Kali ini, diskusi yang diadakan pada hari Selasa malam, dengan moderator mbak Rias Nurdiana, yang telah menulis beberapa buku antologi. Menulis memoar merupakan “self healing“. Saya ikut bergabung agak terlambat, jadi akan saya tulis apa yang saya ikuti sejak bergabung.

Pada obrolan malam ini, mbak Rias Nurdiana memberikan kesempatan pada penulis untuk menceritakan proses menulisnya, bagaimana perasaannya setelah tulisan tersebut selesai, apakah ada rasa lega, rasa nyaman seperti telah mengeluarkan uneg-uneg. Tulisan tentu saja tidak semata-mata mengeluarkan uneg-uneg, namun dipilih bagian-bagian yang bisa memberikan inspirasi pada para pembaca, serta melonggarkan perasaan. Istilah anak bungsu saya, agar kepala kita tidak berat dan menjadi lebih enteng.
Mbak Min Adadiyah menulis tentang menjadi seorang ibu. Mbak Min menceritakan proses penulisannya, bagaimana awalnya dia gamang ketika harus bekerja di luar rumah, apakah tetap bisa dekat dengan keluarganya. Apakah bisa membagi waktu? Pada kenyataannya tidak ada yang perlu dikhawatirkan apalagi keluarga memberikan support.
Sedangkan bu Ninik menceritakan, bahwa kita harus sumeleh. Agar kita bisa membahagiakan orang lain, kita harus mencintai diri sendiri. Saat bekerja, bu Ninik merasa sangat sibuk di kantor, sehingga kurang memperhatikan keluarga. Setelah pensiun, ingin fokus pada keluarga, namun ternyata ditawari untuk bekerja kembali. Bu Ninik menyadari, tidak mungkin bisa memikirkan keduanya, karena jika telah bekerja harus fokus pada apa yang telah disetujuinya. Pada akhirnya, bu Ninik memilih untuk mengundurkan diri.
Namun, dalam perjalanannya, bu Ninik sangat sibuk memikirkan keluarga sehingga merasa terabaikan. Merasa ada yang kurang. Kemudian ikut grup sumeleh, di sini diajarkan, perlu mencintai/menyayangi diri sendiri, agar bisa mencintai dan menyayangi orang lain. Mas Diyo menambahkan…..jangan seperti lilin yang meleleh, namun seperti pembawa obor, yang harus kuat membawa obor untuk menerangi sekitarnya.
Bu Nova menceritakan hal yang menarik bagaimana awalnya belajar membaca Al Qur’an. Awalnya merasa sulit dan tidak bisa membayangkan, bisa membaca tulisan huruf Arab. Kebetulan ada guru muda yang baru bergabung ke Bapekis di perusahaan, menawari untuk mengajar mengaji. Awalnya agak ogah-ogah an, namun kemudian terketuk hatinya. Yang sulit adalah mencari partner, teman yang mau belajar mengaji dari awal. Akhirnya ketemu dengan seniornya, guru mengaji menyatakan, kalau ingin bisa membaca Al Qur’an harus belajar mengaji setiap hari. Sejak itu setiap istirahat, bu Nova dan temannya cepat-cepat makan siang, kemudian belajar mengaji berdua dengan didampingi oleh guru ngaji.
Pada suatu saat, atasan bu Nova bertanya, apakah tidak ingin naik haji? Bu Nova yang merasa belum siap, mengatakan belum mampu. Setelah didesak atasannya, apa sebenarnya alasannya, akhirnya atasan ini bersedia membiayai untuk pergi haji. Hal ini membuat bu Nova semangat, agar bisa khatam Al Qur’an sebelum pergi haji.
Pak Iswandi atau akrab dipanggil IAC menceritakan kehebatan ibunya sebagai bunda kanduang. Masa kecilnya dilalui dengan sulit karena saat itu sedang ada perang saudara. Namun ibu IAC terus menyemangati agar tetap belajar dan bersekolah setinggi mungkin. Ayah IAC termasuk bangsawan. Bagi orang Payakumbuh, ada risiko punya suami bangsawan, karena banyak yang ingin menjadi istri bangsawan untuk meningkatkan derajatnya, walaupun menjadi istri kedua, ketiga maupun keempat. Adat di Payakumbuh, laki-laki bisa dilamar oleh pihak perempuan, atau istilahnya dijemput. Kehebatan ibu IAC adalah saat suami dijemput oleh keluarga perempuan, tetap bisa berdamai walau suaminya mempunyai istri empat. Hal yang akan sulit dilakukan oleh seorang perempuan secara umum jika suami mendua.
Mbak Clara Vee (nama samaran) menceritakan bagaimana dia mengatasi ketakutannya belajar menyopir. Bahkan suaminya trauma untuk menyopir karena pernah kecelakaan, sehingga kemana-mana diantar oleh sopir keluarga. Namun lama-lama Clara Vee berpikir, kalau terjadi keadaan darurat akan sulit jika harus memanggil sopir yang perlu waktu untuk datang ke rumah. Kondisi ini membuat Clara Fee memaksa dan menguatkan diri untuk belajar menyetir. Seru sekali mendengar kisahnya… perjalanan menyetir sendiri dilakukan saat kakeknya sakit, dan Clara Vee menyetir sendirian dari Depok ke rumahnya di Sumatra Barat. Kondisi mendesak lain adalah saat mendadak sopir tidak bisa datang saat ada acara di sekolah anaknya. Dengan nekat Clara Vee memberanikan diri menyetir dengan membawa teman dan anak-anak pergi pulang Jakarta-Bandung.
Diskusi malam ini berlangsung seru, beberapa peserta saling menanggapi. Kemudian pak Denny Micky Hidayat membacakan puisi…puisi ini baru ditulis sambil mendengarkan kami berdiskusi…betapa hebatnya. Pembacaan puisi ini diikuti mbak Surtini Hadi yang membacakan puisinya. Tidak semua penulis mendapat kesempatkan menceritakan proses menulisnya, karena waktu juga yang membatasi. Diskusi ini menambah ilmu bagi saya.
Waah terima kasih Bu Enny, untuk liputannya. Bermanfaat bangettt…salam memoar, bu.
Alhamdulillah jika bisa bermanfaat