya pakai kendaraan apa yang aman? Tak mungkin meminta tolong anakku mengantar karena dia juga harus WFH. Ternyata jalan Si Singamangaraja, Sudirman dan Thamrin tetap padat, walau tak sepadat biasanya, karena yang punya kendaraan pribadi memilih naik kendaraan pribadi. Jadi perjalanan ke tempat kerja memerlukan waktu satu jam lebih. Waduhh, cuma berdua sopir, mobil ber AC dan tak tahu penumpang sebelumnya siapa. Saya lihat, bis kosong melompong, jadi pulangnya saya naik busway…hanya ada 8 orang satu bis. Kemudian turun di bundaran HI untuk naik MRT…dan satu gerbong yang saya tempati cuma dua penumpang…serasa MRT milik sendiri.

Hari Sabtu, yang biasanya senam pagi ramai-ramai terpaksa diliburkan untuk mengurangi kumpul-kumpul. Saya jalan kaki dari rumah, niat hati berolah raga, ujung-ujung nya mampir ke pasar. Saya tertarik membeli adpukat, oleh penjualnya diberi plastik kecil…”untuk apa pak, kan saya mau beli 3 (tiga) kg?” “Untuk membungkus tangan ibu“, kata penjual buah. Jadilah saya berkeliling pasar, membayar dengan tangan dilindungi kantong plastik dan pulangnya naik bajaj. Sampai rumah langsung cuci tangan pakai sabun dan mandi lagi serta ganti baju. Tas tempat belanja, saya cuci juga….sepatu saya jemur di bawah sinar matahari….duhh repotnya.

Syukurlah kami akhirnya sepakat pekerjaan benar-benar dilakukan di rumah saja…terbayang repotnya, walau masuknya bergantian. Dan teman-temanku di grup WA bilang…”Kamu jangan berani-berani nya ke pasar, kan bisa belanja on line? Nanti barang belanjaan dicantolkan di pagar, uang untuk membayar kita bungkus plastik, ” temanku berkata. Di WA grup ramai bersahutan diskusi, bagaimana mengatasi cara kita bisa bertahan hidup tanpa keluar dari rumah, semua bisa dilakukan secara on line.

Duhh kalau semua belanja on line, kasihan pedagang di pasar tradisional, itupun saya lihat pasar tidak terlalu ramai, sepanjang kita pakai masker, maka kita tak bersentuhan dengan orang. Sampai rumah memang harus segera cuci tangan pakai sabun, mandi dan ganti baju. Yang saya sedihkan, saya nggak bisa menikmati pijet, karena tukang pijet langganan saya, suka mondar-mandir memijat di rumah pelanggannya di daerah Kemang dan Pondok Indah.

Sementara ini di rumah saja ya…semoga badai covid 19 ini cepat berlalu. Hikmahnya cucuku  bisa bangun pagi, sarapan, dan jam 7.30 wib sudah siap duduk di kursi untuk belajar. Kami membuat jadual jam istirahat, sesuai jam di sekolah. Dan belajar baru selesai jam 15.30 wib…..anaknya tetap senang, menunjukkan hasil nilai PR dari bu Guru yang bagus, apalagi belajar didampingi babe dan bunda.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s